Chapter 2 – Taman Cattleya

Edwin melirik jam tangan yang melingkar di tangan kirinya, ‘Masih ada dua jam lagi’ gugamnya dalam

hati. Dengan earphone putih terpasang di kedua telinganya, ia kembali menatap layar notebook miliknya. Jari-jarinya siap untuk menekan tombol-tombol bertuliskan huruf di atasnya. Hampir lima menit berlalu, tapi pikirannya tak kunjung menyerukan ide agar pemuda itu bisa cepat menyelesaikan skripsinya. Ia menghela nafas sambil menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi yang didudukinya.

Padahal, situasi seperti inilah yang diinginkannya, berada di luar ruangan dengan keadaan sekitar yang relatif sepi dibanding tempat lainnya. Meskipun cuaca cukup terik, setidaknya pepohonan rindang melindunginya dari sinar matahari. Tak hanya itu, masih ada angin sepoi yang sesekali menerpa tubuhnya.

Dia benar-benar tidak menyadari kehadiran seorang anak berusia sekitar delapan tahun yang mengawasinya tak jauh dari bangku taman itu. Sepasang mata coklatnya berbinar penuh harap, memandang pemuda berambut coklat gelap dengan penampilan yang seratus delapan puluh derajat berbeda darinya. Kemeja putih bergarisnya tidak kusam, tak ada sedikit pun sobek di celananya, sepatunya hitam mengkilap seperti baru disemir.

Sudah terlihat sangat jelas, pemuda ini pasti orang kaya.

Lirikan sepasang mata coklat terang itu berpindah. Wajah polosnya tercengang menyadari apa yang ada di hadapannya. Peluang besar. Tanpa pengawasan, pemuda itu membiarkan salah satu harta bendanya terbaring di atas bangku taman. Noel tahu persis, handphone itu bisa berubah jadi uang kalau dijual. Jumlahnya akan sangat  besar, bahkan jauh lebih besar daripada jumlah uang yang ada di dompet.

Bagai seekor cheetah yang mengintai rusa buruannya, Noel mencermati gerak-gerik pemuda itu. Ia tampak begitu fokus dengan layar notebooknya. Kakinya mulai melangkah. Entah apa yang membuat anak ini begitu yakin kalau orang itu tidak akan menyadari kehadiran dirinya yang mendekat.

Tangan kecilnya sudah siap meraih benda itu.

Jaraknya tinggal hitungan milimeter saja. ‘Ayo, cepat ambil, Noel! Cepat!’ seru anak itu dalam hati pada dirinya sendiri. Saat jari-jarinya sudah hampir menyentuh layar, tiba-tiba pemuda itu menoleh. Wajahnya nampak teduh, menyiratkan bahwa dia orang yang ramah. Sekilas, ia nampak seperti seorang pangeran baik hati yang terkisah dalam dongeng-dongeng anak.

Meski Edwin tersenyum padanya, rasa takut dan cemas seketika menyelimuti Noel.

“Orangtua kamu di mana?” tanyanya sambil sedikit mendekati anak bertampang lusuh itu.

Noel justru bertambah takut, sepasang telinganya tak mengindahkan pertanyaan yang terlontar untuknya. Tubuh kecilnya mulai gemetaran. Hatinya semakin cemas. Bagamiana kalau orang ini tahu dia berniat mencuri?

Tanpa aba-aba dan komando, ia berbalik dan berlari sejauh mungkin dari Edwin, seperti predator yang tak menduga kalau mangsanya akan melawan.

Nafasnya tersengal, seolah akan habis sewaktu-waktu.

“Eh, bocah!”

Seruan itu membuatnya menoleh. Terlihat seorang bertubuh tegap dan kekar duduk dengan salah satu kakinya terangkat di atas motor biru terang. Ia mengenakan kaus hitam dengan rompi dan celana jeans sobek-sobek. Kumisnya tebal, terkalung rantai berwarna perak dilehernya, alisnya menukik tajam. “Lo abis maling disini, ya?” tampangnya seolah mengancam Noel untuk menjawab ‘ya’.

“Ini daerah gue!” tegasnya sambil memukul jok motor tanpa peduli siapa pemiliknya, “Mana duitnya?!” bentak pria berwajah sangar itu. Dengan nafas yang masih terengah, Noel mengeluarkan uang hasil jerih payahnya sejak pagi tadi dari kedua sakunya.

