NovelToon NovelToon

Hear My Wish

Chapter 1 - Senja

Noel menatap sekelilingnya. Pejalan kaki dan kendaraan bermotor mulai

memadati jalanan. Tak hanya itu, bising juga turut serta hadir. Dua hal yang

menjadi ‘ciri khas’ kota Jakarta  itu

benar-benar tak dapat dipisahkan.

Langit sudah terselimuti warna jingga dengan sempurna. Kilau keemasan dari

benda setengah lingkaran itu seolah menyapa semua orang untuk memandangnya.

Akan tetapi, adakah orang yang rela meluangkan waktunya sejenak, bahkan sedetik

untuk mengalihkan pandangannya, menatap mentari? Sayangnya, tidak ada. Tak

seorangpun yang peduli, tak terkecuali Noel.

Seterang apa pun matahari itu menyinari Noel, matanya tak kunjung melirik

ke arah langit. Ia terlalu sibuk mengamati keadaan sekitarnya, berharap peluang

keberuntungan hadir di tengah-tengah padatnya senja hari ini. Kedua tangannya

tak menggenggam selembar maupun sekeping uang, melainkan hanya debu dan

keringat.

Ia memejamkan kedua matanya. Daun telinganya dipegangnya, seakan-akan itu

dapat menambah ketajaman pendengarannya.

Tak diduga-duga, harapannya terkabul. Noel mendengar sesuatu terjatuh di sekitarnya,

terpantul satu sampai dua kali dengan suara lembut. Ia tahu persis, itu bukan

suara langkah kaki.

Matanya mengikuti komando telinganya. Warna coklat terang di matanya

terlihat begitu jelas, berkilau oleh sinar mentari senja dan berbinar penuh

harap. Tanpa rasa sungkan sedikit pun, tubuh mungilnya gesit bergegas

menyelinap di antara kerumunan di sisi trotoar. Tangan kotornya cepat

menjangkau dompet hitam yang tergeletak di trotoar itu seperti orang dehidrasi

yang menemukan air di tengah padang pasir.

Harapannya pupus seketika saat menyadari benda itu telah diambil oleh

seorang pria yang jauh lebih gesit dan cepat darinya. Wajahnya terlihat tak mau

kalah. Matanya membalas tatapan Noel dengan sombong dan penuh kemenangan.

Orang ini tak mungkin mengalah padanya dan tak mungkin dikalahkan olehnya.

Noel berbalik dengan lemas tanpa berkata apa pun.

Baru beberapa langkah meninggalkan tempat itu, tangan mungilnya yang kotor

dan penuh bekas luka ditarik oleh Sylvia. Noel sudah tak bertenaga lagi, ia

lelah batin dan fisik. Dibiarkannya seluruh badannya ditarik gadis itu.

Anak itu tahu persis ke mana ia akan dibawa gadis itu.

Gang kecil yang sepi, kotor, bau, dan gelap. Sebuah tempat yang jauh dari

kata ‘indah’, tempat yang tersembunyi dibalik gedung-gedung pencakar langit

Jakarta yang berdiri megah.

“Dapet berapa lo hari ini?” tanya gadis itu sambil berkacak pinggang.

Mulutnya terlalu berat untuk berucap. Noel merogoh kedua saku celananya hanya

untuk menunjukkan isinya yang masih bersih dan kosong melompong, tanpa uang

maupun benda berharga.

Sylvia mendecak-decakkan lidahnya sambil memegang dahinya, seperti seorang

ibu yang melihat anaknya setelah bermain lumpur sampai seluruh badannya kecoklatan.

Noel hanya tertunduk diam.

Gadis itu merogoh sakunya lalu memberikan anak itu beberapa lembar uang,

“Nih. Gue gak bisa kasih lebih, gue mau beli rokok,” kata gadis itu. Noel

menerima uang berjumlah lima puluh ribu yang diberikan padanya. Ini bukan hal

asing lagi bagi Noel, setiap kali ia gagal mencuri, Sylvia rela memberikan

sebagian hasilnya secara cuma-cuma, tanpa menagih balasan sama sekali.

“Pake acara diem lagi. Cepetan jalan, pulang! Lo mau dihajar bang

Gondrong?” bentak gadis itu, sampai-sampai bahu Noel terangkat karena

tersentak. “Pulang!” seruannya kali ini membuat Noel lari terbirit-birit

meninggalkan Sylvia, seolah gadis itu jauh lebih menakutkan dibandingkan pria

yang kerap disapa bang Gondrong itu.

***

“Cepetan! Duit! Duit!” Pria berambut pirang lusuh panjang itu menagih uang

hasil curian para anak jalanan yang tak lain adalah bawahannya. Mau tak mau,

anak-anak itu harus menyerahkan hasil jerih payah mereka pada pria bertubuh

kekar dan tegap itu.

Noel termenung sambil menatap bulan purnama dibalik kaca jendela yang sudah

pecah. “WOI!” teriak bang Gondrong tepat di telinga anak itu. Noel tersentak.

“Pake bengong lagi. Mana duit lo?! Kasih ke gue cepetan!”

Anak itu mengeluarkan seluruh uang dari sakunya.

“Cuma segini, ha?” Ia menampar lembaran kertas itu pada Noel. “APA-APAAN

INI?! INI MAH GUE JUGA BISA DAPET! LU PIKIR GUE BISA HIDUP PAKE UANG SEGINI?!”.

Anak itu hanya tertunduk diam, tak berani menatap pria yang sedang marah di hadapannya.

“AWAS KALO BESOK CUMA DAPET SEGINI! GUE PECAHIN NIH PALA!” bentaknya sambil

menoyor kepala Noel.

 “Dah, sono bubar lo pada!” perintah

bang Gondrong sambil mengayun-ayunkan tangannya, seolah mengusir anak-anak ayam

yang menghalangi jalan. Anak-anak pun bergegas keluar.

“Eh, Den! Den! Bentar, Den! Sini dulu”

Denis menoleh dan menghampiri bang Gondrong, “Kenapa bang?” tanyanya.

Pria itu mengeluarkan selembar uang berwarna hijau, “Nih, ambil. Buat lo

pada kalo mau jajan. Kalo nggak, ya, sisanya balikin lagi ke gue,” ucapnya

sambil mengulurkan uang itu.

“Lah? Bang, kalo cuma segini beli nasi putih dapet lima doang, bang! Kita

kan ada enam!”

“MASIH PROTES AJA LO! MASIH SYUKUR GUE KASIH!” bentak pria berlengan penuh

tato itu, “LO MAU KAGAK?!”

“Eh, iye, iye, bang! Maap!” Denis segera mengambil uang itu dan bergegas

pergi ke warung langganannya.

***

Sylvia duduk di teras rumahnya. Kakinya terangkat sebelah, sebuah puntung

rokok yang masih menyala terselip di antara telunjuk dan jari tengahnya. Tubuhnya

bersandar pada dinding, kedua mata gelapnya menatap langit bertabur bintang.

“Woi! Syl!”

