"Bu, aku ingin melanjutkan kuliah" pintaku pada wanita dengan rambut beruban yang disanggul, saat beliau baru saja memulai makan malamnya.
"Gak usah, mending kamu bantu diwarung, atau bantu Mang Joko cari rumput!" ucapnya tanpa menatapku walau sejenak. Sibuk dengan sendok ditangannya.
"Aku sudah dapat biayanya Bu, mungkin butuh sedikit lagi akan terkumpul, tinggal izin dari Ibu."
Aku harap beliau mengerti, betapa aku ingin mengenyam pendidikan itu. Sudah satu tahun sejak aku lulus SMA, dan aku sudah menabung dengan bekerja diberbagai tempat. Mulai dari laundry, konter, sampai warung makan, hingga akhirnya biaya untuk kuliah sebentar lagi terkumpul.
Karena penolakan ibu saat aku baru lulus SMA, aku memutuskan menabung. Berharap jika ibu akan mengizinkan jika aku mendaftar kuliah dengan uangku sendiri.
Sebenarnya, bukan uanglah alasan ibu melarangku. Karena ibu bahkan memiliki peternakan kambing yang besar didesa ini. Bukan hanya itu, bahkan ibu memiliki toko kelontong dan sawah yang luas. Bisa dibilang, ibu adalah juragan kampung yang tersohor.
Entah apa alasan pastinya, aku tidak tahu hingga saat ini. Padahal Mira, adik perempuanku yang berbeda satu bulan denganku itu diizinkan kuliah. Jangan tanya kenapa kami hanya berbeda satu bulan, karena akupun tak tahu alasannya hingga sekarang.
Prank!
Beliau meletakan sendoknya dengan kasar, menatapku dengan nyalang.
"Jangan keras kepala, kalau Ibu bilang gak usah itu artinya gak usah! Kamu mau durhaka sama ibu dengan kekeuh kuliah?" Nada suaranya terdengar meninggi, beliau menatapku dengan penuh amarah.
"Benar tuh, tinggal nurut kata ibu aja apa susahnya sih!" celetuk Mira, gadis yang sudah satu tahun kuliah itu langsung menyerobot paha ayam diatas meja.
Seharusnya jika ibu mengizinkan, kami yang sejak kecil selalu satu kelas bisa kuliah ditahun yang sama. Sayangnya hanya Mira yang diizinkan, sementara tidak denganku.
"Gimana nilaimu dikampus?" tanya ibu dengan antusias pada Mira, seakan melupakan keberadaanku. Kemarahan ibupun sirna begitu saja.
"Bagus dong Bu" jawab Mira dengan percaya diri, lantas duduk dan mengunyah paha ayamnya.
"Bukan begitu Bu, tapi Mas Rian dan Mira saja boleh kuliah, kenapa aku enggak?" Kusela obrolan mereka dengan pertanyaan yang sudah lama kupendam, setelah sekian lama aku menahannya. Dada ini bahkan sudah mulai terasa sesak, menahan air mata didepan ibu.
Entah benar atau tidak, sejak kecil aku merasa perlakuan ibu padaku berbeda dibanding pada Mira dan Mas Rian, kakak kami yang berbeda 15 tahun. Padahal, jika memikirkan jarak lahirku dan Mira, bukankah kami bisa diperlakukan seperti anak kembar?.
Jangankan soal kuliah, bahkan pakaian yang kukenakan tak ada yang baru. Semuanya adalah bekas milik Mira, dan juga beberapa kaos milik Mas Rian.
Berapa banyakpun yang mereka minta, ibu langsung memberikannya tanpa mereka perlu berucap dua kali. Mereka begitu dimanja, layaknya seorang anak juragan pada umumnya.
Berbanding terbalik denganku, yang saat itu masih kelas 1 SD, harus menangis dan mengerjakan pekerjaan rumah tangga sebulan penuh sebelum ibu memberikan uang untuk membeli sepatu baru. Itupun terpaksa, karena saat itu sepatu Mira dan Mas Rian sudah terlalu rusak.