Seringai manis terlihat jelas di wajahnya, bagai serigala yang puas melihat buruannya tak berdaya. Diserahkannya seluruh lembaran kertas itu padanya.

Ia terkekeh senang, “Nah, gitu dong” Tangannya yang penuh tato menyambar uang itu, “Dah, sana lo pergi, hus hus!” usir preman itu sambil mengayunkan tangannya, seolah Noel adalah binatang liar yang mengganggunya.

***

Senja belum tiba. Masih ada harapan dan kesempatan baginya untuk mengais rezeki, walau jumlahnya tak akan cukup besar untuk menjadi setoran.

Meski angin terus menyemangatinya, Noel sudah putus asa.

Tak sengaja, ia menabrak seseorang dihadapannya. “Eh, lo kalo jalan pake mata dong!” tegur gadis yang baru saja ditabraknya. Gadis itu mengenakan kemeja kotak-kotak merah, rambutnya dikuncir seperti ekor kuda, wajahnya tak asing.

Sylvia...

Noel semakin tertunduk lesu.

“Eh, kenapa lo? Udah kayak orang mau mati aja,” Sylvia menepuk-nepuk pipi anak itu. “Kenapa, sih?” pertanyaannya terus memaksa Noel untuk menjawab.

“Noel dipalakkin” wajahnya cemberut.

“Hah?! Terus?”

“Duitnya Noel kasih semua”

“LO KASIH SEMUA?!”

Noel tak menjawab, ia sibuk menutup kedua matanya rapat-rapat. Ia tahu persis, gadis itu pasti naik pitam dan siap meninju wajahnya, sekalipun wajahnya memelas, meminta belas kasih.

Gadis itu menghela nafasnya. Beruntung nasib Noel, kali ini Sylvia bisa meredam amarahnya sesaat.

“Siapa yang malak lo? Dimana?” tanyanya sambil berkacak pinggang.

“Itu, abang-abang yang di parkiran taman”

Sylvia terdiam sejenak, ia berpikir. Taman. Taman yang dimaksud Noel pastilah taman Cattleya. Jaraknya tak jauh dari sini. “Sini, cepet kasih tunjuk gue orangnya,” Sylvia menarik tangan mungil anak itu.

Tak sulit mencari orang yang dimaksud Noel. Preman bertubuh kekar penuh tato itu sedang sibuk menghitung uang miliknya, mulutnya berkomat-kamit, menyebutkan nominal uang di tangannya. Baju yang dikenakannya tak terlalu lusuh, bahkan terbilang ‘masih bersih’ bila dibandingkan baju gadis itu. Sylvia menduga-duga, orang ini pasti baru jadi preman.

“Eh! Lo yang lagi ngitung duit!”

Pria itu menoleh, menatap Sylvia yang berkacak pinggang di hadapannya. Wajahnya yang seharusnya tampak cantik, manis, dan anggun terlihat sangat jauh dari tiga kata itu.

“Lo yang tadi malakin temen gue ya?!” bentak gadis itu, seolah tak peduli lawannya dua kali lipat lebih besar darinya.

“Temen?” Ia mengerinyitkan dahinya, lalu tertawa saat tersadar maksud gadis itu. “Jadi, lo temennya bocah yang tadi?” Tertawanya semakin keras, “Lo mau apa? Berantem? Ayo, sini! Lawan!”

Belum sempat pria itu selesai berbicara, Sylvia mengeluarkan sebuah pisau lipat dari sakunya. “Cepetan balikin duitnya kalo lo gak mau liat leher lo sobek”

‘Sialan. Dia bawa senjata!’ umpat pria itu dalam hati. Pria itu mencoba untuk tenang. Tentu saja dia tidak mau kalah. Kalah dengan gadis akan sangat memalukan baginya.

Tawa paksa keluar dari mulutnya. “Lo berani lawan gue? Lo gak tau gue siapa? Gue preman daerah sini!”

“Oh, lo mau gue panggilin temen-temen gue kemari, biar lo bisa ngerasain dikeroyok. Kebetulan temen-temen gue suka nongkrong sekitar sini, sih. Badannya ga jauh beda kok dari lo, gedenya sama. Terus kadang-kadang mereka suka bawa senjata. Ya, kayak gue ini lah”

‘Aduh! Gawat! Nih cewek nggak ada takut-takutnya sama sekali! Malah sekarang dia mau manggil temen-temennya!’

