“Kamis...” Noel melipat jari telunjuknya, “...Jumat...” jari tengah
dilipatnya, “...Sabtu” disusul jari manis. Kalau dirinya tak salah menyebutkan
nama hari dan menghitungnya, ini adalah hari yang ketiga. Ya, tiga hari sudah
Edwin tak menampakkan dirinya. Padahal, Noel sudah merelakan menit-menit
berharganya untuk duduk manis, menunggu kedatangan pemuda itu.
“TAMAN CATTLEYA”
Huruf-huruf yang tersusun berderet dan terbuat dari plakat berwarna perak
itu diliriknya. Walau sebenarnya hanya kata ‘taman’ yang dimengerti oleh Noel.
Pagi ini mentari bersinar terang, menghangatkan setiap orang yang berjalan
di bawah atmosfer tanpa pandang bulu. Langit terlihat begitu ceria, warnanya
biru cerah, merangkul sekumpulan serabut-serabut putih bersih, seolah mengajaknya
bersenda gurau ria. Mereka semua benar-benar bertolak belakang dengan isi hati
Noel yang muram kelabu tanpa warna.
Memang, sosok ‘Edwin’ baru dikenal anak itu hari Senin lalu dan mereka baru
saling jumpa dua kali berturut-turut. Tapi, Noel merasa mengenal orang itu
selama dua tahun, hanya karena orang itu memperlakukannya dengan layak. Ia
benar-benar diperlakukan seperti manusia. Diajak berbincang-bincang, diberi
makanan dengan sendok garpu dan uang secara Cuma-Cuma. Tak seperti orang-orang
lain yang terkadang menatapnya jijik, bahkan mereka tak segan meludahinya, melemparinya
dengan benda-benda kecil ataupun memukulnya seperti kucing-kucing liar pencuri
ikan di pasar.
Sesuatu mendarat di bahu kiri Noel. Rasanya seperti sebuah tangan yang
menepuk bahunya pelan. Anak itu tersentak. Dengan cepat, ia menoleh. Wajah yang
begitu familiar berdiri di hadapannya, senyum tipis terukir di bibirnya.
“Noel, maaf ya, kak Edwin baru bisa ke sini lagi” jelasnya sambil sedikit
menunduk, menatap lawan bicaranya yang mendongak ke atas untuk membalas
tatapannya. “Kak Edwin sakit dari hari Rabu, baru sembuh kemarin sore”
“Sakit?”
Ah, ya. Noel pernah mendengar kata itu sebelumnya. Itu berarti kondisi
badan tidak sehat, bisa membuat orang jalan terhuyung-huyung, seperti Ryan
beberapa bulan lalu. Badan anak itu terasa hangat kalau dipegang. Ia selalu
mengeluh kepalanya terasa sakit, langkahnya berat, dan suaranya serak dan
parau, seperti angsa-angsa di pedesaan yang berkeliaran bebas, hewan yang
berlagak bagai preman-preman pasar penguasa wilayah.
Edwin menunjukkan sebuah kantong plastik merah yang dijinjingnya, “Ini ada sarapan
buat Noel”
Kedua tangan mungil Noel menyambutnya.
“Oh, iya. Kak Edwin juga belum makan. Kita makan sama-sama, yuk?”
Tak perlu menunggu lima detik, dalam sedetik pertanyaan itu dijawab Noel
dengan anggukan pelan.
Sebuah lampu LED kuning seolah muncul di atas kepala Edwin, simbol
munculnya sebuah ide cemerlang nan cerdas. Edwin tersenyum, “Noel, kalo kita makannya di rumah kamu,
boleh nggak?” tanyanya.
“Tapi...” Noel tak melanjutkan kata-katanya, membiarkan kalimatnya
terputus. Ia menunduk seperti tanaman layu.
“Kenapa? Noel belum dapat uang?” Edwin menebak-nebak jawaban yang akan
keluar dari mulut anak itu.
Benar saja, anak itu mengangguk lagi.
“Nggak apa-apa. Nanti kak Edwin kasih uang, kok. Tapi, Noel harus makan
dulu. Makannya di rumah Noel, ya?” Kalau saja Edwin melakukan ini bukan atas
nama kebaikan, ia adalah orang licik yang selalu memanfaatkan kesempatan dalam
kesempitan.
Jawabannya selalu monoton. Anggukan pelan, bahasa tubuh yang mewakili kata
‘ya, aku setuju’
Edwin beruntung. Kali ini ia tak perlu menunggu senja tiba hanya untuk
mengikuti anak itu pulang ke tempat tak layak tinggal yang disebutnya ‘rumah’.
