Masakan yang masih mengepul telah terhidang rapi diatas meja, ibu, Mas Rian, Mba Hana, Mira dan pacarnya sudah duduk bersama dikursinya masing-masing.
Baru juga aku bersiap kembali kedapur, saat Mba Hana bicara.
"Khansa! Suapin Siska sama Riski tuh. Mereka lagi main dideket kolam!"
Tadinya, aku ingin membantah, tapi saat melihat ibu yang menatapku, akhirnya aku menurut. Mengambil dua porsi makanan untuk kedua keponakanku yang tengah berada disamping kolam renang.
"Siska, Riski, ayo makan Bibi suapin!"
Siska yang berumur 5 tahun mendekat, sementara kakaknya tetap bermain lari-larian dengan pistol air ditangannya.
"Riski, sini makan dulu!"
Teriakanku tak dihiraukan sama sekali, hingga aku memilih menyuapi Siksa lebih dulu.
Aku meminta anak itu masuk, kemudian menghampiri kakaknya yang sibuk menyiram pot bunga disamping bangku panjang yang berada disana, aku berusaha membujuk Riski untuk duduk di bangku. Namun, baru saja Riski menurut dan duduk dibangku, aku mendengar teriakan dibelakangku.
"Siska!"
Bersamaan dengan teriakan Mba Hana, Siska putrinya tercebur kedalam kolam. Mas Rian datang dan langsung ikut menceburkan diri kedalam kolam dan mengambil putrinya yang tak bisa berenang.
Semua orang panik melihat Siksa yang hampir pingsan, kemudian mereka bergegas masuk kedalam rumah mengikuti Mas Rian yang basah kuyup bersama Siska. Mba Hana masih diam ditempatnya, tatapan ibu dua anak itu begitu tajam sembari melangkah kearahku.
Plak!
Kupegang pipi yang terasa panas, belum cukup dengan satu tamparan, Mba Hana kembali mendaratkan tangannya dipipiku yang lain.
Aku hanya diam, menyadari jika dia adalah seorang ibu yang mengkhawatirkan putrinya. Ini semua salahku, dan aku pantas menerimanya.
"Dasar gak tau diuntung, udah gak berguna, terus kamu mau bunuh anak aku?" cecarnya.
Aku diam, namun tidak menunduk, melainkan menatap matanya dengan lekat.
"Menyuapi kedua anakmu bukanlah tugasku, Mba!"
Ucapanku itu berhasil membuatnya terlihat semakin emosi sekaligus salah tingkah.
"Aku ini anak orang kaya, datang kesini sebagai menantu yang disayang sama ibu. Lah kamu, cuman anak_"
Kalimatnya menggantung begitu Mas Rian menariknya masuk kedalam. Aku tau apa yang ingin Mba Hana katakan, dan aku sudah siap mendengarnya, tapi Mas Rian masih berbaik hati dengan menarik istrinya pergi, meski dengan raut wajah yang tak kalah penuh emosi.
Aku masuk kedalam, terlihat Siska yang tengah dibaringkan diatas sofa dengan handuk melilit tubuhnya.
"Aku mau pulang aja Mas!" cetus Mba Hana menatapku kesal, sementara tangannya sibuk mengganti pakaian Siska.
"Ya sudah" jawab Mas Rian.
Setelah berpamitan pada ibu, dan Mira mereka kembali ke Surabaya. Selepas kepergian mereka, tanpa kuduga ibu langsung menamparku.
Plak!
"Kalau cucu ibu sampai kenapa-kenapa, kamu yang akan menerima akibatnya!." Ibu menatapku nyalang.
"Udahlah Bu, mending kita pergi dulu yuk. males liat dia mulu," cetus Mira.
Mira mengajak ibu keluar dari rumah, entah akan kemana mereka. Baru mengalihkan tatapan dari mereka, aku dibuat terkejut oleh pacar Mira yang bernama Hakim tiba-tiba berada dibelakangku, menatapku dengan aneh.
"Sabar ya, aku tau kok kamu gak sengaja. Biar Tante Fatma kami bawa ke rumahku dulu sampai tenang." Dia menyentuh pundakku dengan lembut, namun aku segera menepisnya kasar. Entah kenapa, aku merasa tatapannya memiliki arti lain.
Tidak! Bukan karena aku berpikir negatif, tapi karena sikap Hakim memang tak biasa semenjak Mira membawanya kerumah saat mereka baru jadian dua bulan lalu. Aku benar-benar berharap jika dugaanku salah.
Dia hanya terkekeh kecil melihat raut wajah penuh kecurigaanku, kemudian keluar menyusul ibu dan Mira.