Dan hal itu terjadi sampai sekarang, aku harus melakukan sesuatu untuk mendapatkan apa yang ku inginkan. Misalnya membantu Mang Joko, tukang rumput yang mencari rumput untuk kambing-kambing ibu. Atau ikut bekerja di toko kelontong ibu yang selalu ramai, juga membantu pekerja ibu yang bekerja disawah.
Meskipun seiring usia, pada akhirnya aku lebih memilih bekerja diluar untuk mendapatkan uang, hingga akhirnya memiliki sebuah motor matic bekas yang kubeli dari warga satu desa yang menjualnya dengan harga cukup murah.
"Ya karena Mas Rian pintar, dan sekarang sukses jadi orang kantoran dikota. Dan aku bukan hanya pintar, tapi juga cantik jadi mungkin bisa dapet suami kaya. Lah kamu? Gak pintar apalagi cantik, memangnya apa yang akan kamu dapatkan dari kuliah? Yang ada cuman buang-buang uang!" ucap Mira.
Aku menunduk dalam, karena semua yang dia katakan benar. Nilaiku hanya standar rata-rata, wajahkupun terlalu pas-pasan untuk disebut cantik. Tapi, apa salah jika aku juga ingin mengenyam bangku kuliah?.
Aku menatap ibu, berharap beliau mengucapkan kalimat yang mendukungku, sayangnya semua itu hanya angan belaka.
"Benar apa yang Mira katakan, lebih baik kamu cari kerja yang gajinya tinggi atau cari suami."
"Cari kerjaan dengan ijazah SMA sekarang susah Bu, dan untuk nikah aku belum pengin nikah muda" jawabku membela diri, berharap ibu mau mengerti.
"Terserah kamu, kalau kamu mau jadi anak durhaka, silahkan kuliah atau apapun semaummu!" ucap ibu dan beranjak dari kursinya, masuk kedalam kamar begitu saja, bahkan tanpa menyelesaikan makanannya yang bisa dibilang masih utuh.
"Liat tuh, Ibu gak jadi makan malam gara-gara kamu, dasar gak tau diri!" Mira yang sudah menyelesaikan makanannya, masuk kedalam kamarnya.
Benar, aku salah karena bicara saat ibu sedang makan. Harusnya aku bisa menahannya hingga beliau selesai.
Aku hanya bisa menghela nafas sejenak, berharap sabar atas penolakan ibu yang kedua kalinya. Aku memilih menyusul ibu kedalam kamar setelah membereskan meja makan, dengan membawa makan malam untuk beliau, juga teh herbal yang rutin beliau minum seminggu sekali.
Terlihat ibu tengah terbaring miring dengan mata terbuka, namun tak bergeming melihat kedatanganku.
"Maafin Khansa Bu, Khansa janji gak akan minta kuliah lagi. Tapi kalau soal nikah, Khansa gak mau buru-buru, biar bisa urus ibu lebih lama" ucapku saat beliau justru bergerak membelakangiku.
"Sekarang ibu makan dulu ya, jangan gak makan karena omongan Khansa" ucapku merasa bersalah. Meskipun ketidak setujuan ibu membuatku kecewa untuk yang kesekian kalinya, aku tetap tak ingin beliau tertidur dalam keadaan lapar.
"Atau paling tidak minum teh herbalnya ya Bu?"
Ibu masih tak bergeming sedikitpun, padahal aku tau beliau mendengar setiap ucapanku. Kuambil nafas dalam dan menghembuskannya, mencoba bersabar dan bersabar, aku mulai mengambil minyak urut untuk memijat kaki ibu sebelum tidur seperti biasa.
Wanita dengan wajah yang mulai berkeriput itu tak akan bisa tidur sebelum dipijat. Karena faktor usia membuat tubuhnya mudah pegal-pegal.