Selain itu, cuaca cerah di Sabtu pagi ini mendukungnya untuk memotret guna
membuat beberapa foto tentang lingkungan tempat tinggal Noel. Lalu menyimpannya
dalam galeri ponselnya. Hal itu akan membuatnya lebih mudah mempelajari
kehidupan anak-anak jalanan ini.
Ini memang bukan pertama kalinya Edwin berjalan kaki dari taman Cattleya ke
tempat antah berantah ini, yang tak jelas alamatnya. Hanya menyelip,
bersembunyi di balik bangunan-bangunan bagus penuh pencitraan. Kakinya masih
belum terbiasa berjalan jauh seperti ini. Nafasnya masih terengah-engah, bahkan
dadanya terasa sedikit sesak walau asthma tak masuk dalam riwayat penyakitnya.
Apa boleh buat? Mustahil bagi mobilnya untuk melaju di tengah gang tikus,
bukan?
Ia berusaha mengalihkan perhatiannya, agar letihnya tak terasa. Edwin mulai
bertanya, “Di rumah kamu pagi-pagi gini emang nggak ada orang, ya?”
Noel mengangguk, “Semuanya pergi jauh-jauh. Cuma Noel yang nggak,”
jelasnya.
Hah? Apa yang barusan anak ini bilang? Dia tak pergi jauh-jauh dari
‘rumahnya’?
Kalau Edwin tak salah memperkirakan ini, ia sudah berjalan kurang lebih
delapan kilometer. Jelas, itu bukan jarak yang dekat!
“Kak Edwin kenapa?” tanya Noel, menyadari nafas pemuda itu yang tak
teratur.
Edwin menggeleng-gelengkan kepalanya, “Nggak... Kak Edwin nggak apa-apa
kok...” ia terkekeh pelan, menutupi rasa lelahnya. Namun, peluhnya berjatuhan
bagai kelompok penerjun payung tak bisa dibohongi.
“Nah... ini... Kamu sarapan dulu...,” tangannya yang sedikit gemetaran
menyerahkan sebuah plastik merah pada Noel.
“Makasih, kak.” Anak itu menerimanya tanpa ragu. Noel membawa bungkusan
berisi makanan itu masuk ke dalam rumahnya. “Masuk, kak,” lagaknya seperti tuan
rumah yang menyambut tamu.
Rumah?
Ukurannya bahkan lebih kecil dari kamar mandi di rumah Edwin. Dindingnya
terlihat kusam tanpa sentuhan cat atau tempelan wallpaper, bahkan benda yang
seharusnya kokoh kuat itu retak-retak seolah siap roboh hancur kapan pun tanpa
isyarat. Tak ada satu pun ubin menempel di lantai, hanya semen yang menjadi
pembatas antara kaki dan tanah.
Tentunya, Edwin terheran. Bagaimana anak ini bisa tinggal di sini seumur
hidupnya? Apa dia tak pernah mengeluhkan rumahnya yang tak layak tinggal ini?
“Kak Edwin nggak makan?” tanya Noel sambil melahap bubur ayam yang
dibelikan Edwin sesaat sebelum keduanya bertemu di depan taman Cattleya.
“Oh iya, kakak hampir lupa,” jawabnya sambil terus memindahkan lirikannya.
Pandangannya berkeliling tiada henti, meski hanya ada satu ruangan yang
dipisahkan tirai tipis berwarna hijau pupus seperti kue dadar, sehingga
menimbulkan kesan ada enam ruangan di sini.
“Oh, iya. Kak Edwin jangan bilang-bilang Noel pulang ke bang Gondrong, ya?
Noel takut bang Gondrong marah sama Noel,” pintanya dengan wajah polos khas
anak kecil.
“Iya, kak Edwin nggak bakal bilang siapa-siapa kok,” ucapnya seolah sangat
menjanjikan. Padahal, dirinya sama sekali tak mengenal siapa itu sosok ‘bang
Gondrong’. Seingatnya, Noel memang pernah menyebut nama itu.
Karena rasa penasarannya yang terus berseru-seru dalam hati, mendesaknya
untuk bertanya. Akhirnya Edwin membuka mulut, “Bang Gondrong itu siapa?”
tanyanya.
Tak mudah bagi Noel untuk mengutarakan ceritanya yang masih tersirat di dalam
hatinya. Ia tak pandai merangkai kata-kata sebanyak itu.
“Teman kamu?” Edwin bertanya lagi, berharap pertanyaannya memberikan ilustrasi
kecil, membantunya dalam menjawab singkat. Baik dengan kata-kata ataupun bahasa
tubuh seperti gelengan atau anggukan kecil.
