Chapter 3 - Januari

Warna jingga kemerahan menyelimuti langit kota Jakarta, kota dengan sejuta

kesibukan dan peluang kerja. Tak heran orang-orang dari desa banyak yang

merantau. Akan tetapi, sayang beribu sayang, semua keinginan tak dapat

terkabul. Cukup banyak dari mereka yang berakhir menyedihkan, terikat nasib

naas, sampai harus meminta-minta di tepi jalan. Tak jarang juga dari mereka ada

yang memutuskan untuk menjadi perampas hasil jerih payah orang lain.

Seiring berjalannya waktu, hal-hal seperti itu semakin berkembang.

Orang-orang dewasa yang gagal merantau lebih memilih sibuk bersenang-senang.

Banyak dari mereka yang menculik, memungut anak-anak yang terbuang di jalanan,

berserak seperti sampah. Lalu, dengan mudahnya dan tanpa rasa iba,

mengeksploitasi mereka. Memanfaatkan sifat mereka yang penurut, menguras tenaga

mereka demi mendapat uang untuk kepentingan dirinya sendiri. Berjudi,

bermabuk-mabukan, asalkan mereka senang!

Sungguh malang nasib anak-anak itu.

Edwin menghela nafas. Tak satupun dari sekian banyak kendaraan beroda empat

itu yang bergerak. Ya, memang ini bukan pemandangan asing lagi kalau tinggal di

Jakarta. Mengemudi di jalanan ibu kota butuh kesabaran ekstra. Kalau tidak

terjebak macet, pasti ada saja pelanggar lalu lintas yang melaju sesuka hati,

tanpa peduli keselamatan dirinya ataupun para pengemudi lain.

Pemuda itu termenung lagi. Tak ada hal lain selain tentang ‘anak jalanan’

yang hinggap dalam pikirannya. Sejak duduk di bangku SD, ia sudah membaca

banyak cerita beralur maju tentang mereka. Tak hanya itu, sudah cukup banyak

pula artikel dari berbagai sumber dibaca Edwin. Sampai saat ini, dia hanya bisa

berharap, bermimpi, memanjatkan doa bagi mereka yang berada di sana.

Mendadak lamunannya buyar oleh suara klakson mobil di belakangnya. Ia

buru-buru menyusul mobil-mobil di depannya yang berjarak cukup jauh darinya.

***

Wanita paruh baya bertubuh gempal itu berlari, tangannya tergopoh-gopoh

menarik pintu. “Eh, mas Edwin pulang. Mari, mas,” senyumnya berseri, “Bibi

buatkan teh dulu ya, mas!”. Hal itu memang tak asing lagi dilakukan oleh para

asisten rumah tangga saat menyambut kepulangan majikannya. Sama halnya seperti

bi Nara yang menyambut Edwin, anak bungsu majikannya.

“Eh, nggak usah, bi! Nanti Edwin bikin bibi repot. Bibi kan kerjaannya

banyak,” tolaknya halus.

Bi Nara menggaruk kepalanya. “Aduh, bibi jadi nggak enak, nih. Masa, Mas

Edwin pulang malam begini nggak bibi kasih apa-apa”

“Nggak apa-apa, Bi” ucap pemuda itu sambil menutup pintu rumahnya. “Tapi

bibi bisa masak buat besok kan?”

Ia  mengangguk-angguk, “Bisa, Mas.

Bisa! Mas mau bibi masakin apa?”

“Terserah Bibi, dong. Kan bibi yang masak” kata Edwin dengan nada riang,

seolah bersenda gurau dengan wanita paruh baya di hadapannya.

“Duh, jangan jawab gitu, Mas. Bibi jadi bingung”

Pemuda itu terkekeh pelan, “Ya udah, bibi masak makanan yang nggak bakal

basi kalo Edwin bawa sampai siang, atau mungkin sore.”

Senyum di wajah wanita itu perlahan pudar, menghilangkan ketampakan kedua

lesung pipit di ujung bibirnya. “Mas, kalau Mas Edwin mau kasih makan kucing,

nggak perlu pakai lauk. Pasti kucingnya cuma makan nasinya, Mas”

Mendengar penjelasan aneh yang keluar dari mulut lugu Bi Nara, Edwin

tertawa. “Bukan kucing kok, Bi. Pokoknya besok, bibi masakin yang enak ya, Bi!”

