Aku Putri Seorang Pelakor
"Bu, aku ingin melanjutkan kuliah" pintaku pada wanita dengan rambut beruban yang disanggul, saat beliau baru saja memulai makan malamnya.
"Gak usah, mending kamu bantu diwarung, atau bantu Mang Joko cari rumput!" ucapnya tanpa menatapku walau sejenak. Sibuk dengan sendok ditangannya.
"Aku sudah dapat biayanya Bu, mungkin butuh sedikit lagi akan terkumpul, tinggal izin dari Ibu."
Aku harap beliau mengerti, betapa aku ingin mengenyam pendidikan itu. Sudah satu tahun sejak aku lulus SMA, dan aku sudah menabung dengan bekerja diberbagai tempat. Mulai dari laundry, konter, sampai warung makan, hingga akhirnya biaya untuk kuliah sebentar lagi terkumpul.
Karena penolakan ibu saat aku baru lulus SMA, aku memutuskan menabung. Berharap jika ibu akan mengizinkan jika aku mendaftar kuliah dengan uangku sendiri.
Sebenarnya, bukan uanglah alasan ibu melarangku. Karena ibu bahkan memiliki peternakan kambing yang besar didesa ini. Bukan hanya itu, bahkan ibu memiliki toko kelontong dan sawah yang luas. Bisa dibilang, ibu adalah juragan kampung yang tersohor.
Entah apa alasan pastinya, aku tidak tahu hingga saat ini. Padahal Mira, adik perempuanku yang berbeda satu bulan denganku itu diizinkan kuliah. Jangan tanya kenapa kami hanya berbeda satu bulan, karena akupun tak tahu alasannya hingga sekarang.
Prank!
Beliau meletakan sendoknya dengan kasar, menatapku dengan nyalang.
"Jangan keras kepala, kalau Ibu bilang gak usah itu artinya gak usah! Kamu mau durhaka sama ibu dengan kekeuh kuliah?" Nada suaranya terdengar meninggi, beliau menatapku dengan penuh amarah.
"Benar tuh, tinggal nurut kata ibu aja apa susahnya sih!" celetuk Mira, gadis yang sudah satu tahun kuliah itu langsung menyerobot paha ayam diatas meja.
Seharusnya jika ibu mengizinkan, kami yang sejak kecil selalu satu kelas bisa kuliah ditahun yang sama. Sayangnya hanya Mira yang diizinkan, sementara tidak denganku.
"Gimana nilaimu dikampus?" tanya ibu dengan antusias pada Mira, seakan melupakan keberadaanku. Kemarahan ibupun sirna begitu saja.
"Bagus dong Bu" jawab Mira dengan percaya diri, lantas duduk dan mengunyah paha ayamnya.
"Bukan begitu Bu, tapi Mas Rian dan Mira saja boleh kuliah, kenapa aku enggak?" Kusela obrolan mereka dengan pertanyaan yang sudah lama kupendam, setelah sekian lama aku menahannya. Dada ini bahkan sudah mulai terasa sesak, menahan air mata didepan ibu.
Entah benar atau tidak, sejak kecil aku merasa perlakuan ibu padaku berbeda dibanding pada Mira dan Mas Rian, kakak kami yang berbeda 15 tahun. Padahal, jika memikirkan jarak lahirku dan Mira, bukankah kami bisa diperlakukan seperti anak kembar?.
Jangankan soal kuliah, bahkan pakaian yang kukenakan tak ada yang baru. Semuanya adalah bekas milik Mira, dan juga beberapa kaos milik Mas Rian.
Berapa banyakpun yang mereka minta, ibu langsung memberikannya tanpa mereka perlu berucap dua kali. Mereka begitu dimanja, layaknya seorang anak juragan pada umumnya.
Berbanding terbalik denganku, yang saat itu masih kelas 1 SD, harus menangis dan mengerjakan pekerjaan rumah tangga sebulan penuh sebelum ibu memberikan uang untuk membeli sepatu baru. Itupun terpaksa, karena saat itu sepatu Mira dan Mas Rian sudah terlalu rusak.
Dan hal itu terjadi sampai sekarang, aku harus melakukan sesuatu untuk mendapatkan apa yang ku inginkan. Misalnya membantu Mang Joko, tukang rumput yang mencari rumput untuk kambing-kambing ibu. Atau ikut bekerja di toko kelontong ibu yang selalu ramai, juga membantu pekerja ibu yang bekerja disawah.