Menyadari ‘preman baru’ itu panik, gadis itu merasa menang darinya.

Pria berkaus hitam itu buru-buru menyisihkan uangnya dan memberikannya kepada Sylvia. “Nih, nih, ambil! Dah, sana lu, cepetan pergi!”

Sylvia menghitung jumlah uang itu. Tujuh puluh tiga ribu, persis seperti yang dikatakan Noel. Pria itu benar-benar takut akan pernyataan palsu Sylvia. Ia benar-benar mengira Sylvia itu bagian dari preman sekitar sini. Payah!

Mata coklat gelapnya melirik ke arah sisa lembaran uang yang dipegang pria itu.

“Duit lo kayaknya banyak juga”

“Enak aja lo! Gue kan udah balikin duit temen lo!”

Sylvia tersenyum, ditodongkannya pisau lipat itu ke arah pria berbadan kekar yang duduk di hadapannya. “Gue cuma minta dikit kok. Ya, paling gak setengahnya” tukasnya lancang.

Pria itu mendengus kesal. Ingin sekali rasanya ia mencabik-cabik gadis ini. Tapi sepertinya itu mustahil. Gadis ini punya orang-orang yang siap membantunya kalau-kalau ia melakukan itu, sedangkan dia sendiri? Dia orang baru di sini! Tentu saja tidak ada yang akan membantunya!

“Nih!” Pria itu menyerahkan setengah dari hasilnya dengan rasa tak ikhlas.

Gadis itu tersenyum puas. “Nah, gitu dong. Kalo lo baik gini sama gue kan enak jadinya. Oke, gue cabut dulu. Buat sekarang, lo aman”

Noel yang bersembunyi cukup jauh dari sana menunggu kedatangan Sylvia. Ia benar-benar tahu, gadis itu memang lihai dan cerdik. Gaya bicara dan kelakuannya sangat meyakinkan orang banyak kalau dia tak mengenal rasa takut. Tak seperti dirinya, ia sama sekali tak sepintar dan berani seperti Sylvia. Ia terlalu bodoh untuk hidup di lingkungan seperti ini.

“Nih, duit lo” Gadis itu menyodorkan uang yang baru saja didapatnya. “Lain kali kalo dipalak, lawan! Jangan tolol jadi orang!”

Tangan anak itu menyambut pemberian Sylvia.

“Diem aja lagi, bilang apa lo?”

“Makasih” ucap Noel sambil tertunduk.

***

Edwin menarik rem tangan dan mematikan mesin mobilnya. Menyelesaikan skripsi di taman ini seakan menjadi rutinitas baginya. Tapi siapa sangka, hari ini, ia datang dengan tujuan lain yang tersirat dalam pikirannya. Sejak kemarin, pikiran mahasiswa jurusan sosiologi ini terus terbelenggu dengan anak jalanan yang dijumpainya.

Diliriknya jam tangan, tepat jam dua belas siang.

Kalau dipikir-pikir, Edwin seharusnya tak di sini. Seharusnya ia sedang berada di mall bersama teman-temannya dalam sejuk dan nyaman, hanya sekedar untuk bercengkrama, memperkuat tali persahabatan, sambil menonton film yang dinantikan selama berminggu-minggu.

Tingkah laku manusia memang tak terbatas dan kadang di luar dugaan. Edwin justru lebih memilih menunggu anak jalanan yang tak jelas kabar dan kedatangannya itu. Padahal, tentu saja duduk diam di sini tanpa kepastian itu membosankan.

Menunggu di taman ini seperti gambling, mempertaruhkan waktu dan kesabaran. Tapi, keyakinan hati pemuda itu kuat. Jauh lebih kuat dari panas terik di siang bolong ini.

Sambil menjinjing sebuah kantong plastik putih di tangan kirinya, ia berjalan menuju bangku yang sama dengan yang ditempatinya kemarin. Pemuda itu memang selalu memilih duduk di sana, karena area di sekitarnya yang relatif sepi, bahkan di hari biasa, tidak ada orang disekitarnya. Tak heran, ia bisa membiarkan barang-barang berharganya bertebar tanpa takut hilang dicuri orang.

