Bab 5 : Aku Putri Ibu

"Mira, Ibu, untung kalian datang!" Hakim Mira langsung bangkit dan menghampiri kedua wanita yang pasti tengah memikirkan berbagai macam hal buruk.

Dari raut wajah yang mereka tunjukkan, aku yakin jika mereka sudah salah paham.

"Hakim berusaha melecehkanku Mira, Bu..." ucapku segera membenahi kemejaku yang satu kancingnya telah terbuka.

Aku harap mereka akan percaya padaku, meski mengingat hubungan kami selama ini aku merasa kemungkinannya akan sangat tipis.

"Dia bohong Mira, dia yang datang kesini untuk berusaha memfitnahku. Dia mengatakan jika dia mencintaiku dan akan mendapatkanku dengan cara apapun!."

Mataku terbuka lebar, menatap tak percaya jika Hakim akan memutar balikan fakta. Pria dengan kemeja yang terbuka sempurna itu ternyata pandai berakting.

"Jangan fitnah! Kamu yang menyeretku kesini!" Aku tak terima dengan ucapannya yang begitu keji, karena aku yakin Mira akan lebih percaya pada pacarnya dibanding aku mengingat hubungan tiri kami.

"Kamu yang fitnah, jika kamu tidak berniat memfitnahku, lalu untuk apa kamu kesini?"

"Aku, aku kesini karena ingat sama Ibu, Ibu tidak bisa tidur sebelum dipijat, jadi aku kesini untuk_"

Plak!

Pipiku yang seharian ditampar terasa begitu sakit saat ibu kembali menamparku dengan penuh amarah. Bahkan disusul dengan Mira yang juga tengah termakan ucapan Hakim.

"Dasar j*lang gak tau diri!" kecam Mira yang langsung mencekikku dengan brutal dan memojokkanku kedinding. Aku tak berusaha melawan, karena aku tau kepada siapa ibu berpihak.

Kulirik wanita yang telah membesarkanku dengan penuh luka dihatinya itu, tersenyum tipis padanya saat kurasakan nafasku mulai tersendat. Aku tau, rasa sakit ini tak akan mengembalikan kebahagiaan ibu, tapi setidaknya mengurangi rasa bersalahku atas kesalahan ibu kandungku.

"Aku menyayangimu, Bu." ucapku tanpa suara.

"Mati saja kamu j*lang!" Mira mencekikku semakin kuat.

Paru-paruku terasa semakin sesak saat tak ada oksigen yang masuk, pandanganku semakin buram. Tepat saat kukira aku akan kehilangan kesadaran, ibu menarik tangan Mira yang mencekikku. Membuatku terjatuh dilantai sembari terbatuk untuk mengambil oksigen sebanyak-banyaknya.

"Hentikan Mira, kamu bisa dipenjara jika sampai dia mati!"

"J*lang seperti dia memang harus mati Bu, lihat saja dia, persis seperti wanita yang telah melahirkannya."

Plak!

Aku terkejut melihat ibu menampar Mira, aku tak percaya jika beliau akan tega melakukannya. Padahal, yang Mira katakan benar adanya.

"Kenapa Ibu malah nampar aku? Semua yang aku katakan benar Bu! Dia hanya seorang gadis yang terlahir dari seorang j*lang!" Mira menatap ibu dengan marah.

Kulihat tangan ibu kembali terayun, dengan cepat aku berdiri didepan Mira dan menerima tamparan yang ibu tujukan untuknya. Kutatap ibu yang terkejut melihatku.

"Jangan sakiti putri kandung ibu untuk putri seorang pelakor sepertiku!"

Tatapan matanya menunjukkan beliau semakin terkejut, tak terkecuali Mira yang berdiri disamping Hakim yang menatap kesal padaku karena rencana jahatnya gagal.

"Kamu bukan putri seorang pelakor!" Ibu terlihat marah, tapi aku tau beliau berusaha menahan tangisnya dari nada suaranya yang gemetar.

"Aku tau Bu, aku putri Ibu."

Tak dapat kutahan saat tubuh ini mendekap ibu begitu saja, tak ada penolakan, hingga kueratkan pelukan yang membuat air mataku mengalir deras.

"Aku putri Ibu, aku tau itu. Tapi aku juga tau, jika aku tidak terlahir dari rahim Ibu." Aku terisak sembari memeluknya yang tak bergeming sedikitpun.

Beliau tak bersuara sedikitpun, tapi aku tau air mata tengah menetes dipipinya.

"Maafkan aku Bu, maafkan ibu kandungku yang sudah membuat Ibu menderita!"