Seruan itu membuyarkan lamunannya. Ia menoleh. “Nih, punya lo!” Denis

melemparkan sebuah bungkusan coklat ke arah gadis itu. Tangan halus gadis itu

reflek menangkapnya, tanpa mengucapkan ‘terima kasih’ pada Denis, ia langsung membuka

bungkusan itu.

Tepat seperti yang dipikirannya. Nasi putih tanpa lauk atau sayur apapun.

Noel hanya diam menatap sebungkus nasi yang baru saja dibuka oleh Sylvia.

Meski dirinya sangat lapar, ia tak beranjak dari tempatnya. Bahkan, mulutnya

tidak mengucapkan sepatah kata pun hanya untuk meminta.

 

 

Gadis itu baru saja makan sesuap nasi. Namun, ia sudah berdiri, beranjak

dari tempatnya.

Ia menghampiri Denis, anak lelaki yang tadi membagi-bagikan makanan pada

anak-anak jalanan lainnya. Diliriknya sebuah bungkusan plastik bening yang

masih berisi sebungkus nasi. Tanpa ragu, Sylvia mengambilnya lalu kembali ke

tempatnya.

“WOI! PUNYA GUE ITU!” seru Denis sambil mengejar Sylvia saat ia sadar

makanannya diambil.

Sylvia mengeluarkan bungkusan coklat itu dan melemparnya ke arah Noel.

“Nih, punya lo kan?” ia mengembalikan kantong plastik bening yang sudah

kosong pada Denis.

Raut wajah Denis berubah jengkel. “Eh, Syl, lo jangan mentang-mentang cewek

bisa seenaknya gitu di sini.” Ia bangkit dari duduknya.

“Gue cuma ngambilin punya si Noel kok,” jawab gadis itu sambil mendongakkan

kepalanya.

“Itu punya gue! Bukan Noel!”

“Punya lo? Terus tuh anak gak dikasih makan?”

“Ya, nggaklah! Gue tadi cuma dikasih dua puluh ribu selembar ama bang

Gondrong! Nasi putih harganya empat ribu! Dapetnya cuma lima!”

“Oh, gitu” Sylvia mengangguk-angguk lalu membalikkan badannya, bermaksud

untuk kembali melanjukan makan malamnya.

Denis menahan bahu Sylvia, “Eh, enak aja lo, main pergi gitu aja!”

tegurnya. “Balikin makanan gue! Lagian juga, kalo si Noel gak dapet makan yang

laper juga dia, bukan lo, kan?”

Sylvia membalikkan badannya, “Terus kalo gue mau kasih dia makan, lo mau

apa?” ia balik bertanya sambil berkacak pinggang. “Lo pasti ada uang lebih kan

hari ini?”

Gadis itu mengangkat alisnya. “Kan kalo lo ada uang lebih bisa beli nasi

buat si Noel!”

“Tapi sayang, gue udah biasa beli rokok kalo ada uang lebih” ucapnya tanpa

rasa bersalah, sambil kembali menghisap rokoknya.

Pemuda itu mendecak kesal, “Kebiasaan lo! Untung aja gue masih sabar kalo

ama cewek. Coba kalo lo cowok. Lo pasti udah gue bikin babak belur!”

“Oh gitu, ya? Bodo amat,” jawab gadis itu sambil pergi meninggalkan Denis.

Pemuda itu mendengus kesal. Namun apa daya, kesabaran dalam hati masih

merangkulnya erat-erat.

Sylvia kembali duduk, melemparkan puntung rokoknya yang sudah pendek, lalu

menginjaknya. Ia menoleh, memandang Noel sejenak lalu kembali melanjutkan makan

malamnya. “Bilang ‘makasih’ kek. Gue udah ambilin makanan lo juga,” katanya

dengan nada sedikit jengkel, menyadari anak ini terus bergantung padanya.

“Makasih,” ucap anak itu dengan nada datar, nyaris tak terdengar.

***

Semalam telah berlalu. Pagi ini, matahari bersinar terang. Bahkan,

hangatnya terasa meski terhalang kaca jendela dan gorden.

“Woi, Noel. Bangun!” Sylvia mengguncang-guncangkan tubuh mungil anak itu

yang masih terlelap. ‘Sial, anak ini

susah sekali bangun’  umpatnya dalam

hati. Gadis itu mengambil sebuah karet gelang. Diselipkannya telunjuk kiri di

tengah lingkaran karet itu. Lalu, dijepitnya ujung dari karet itu oleh ibu jari

dan telunjuk kanannya dan menariknya.

CTAK!

Noel tersentak, matanya terbelalak, jantungnya menggedor-gedor dadanya,

keringat dingin muncul dari tubuh kurusnya. Ia mengusap-usap kulitnya yang

merah dan pedas itu sambil mencari-cari apa yang barusan menamparnya dari alam

mimpi.

“Daritadi disuruh bangun, susah amat, sih!” Protes gadis itu sambil

memungut karet gelang yang terpelanting. Ia menggigit karet itu, sambil menata

rambut hitamnya yang kusam dan lusuh menyerupai ekor kuda dan menguncirnya.

Sepasang matanya kembali melirik Noel yang masih terbaring di atas tikar kotor

berwarna biru tua itu. Tak beranjak sama sekali.

Kesabaran gadis itu lagi-lagi diuji. Ia menghela nafas.

“WOI! BANGUN!” serunya sambil menendang-nendangi punggung anak itu.

Akhirnya, anak itu memutuskan untuk bangun meskipun sebenarnya ia masih

mengantuk. Ia merasa keputusannya lebih baik dilaksanakan sebelum gadis itu

meneriakinya lagi, membantingnya, atau mungkin bisa jauh lebih buruk dari itu.

Noel mengucek matanya dan berdiri.

***

Mencari uang tak kenal hari, tak kenal waktu, tak kenal cuaca. Entah panas,

hujan, ataupun angin kencang mengamuk, menyapu setiap tapakan, kaki-kaki kurus

ceking mereka tak akan beranjak dari jalan, demi mencari uang dalam bentuk apa pun.

Meski harus mencopet, memungut, dan meminta dengan wajah memaksa belas kasih,

mengais sampah. Apa pun mereka lakukan demi mendapat lembaran kertas

warna-warni yang disebut ‘uang’.

Tak jarang mereka pulang dengan tangan kosong, yang menyiratkan anak-anak

itu membawa kesialan dan musibah bagi dirinya sendiri. Seperti hukum rimba,

‘yang kuat menindas yang lemah’, predator akan menerkam, lalu memangsa

herbivora buruannya, meski makhluk itu tak berdosa. Begitu pula dengan

anak-anak jalanan ini, yang kecil dan lemah, rela tak rela, harus menyisihkan

uangnya demi yang besar dan kuat.

Anak-anak jalanan, tak sedikit lagu tentang mereka dinyanyikan agar banyak

orang dapat bersimpati pada mereka. Namun, apa yang mereka lakukan? Mereka

hanya mendengar dengan kedua mata tertutup rapat, tak dapat melihat realita

yang ada.