Nasib baik. Siang ini, keberuntungan berpihak pada Edwin.

Ia tak perlu menunggu sampai matahari membuat seluruh kulitnya terbakar, seperti tanaman-tanaman di ladang pada musim kemarau.

Anak yang dicarinya tepat berada di hadapannya, sedang duduk diam, menghitung lembaran demi lembaran uang miliknya. ‘Masih belun cukup’ Noel memejamkan kedua matanya dan menengadahkan kepalanya sambil bersandar pada kursi. Ia merasakan cahaya matahari yang tak menembus kelopak matanya. Keadaan sekitar menjadi gelap. ‘Jangan-jangan mau hujan?’

Noel membuka matanya, berniat untuk bergegas mencari tempat berteduh. Alangkah terkejutnya ia saat sadar ada seseorang di hadapannya.

“Kakak bikin kaget, ya? Maaf,” Edwin terkekeh pelan melihat tingkah lucu anak itu.

Dipandanginya pemuda itu dari atas sampai bawah. Rambutnya lurus berwarna coklat gelap, pakaiannya sangat bersih dan rapi, bahkan aromanya harum.

Noel terperanjat. Ia pernah melihat pemuda itu.

Jantungnya berdegup kencang. Keringat dingin mulai mengucur bersamaan dengan munculnya rasa takut dan cemas dalam dirinya. Yang ada dipikirannya hanya satu. Lari. Ia harus lari.

Meski wajahnya terlihat hampir tanpa ekspresi, anak ini cukup mudah dibaca. Gerak-geriknya seolah menjerit ketakutan. Edwin tahu, Noel takut padanya.

“Jangan takut,” bujuknya dengan senyum tipis, “Kakak tak berniat jahat kok”.

Percuma. Anak itu tak bisa ditenangkan dengan kata-kata. Peluhnya terus mengalir.

Edwin mengeluarkan sebuah bungkusan sterofoam dari plastik putih yang dijinjingnya, “Ini buat kamu” lalu menyodorkan benda itu pada Noel, “Ma-ka-nan,” ia mengeja kata-kata itu agar Noel mengerti maksudnya.

Noel tertegun.

‘Makanan? Orang ini memberiku makan?’

Dipandanginya pemuda itu sekali lagi. Wajahnya terlihat tulus, tanpa tersirat niat buruk di baliknya.

Rasa lapar seolah memaksa untuk mengambil makanan itu, mengalahkan rasa takut dan cemas dalam dirinya.

Kedua tangan mungil Noel perlahan menyambut makanan pemberian Edwin.

Aroma yang begitu sedap tercium saat bungkusan sterofoam itu dibuka. Sepasang mata coklat terang itu melebar, melihat apa yang ada di hadapannya. Seporsi mie goreng ayam. Makanan sederhana itu terlihat seperti makanan mewah dari sudut pandangnya.

Melihat anak itu hendak menyambar makanannya dengan tangan, Edwin cepat-cepat mengeluarkan sebuah sumpit, “Jangan pakai tangan, dong. Nih, pakai ini”.

Noel menoleh dan mengambil sumpit itu. Bentuknya dua bilah bambu kecil itu sudah tak asing lagi baginya. Ia sering menemukan benda itu tergeletak di tepi jalan atau di tempat sampah. Tapi, ia sama sekali tak tahu bagaimana cara menggunakannya. Selama hidupnya, ia hanya diajari untuk makan dengan tangan kanannya, tak lebih dari itu. Tanpa ada alat-alat bantu seperti itu.

Pemuda itu akhirnya berinisiatif. “Cara pakainya begini,” ia mengambil sumpit itu dari tangan Noel. Dengan mudah, ia menjepit sepotong ayam dan menyuapi anak itu. Lalu, Noel menirukan hal yang sama, namun gagal. Anak itu tertunduk. Tingkahnya persis seperti anak TK yang tak bisa menulis huruf dengan benar. Edwin berusaha menahan tawanya, lalu mengeluarkan sebuah sendok plastik.

“Kamu tahu cara pakai ini nggak?” tanyanya sambil memperlihatkan sendok itu pada Noel. Ia menggeleng. “Nah, kalau ini, cara pakainya begini. Nggak perlu dijepit” jelasnya. Kali ini, Noel bisa menggunakan alat bantu makan yang diberikan Edwin dengan mudah.