“Bukan,” Kali ini, Noel memilih untuk menjawabnya dengan sebuah kata, bukan
gelengan. “Kata Denis, bang Gondrong itu bosnya anak-anak”
‘Bos?’
Edwin terpikir-pikir.
‘Anak-anak jalanan ini punya ‘bos’?’
Sepertinya orang yang dimaksud ini tidak pantas disebut ‘bos’. Menurut
pemahamannya, seseorang dengan sebutan itu seharusnya justru memberi bawahannya
uang. Tak seperti ini. Orang ini justru menerima uang dari bawahannya.
Bukankah itu keterlaluan?
Duduk-duduk santai, pergi entah kemana, bersenang-senang. Sedangkan
anak-anak yang diambilnya ini bersusah payah mengumpulkan uang, dengan cara apa
pun.
“Bang Gondrong itu orangnya kayak apa, sih?” tanya Edwin sambil mengaduk
bubur miliknya yang sudah dituangkan sedikit kecap dan sambal.
“Bang Gondrong galak. Suka marah-marah sama Noel”
Ya, tak perlu diherankan lagi. Anak ini sudah beberapa kali beralasan dia
tak mau pulang karena pulang dengan tangan kosong tanpa hasil, tanpa selembar
uang maupun sekeping koin atau benda berharga lain yang bisa disulap berubah
jadi uang, berarti ia harus siap menerima kesialan dan hukuman.
Rasanya tiba-tiba makanan ini tak sedap lagi, seolah
turut merasakan derita anak polos yang tak mengerti apa-apa soal nasib dan
hidupnya. Berjuang dengan kenaifan dalam dirinya yang begitu kuat merangkul,
enggan melepaskan cengkramannya.
***
Sepuluh jari-jari itu bergerak cepat dan lincah di antara tombol-tombol
petak yang berjejer dengan huruf-huruf putih di atasnya. Berpacu dengan detik
dan menit yang berlari sprint, melaju
dan berlalu begitu cepat.
KEHIDUPAN
ANAK JALANAN YANG TEREKSPLOISASI DAN DAMPAKNYA
(Studi Kasus pada Anak Jalanan di
Jakarta Barat)
DISUSUN
OLEH
Edwin Pramana Wijaya
Edwin menarik mundur jari-jemarinya dari tombol-tombol petak itu. Tangannya
meraih sebuah catatan kecil. Tertulis beberapa paragraf hasil rangkuman pendek tentang
hal-hal baru yang didapatnya pagi tadi. Ia menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya,
seolah itu dapat membuatnya merasa sedikit lebih lega dari himpitan tugas-tugas
akhir kuliahnya demi menyambut kelulusan.
Handphone biru tua miliknya berdering cukup keras. Tanda telepon masuk. Ia menjangkau tombol bergambar
lengkungan hijau disebelah kiri.
“Halo?”
Tak ada jawaban sama sekali. Ia menjauhkan benda itu dari telinganya.
Deretan angka yang tertera dilayarnya tak familiar dalam ingatannya. Belum
pernah nomor telepon itu disimpannya dalam kontak, atau bahkan dilihatnya.
‘Mungkin orang salah sambung,’pikirnya.
Tanpa pikir panjang, tombol bergambar telepon merah yang
telungkup ditekannya, mengakhiri panggilan itu. Edwin menyandarkan badannya
pada punggung kursi, menempatkan kedua tangannya diatas armrest, membiarkan mereka bersantai sejenak. Hatinya tak sabar
menunggu hari esok, hari dimana hal-hal baru akan bermunculan, diketahui dan
dipelajarinya. Sebuah sisi lain dari kehidupan, sisi gelap dari terang dunia.
Hal yang selalu bersembunyi di balik bayang-bayang kebahagiaan, yang tak lain
adalah kehidupan mereka, orang-orang dengan nasib tak mendukung.
***
Tak berbeda dari hari-hari biasanya, Sylvia selalu menunggu Noel di gang
sempit, kecil, gelap, itu. Kalau-kalau kesabaran dalam hatinya habis, ia
bergegas mencari anak itu, menarik tangannya supaya ia terseret arus, mengikuti
dirinya, kedalam himpitan dua bangunan besar yang cukup terpencil dari
keramaian.
“Dapat berapa?”