Beliau tak menunjukkan penolakan, aku cukup senang berharap ibu memaafkanku.
Setelah merasa ibu sudah terlelap saat nafasnya terdengar teratur, aku menyelimutinya hingga sebatas bahu, kemudian keluar dari kamar beliau dengan pelan.
Masuk kedalam kamarku, kubuka buku tabunganku yang berada dibawah tempat tidur. Menghela nafas pelan saat teringat penolakan ibu.
"Sebenarnya kenapa aku tidak boleh kuliah, Bu?. Bukankah anak bodoh sepertiku juga berhak kuliah?" gumamku menahan kekecewaan yang serasa menumpuk dalam dada, memutuskan tidur membawa perasaan yang berkecamuk.
Bersambung.
Pagi buta aku sudah bangun seperti biasa, memulai hari dengan dua rakaat sholat kemudian mengerjakan pekerjaan rumah tangga.
Jangan tanya soal asisten rumah tangga, karena meski kami bisa disebut orang berpunya, ibu sama sekali tidak berniat menggunakannya.
"Kan ada kamu, ngapain bayar pembantu?" ucapnya kala kutanyai tempo lalu.
Akupun tak keberatan, toh pekerjaan rumah adalah tugas penghuni rumah. Setelah selesai memasukan pakaianku kedalam mesin cuci, aku menuju kamar ibu untuk mengambil pakaian kotornya. Namun, tangan yang semula berniat mengetuk pintu terhenti saat kudengar suara isak tangis dari dalam kamar.
Kurapatkan telinga pada daun pintu, hingga akhirnya aku yakin jika ibu sedang menangis. Ingin kubuka pintu segera, hingga suara disela isak tangisnya terdengar.
"Sampai kapan aku harus hidup dengan luka yang kamu berikan Mas?"
Tangisan ibu semakin menjadi, namun yang bisa kulakukan hanya menunggu ditempat hingga tangisannya reda. Aku tak tahu apa yang ibu maksud, tapi aku yakin ibu butuh waktu untuk meluapkan perasaannya saat ini.
"Sampai kapan aku harus hidup dengan anak dari selingkuhanmu itu? Kenapa kamu malah memilih pergi bersamanya dibanding membawaku bersamamu Mas?"
Aku cukup terkejut dengan perkataan ibu, selama 19 tahun hidupku, aku baru tau jika ayah pernah selingkuh. Selama ini baik Mira, Mas Rian ataupun ibu sendiri tak pernah mengatakannya. Sehingga aku hampir tak mempercayai apa yang kudengar.
Tak mungkin bukan ibu berbohong bahkan saat sendiri?
"Apa kamu tau, betapa terlukanya aku setiap melihat wajah Khansa yang begitu mirip dengan selingkuhanmu. Apa kamu tau, seberapa besar keinginanku untuk menyusulmu setiap kali melihatnya?"
Deg!
Apa maksud ibu? Kenapa ibu menyebut namaku?.
Perkataan ibu kali ini membuat tubuhku hampir limbung jika tanganku tak sigap berpegangan pada dinding, jantungku berdetak dengan kencang mendengar kalimat barusan.
Aku, anak dari selingkuhan ayah? Apa itu artinya aku bukan anak kandung ibu?. Aku menggeleng cepat, berusaha berpikir positif jika aku salah dengar. Namun akal sehatku menyadarkan, jika setiap kata yang terucap dari mulut ibu terdengar begitu jelas.
"Jika bukan karena cinta yang kumiliki untukmu, sudah sejak lama aku membuangnya, atau membuatnya menyusul kalian. Sayangnya, cintaku terlalu besar untuk membunuh darah dagingmu itu!"
Aku membekap mulut yang hampir bersuara mendengarnya, mata ini terasa mengembun saat ibu berucap dengan suara gemetar dan isak sesenggukan.