Pernah sekali mereka berharap bahwa semua ini hanyalah mimpi buruk saat

tidur dan menginginkan mimpi buruk itu tak datang lagi. Tapi seiring

berjalannya waktu, mereka sadar. Itu hanyalah angan-angan, sangat mustahil

untuk terkabulkan, seperti menginginkan kedua kaki ini menginjak awan putih di

langit biru cerah.

Kenyataan itu menyayat hati.

Itulah mengapa, tak ada satu pun anak yang berani menyakiti dirinya lagi

dengan berharap, meski hanya sesaat.

Chapter 2 – Taman Cattleya

Edwin melirik jam tangan yang melingkar di tangan kirinya, ‘Masih ada dua jam lagi’ gugamnya dalam

hati. Dengan earphone putih terpasang di kedua telinganya, ia kembali menatap layar notebook miliknya. Jari-jarinya siap untuk menekan tombol-tombol bertuliskan huruf di atasnya. Hampir lima menit berlalu, tapi pikirannya tak kunjung menyerukan ide agar pemuda itu bisa cepat menyelesaikan skripsinya. Ia menghela nafas sambil menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi yang didudukinya.

Padahal, situasi seperti inilah yang diinginkannya, berada di luar ruangan dengan keadaan sekitar yang relatif sepi dibanding tempat lainnya. Meskipun cuaca cukup terik, setidaknya pepohonan rindang melindunginya dari sinar matahari. Tak hanya itu, masih ada angin sepoi yang sesekali menerpa tubuhnya.

Dia benar-benar tidak menyadari kehadiran seorang anak berusia sekitar delapan tahun yang mengawasinya tak jauh dari bangku taman itu. Sepasang mata coklatnya berbinar penuh harap, memandang pemuda berambut coklat gelap dengan penampilan yang seratus delapan puluh derajat berbeda darinya. Kemeja putih bergarisnya tidak kusam, tak ada sedikit pun sobek di celananya, sepatunya hitam mengkilap seperti baru disemir.

Sudah terlihat sangat jelas, pemuda ini pasti orang kaya.

Lirikan sepasang mata coklat terang itu berpindah. Wajah polosnya tercengang menyadari apa yang ada di hadapannya. Peluang besar. Tanpa pengawasan, pemuda itu membiarkan salah satu harta bendanya terbaring di atas bangku taman. Noel tahu persis, handphone itu bisa berubah jadi uang kalau dijual. Jumlahnya akan sangat  besar, bahkan jauh lebih besar daripada jumlah uang yang ada di dompet.

Bagai seekor cheetah yang mengintai rusa buruannya, Noel mencermati gerak-gerik pemuda itu. Ia tampak begitu fokus dengan layar notebooknya. Kakinya mulai melangkah. Entah apa yang membuat anak ini begitu yakin kalau orang itu tidak akan menyadari kehadiran dirinya yang mendekat.

Tangan kecilnya sudah siap meraih benda itu.

Jaraknya tinggal hitungan milimeter saja. ‘Ayo, cepat ambil, Noel! Cepat!’ seru anak itu dalam hati pada dirinya sendiri. Saat jari-jarinya sudah hampir menyentuh layar, tiba-tiba pemuda itu menoleh. Wajahnya nampak teduh, menyiratkan bahwa dia orang yang ramah. Sekilas, ia nampak seperti seorang pangeran baik hati yang terkisah dalam dongeng-dongeng anak.

Meski Edwin tersenyum padanya, rasa takut dan cemas seketika menyelimuti Noel.

“Orangtua kamu di mana?” tanyanya sambil sedikit mendekati anak bertampang lusuh itu.

Noel justru bertambah takut, sepasang telinganya tak mengindahkan pertanyaan yang terlontar untuknya. Tubuh kecilnya mulai gemetaran. Hatinya semakin cemas. Bagamiana kalau orang ini tahu dia berniat mencuri?

Tanpa aba-aba dan komando, ia berbalik dan berlari sejauh mungkin dari Edwin, seperti predator yang tak menduga kalau mangsanya akan melawan.

Nafasnya tersengal, seolah akan habis sewaktu-waktu.

“Eh, bocah!”

Seruan itu membuatnya menoleh. Terlihat seorang bertubuh tegap dan kekar duduk dengan salah satu kakinya terangkat di atas motor biru terang. Ia mengenakan kaus hitam dengan rompi dan celana jeans sobek-sobek. Kumisnya tebal, terkalung rantai berwarna perak dilehernya, alisnya menukik tajam. “Lo abis maling disini, ya?” tampangnya seolah mengancam Noel untuk menjawab ‘ya’.

“Ini daerah gue!” tegasnya sambil memukul jok motor tanpa peduli siapa pemiliknya, “Mana duitnya?!” bentak pria berwajah sangar itu. Dengan nafas yang masih terengah, Noel mengeluarkan uang hasil jerih payahnya sejak pagi tadi dari kedua sakunya.

Seringai manis terlihat jelas di wajahnya, bagai serigala yang puas melihat buruannya tak berdaya. Diserahkannya seluruh lembaran kertas itu padanya.

Ia terkekeh senang, “Nah, gitu dong” Tangannya yang penuh tato menyambar uang itu, “Dah, sana lo pergi, hus hus!” usir preman itu sambil mengayunkan tangannya, seolah Noel adalah binatang liar yang mengganggunya.

***

Senja belum tiba. Masih ada harapan dan kesempatan baginya untuk mengais rezeki, walau jumlahnya tak akan cukup besar untuk menjadi setoran.

Meski angin terus menyemangatinya, Noel sudah putus asa.

Tak sengaja, ia menabrak seseorang dihadapannya. “Eh, lo kalo jalan pake mata dong!” tegur gadis yang baru saja ditabraknya. Gadis itu mengenakan kemeja kotak-kotak merah, rambutnya dikuncir seperti ekor kuda, wajahnya tak asing.

Sylvia...

Noel semakin tertunduk lesu.

“Eh, kenapa lo? Udah kayak orang mau mati aja,” Sylvia menepuk-nepuk pipi anak itu. “Kenapa, sih?” pertanyaannya terus memaksa Noel untuk menjawab.

“Noel dipalakkin” wajahnya cemberut.

“Hah?! Terus?”

“Duitnya Noel kasih semua”

“LO KASIH SEMUA?!”

Noel tak menjawab, ia sibuk menutup kedua matanya rapat-rapat. Ia tahu persis, gadis itu pasti naik pitam dan siap meninju wajahnya, sekalipun wajahnya memelas, meminta belas kasih.

Gadis itu menghela nafasnya. Beruntung nasib Noel, kali ini Sylvia bisa meredam amarahnya sesaat.

“Siapa yang malak lo? Dimana?” tanyanya sambil berkacak pinggang.

“Itu, abang-abang yang di parkiran taman”

Sylvia terdiam sejenak, ia berpikir. Taman. Taman yang dimaksud Noel pastilah taman Cattleya. Jaraknya tak jauh dari sini. “Sini, cepet kasih tunjuk gue orangnya,” Sylvia menarik tangan mungil anak itu.

