Pagi buta aku sudah bangun seperti biasa, memulai hari dengan dua rakaat sholat kemudian mengerjakan pekerjaan rumah tangga.
Jangan tanya soal asisten rumah tangga, karena meski kami bisa disebut orang berpunya, ibu sama sekali tidak berniat menggunakannya.
"Kan ada kamu, ngapain bayar pembantu?" ucapnya kala kutanyai tempo lalu.
Akupun tak keberatan, toh pekerjaan rumah adalah tugas penghuni rumah. Setelah selesai memasukan pakaianku kedalam mesin cuci, aku menuju kamar ibu untuk mengambil pakaian kotornya. Namun, tangan yang semula berniat mengetuk pintu terhenti saat kudengar suara isak tangis dari dalam kamar.
Kurapatkan telinga pada daun pintu, hingga akhirnya aku yakin jika ibu sedang menangis. Ingin kubuka pintu segera, hingga suara disela isak tangisnya terdengar.
"Sampai kapan aku harus hidup dengan luka yang kamu berikan Mas?"
Tangisan ibu semakin menjadi, namun yang bisa kulakukan hanya menunggu ditempat hingga tangisannya reda. Aku tak tahu apa yang ibu maksud, tapi aku yakin ibu butuh waktu untuk meluapkan perasaannya saat ini.
"Sampai kapan aku harus hidup dengan anak dari selingkuhanmu itu? Kenapa kamu malah memilih pergi bersamanya dibanding membawaku bersamamu Mas?"
Aku cukup terkejut dengan perkataan ibu, selama 19 tahun hidupku, aku baru tau jika ayah pernah selingkuh. Selama ini baik Mira, Mas Rian ataupun ibu sendiri tak pernah mengatakannya. Sehingga aku hampir tak mempercayai apa yang kudengar.
Tak mungkin bukan ibu berbohong bahkan saat sendiri?
"Apa kamu tau, betapa terlukanya aku setiap melihat wajah Khansa yang begitu mirip dengan selingkuhanmu. Apa kamu tau, seberapa besar keinginanku untuk menyusulmu setiap kali melihatnya?"
Deg!
Apa maksud ibu? Kenapa ibu menyebut namaku?.
Perkataan ibu kali ini membuat tubuhku hampir limbung jika tanganku tak sigap berpegangan pada dinding, jantungku berdetak dengan kencang mendengar kalimat barusan.
Aku, anak dari selingkuhan ayah? Apa itu artinya aku bukan anak kandung ibu?. Aku menggeleng cepat, berusaha berpikir positif jika aku salah dengar. Namun akal sehatku menyadarkan, jika setiap kata yang terucap dari mulut ibu terdengar begitu jelas.
"Jika bukan karena cinta yang kumiliki untukmu, sudah sejak lama aku membuangnya, atau membuatnya menyusul kalian. Sayangnya, cintaku terlalu besar untuk membunuh darah dagingmu itu!"
Aku membekap mulut yang hampir bersuara mendengarnya, mata ini terasa mengembun saat ibu berucap dengan suara gemetar dan isak sesenggukan.
Aku shok, benar-benar shok dengan fakta yang hampir tak ingin kupercaya. Aku hanya anak dari selingkuhan ayah? Inilah alasan kenapa ibu selalu memperlakukanku berbeda dibanding kedua saudaraku?.
Tidak! Mereka bahkan hanya saudara tiriku. Aku, hanyalah seorang anak yatim piatu yang ingin ibu bunuh karena terlahir dari rahim wanita yang membuat suaminya berpaling.
Tiba-tiba, aku teringat masa kecilku, dimana teman sebayaku dan juga orang-orang dilingkungan kami selalu menyebutku anak haram.
"Kasihan ya Bu Fatma, harus besarin anak haram suaminya"
"Dasar anak haram, kenapa gak mati aja sih ngikut orang tuanya?"
Aku tak mengingat dengan jelas diumur keberapa aku mendapatkannya, tapi yang kuingat ibu selalu membawaku masuk setiap ada yang mulai menggunjingku.
Mas Rian dan Mirapun tak pernah mengajakku bermain, mereka bahkan mengacuhkanku dengan bermain bersama teman-temannya.
Aku sejak kecil tak memiliki satupun teman, mereka menjauhiku untuk alasan yang tak kuketahui saat itu. Jadi inilah alasan mereka yang sebenarnya?. Dan inilah alasan kenapa aku dan Mira hanya berjarak satu bulan, karena kami tidak terlahir dari rahim yang sama.
"Sudah terlalu lama aku menahan doa yang selalu ingin kupanjatkan, tapi tidak sekarang. Jika membunuhnya membuatku berdosa, maka aku berdoa agar dia cepat menyusul kalian! Berdoa agar dosa yang kalian perbuat dibayar olehnya!"