Aku shok, benar-benar shok dengan fakta yang hampir tak ingin kupercaya. Aku hanya anak dari selingkuhan ayah? Inilah alasan kenapa ibu selalu memperlakukanku berbeda dibanding kedua saudaraku?.
Tidak! Mereka bahkan hanya saudara tiriku. Aku, hanyalah seorang anak yatim piatu yang ingin ibu bunuh karena terlahir dari rahim wanita yang membuat suaminya berpaling.
Tiba-tiba, aku teringat masa kecilku, dimana teman sebayaku dan juga orang-orang dilingkungan kami selalu menyebutku anak haram.
"Kasihan ya Bu Fatma, harus besarin anak haram suaminya"
"Dasar anak haram, kenapa gak mati aja sih ngikut orang tuanya?"
Aku tak mengingat dengan jelas diumur keberapa aku mendapatkannya, tapi yang kuingat ibu selalu membawaku masuk setiap ada yang mulai menggunjingku.
Mas Rian dan Mirapun tak pernah mengajakku bermain, mereka bahkan mengacuhkanku dengan bermain bersama teman-temannya.
Aku sejak kecil tak memiliki satupun teman, mereka menjauhiku untuk alasan yang tak kuketahui saat itu. Jadi inilah alasan mereka yang sebenarnya?. Dan inilah alasan kenapa aku dan Mira hanya berjarak satu bulan, karena kami tidak terlahir dari rahim yang sama.
"Sudah terlalu lama aku menahan doa yang selalu ingin kupanjatkan, tapi tidak sekarang. Jika membunuhnya membuatku berdosa, maka aku berdoa agar dia cepat menyusul kalian! Berdoa agar dosa yang kalian perbuat dibayar olehnya!"
Tubuhku mundur perlahan mendengar kalimat selanjutnya, menatap pintu yang masih tertutup itu.
Ibu, mengharapkan kematianku. Kematian anak dari selingkuhan suaminya. Mengharapkanku mendapat karma dari perbuatan orang tuaku.
Kenapa? Kenapa aku harus mendengar semua ini? Bukankah lebih baik aku tidak mengetahui hal ini untuk selamanya? Setidaknya walau aku harus cemburu melihat perhatian ibu pada dua anaknya, aku tak harus terluka mengetahui aku hanya anak seorang pelakor.
Aku berusaha baik-baik saja, menghapus cepat air mata yang sudah membasahi pipi ini. Kembali kedapur untuk melanjutkan pekerjaan, bersikap seolah tak mendengar apa-apa.
"Aku tidak mendengar apa-apa" gumamku pada diri sendiri.
Yah, tidak ada yang bisa kulakukan selain berpura-pura tidak tahu. Karena aku tak siap jika ibu mengusirku setelah tau aku mendengar ucapannya.
Bukan karena khawatir tidak memiliki tempat tinggal, aku hanya sudah terlalu menyayanginya sebagai seorang ibu kandung. Meskipun beliau mengharapkan kematianku, aku tau jika ibu terbawa emosi, itu harapanku.
Mengetahui kebenarannya tak membuatku ingin mencari tau siapa wanita yang telah melahirkanku, karena yang perlu kuingat hanyalah wanita itu adalah wanita yang membuat ibu terluka. Wanita yang berzina dengan pria bersuami, dan aku membencinya!.
Mencoba menetralkan emosi yang kini campur aduk, kulanjutkan beres-beres hingga mentari mulai terlihat. Aku mulai memasak makanan kesukaan ibu, juga sup ayam.
Baru juga wadah nasi yang masih mengepul kuletakan diatas meja, saat tangan yang sangat kuhafal milik siapa menyerobot secentong nasi dan lauk kemudian meletakkannya diatas piring, memasukannya kedalam mulutnya.
"Ibu belum makan Mira" tegurku pada gadis yang sudah berdandan cantik siap berangkat kekampus itu.