"Kenapa kalian malah pelukan sih!" Mira melepaskan diriku dari ibu secara paksa, kutatap mata beliau yang masih tak bergeming.

"Bu, dia harus diberi pelajaran karena godain pacarku!." sentak Mira.

Ibu diam tanpa mengalihkan pandangannya dariku, kemudian melangkah pergi sembari mengusap air matanya dengan kasar.

"Akan kukasih kamu pelajaran!"

Mira menjambak rambutku, namun detik berikutnya Hakim melepaskannya dan membawa pacarnya itu pergi.

Aku terdiam sendiri dengan perasaan yang kacau balau, tak menyangka jika apa yang dilakukan Hakim akan membawaku pada saat dimana aku harus benar-benar menerima kenyataan tentang siapa yang melahirkanku.

Ibu, akankah kamu menerimaku setelah tau aku mengetahui semuanya?.

Dengan cepat aku membenahi pakaian yang berantakan dan segera keluar dari rumah hakim. Melihat ibu yang pulang kerumah, aku mempercepat langkah menyusul beliau. Namun, saat melewati rumah yang berada tepat disamping rumah ibu, sekilas aku melihat seorang pria menatapku dari dalam jendela rumahnya.

Aku cukup terkejut melihatnya, karena kupikir rumah bercat putih itu tak berpenghuni. Yah, meskipun keadaan rumahnya bersih dan terawat, kupikir memang karena ada orang yang membersihkan secara rutin. Namun ternyata rumah itu ditinggali pria yang wajahnya tak jelas itu, sebab cahaya dirumahnya hanya remang-remang.

Tatapannya tak beralih sedikitpun dariku hingga membuatku tak nyaman. Aku memilih melanjutkan langkah dan masuk kedalam rumah, kemudian menutup pintu dengan cepat. Entah kenapa, aku merasa takut setelah melihat pria asing tadi.

.........

"Bu..."

Kuketuk pelan pintu yang terkunci dari dalam, aku tau ibu belum tidur dan beliau mendengar panggilanku. Ibu langsung kembali kerumah setelah apa yang terjadi dirumah Hakim, dan tak membuka pintu meski kupanggil berulang kali.

Aku tak peduli dengan masalah Hakim yang telah melecehkanku, karena yang kupedulikan sekarang adalah isi hati dan pikiran ibu.

"Apa Ibu tidak ingin meluapkan emosi Ibu padaku?"

"Apa Ibu tidak ingin menamparku lagi?"

"Apa Ibu tidak ingin memaki anak selingkuhan ayah ini?"

Aku tersenyum miris dengan ucapanku sendiri. Anak seorang selingkuhan, apa yang bisa diharapkan dari manusia sepertiku?.

"Apa ibu tidak ingin dipijat sebelum tidur?"

Satupun pertanyaanku tak mendapat sahutan sama sekali, kujatuhkan diri bersandar didaun pintu dan duduk memeluk lutut.

"Aku akan disini sampai Ibu membuka pintu untuk memarahiku. Aku siap menerima kemarahan, makian, dan pukulan yang Ibu berikan. Anggap saja aku adalah wanita yang membuat Ayah mengkhianati Ibu. Bukankah Ibu bilang wajahku begitu mirip dengannya?" Aku terkekeh pelan, menyadari betapa malangnya nasibku yang hadir dari seorang wanita perusak rumah tangga orang lain.

Masih tak ada sahutan, namun bisa kudengar isakan pelan yang aku yakin berusaha ibu tahan.

"Menangislah Bu, keluarkan segala beban yang selama ini menumpuk dihati Ibu. Jangan ditahan, karena waktu 19 tahun sudah terlalu lama untuk tetap memendam semuanya sendirian."

Kudengar isak tangisnya semakin keras, sekuat mungkin kubekap mulut yang juga ingin menangis mendengarnya. Entah berapa besar rasa sakit yang Ibu alami, hingga bahkan tak sembuh setelah bertahun-tahun karena harus merawatku.

"Aku disini Bu, akan memijat Ibu jika Ibu meminta, karena aku tau, Ibu tidak bisa tidur sebelum dipijat."

Beberapa menit berlalu, suara tangisan itu perlahan berhenti. Kudengar langkah mendekat, berdiri dengan cepat hingga akhirnya pintu terbuka.

"Kamu benar-benar akan menerima apapun perlakuan dari Ibu?" tanyanya dengan raut wajah yang tak dapat kutebak.

Bersambung.

Hem, apa yang akan Bu Fatma lakukan pada Khansa ya? 🤔. Jawabannya ada dibab berikutnya 😉.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!