Ia mengancungkan jempolnya dan buru-buru menaiki tangga, meninggalkan wanita

bersanggul yang kebingungan itu sendirian.

“Mas Edwin aneh-aneh, deh” gumamnya pelan, “Masa mau kasih makan kucing

harus pakai lauk”. Kepala yang kuat menopang helaian rambut hitam bercampur putih

itu digeleng-gelengkannya. Ia mendecak-decakkan lidahnya.

Seharusnya, Bi Nara tak perlu heran seperti itu lagi. Edwin memang seorang

pribadi yang unik. Sejak kecil, rasa kepedulian dalam anak itu seolah tak

pernah surut seperti air laut pada periode tertentu. Selalu tinggi menjulang dan

kokoh bagai tebing. Tak dihiraukannya hujaman kritik dan sindiran tertuju pada

dirinya, Edwin selalu berbagi kasih tanpa pandang buluh, baik itu manusia atau

hewan. Hatinya selalu iba melihat derita makhluk hidup ciptaan Tuhan yang

dijumpainya.

Diliriknya jam kuno yang berdentang keras tujuh kali berturut-turut.

‘Waktunya makan malam’

***

Rintik-rintik hujan mulai turun, bagai seribu jarum jahit jatuh bersamaan.

Terdengar jelas suara decitan tikus got, berlari tergesa-gesa di tengah hujan

yang membasahi dirinya, mencari tempat berteduh.

“Eh, itu dia!” teriak salah seorang anak sambil menunjuk makhluk pembawa

penyakit itu. Meski tanpa alas kaki, ia berlari tanpa takut tergelincir di atas

tanah becek dan licin. Seorang anak lelaki lainnya menyusul bekas tapak kaki

langkahan Ryan. Tak mau kalah, ia mempercepat langkah kakinya. Seolah-olah,

mereka adalah dua ekor singa jantan yang bersaing mendapatkan seekor zebra di

padang rumput terbuka nan luas di Afrika.

Langkah Noel terhenti saat sebuah tangan menariknya. Ia menoleh,

memperlihatkan rambutnya yang mengkilap, basah kuyup terguyur air hujan.

“Cepetan makan!” suara itu menegurnya seperti gemuruh. Meski dirinya sedang

asyik bersaing dengan Ryan, mau tak mau ia mengalah sebelum pipinya ditinju

sampai lebam. “Giliran gak dikasih makan, langsung melas-melas sama gue” gumam

gadis berwajah masam itu sambil berkecak pinggang.

Ryan langsung cemberut, ingin sekali mulutnya ikut menyambar. Sayang, nyali

dalam dirinya terlalu kecil, persis seperti badannya. Ditingalkannya tikus yang

lari potang-panting tak tentu arah itu. Ia duduk di sebuah pos kecil yang tak

terawat, persis bersebelahan dengan Denis yang sibuk memetik satu per satu

senar gitar kecil jelek miliknya, memastikan nadanya benar.

“Kusut amat muka lo” ujar Denis sambil terus memetik senar-senar yang

hampir putus itu.

“Ryan kesel tau, bang!”

Tangannya berhenti memetik senar, disandarkannya gitar itu pada tiang pos,

“Kesel kenapa, sih?” tanya pemuda berambut cepak yang dipotong asal-asalan.

“Sylvia nyebelin banget! Masa Noel dimarah-marahin, padahal dia lagi asyik

main sama Ryan!” protes anak itu dengan lantang.

“Stt!” Denis memukul anak itu, memberinya isyarat untuk diam. “Pelan-pelan

dong ngomongnya! Nanti kalo dia denger gue juga ditonjokin!”

“Ih, payah bang Denis, nih! Masa takut sama cewek,” ledek Ryan sambil

tercengir-cengir.

“Ya, gue mah emang kagak mau ngelawan cewek. Kita ini cowok, bro! Tugasnya

cowok itu, buat lindungin cewek!”

“Halah”

“Emangnya lo berani?” Denis balik bertanya.