Tak sulit mencari orang yang dimaksud Noel. Preman bertubuh kekar penuh tato itu sedang sibuk menghitung uang miliknya, mulutnya berkomat-kamit, menyebutkan nominal uang di tangannya. Baju yang dikenakannya tak terlalu lusuh, bahkan terbilang ‘masih bersih’ bila dibandingkan baju gadis itu. Sylvia menduga-duga, orang ini pasti baru jadi preman.

“Eh! Lo yang lagi ngitung duit!”

Pria itu menoleh, menatap Sylvia yang berkacak pinggang di hadapannya. Wajahnya yang seharusnya tampak cantik, manis, dan anggun terlihat sangat jauh dari tiga kata itu.

“Lo yang tadi malakin temen gue ya?!” bentak gadis itu, seolah tak peduli lawannya dua kali lipat lebih besar darinya.

“Temen?” Ia mengerinyitkan dahinya, lalu tertawa saat tersadar maksud gadis itu. “Jadi, lo temennya bocah yang tadi?” Tertawanya semakin keras, “Lo mau apa? Berantem? Ayo, sini! Lawan!”

Belum sempat pria itu selesai berbicara, Sylvia mengeluarkan sebuah pisau lipat dari sakunya. “Cepetan balikin duitnya kalo lo gak mau liat leher lo sobek”

‘Sialan. Dia bawa senjata!’ umpat pria itu dalam hati. Pria itu mencoba untuk tenang. Tentu saja dia tidak mau kalah. Kalah dengan gadis akan sangat memalukan baginya.

Tawa paksa keluar dari mulutnya. “Lo berani lawan gue? Lo gak tau gue siapa? Gue preman daerah sini!”

“Oh, lo mau gue panggilin temen-temen gue kemari, biar lo bisa ngerasain dikeroyok. Kebetulan temen-temen gue suka nongkrong sekitar sini, sih. Badannya ga jauh beda kok dari lo, gedenya sama. Terus kadang-kadang mereka suka bawa senjata. Ya, kayak gue ini lah”

‘Aduh! Gawat! Nih cewek nggak ada takut-takutnya sama sekali! Malah sekarang dia mau manggil temen-temennya!’

Menyadari ‘preman baru’ itu panik, gadis itu merasa menang darinya.

Pria berkaus hitam itu buru-buru menyisihkan uangnya dan memberikannya kepada Sylvia. “Nih, nih, ambil! Dah, sana lu, cepetan pergi!”

Sylvia menghitung jumlah uang itu. Tujuh puluh tiga ribu, persis seperti yang dikatakan Noel. Pria itu benar-benar takut akan pernyataan palsu Sylvia. Ia benar-benar mengira Sylvia itu bagian dari preman sekitar sini. Payah!

Mata coklat gelapnya melirik ke arah sisa lembaran uang yang dipegang pria itu.

“Duit lo kayaknya banyak juga”

“Enak aja lo! Gue kan udah balikin duit temen lo!”

Sylvia tersenyum, ditodongkannya pisau lipat itu ke arah pria berbadan kekar yang duduk di hadapannya. “Gue cuma minta dikit kok. Ya, paling gak setengahnya” tukasnya lancang.

Pria itu mendengus kesal. Ingin sekali rasanya ia mencabik-cabik gadis ini. Tapi sepertinya itu mustahil. Gadis ini punya orang-orang yang siap membantunya kalau-kalau ia melakukan itu, sedangkan dia sendiri? Dia orang baru di sini! Tentu saja tidak ada yang akan membantunya!

“Nih!” Pria itu menyerahkan setengah dari hasilnya dengan rasa tak ikhlas.

Gadis itu tersenyum puas. “Nah, gitu dong. Kalo lo baik gini sama gue kan enak jadinya. Oke, gue cabut dulu. Buat sekarang, lo aman”

Noel yang bersembunyi cukup jauh dari sana menunggu kedatangan Sylvia. Ia benar-benar tahu, gadis itu memang lihai dan cerdik. Gaya bicara dan kelakuannya sangat meyakinkan orang banyak kalau dia tak mengenal rasa takut. Tak seperti dirinya, ia sama sekali tak sepintar dan berani seperti Sylvia. Ia terlalu bodoh untuk hidup di lingkungan seperti ini.

“Nih, duit lo” Gadis itu menyodorkan uang yang baru saja didapatnya. “Lain kali kalo dipalak, lawan! Jangan tolol jadi orang!”

Tangan anak itu menyambut pemberian Sylvia.

“Diem aja lagi, bilang apa lo?”

“Makasih” ucap Noel sambil tertunduk.

***

Edwin menarik rem tangan dan mematikan mesin mobilnya. Menyelesaikan skripsi di taman ini seakan menjadi rutinitas baginya. Tapi siapa sangka, hari ini, ia datang dengan tujuan lain yang tersirat dalam pikirannya. Sejak kemarin, pikiran mahasiswa jurusan sosiologi ini terus terbelenggu dengan anak jalanan yang dijumpainya.

Diliriknya jam tangan, tepat jam dua belas siang.

Kalau dipikir-pikir, Edwin seharusnya tak di sini. Seharusnya ia sedang berada di mall bersama teman-temannya dalam sejuk dan nyaman, hanya sekedar untuk bercengkrama, memperkuat tali persahabatan, sambil menonton film yang dinantikan selama berminggu-minggu.

Tingkah laku manusia memang tak terbatas dan kadang di luar dugaan. Edwin justru lebih memilih menunggu anak jalanan yang tak jelas kabar dan kedatangannya itu. Padahal, tentu saja duduk diam di sini tanpa kepastian itu membosankan.

Menunggu di taman ini seperti gambling, mempertaruhkan waktu dan kesabaran. Tapi, keyakinan hati pemuda itu kuat. Jauh lebih kuat dari panas terik di siang bolong ini.

Sambil menjinjing sebuah kantong plastik putih di tangan kirinya, ia berjalan menuju bangku yang sama dengan yang ditempatinya kemarin. Pemuda itu memang selalu memilih duduk di sana, karena area di sekitarnya yang relatif sepi, bahkan di hari biasa, tidak ada orang disekitarnya. Tak heran, ia bisa membiarkan barang-barang berharganya bertebar tanpa takut hilang dicuri orang.

Nasib baik. Siang ini, keberuntungan berpihak pada Edwin.

Ia tak perlu menunggu sampai matahari membuat seluruh kulitnya terbakar, seperti tanaman-tanaman di ladang pada musim kemarau.

Anak yang dicarinya tepat berada di hadapannya, sedang duduk diam, menghitung lembaran demi lembaran uang miliknya. ‘Masih belun cukup’ Noel memejamkan kedua matanya dan menengadahkan kepalanya sambil bersandar pada kursi. Ia merasakan cahaya matahari yang tak menembus kelopak matanya. Keadaan sekitar menjadi gelap. ‘Jangan-jangan mau hujan?’