Meskipun seiring usia, pada akhirnya aku lebih memilih bekerja diluar untuk mendapatkan uang, hingga akhirnya memiliki sebuah motor matic bekas yang kubeli dari warga satu desa yang menjualnya dengan harga cukup murah.
"Ya karena Mas Rian pintar, dan sekarang sukses jadi orang kantoran dikota. Dan aku bukan hanya pintar, tapi juga cantik jadi mungkin bisa dapet suami kaya. Lah kamu? Gak pintar apalagi cantik, memangnya apa yang akan kamu dapatkan dari kuliah? Yang ada cuman buang-buang uang!" ucap Mira.
Aku menunduk dalam, karena semua yang dia katakan benar. Nilaiku hanya standar rata-rata, wajahkupun terlalu pas-pasan untuk disebut cantik. Tapi, apa salah jika aku juga ingin mengenyam bangku kuliah?.
Aku menatap ibu, berharap beliau mengucapkan kalimat yang mendukungku, sayangnya semua itu hanya angan belaka.
"Benar apa yang Mira katakan, lebih baik kamu cari kerja yang gajinya tinggi atau cari suami."
"Cari kerjaan dengan ijazah SMA sekarang susah Bu, dan untuk nikah aku belum pengin nikah muda" jawabku membela diri, berharap ibu mau mengerti.
"Terserah kamu, kalau kamu mau jadi anak durhaka, silahkan kuliah atau apapun semaummu!" ucap ibu dan beranjak dari kursinya, masuk kedalam kamar begitu saja, bahkan tanpa menyelesaikan makanannya yang bisa dibilang masih utuh.
"Liat tuh, Ibu gak jadi makan malam gara-gara kamu, dasar gak tau diri!" Mira yang sudah menyelesaikan makanannya, masuk kedalam kamarnya.
Benar, aku salah karena bicara saat ibu sedang makan. Harusnya aku bisa menahannya hingga beliau selesai.
Aku hanya bisa menghela nafas sejenak, berharap sabar atas penolakan ibu yang kedua kalinya. Aku memilih menyusul ibu kedalam kamar setelah membereskan meja makan, dengan membawa makan malam untuk beliau, juga teh herbal yang rutin beliau minum seminggu sekali.
Terlihat ibu tengah terbaring miring dengan mata terbuka, namun tak bergeming melihat kedatanganku.
"Maafin Khansa Bu, Khansa janji gak akan minta kuliah lagi. Tapi kalau soal nikah, Khansa gak mau buru-buru, biar bisa urus ibu lebih lama" ucapku saat beliau justru bergerak membelakangiku.
"Sekarang ibu makan dulu ya, jangan gak makan karena omongan Khansa" ucapku merasa bersalah. Meskipun ketidak setujuan ibu membuatku kecewa untuk yang kesekian kalinya, aku tetap tak ingin beliau tertidur dalam keadaan lapar.
"Atau paling tidak minum teh herbalnya ya Bu?"
Ibu masih tak bergeming sedikitpun, padahal aku tau beliau mendengar setiap ucapanku. Kuambil nafas dalam dan menghembuskannya, mencoba bersabar dan bersabar, aku mulai mengambil minyak urut untuk memijat kaki ibu sebelum tidur seperti biasa.
Wanita dengan wajah yang mulai berkeriput itu tak akan bisa tidur sebelum dipijat. Karena faktor usia membuat tubuhnya mudah pegal-pegal.
Beliau tak menunjukkan penolakan, aku cukup senang berharap ibu memaafkanku.
Setelah merasa ibu sudah terlelap saat nafasnya terdengar teratur, aku menyelimutinya hingga sebatas bahu, kemudian keluar dari kamar beliau dengan pelan.
Masuk kedalam kamarku, kubuka buku tabunganku yang berada dibawah tempat tidur. Menghela nafas pelan saat teringat penolakan ibu.
"Sebenarnya kenapa aku tidak boleh kuliah, Bu?. Bukankah anak bodoh sepertiku juga berhak kuliah?" gumamku menahan kekecewaan yang serasa menumpuk dalam dada, memutuskan tidur membawa perasaan yang berkecamuk.
Bersambung.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 30 Episodes
Comments