Jika biasanya aku akan menegur dengan nada cukup tinggi, kali ini aku hanya bicara dengan suara rendah. Karena aku baru menyadari, betapa baiknya sikap mereka pada anak seorang pelakor sepertiku.
Sikap mereka yang ketus dan suka seenaknya sendiri, adalah sikap terbaik yang diterima seorang anak pelakor yang hanya bisa menjadi parasit dalam keluarga mereka.
Bahkan, Mas Rian sama sekali tidak pernah mengatakannya, padahal aku yakin kakak laki-lakiku yang sudah berkeluarga dan tinggal diluar kota itu mengetahuinya. Entah dengan Mira, mungkinkah dia juga tau, atau Mas Rian dan ibu merahasiakan hal ini pada Mira juga?. Tapi mengingat sikapnya padaku, aku yakin dia sudah tau.
Entahlah, tapi sesungguhnya aku merasa menyesal, kenapa aku tidak mati saja saat pelakor itu melahirkanku, hingga aku harus hidup dengan membuat luka pada ibu dan kedua anaknya.
Namun, aku juga merasa bersyukur, karena aku memiliki seorang ibu tiri yang lebih baik dari ibu kandungku sendiri, seorang wanita yang tega menghancurkan rumah tangga wanita lain tentu pasti memiliki sifat yang buruk. Dan pastinya berbanding terbalik dengan ibu yang selama ini mau merawatku meskipun membenci orang tuaku.
"Udah gak papa, Mirakan sedang belajar, jadi dia harus makan makanan bergizi biar otaknya semakin cerdas." Ibu yang baru keluar dari kamar setelah sholat Dhuha nya tersenyum pada Mira dan duduk disamping putrinya itu.
Ah andai saja aku terlahir dari rahimmu Bu, mungkin aku akan sangat bahagia.
"Tuh dengerin!" Mira berucap dengan mulut penuh.
Aku diam, tak berniat menyanggahnya, kemudian mengambil nasi dan lauk untuk ibu lalu beranjak kedapur.
"Mau kemana kamu?" tanya ibu membuatku menoleh.
"Mau jemur cucian dulu" jawabku, mengucapkan kebohongan untuk pertama kalinya.
Bersambung.
Hai! Hai! sama yang udah mampir 👋👋jangan lupa tekan like dan subscribenya ya...♥️♥️♥️
Emuach😘
Tentu saja aku berbohong, agar bisa pergi dari hadapan mereka. Kini aku terlalu malu untuk sekedar duduk bersama mereka, karena aku sadar seberapa benci yang mereka pendam selama ini.
Mereka terlalu baik untuk menjadi keluarga tiri, mereka terlalu baik dengan tidak mengatakan apapun pada gadis tak tahu diri sepertiku.
Apalagi, mengingat jika ibu ingin aku menikah, membuatku sadar betapa beliau ingin aku segera keluar dari rumah ini. Tapi, aku tidak ingin pergi dari sini, aku benar-benar tak ingin pergi.
Aku akan menuruti semua kemauan ibu, selain pergi dari sini dan jauh darinya. Aku akan mematuhi setiap perintahnya, tapi tidak dengan menikah.
19 tahun adalah waktu yang lama untuk terus mengingat pengkhianatan ayah, dan aku akan menebusnya sebesar yang kubisa.
Beberapa menit duduk menunggu, hingga akhirnya mereka selesai makan. Aku segera memakan makanan yang tersisa diatas piring. Biasanya makanan akan langsung habis karena aku memasak sesuai porsi, tapi kali ini ada sedikit sisa karena aku belum makan.
Baru juga berniat membereskan meja makan, saat tepukan dipundak membuatku terkejut.
"Bu?"
"Kenapa makan makanan sisa? Memangnya tadi gak nyisihin!" tanyanya ketus.