Noel membuka matanya, berniat untuk bergegas mencari tempat berteduh. Alangkah terkejutnya ia saat sadar ada seseorang di hadapannya.

“Kakak bikin kaget, ya? Maaf,” Edwin terkekeh pelan melihat tingkah lucu anak itu.

Dipandanginya pemuda itu dari atas sampai bawah. Rambutnya lurus berwarna coklat gelap, pakaiannya sangat bersih dan rapi, bahkan aromanya harum.

Noel terperanjat. Ia pernah melihat pemuda itu.

Jantungnya berdegup kencang. Keringat dingin mulai mengucur bersamaan dengan munculnya rasa takut dan cemas dalam dirinya. Yang ada dipikirannya hanya satu. Lari. Ia harus lari.

Meski wajahnya terlihat hampir tanpa ekspresi, anak ini cukup mudah dibaca. Gerak-geriknya seolah menjerit ketakutan. Edwin tahu, Noel takut padanya.

“Jangan takut,” bujuknya dengan senyum tipis, “Kakak tak berniat jahat kok”.

Percuma. Anak itu tak bisa ditenangkan dengan kata-kata. Peluhnya terus mengalir.

Edwin mengeluarkan sebuah bungkusan sterofoam dari plastik putih yang dijinjingnya, “Ini buat kamu” lalu menyodorkan benda itu pada Noel, “Ma-ka-nan,” ia mengeja kata-kata itu agar Noel mengerti maksudnya.

Noel tertegun.

‘Makanan? Orang ini memberiku makan?’

Dipandanginya pemuda itu sekali lagi. Wajahnya terlihat tulus, tanpa tersirat niat buruk di baliknya.

Rasa lapar seolah memaksa untuk mengambil makanan itu, mengalahkan rasa takut dan cemas dalam dirinya.

Kedua tangan mungil Noel perlahan menyambut makanan pemberian Edwin.

Aroma yang begitu sedap tercium saat bungkusan sterofoam itu dibuka. Sepasang mata coklat terang itu melebar, melihat apa yang ada di hadapannya. Seporsi mie goreng ayam. Makanan sederhana itu terlihat seperti makanan mewah dari sudut pandangnya.

Melihat anak itu hendak menyambar makanannya dengan tangan, Edwin cepat-cepat mengeluarkan sebuah sumpit, “Jangan pakai tangan, dong. Nih, pakai ini”.

Noel menoleh dan mengambil sumpit itu. Bentuknya dua bilah bambu kecil itu sudah tak asing lagi baginya. Ia sering menemukan benda itu tergeletak di tepi jalan atau di tempat sampah. Tapi, ia sama sekali tak tahu bagaimana cara menggunakannya. Selama hidupnya, ia hanya diajari untuk makan dengan tangan kanannya, tak lebih dari itu. Tanpa ada alat-alat bantu seperti itu.

Pemuda itu akhirnya berinisiatif. “Cara pakainya begini,” ia mengambil sumpit itu dari tangan Noel. Dengan mudah, ia menjepit sepotong ayam dan menyuapi anak itu. Lalu, Noel menirukan hal yang sama, namun gagal. Anak itu tertunduk. Tingkahnya persis seperti anak TK yang tak bisa menulis huruf dengan benar. Edwin berusaha menahan tawanya, lalu mengeluarkan sebuah sendok plastik.

“Kamu tahu cara pakai ini nggak?” tanyanya sambil memperlihatkan sendok itu pada Noel. Ia menggeleng. “Nah, kalau ini, cara pakainya begini. Nggak perlu dijepit” jelasnya. Kali ini, Noel bisa menggunakan alat bantu makan yang diberikan Edwin dengan mudah.

Anak itu mengayun-ayunkan kedua kakinya bergantian. Sudah terlihat jelas, meski tanpa senyuman. Noel merasa senang. Rasa takut dan cemasnya hilang tak tersisa lagi.

“Kamu namanya siapa?” tanya Edwin sambil sedikit menunduk.

“Noel” jawab anak itu singkat sambil terus mengunyah.

“Noel, ya... Noel tinggalnya di mana?”

Hanya suara dedaunan terbawa angin yang terdengar. Ia tak menjawab pertanyaan Edwin. Bagaimana bisa Noel menjawabnya? Dirinya tak tahu ia tinggal di mana. Tempat itu tak memiliki alamat yang jelas. Sekalipun ada alamat yang jelas tertulis di mulut gang, Noel tetap tidak tahu. Ia tak mahir membaca huruf-huruf yang terpampang di sana.

Seharusnya Edwin tahu. Berkomunikasi dengan Noel adalah hal yang sulit. Pertanyaan-pertanyaan itu bagaikan soal ujian bagi anak itu.

“Noel” panggil pemuda itu. Ia berusaha memecah keheningan dengan terus bertanya. Noel menoleh. “Orang tua kamu ada dimana?”

“Orang tua itu apa?” anak itu malah balik bertanya dengan wajah polos tak berdosa.

Ekspresi pemuda itu berubah. Ia terkejut. Itu bukan jawaban yang diharapkannya.

‘Begini buruknya kah menjadi anak jalanan? Sampai-sampai tak mengerti kata sederhana seperti itu?’

“Orang tua itu orang yang melahirkan Noel. Juga yang besarin Noel”

Anak itu mengangguk-angguk pelan tanda bahwa dirinya paham akan penjelasan yang dilontarkan Edwin, “Berarti, orang tua Noel itu bang Gondrong, Sylvia, Denis, Azri, Ryan, sama Galang itu orang tua Noel dong?”

“Kalo mereka itu teman-teman Noel. Orangtua itu cuma ada dua” kata Edwin sambil mengancungkan jari telunjuk dan tengahnya membentuk huruf V.

“Tapi mereka yang besarin Noel”

Edwin terdiam. Tiba-tiba hatinya merasa sedih. Anak ini bahkan tidak bisa membedakan arti teman dan orang tua, hanya karena ia dibesarkan oleh orang-orang asing yang tak memiliki ikatan darah dengannya.

“Noel kalau sudah besar mau jadi apa?” pemuda itu mendadak mengalihkan topik pembicaraan.

Noel termenung.

“Jadi tinggi sama besar” jawabnya.

Lagi-lagi Edwin menahan tawanya. Ia tak ingin menertawakan keinginan anak polos yang hampir tak mengerti apa-apa tentang dunia ini.

Dielus-elusnya kepala Noel.

“Ya, kamu tenang saja. Nanti itu pasti terkabul, kok”

Tak perlu menunggu lama, seporsi mie goreng itu sudah habis dilahap Noel.

“Noel mau pulang?”

Ia menggeleng.

“Noel nggak boleh pulang kalau uangnya masih sedikit”

“Biasanya Noel ngapain biar uangnya banyak?”

“Mencuri”

Edwin mengeluarkan selembar uang berwarna merah dari dompetnya.

“Ini buat Noel,” ucapnya sambil menyodorkan lembaran seratus ribu rupiah itu pada Noel.