Anak itu mengayun-ayunkan kedua kakinya bergantian. Sudah terlihat jelas, meski tanpa senyuman. Noel merasa senang. Rasa takut dan cemasnya hilang tak tersisa lagi.

“Kamu namanya siapa?” tanya Edwin sambil sedikit menunduk.

“Noel” jawab anak itu singkat sambil terus mengunyah.

“Noel, ya... Noel tinggalnya di mana?”

Hanya suara dedaunan terbawa angin yang terdengar. Ia tak menjawab pertanyaan Edwin. Bagaimana bisa Noel menjawabnya? Dirinya tak tahu ia tinggal di mana. Tempat itu tak memiliki alamat yang jelas. Sekalipun ada alamat yang jelas tertulis di mulut gang, Noel tetap tidak tahu. Ia tak mahir membaca huruf-huruf yang terpampang di sana.

Seharusnya Edwin tahu. Berkomunikasi dengan Noel adalah hal yang sulit. Pertanyaan-pertanyaan itu bagaikan soal ujian bagi anak itu.

“Noel” panggil pemuda itu. Ia berusaha memecah keheningan dengan terus bertanya. Noel menoleh. “Orang tua kamu ada dimana?”

“Orang tua itu apa?” anak itu malah balik bertanya dengan wajah polos tak berdosa.

Ekspresi pemuda itu berubah. Ia terkejut. Itu bukan jawaban yang diharapkannya.

‘Begini buruknya kah menjadi anak jalanan? Sampai-sampai tak mengerti kata sederhana seperti itu?’

“Orang tua itu orang yang melahirkan Noel. Juga yang besarin Noel”

Anak itu mengangguk-angguk pelan tanda bahwa dirinya paham akan penjelasan yang dilontarkan Edwin, “Berarti, orang tua Noel itu bang Gondrong, Sylvia, Denis, Azri, Ryan, sama Galang itu orang tua Noel dong?”

“Kalo mereka itu teman-teman Noel. Orangtua itu cuma ada dua” kata Edwin sambil mengancungkan jari telunjuk dan tengahnya membentuk huruf V.

“Tapi mereka yang besarin Noel”

Edwin terdiam. Tiba-tiba hatinya merasa sedih. Anak ini bahkan tidak bisa membedakan arti teman dan orang tua, hanya karena ia dibesarkan oleh orang-orang asing yang tak memiliki ikatan darah dengannya.

“Noel kalau sudah besar mau jadi apa?” pemuda itu mendadak mengalihkan topik pembicaraan.

Noel termenung.

“Jadi tinggi sama besar” jawabnya.

Lagi-lagi Edwin menahan tawanya. Ia tak ingin menertawakan keinginan anak polos yang hampir tak mengerti apa-apa tentang dunia ini.

Dielus-elusnya kepala Noel.

“Ya, kamu tenang saja. Nanti itu pasti terkabul, kok”

Tak perlu menunggu lama, seporsi mie goreng itu sudah habis dilahap Noel.

“Noel mau pulang?”

Ia menggeleng.

“Noel nggak boleh pulang kalau uangnya masih sedikit”

“Biasanya Noel ngapain biar uangnya banyak?”

“Mencuri”

Edwin mengeluarkan selembar uang berwarna merah dari dompetnya.

“Ini buat Noel,” ucapnya sambil menyodorkan lembaran seratus ribu rupiah itu pada Noel.

Anak itu lagi-lagi terkejut. Diliriknya uang itu dan wajah Edwin. Seumur hidupnya, belum pernah ada orang yang rela memberikan uang sebanyak itu padanya secara cuma-cuma.

“Noel, mencuri itu nggak baik. Noel nggak boleh mencuri lagi, ya? Kalau Noel harus bawa pulang uang banyak, aku bisa kasih. Noel cuma perlu minta baik-baik. Oke?”

Tanpa banyak bicara, Noel mengangguk-angguk dan mengambil uang itu.

“Besok siang, Noel ke sini lagi, ya? Kak Edwin bawa makanan lagi buat kamu”

Terpopuler

Comments

Fikri Aini

Fikri Aini

kasian hiks hiks menjelaskan bahwa kita harus bersyukur atas apa yg kita miliki, tetep semangat ya

2023-02-09

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!