Seketika Ryan gugup, tangan kirinya menggaruk-garuki kepalanya. “Ya...

gimana ya...”

“Lo sendiri juga kagak berani, tuh!” Pemuda itu tercengir

nakal, seolah membalas ledekan Ryan.

***

Awan mendung menyelimuti langit, menghalangi pandangan

orang-orang untuk melihat mentari siang yang seharusnya bersinar terang. Warna

kelabu terlihat begitu dominan. Meski cuaca terlihat kurang mendukung Edwin

untuk bepergian ke luar, pemuda itu tetap menepati janjinya pada Noel.

Kapas-kapas kelabu itu seolah menggeleng-gelengkan kepalanya melihat mahasiswa

keras kepala ini. Padahal, sebentar lagi ia akan diguyur habis-habisan oleh

barisan awan-awan suram, disusul kilatan petir yang siap berseru, menyuruhnya

untuk pulang.

Sayang, usaha keras mereka nampak sia-sia belaka. Edwin

tak mengacuhkan ultimatum yang ditujukan padanya. Ia justru duduk di bangku

taman yang sama seperti hari-hari sebelumnya, meletakkan tas hitam disampingnya

dan menunggu kemunculan Noel.

Untungnya Noel datang tak lama setelah itu. Tubuhnya

dipenuhi keringat yang mengucur deras, bahkan lebih deras dari hujan semalam

yang mengguyur kota Jakarta.

“Datang juga,” gumam Edwin pelan. Ia tersenyum senang,

membuktikan pada para awan kelabu betapa kuat tekad dalam hatinya yang berakhir

terwujud.

 

 

Tangannya mengeluarkan sebuah kotak makan kecil berbahan

stainless steel yang mengkilap indah tanpa karat bagai perak.

Meski selalu tampil dengan ekspresi wajah hampir selalu sama, tanpa senyuman,

dengan tatapan mata tanpa makna, anak ini cukup mudah dibaca. Tentu saja,

hatinya merasa begitu bahagia. Kalau dia ini orang ekspresif, sudah pasti ia

akan meloncat-loncat sambil berteriak kegirangan, lalu memeluk Edwin, bagai

seorang yang terlantar lalu diselamatkan anggota tim SAR.

“Dihabiskan, ya?”

Anak itu mengangguk-angguk. Dibukanya tutup tempat makan itu dengan sangat

hati-hati, seolah benda itu adalah sarkofagus emas dari peradaban Mesir kuno. Matanya berbinar melihat makanan yang dirasanya

terlihat lebih mewah dari sebelumnya. Setengah porsi nasi putih, dengan dua

potong chicken katsu, lengkap dengan

sayur selada, tomat, dan sedikit parutan wortel dicampur lobak putih.

“Kalo dikasih makan, bilang makasih!

Jangan diem doang!”

Perkataan itu terngiang dalam benak Noel, seolah-olah Sylvia turut hadir,

berdiri didekatnya, hanya untuk sekedar mengingatkan anak itu bagaimana cara

bertata krama yang baik dengan sesama manusia, meski tingkah lakunya sendiri

jauh dari kata ‘sopan dan santun’.

“Kak... Edwin...”

Itu adalah kali pertamanya Noel memanggil nama pemuda

itu.

Mahasiswa berambut coklat gelap itu menoleh, menatap anak

yang menyebut namanya dengan sedikit tersendat. “Ya?” sahutnya.

“Makasih,” ucapnya pelan, nyaris tak terdengar, tanpa

mendongakkan kepalanya untuk saling beradu pandang, bertatap-tatapan untuk

beberapa detik.

Edwin tersenyum tipis, seolah menyiratkan balasan sepatah

kata dari Noel.

Sejenak ia terdiam, membiarkan angin sepoi menghembus

wajahnya, melambai-lambaikan rambut coklat gelap pendeknya, di tengah langit

kelabu. Terlintas di pikirannya, ia kemari bersamaan dengan tujuan lain, yang

seharusnya dijadikan tujuan utamanya. Noel memang tak bisa dijadikan

narasumber, seperti yang diperlukannya untuk mendapat berbagai ide pokok dan

informasi penting untuk menyelesaikan skripsinya.