Anak itu lagi-lagi terkejut. Diliriknya uang itu dan wajah Edwin. Seumur hidupnya, belum pernah ada orang yang rela memberikan uang sebanyak itu padanya secara cuma-cuma.

“Noel, mencuri itu nggak baik. Noel nggak boleh mencuri lagi, ya? Kalau Noel harus bawa pulang uang banyak, aku bisa kasih. Noel cuma perlu minta baik-baik. Oke?”

Tanpa banyak bicara, Noel mengangguk-angguk dan mengambil uang itu.

“Besok siang, Noel ke sini lagi, ya? Kak Edwin bawa makanan lagi buat kamu”

Chapter 3 - Januari

Warna jingga kemerahan menyelimuti langit kota Jakarta, kota dengan sejuta

kesibukan dan peluang kerja. Tak heran orang-orang dari desa banyak yang

merantau. Akan tetapi, sayang beribu sayang, semua keinginan tak dapat

terkabul. Cukup banyak dari mereka yang berakhir menyedihkan, terikat nasib

naas, sampai harus meminta-minta di tepi jalan. Tak jarang juga dari mereka ada

yang memutuskan untuk menjadi perampas hasil jerih payah orang lain.

Seiring berjalannya waktu, hal-hal seperti itu semakin berkembang.

Orang-orang dewasa yang gagal merantau lebih memilih sibuk bersenang-senang.

Banyak dari mereka yang menculik, memungut anak-anak yang terbuang di jalanan,

berserak seperti sampah. Lalu, dengan mudahnya dan tanpa rasa iba,

mengeksploitasi mereka. Memanfaatkan sifat mereka yang penurut, menguras tenaga

mereka demi mendapat uang untuk kepentingan dirinya sendiri. Berjudi,

bermabuk-mabukan, asalkan mereka senang!

Sungguh malang nasib anak-anak itu.

Edwin menghela nafas. Tak satupun dari sekian banyak kendaraan beroda empat

itu yang bergerak. Ya, memang ini bukan pemandangan asing lagi kalau tinggal di

Jakarta. Mengemudi di jalanan ibu kota butuh kesabaran ekstra. Kalau tidak

terjebak macet, pasti ada saja pelanggar lalu lintas yang melaju sesuka hati,

tanpa peduli keselamatan dirinya ataupun para pengemudi lain.

Pemuda itu termenung lagi. Tak ada hal lain selain tentang ‘anak jalanan’

yang hinggap dalam pikirannya. Sejak duduk di bangku SD, ia sudah membaca

banyak cerita beralur maju tentang mereka. Tak hanya itu, sudah cukup banyak

pula artikel dari berbagai sumber dibaca Edwin. Sampai saat ini, dia hanya bisa

berharap, bermimpi, memanjatkan doa bagi mereka yang berada di sana.

Mendadak lamunannya buyar oleh suara klakson mobil di belakangnya. Ia

buru-buru menyusul mobil-mobil di depannya yang berjarak cukup jauh darinya.

***

Wanita paruh baya bertubuh gempal itu berlari, tangannya tergopoh-gopoh

menarik pintu. “Eh, mas Edwin pulang. Mari, mas,” senyumnya berseri, “Bibi

buatkan teh dulu ya, mas!”. Hal itu memang tak asing lagi dilakukan oleh para

asisten rumah tangga saat menyambut kepulangan majikannya. Sama halnya seperti

bi Nara yang menyambut Edwin, anak bungsu majikannya.

“Eh, nggak usah, bi! Nanti Edwin bikin bibi repot. Bibi kan kerjaannya

banyak,” tolaknya halus.

Bi Nara menggaruk kepalanya. “Aduh, bibi jadi nggak enak, nih. Masa, Mas

Edwin pulang malam begini nggak bibi kasih apa-apa”

“Nggak apa-apa, Bi” ucap pemuda itu sambil menutup pintu rumahnya. “Tapi

bibi bisa masak buat besok kan?”

Ia  mengangguk-angguk, “Bisa, Mas.

Bisa! Mas mau bibi masakin apa?”

“Terserah Bibi, dong. Kan bibi yang masak” kata Edwin dengan nada riang,

seolah bersenda gurau dengan wanita paruh baya di hadapannya.

“Duh, jangan jawab gitu, Mas. Bibi jadi bingung”

Pemuda itu terkekeh pelan, “Ya udah, bibi masak makanan yang nggak bakal

basi kalo Edwin bawa sampai siang, atau mungkin sore.”

Senyum di wajah wanita itu perlahan pudar, menghilangkan ketampakan kedua

lesung pipit di ujung bibirnya. “Mas, kalau Mas Edwin mau kasih makan kucing,

nggak perlu pakai lauk. Pasti kucingnya cuma makan nasinya, Mas”

Mendengar penjelasan aneh yang keluar dari mulut lugu Bi Nara, Edwin

tertawa. “Bukan kucing kok, Bi. Pokoknya besok, bibi masakin yang enak ya, Bi!”

Ia mengancungkan jempolnya dan buru-buru menaiki tangga, meninggalkan wanita

bersanggul yang kebingungan itu sendirian.

“Mas Edwin aneh-aneh, deh” gumamnya pelan, “Masa mau kasih makan kucing

harus pakai lauk”. Kepala yang kuat menopang helaian rambut hitam bercampur putih

itu digeleng-gelengkannya. Ia mendecak-decakkan lidahnya.

Seharusnya, Bi Nara tak perlu heran seperti itu lagi. Edwin memang seorang

pribadi yang unik. Sejak kecil, rasa kepedulian dalam anak itu seolah tak

pernah surut seperti air laut pada periode tertentu. Selalu tinggi menjulang dan

kokoh bagai tebing. Tak dihiraukannya hujaman kritik dan sindiran tertuju pada

dirinya, Edwin selalu berbagi kasih tanpa pandang buluh, baik itu manusia atau

hewan. Hatinya selalu iba melihat derita makhluk hidup ciptaan Tuhan yang

dijumpainya.

Diliriknya jam kuno yang berdentang keras tujuh kali berturut-turut.

‘Waktunya makan malam’

***

Rintik-rintik hujan mulai turun, bagai seribu jarum jahit jatuh bersamaan.

Terdengar jelas suara decitan tikus got, berlari tergesa-gesa di tengah hujan

yang membasahi dirinya, mencari tempat berteduh.

“Eh, itu dia!” teriak salah seorang anak sambil menunjuk makhluk pembawa

penyakit itu. Meski tanpa alas kaki, ia berlari tanpa takut tergelincir di atas

tanah becek dan licin. Seorang anak lelaki lainnya menyusul bekas tapak kaki

langkahan Ryan. Tak mau kalah, ia mempercepat langkah kakinya. Seolah-olah,

mereka adalah dua ekor singa jantan yang bersaing mendapatkan seekor zebra di

padang rumput terbuka nan luas di Afrika.

Langkah Noel terhenti saat sebuah tangan menariknya. Ia menoleh,

memperlihatkan rambutnya yang mengkilap, basah kuyup terguyur air hujan.