Jika biasanya aku akan merasa terluka mendengar cara bicaranya padaku, tidak kali ini. Aku tau, dibalik sikap ketus yang beliau tunjukkan, terdapat kepedulian yang harus dia bayar dengan lukanya.
"Maafkan Khansa Bu" ucapku serius, beliau mengernyit heran dibalik kaca mata yang kini beliau kenakan.
"Ya! Memang kamu harus minta maaf sama ibu!" balasnya dengan wajah masam.
"Karena sudah merepotkan Ibu."
"Ya memang kamu ini selalu bikin repot!"
"Ibu mau menjahit?" tanyaku melihat benang dan jarum ditangannya.
"Nih, masukin benangnya!"
Aku menerimanya, lantas memasukan benang setelah kubasahi dengan air minum kemudian dipilin.
"Ini Bu."
"Beresin semua ini terus berangkat kerja!" titahnya menatap meja makan yang berantakan, kemudian berlalu dari hadapanku.
Belum sempat beliau melangkah, aku langsung mendekapnya dari belakang, bergelayut manja pada tubuh renta yang sudah 19 tahun merawatku, sekaligus terus mengulang lukanya sendiri.
"Mulai sekarang Khansa akan nurut apapun perintah Ibu kecuali menikah" ucapku sungguh-sungguh.
"Kamu kenapa sih! Lepasin!"
Tak kuhiraukan ucapannya, tetap mendekapnya dengan penuh rasa terima kasih.
"Terima kasih Bu, terima kasih!"
Aku tau, kata-kata itu tak akan membayar segala hal yang telah ibu berikan padaku, ataupun menyembuhkan lukanya yang tak pernah sembuh. Tapi, dengan kata-kata itu, aku akan menyadari, betapa beruntungnya aku mendapat seorang ibu sepertinya. Terlepas dari tidak adanya hubungan darah diantara kami.
"Lepasin! Katanya mau nurut sama Ibu, masa langsung dilanggar sendiri. Kamu mau Ibu tusuk pakai jarum jahit?"
Kulepaskan pelukan dengan tak rela, memamerkan deretan gigiku saat beliau menatapku kesal, kemudian pergi menuju kamarnya.
"Aku menyayangimu Bu, terima kasih telah merawatku selama ini. Dan maaf, membuatmu terus mengingat pengkhianatan ayah."
.........
Setelah seharian bekerja diwarung makan Bu Jum, aku pulang dengan membawa martabak manis dengan toping coklat dan keju. Berharap jika ibu akan menyukainya. Motor butut yang kukendarai baru saja terparkir didepan rumah, saat kudapati sebuah mobil mewah asing terparkir rapi dihalaman.
Aku masuk kedalam rumah, riuh suara anak-anak yang berlarian didalam rumah membuatku tahu siapa yang datang.
Mas Rian dan istrinya Mba Hana, tengah duduk bersama ibu dengan Mira dan juga seorang pria yang kuingat adalah kekasih Mira, yang memang sering diajak kerumah.
Seorang pria yang tinggal sendiri tak jauh dari kami, merupakan anak seorang PNS yang membuat ibu langsung menyetujui hubungannya dengan Mira, meskipun umur mereka terpaut cukup jauh.
Mereka tengah berbincang bahagia, dengan sesekali melihat kedua anak Mas Rian yang berumur tujuh dan lima tahun yang tengah berlarian.
Ibu yang melihatku diam sejenak, hingga detik berikutnya Mira yang melihatku memanggilku.
"Khansa! Cepet sini!"
Aku menghampiri mereka dengan senang, bersiap menunjukkan martabak ditanganku saat Mira kembali bicara.
"Pas banget kamu pulang, nih beresin!" Dia menunjuk meja yang berantakan. Ada plastik snack dan kulit jeruk yang berserakan. Juga, kulit semangka berikut bijinya,dan tiga kotak pizza yang hanya menyisakan sisa minyaknya.
"Mira..." padahal kukira kedatangku ditunggu untuk bergabung bersama mereka, nyatanya aku ditunggu hanya untuk membereskan semuanya.