Pemuda itu menghela nafasnya pelan-pelan. Meski dirinya

terlihat seperti orang santai yang hidup tanpa masalah, tapi sebenarnya

hidupnya rumit, serumit menyusun ratusan keping puzzle yang tercecer dimana-mana.

“Bagaimana

caranya bisa mendapat informasi kalau bukan dengan mewawancarai Noel?” gumamnya dalam hati.

Macam-macam ide dicarinya, bagai mencari berlian di tengah

sawah penuh pohon padi. Bukankah mustahil berlian itu bisa ditemukan di antara

lumpur? Kalaupun berhasil, bisa saja berlian itu dikira hanyalah sebuah batu

tak berharga.

Harapan dan semangat Edwin tak kunjung dibuang

mentah-mentah, dibakar sampai hilang jejaknya begitu. Ia terus berpikir.

“Kak... Edwin...?”

Panggilan itu membuyarkan konsentrasinya, melenyapkan bayangan sebuah

hamparan sawah penuh padi di antara lingkungan hijau pedesaan.

Edwin menoleh.

Noel menutup kotak silver mengkilap

itu dan mengembalikannya pada Edwin.

Rintik-rintik air mulai berjatuhan.

Mendadak, sebuah ide muncul. Berlian itu telah ditemukan dan dicuci

bersih-bersih sampai kilau beningnya terlihat lagi. Indah sekali.

“Noel mau pulang, ya?”

Noel menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Kenapa? Gerimis, lho,” Edwin mengangkat tangannya, menampung titik-titik

air hujan yang bermukim pada telapak tangannya.

Anak itu menunjukkan kedua saku celananya yang kosong melompong, tanpa

selembar uang maupun sekeping koin.

Edwin buru-buru mengeluarkan selembar kertas berwarna merah, lalu

disodorkannya uang itu pada Noel. “Segini cukup?”

Noel lagi-lagi tertegun. Bukan hanya sekali, tapi dua kali! “Orang ini sudah dua kali berturut-turut

menyuruhku datang kesini, hanya untuk menerima makanan dan uang! Tanpa harus

menyanyikannya sebuah lagu atau memasang ekspresi wajah memelas meminta belas

kasih,” pikir Noel di benaknya.

Ditariknya tangan kecil Noel. Edwin menaruh uang itu pada telapak tangannya

dan memaksa tangan itu berubah bentuk menjadi sebuah kepalan seperti batu.

“Pulang, ya! Sebentar lagi, pasti hujannya tambah deras. Nanti kamu sakit!”

bujukannya kali ini terdengar seperti paksaan yang terucap tanpa kekerasan

melainkan nada halus.

Mau tak mau, Noel akhirnya memutuskan untuk setuju. Akalnya tak bekerja

dengan sempurna. Noel tak berhak bersuara untuk memberontak. Ia hanya boleh

mendengar perintah dan menurutinya. Karena visi itu sudah ditanamkan dalam pikirannya

sejak kecil oleh orang-orang yang menguasainya.

Hujan turun semakin deras. Seharusnya Edwin cepat-cepat berlari, masuk

kembali dalam mobilnya, menyalakan mesin, menginjak pedal kopling dan gas, lalu

menuju arah pulang. Namun, kali ini ia melawan hujan, untuk pertama kali dalam

seumur hidupnya. Tanpa payung ataupun jas hujan, Edwin mengikuti Noel yang

berjalan beberapa meter lebih jauh darinya.

Sebuah jalan pintas menuju pemukiman kumuh.

Baunya benar-benar tak sedap. Pemandangannya juga sama sekali tak indah,

hanya ada sisa-sisa triplek kayu buangan dan tumpukan kantong-kantong plastik

penuh sampah yang beberapa di antaranya sudah bocor sampai isinya menyalip ke luar.

Kondisinya benar-benar tak layak dan jauh lebih buruk dari loteng rumahnya.

Debu dan kumpulan sarang laba-laba terlihat lebih baik, bukan begitu?

Langkahnya sudah terlalu jauh dari taman Cattleya, sedangkan hujan semakin

deras.

“Tidak, tidak! Sekarang belum waktunya untuk pulang!”