“Cepetan makan!” suara itu menegurnya seperti gemuruh. Meski dirinya sedang

asyik bersaing dengan Ryan, mau tak mau ia mengalah sebelum pipinya ditinju

sampai lebam. “Giliran gak dikasih makan, langsung melas-melas sama gue” gumam

gadis berwajah masam itu sambil berkecak pinggang.

Ryan langsung cemberut, ingin sekali mulutnya ikut menyambar. Sayang, nyali

dalam dirinya terlalu kecil, persis seperti badannya. Ditingalkannya tikus yang

lari potang-panting tak tentu arah itu. Ia duduk di sebuah pos kecil yang tak

terawat, persis bersebelahan dengan Denis yang sibuk memetik satu per satu

senar gitar kecil jelek miliknya, memastikan nadanya benar.

“Kusut amat muka lo” ujar Denis sambil terus memetik senar-senar yang

hampir putus itu.

“Ryan kesel tau, bang!”

Tangannya berhenti memetik senar, disandarkannya gitar itu pada tiang pos,

“Kesel kenapa, sih?” tanya pemuda berambut cepak yang dipotong asal-asalan.

“Sylvia nyebelin banget! Masa Noel dimarah-marahin, padahal dia lagi asyik

main sama Ryan!” protes anak itu dengan lantang.

“Stt!” Denis memukul anak itu, memberinya isyarat untuk diam. “Pelan-pelan

dong ngomongnya! Nanti kalo dia denger gue juga ditonjokin!”

“Ih, payah bang Denis, nih! Masa takut sama cewek,” ledek Ryan sambil

tercengir-cengir.

“Ya, gue mah emang kagak mau ngelawan cewek. Kita ini cowok, bro! Tugasnya

cowok itu, buat lindungin cewek!”

“Halah”

“Emangnya lo berani?” Denis balik bertanya.

Seketika Ryan gugup, tangan kirinya menggaruk-garuki kepalanya. “Ya...

gimana ya...”

“Lo sendiri juga kagak berani, tuh!” Pemuda itu tercengir

nakal, seolah membalas ledekan Ryan.

***

Awan mendung menyelimuti langit, menghalangi pandangan

orang-orang untuk melihat mentari siang yang seharusnya bersinar terang. Warna

kelabu terlihat begitu dominan. Meski cuaca terlihat kurang mendukung Edwin

untuk bepergian ke luar, pemuda itu tetap menepati janjinya pada Noel.

Kapas-kapas kelabu itu seolah menggeleng-gelengkan kepalanya melihat mahasiswa

keras kepala ini. Padahal, sebentar lagi ia akan diguyur habis-habisan oleh

barisan awan-awan suram, disusul kilatan petir yang siap berseru, menyuruhnya

untuk pulang.

Sayang, usaha keras mereka nampak sia-sia belaka. Edwin

tak mengacuhkan ultimatum yang ditujukan padanya. Ia justru duduk di bangku

taman yang sama seperti hari-hari sebelumnya, meletakkan tas hitam disampingnya

dan menunggu kemunculan Noel.

Untungnya Noel datang tak lama setelah itu. Tubuhnya

dipenuhi keringat yang mengucur deras, bahkan lebih deras dari hujan semalam

yang mengguyur kota Jakarta.

“Datang juga,” gumam Edwin pelan. Ia tersenyum senang,

membuktikan pada para awan kelabu betapa kuat tekad dalam hatinya yang berakhir

terwujud.

 

 

Tangannya mengeluarkan sebuah kotak makan kecil berbahan

stainless steel yang mengkilap indah tanpa karat bagai perak.

Meski selalu tampil dengan ekspresi wajah hampir selalu sama, tanpa senyuman,

dengan tatapan mata tanpa makna, anak ini cukup mudah dibaca. Tentu saja,

hatinya merasa begitu bahagia. Kalau dia ini orang ekspresif, sudah pasti ia

akan meloncat-loncat sambil berteriak kegirangan, lalu memeluk Edwin, bagai

seorang yang terlantar lalu diselamatkan anggota tim SAR.

“Dihabiskan, ya?”

Anak itu mengangguk-angguk. Dibukanya tutup tempat makan itu dengan sangat

hati-hati, seolah benda itu adalah sarkofagus emas dari peradaban Mesir kuno. Matanya berbinar melihat makanan yang dirasanya

terlihat lebih mewah dari sebelumnya. Setengah porsi nasi putih, dengan dua

potong chicken katsu, lengkap dengan

sayur selada, tomat, dan sedikit parutan wortel dicampur lobak putih.

“Kalo dikasih makan, bilang makasih!

Jangan diem doang!”

Perkataan itu terngiang dalam benak Noel, seolah-olah Sylvia turut hadir,

berdiri didekatnya, hanya untuk sekedar mengingatkan anak itu bagaimana cara

bertata krama yang baik dengan sesama manusia, meski tingkah lakunya sendiri

jauh dari kata ‘sopan dan santun’.

“Kak... Edwin...”

Itu adalah kali pertamanya Noel memanggil nama pemuda

itu.

Mahasiswa berambut coklat gelap itu menoleh, menatap anak

yang menyebut namanya dengan sedikit tersendat. “Ya?” sahutnya.

“Makasih,” ucapnya pelan, nyaris tak terdengar, tanpa

mendongakkan kepalanya untuk saling beradu pandang, bertatap-tatapan untuk

beberapa detik.

Edwin tersenyum tipis, seolah menyiratkan balasan sepatah

kata dari Noel.

Sejenak ia terdiam, membiarkan angin sepoi menghembus

wajahnya, melambai-lambaikan rambut coklat gelap pendeknya, di tengah langit

kelabu. Terlintas di pikirannya, ia kemari bersamaan dengan tujuan lain, yang

seharusnya dijadikan tujuan utamanya. Noel memang tak bisa dijadikan

narasumber, seperti yang diperlukannya untuk mendapat berbagai ide pokok dan

informasi penting untuk menyelesaikan skripsinya.

Pemuda itu menghela nafasnya pelan-pelan. Meski dirinya

terlihat seperti orang santai yang hidup tanpa masalah, tapi sebenarnya

hidupnya rumit, serumit menyusun ratusan keping puzzle yang tercecer dimana-mana.

“Bagaimana

caranya bisa mendapat informasi kalau bukan dengan mewawancarai Noel?” gumamnya dalam hati.

Macam-macam ide dicarinya, bagai mencari berlian di tengah

sawah penuh pohon padi. Bukankah mustahil berlian itu bisa ditemukan di antara

lumpur? Kalaupun berhasil, bisa saja berlian itu dikira hanyalah sebuah batu

tak berharga.

Harapan dan semangat Edwin tak kunjung dibuang

mentah-mentah, dibakar sampai hilang jejaknya begitu. Ia terus berpikir.

“Kak... Edwin...?”

Panggilan itu membuyarkan konsentrasinya, melenyapkan bayangan sebuah

hamparan sawah penuh padi di antara lingkungan hijau pedesaan.

Edwin menoleh.

Noel menutup kotak silver mengkilap

itu dan mengembalikannya pada Edwin.