Pertanyaan yang berulang kali terlontar dari mulut gadis itu tiap senja
tiba dijawab Noel tanpa kata-kata. Kedua tangannya merogoh saku celananya,
memperlihatkan lembaran-lembaran uang kertas dengan berbagai warna. Merah,
biru, hijau, dan kuning keemasan. Sylvia melihat jumlah angka berderet pada
kertas itu. Jumlahnya sudah lebih dari seratus ribu. Gadis itu mengangguk-anggukan
kepalanya, menyiratkan kata-kata ‘Ini sudah cukup’. Lalu, ia berbalik, berjalan
menyusuri lorong suram itu tanpa ragu.
Noel menaruh kembali uang-uang itu dalam sakunya. Sepasang kaki kecilnya
melangkah, mengkuti jejak gadis itu. Untuk pertama kalinya, ia menatap langit
dari antara celah bangunan tinggi kelabu. Cahaya kuning keemasan itu menyorot
manik-manik coklat bundar milik Noel, membuat irisnya berbinar indah, bagai
permata. Dibalasnya sapaan sang mentari yang ingin terlelap. ‘Selamat
beristirahat. Terima kasih sudah bekerja keras, menyinari kami dengan terikmu
yang hangat’ begitulah kira-kira makna dibalik tatapannya.
Matahari sudah benar-benar terlelap. Ya, bulan sabit itulah yang
mengatakannya. Ia jelas berseru diantara para bintang kecil yang berkelip
mengelilingi dirinya.
Para anak jalanan itu berbaris layaknya peserta upacara bendera tiap Senin
pagi, menunggu gilirannya untuk memberikan seluruh jerih payah mereka. Begitu
juga dengan Noel.
“WOI!”
Hardikan keras itu membuyarkan percakapan batinnya dengan rembulan.
“MANA DUIT LO?! CEPETAN!”
Noel buru-buru menggerakkan tangannya, merogoh kedua sakunya. Tubuhnya
seketika terasa tegang, seolah darahnya berhenti mengalir dan denyut nadinya
terhenti. Ia hanya dapat meraba angin dan serat-serat kain tipis, bukan
beberapa lembar uang kertas yang dilipatnya. Menyadari apa yang akan terjadi
kalau seluruh uangnya benar-benar lenyap tanpa sisa. Hati Noel semakin cemas.
Jantungnya berdegup kencang, disusul keringat dingin yang menyelimutinya.
Kesabaran pria berambut pirang lusuh itu habis seketika. Wajahnya memerah,
alisnya menukik tajam dan bertemu. Tatapan sepasang matanya terlihat sangat
tajam.
Dalam hitungan detik, sebuah kepalan tinju mendarat di wajah Noel, seperti
meteor yang menghantam tanah lapang. Seluruh syarafnya menolak perlawanan,
membiarkannya jatuh tersungkur diatas lantai. Begitu juga anak-anak lain,
mereka tak sanggup melawan pimpinan mereka, tak terkecuali Sylvia yang dikenal nekat
di antara kawanan anak jalanan itu. Gadis itu hanya bisa menoleh ke arah lain,
bersandiwara seolah-olah ia tak menyaksikan kejadian menyakitkan di hadapannya.
Tanpa sedikit pun belas kasihan, bang Gondrong terus mendaratkan pukulan,
tendangan, dan makian pada Noel. Meski kulit anak itu sudah lebam penuh luka memar,
sepasang matanya berkaca-kaca. Bahkan darah segar mengalir dari mulut dan
lubang hidungnya. Ingin sekali rasanya anak itu berteriak, meraung-raung
meminta ampun. Tapi, sayang sekali, hal itu hanya akan memperburuk situasi.
Setelah dirasanya anak itu menerima balasan yang setimpal, hatinya puas. Ia
menatap anak-anak lainnya.
“KALO LO SEMUA GAK MAU GUE HAJAR HABIS-HABISAN KAYAK DIA, CEPETAN KASIH
UANG LO!” ancam pria itu dengan suara lantang, menggeleggar seperti halilintar
yang menyambar di tengah badai. Serentak, mereka mengeluarkan seluruh uang
hasil jerih payah mereka. Melihat jumlah uang yang diterimanya cukup memuaskan.
Pria itu merasa sedikit lebih tenang, ledakan amarahnya seolah kobaran api yang
padam diguyur hujan lembut. Disisihkannya selembar uang hijau. Seperti biasa,
itu adalah uang makan bagi anak-anak yang akan diserahkan pada Denis. Pemuda
itu mengangguk. Kali ini ia tak banyak bicara, nyalinya benar-benar ciut
setelah Noel dihajar habis-habisan tanpa ampun oleh pria besar itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 24 Episodes
Comments
Fikri Aini
kejam
2023-02-09
0