Aku menghela nafas panjang saat semuanya pergi, kemudian memutuskan membereskan meja makan yang masih berantakan. Setelah selesai, kubuka lemari tempatku menaruh martabak yang tadi dijatuhkan Mira. Bagaimanapun keadaan, perut tetap lapar dan minta diisi, sedangkan makanan yang kumasak sudah habis tak tersisa.
Namun, aku terkejut saat kotak martabak kosong. Aku panik, dan tujuan utamaku adalah tempat sampah.
Bersih, tempat sampah yang sebelumnya penuh dengan plastik kosong melompong. Apakah seseorang membuang martabaknya dan membuangnya bersama sampah?.
Ya Allah, kenapa ada yang tega membuang-buang makanan? Tapi tunggu! Siapa yang peduli membuang sampah, sedangkan mereka bahkan tak mau membereskan bekas makan mereka sendiri?.
.........
Sudah larut malam, namun aku masih mondar-mandir dikamar dengan cemas. Pasalnya sampai sekarang ibu dan Mira belum kembali dari rumah Hakim, sehingga kemungkinan besar mereka akan menginap. Sementara, ibu yang sudah cukup tua tak akan bisa tidur sebelum dipijat.
Jika ibu tidur terlalu malam, maka beliau akan kekurangan tidur dan itu tidak baik untuk ibu.
Setelah berpikir cukup lama, akhirnya kuputuskan menuju rumah Hakim yang berjarak sekitar 5 rumah disebrang jalan dari rumah kami, menekan bel hingga beberapa kali. Sayangnya, tidak ada sahutan sama sekali. Ah mungkin saja mereka sudah tidur mengingat waktu yang sudah malam.
Aku baru saja melangkah berniat kembali kerumah, saat sebuah tangan kekar membekap mulutku dan menarikku dengan paksa dari arah belakang. Aku berusaha memberontak dan berteriak, namun tenagaku tak sebanding dengan seseorang yang kuyakini adalah laki-laki.
Dia menarikku dengan cepat, hingga akhirnya dia berhenti tepat disebuah ruangan yang lebih mirip seperti gudang.
Dia melepaskan tangannya dari mulutku setelah aku merasa pintu tertutup, aku berbalik dan terkejut mendapati Hakim yang tengah menyeringai lebar kearahku.
Pria yang sering datang kerumah bersama Mira itu memang sering menatapku dengan tak biasa, namun aku tak menyangka jika dia berani melakukan ini padaku.
"Apa yang sedang kamu lakukan?"
"Kamu akan tau sebentar lagi."
Dia membuka kancing kemejanya satu persatu, membuatku bergidik ngeri. Meski belum menikah, aku tau arti tatapannya yang tak lazim itu.
Aku berusaha membuka pintu, yang ternyata sudah dikunci oleh pria biadab ini. Tiba-tiba, dia mendekap tubuhku dari belakang, membuka kancing bajuku. Aku berusaha memberontak dan berteriak, namun tangannya saling menggenggam begitu erat.
"Khansa, kalau aku tau kamu akan lebih me**goda dari adikmu yang cantik itu, aku tak akan memacari wanita itu. Khansa, aku sudah tak sabar memberimu ken*****an dunia."
Ucapannya membuatku jijik, tak menyangka jika pria yang dibanggakan oleh Mira ternyata tak lebih dari seorang bajingan. Aku menggigit tangannya dengan keras, hingga tangan laknatnya terlepas dari tubuhku. Tak cukup, aku menendang area pribadinya, membuat pria berjambang tipis itu memekik kesakitan sembari mengumpat tak jelas.
"Ibu!" teriakku dengan rasa takut yang tak bisa digambarkan. Aku tak bisa membayangkan jika Hakim benar-benar m*lecehkanku.
"Teriak saja semaumu, kita lihat apa yang terjadi jika adikmu itu benar-benar datang!."
Dia tengah kesakitan, namun masih bicara hal yang membuatku kesal. Aku berniat kembali menghajarnya, namun tanpa kuduga dia justru menarikku hingga kami terjatuh diatas lantai dengan posisinya dibawahku.
Ceklek!
Aku terkejut bukan main saat pintu terbuka, Mira dan Ibu tengah menatapku dengan nyalang.
"KHANSA!" teriak Mira dengan keras, hingga suaranya memenuhi ruangan.
Bersambung.
Hem, kira-kira apa yang bakal terjadi ya? Tunggu dinext part ya 😉. Jangan lupa subscribe biar gak ketinggalan update 👌.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 30 Episodes
Comments