Aku menatap ibu yang melirikku sejenak, kemudian beliau pergi begitu saja.
"Udah cepet, gak enak banget diliat!" titah Mira ketus.
Aku menurut, meletakan plastik berisi martabak diatas meja, kemudian mulai membereskan kekacauan yang benar-benar membuat kepala pening.
"Eh, martabak nih!" ujar Mira membuka martabak yang kubawa.
"Lumayan nih!" sahut Mba Hana.
"Eh itu buat Ibu!" cegahku saat mereka bersiap memakannya.
"Udah gak papa, lagian Ibu tuh udah tua, gak suka martabak." ucap Mba Hana dan langsung memakan sepotong martabak.
"Tapi..."
"Udah sih! Cuman martabak murah aja pelit amat!" Mira mendorong kotak martabak yang tersisa begitu saja, hingga isinya terjatuh berserakan diatas lantai.
"Ya Allah Mira!"
Aku mengambil cepat martabak yang sudah tak berbentuk itu, memasukannya kembali kedalam kotak. Jika aku tidak bisa memberikannya pada ibu, setidaknya aku bisa memakannya sendiri.
"Lebay banget sih! Martabak murah pake nangis segala. Lagian dibanding makanan mahal dan uang yang kami bawa, ibu gak akan lirik martabak pinggir jalan yang kamu bawa itu!" ketus Mba Hana, sementara Mas Rian hanya sibuk dengan ponselnya. Tidak ada niatkah dia membela adik tirinya ini didepan istrinya?.
"Ngapain bengong disitu, beresin sekalian!" ucap Mira.
Aku segera melanjutkan membereskan sampah-sampah yang mereka buat, setelah menaruh martabak dilemari dapur, hingga beberapa menit kemudian semuanya selesai dan kembali bersih. Baru saja selesai membereskan semuanya, saat suara ibu terdengar.
"Masak ikan sama ayam dikulkas tuh! Tadi Masmu yang bawa!" titahnya menghampiriku yang berada didapur.
"Iya Bu" ucapku seraya mengambil bahan yang diperlukan didalam kulkas.
"Kamu udah punya pacar?" tanyanya dengan nada ketus seperti biasa, aku menggeleng pelan.
"Belum Bu."
"Punya kerjaan gak jelas, terus gak punya pacar apalagi calon suami. Kamutuh mau nyusahin Ibu sepanjang hidup!"
Aku menahan nyeri dihati mendengar perkataan beliau, karena semua itu benar adanya. Tapi, bukankah Mira juga belum menikah ataupun mendapatkan pekerjaan?.
"Tapi aku belum mau nikah Bu, umurku saja baru 19 tahun."
"Ibu juga dulu nikah masih muda, 17 tahun gak papa tuh! Malah sekarang punya anak yang sukses-suskes. Lihat tuh Rian sama Mira, bikin ibu bangga. Rian dateng bawainnya makanan enak sama kasih uang. Terus Mira nilainya juga tinggi dan Ibu yakin dia akan kaya Rian, apalagi pacarnya juga PNS. Lah kamu, kerja ditempat gak jelas dan gaji kecil!"
Aku merasa kecil hati, mendengar bagaimana beliau membandingkanku dengan Mas Rian dan Mira. Hanya saja, aku sadar diri belum bisa membahagiakan ibu, karena nyatanya akulah sumber kesedihannya.
"Kalau begitu aku boleh kuliah ya Bu?" tanyaku dengan senyum kecil.
"Ibu suruh kamu nikah atau cari kerja yang gajinya gede, bukan kuliah!" kesalnya dan berlalu menuju anak dan cucunya.
Aku hanya bisa tersenyum menanggapi kemarahan beliau, kemudian melanjutkan niat memasak.
'Aku akan membuat Ibu bangga padaku, aku janji!'
Bersambung.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!