Rintik-rintik air mulai berjatuhan.

Mendadak, sebuah ide muncul. Berlian itu telah ditemukan dan dicuci

bersih-bersih sampai kilau beningnya terlihat lagi. Indah sekali.

“Noel mau pulang, ya?”

Noel menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Kenapa? Gerimis, lho,” Edwin mengangkat tangannya, menampung titik-titik

air hujan yang bermukim pada telapak tangannya.

Anak itu menunjukkan kedua saku celananya yang kosong melompong, tanpa

selembar uang maupun sekeping koin.

Edwin buru-buru mengeluarkan selembar kertas berwarna merah, lalu

disodorkannya uang itu pada Noel. “Segini cukup?”

Noel lagi-lagi tertegun. Bukan hanya sekali, tapi dua kali! “Orang ini sudah dua kali berturut-turut

menyuruhku datang kesini, hanya untuk menerima makanan dan uang! Tanpa harus

menyanyikannya sebuah lagu atau memasang ekspresi wajah memelas meminta belas

kasih,” pikir Noel di benaknya.

Ditariknya tangan kecil Noel. Edwin menaruh uang itu pada telapak tangannya

dan memaksa tangan itu berubah bentuk menjadi sebuah kepalan seperti batu.

“Pulang, ya! Sebentar lagi, pasti hujannya tambah deras. Nanti kamu sakit!”

bujukannya kali ini terdengar seperti paksaan yang terucap tanpa kekerasan

melainkan nada halus.

Mau tak mau, Noel akhirnya memutuskan untuk setuju. Akalnya tak bekerja

dengan sempurna. Noel tak berhak bersuara untuk memberontak. Ia hanya boleh

mendengar perintah dan menurutinya. Karena visi itu sudah ditanamkan dalam pikirannya

sejak kecil oleh orang-orang yang menguasainya.

Hujan turun semakin deras. Seharusnya Edwin cepat-cepat berlari, masuk

kembali dalam mobilnya, menyalakan mesin, menginjak pedal kopling dan gas, lalu

menuju arah pulang. Namun, kali ini ia melawan hujan, untuk pertama kali dalam

seumur hidupnya. Tanpa payung ataupun jas hujan, Edwin mengikuti Noel yang

berjalan beberapa meter lebih jauh darinya.

Sebuah jalan pintas menuju pemukiman kumuh.

Baunya benar-benar tak sedap. Pemandangannya juga sama sekali tak indah,

hanya ada sisa-sisa triplek kayu buangan dan tumpukan kantong-kantong plastik

penuh sampah yang beberapa di antaranya sudah bocor sampai isinya menyalip ke luar.

Kondisinya benar-benar tak layak dan jauh lebih buruk dari loteng rumahnya.

Debu dan kumpulan sarang laba-laba terlihat lebih baik, bukan begitu?

Langkahnya sudah terlalu jauh dari taman Cattleya, sedangkan hujan semakin

deras.

“Tidak, tidak! Sekarang belum waktunya untuk pulang!”

Entah bagaimana caranya, seketika Edwin berubah menjadi keras kepala, meski

itu akan berlangsung sesaat dan akan sirna setelahnya.

Meski tujuannya hanya bisa dilihat dari jauh, sepasang mata pemuda itu

dapat melihatnya dengan jelas. Alangkah terkejutnya ia. Tempat yang dianggap

Noel ‘rumah’ ini terlihat sangat memprihatinkan. Benar-benar tak layak untuk

ditinggali, tak peduli penduduknya itu manusia atau hewan.

Sayang, kali ini hujan menghalanginya untuk mengabadikan momen itu menjadi

sebuah foto.

Tak masalah. Mulai besok, dia akan melakukan hal yang

sama, atau mungkin dia bisa membujuk Noel agar anak itu bisa membiarkannya

ikut, dengan ataupun tanpa alasan.

***

Matahari pagi sudah terbit, sinarnya begitu hangat terasa menembus tirai

putih yang menggantung menutup jendela kamar Edwin. Meski langit terlihat biru

cerah, begitu kontras dari langit kelabu semalam, Edwin enggan beranjak dari

tempat tidurnya yang empuk. Bukannya ia berniat malas-malasan sepanjang hari.

Tubuhnya terasa begitu berat, tak hanya itu, kunang-kunang kecil memenuhi

pandangannya saat sepasang mata coklat itu dibukanya.

Tok... tok... tok...

Gema ketukan lembut itu berlalu, memanggut mengatakan permisi, hendak

berlalu di telinga Edwin. “Masuk” suara pemuda itu terdengar lebih sedikit

berat dari biasanya, seperti orang yang enggan bicara.

Pintu itu perlahan terbuka. Terlihat sosok wanita paruh baya bertubuh

gempal susah payah membawa sebuah nampan hitam mengkilap dengan secangkir teh

hangat dan sepiring roti dari balik celahnya. Diletakannya nampan itu pada meja

kecil di samping tempat tidur.

Tangannya memegang dahi anak bungsu majikannya hanya untuk merasakan

hangat.

“Aduh, mas Edwin demam,” Bi Nara memindahkan tangannya, meletakkan punggung

tangannya pada leher pemuda itu yang juga hangat. “Mas, sarapannya dimakan

dulu, ya? Bibi pergi ke apotik dulu, mau beli obat.”

Kedua tangan pemuda itu menopang tubuhnya untuk bangkit. Ia memaksakan

dirinya, hendak berdiri, meski rasanya hari ini seluruh tenaganya sirna, hilang

tanpa jejak, sehingga tubuhnya menjadi beban yang begitu berat. “Jangan, Bi!”

Ia menggelengkan kepalanya pelan-pelan meski terasa sedikit berdenyut, “Edwin

nggak usah dibeliin obat, bi” sepasang matanya yang terkesan letih menatap bi

Nara.

“Ah, iya. Anak ini memang paling susah kalau dibujuk

minum obat”

“Sakit kayak gini harus minum obat, Mas. Nanti demamnya tambah parah, lho.”

Bujukan itu terdengar begitu klasik di telinga Edwin. Sejak dirinya masih

kecil seperti Noel, hanya kalimat itu yang diucapkan Bi Nara kalau anak itu

menutup mulutnya rapat-rapat saat obat seharusnya sudah siap untuk ditenggak,

dan itu sudah cukup menghipnotisnya, memaksa pikirannya untuk mengangguk-angguk

setuju. Umurnya memang sudah menginjak kepala dua. Tapi tetap saja, lidahnya

menolak untuk bersentuhan dengan kaplet putih dengan rasa yang paling dibencinya,

pahit.

Lelaki muda itu tertunduk pasrah. Ia tak tahu harus mengeluarkan alasan

macam apa lagi. Wanita paruh baya ini sudah membuatnya kalah telak dalam

berargumen.

Bi Nara tersenyum, “Nah, bibi mau pergi dulu. Mas sarapan dulu, ya,”

pesannya sesaat sebelum bangkit dan beranjak ke luar.

“Hati-hati di jalan, Bi”

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!