Entah bagaimana caranya, seketika Edwin berubah menjadi keras kepala, meski

itu akan berlangsung sesaat dan akan sirna setelahnya.

Meski tujuannya hanya bisa dilihat dari jauh, sepasang mata pemuda itu

dapat melihatnya dengan jelas. Alangkah terkejutnya ia. Tempat yang dianggap

Noel ‘rumah’ ini terlihat sangat memprihatinkan. Benar-benar tak layak untuk

ditinggali, tak peduli penduduknya itu manusia atau hewan.

Sayang, kali ini hujan menghalanginya untuk mengabadikan momen itu menjadi

sebuah foto.

Tak masalah. Mulai besok, dia akan melakukan hal yang

sama, atau mungkin dia bisa membujuk Noel agar anak itu bisa membiarkannya

ikut, dengan ataupun tanpa alasan.

***

Matahari pagi sudah terbit, sinarnya begitu hangat terasa menembus tirai

putih yang menggantung menutup jendela kamar Edwin. Meski langit terlihat biru

cerah, begitu kontras dari langit kelabu semalam, Edwin enggan beranjak dari

tempat tidurnya yang empuk. Bukannya ia berniat malas-malasan sepanjang hari.

Tubuhnya terasa begitu berat, tak hanya itu, kunang-kunang kecil memenuhi

pandangannya saat sepasang mata coklat itu dibukanya.

Tok... tok... tok...

Gema ketukan lembut itu berlalu, memanggut mengatakan permisi, hendak

berlalu di telinga Edwin. “Masuk” suara pemuda itu terdengar lebih sedikit

berat dari biasanya, seperti orang yang enggan bicara.

Pintu itu perlahan terbuka. Terlihat sosok wanita paruh baya bertubuh

gempal susah payah membawa sebuah nampan hitam mengkilap dengan secangkir teh

hangat dan sepiring roti dari balik celahnya. Diletakannya nampan itu pada meja

kecil di samping tempat tidur.

Tangannya memegang dahi anak bungsu majikannya hanya untuk merasakan

hangat.

“Aduh, mas Edwin demam,” Bi Nara memindahkan tangannya, meletakkan punggung

tangannya pada leher pemuda itu yang juga hangat. “Mas, sarapannya dimakan

dulu, ya? Bibi pergi ke apotik dulu, mau beli obat.”

Kedua tangan pemuda itu menopang tubuhnya untuk bangkit. Ia memaksakan

dirinya, hendak berdiri, meski rasanya hari ini seluruh tenaganya sirna, hilang

tanpa jejak, sehingga tubuhnya menjadi beban yang begitu berat. “Jangan, Bi!”

Ia menggelengkan kepalanya pelan-pelan meski terasa sedikit berdenyut, “Edwin

nggak usah dibeliin obat, bi” sepasang matanya yang terkesan letih menatap bi

Nara.

“Ah, iya. Anak ini memang paling susah kalau dibujuk

minum obat”

“Sakit kayak gini harus minum obat, Mas. Nanti demamnya tambah parah, lho.”

Bujukan itu terdengar begitu klasik di telinga Edwin. Sejak dirinya masih

kecil seperti Noel, hanya kalimat itu yang diucapkan Bi Nara kalau anak itu

menutup mulutnya rapat-rapat saat obat seharusnya sudah siap untuk ditenggak,

dan itu sudah cukup menghipnotisnya, memaksa pikirannya untuk mengangguk-angguk

setuju. Umurnya memang sudah menginjak kepala dua. Tapi tetap saja, lidahnya

menolak untuk bersentuhan dengan kaplet putih dengan rasa yang paling dibencinya,

pahit.

Lelaki muda itu tertunduk pasrah. Ia tak tahu harus mengeluarkan alasan

macam apa lagi. Wanita paruh baya ini sudah membuatnya kalah telak dalam

berargumen.

Bi Nara tersenyum, “Nah, bibi mau pergi dulu. Mas sarapan dulu, ya,”

pesannya sesaat sebelum bangkit dan beranjak ke luar.

“Hati-hati di jalan, Bi”

Terpopuler

Comments

Fikri Aini

Fikri Aini

semangat

2023-02-09

0

Lewister

Lewister

bukan kucing bibi 😭

2023-01-28

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!