Tubuhku mundur perlahan mendengar kalimat selanjutnya, menatap pintu yang masih tertutup itu.
Ibu, mengharapkan kematianku. Kematian anak dari selingkuhan suaminya. Mengharapkanku mendapat karma dari perbuatan orang tuaku.
Kenapa? Kenapa aku harus mendengar semua ini? Bukankah lebih baik aku tidak mengetahui hal ini untuk selamanya? Setidaknya walau aku harus cemburu melihat perhatian ibu pada dua anaknya, aku tak harus terluka mengetahui aku hanya anak seorang pelakor.
Aku berusaha baik-baik saja, menghapus cepat air mata yang sudah membasahi pipi ini. Kembali kedapur untuk melanjutkan pekerjaan, bersikap seolah tak mendengar apa-apa.
"Aku tidak mendengar apa-apa" gumamku pada diri sendiri.
Yah, tidak ada yang bisa kulakukan selain berpura-pura tidak tahu. Karena aku tak siap jika ibu mengusirku setelah tau aku mendengar ucapannya.
Bukan karena khawatir tidak memiliki tempat tinggal, aku hanya sudah terlalu menyayanginya sebagai seorang ibu kandung. Meskipun beliau mengharapkan kematianku, aku tau jika ibu terbawa emosi, itu harapanku.
Mengetahui kebenarannya tak membuatku ingin mencari tau siapa wanita yang telah melahirkanku, karena yang perlu kuingat hanyalah wanita itu adalah wanita yang membuat ibu terluka. Wanita yang berzina dengan pria bersuami, dan aku membencinya!.
Mencoba menetralkan emosi yang kini campur aduk, kulanjutkan beres-beres hingga mentari mulai terlihat. Aku mulai memasak makanan kesukaan ibu, juga sup ayam.
Baru juga wadah nasi yang masih mengepul kuletakan diatas meja, saat tangan yang sangat kuhafal milik siapa menyerobot secentong nasi dan lauk kemudian meletakkannya diatas piring, memasukannya kedalam mulutnya.
"Ibu belum makan Mira" tegurku pada gadis yang sudah berdandan cantik siap berangkat kekampus itu.
Jika biasanya aku akan menegur dengan nada cukup tinggi, kali ini aku hanya bicara dengan suara rendah. Karena aku baru menyadari, betapa baiknya sikap mereka pada anak seorang pelakor sepertiku.
Sikap mereka yang ketus dan suka seenaknya sendiri, adalah sikap terbaik yang diterima seorang anak pelakor yang hanya bisa menjadi parasit dalam keluarga mereka.
Bahkan, Mas Rian sama sekali tidak pernah mengatakannya, padahal aku yakin kakak laki-lakiku yang sudah berkeluarga dan tinggal diluar kota itu mengetahuinya. Entah dengan Mira, mungkinkah dia juga tau, atau Mas Rian dan ibu merahasiakan hal ini pada Mira juga?. Tapi mengingat sikapnya padaku, aku yakin dia sudah tau.
Entahlah, tapi sesungguhnya aku merasa menyesal, kenapa aku tidak mati saja saat pelakor itu melahirkanku, hingga aku harus hidup dengan membuat luka pada ibu dan kedua anaknya.
Namun, aku juga merasa bersyukur, karena aku memiliki seorang ibu tiri yang lebih baik dari ibu kandungku sendiri, seorang wanita yang tega menghancurkan rumah tangga wanita lain tentu pasti memiliki sifat yang buruk. Dan pastinya berbanding terbalik dengan ibu yang selama ini mau merawatku meskipun membenci orang tuaku.
"Udah gak papa, Mirakan sedang belajar, jadi dia harus makan makanan bergizi biar otaknya semakin cerdas." Ibu yang baru keluar dari kamar setelah sholat Dhuha nya tersenyum pada Mira dan duduk disamping putrinya itu.
Ah andai saja aku terlahir dari rahimmu Bu, mungkin aku akan sangat bahagia.
"Tuh dengerin!" Mira berucap dengan mulut penuh.
Aku diam, tak berniat menyanggahnya, kemudian mengambil nasi dan lauk untuk ibu lalu beranjak kedapur.
"Mau kemana kamu?" tanya ibu membuatku menoleh.
"Mau jemur cucian dulu" jawabku, mengucapkan kebohongan untuk pertama kalinya.
Bersambung.
Hai! Hai! sama yang udah mampir 👋👋jangan lupa tekan like dan subscribenya ya...♥️♥️♥️
Emuach😘
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 30 Episodes
Comments