Tentu saja aku berbohong, agar bisa pergi dari hadapan mereka. Kini aku terlalu malu untuk sekedar duduk bersama mereka, karena aku sadar seberapa benci yang mereka pendam selama ini.
Mereka terlalu baik untuk menjadi keluarga tiri, mereka terlalu baik dengan tidak mengatakan apapun pada gadis tak tahu diri sepertiku.
Apalagi, mengingat jika ibu ingin aku menikah, membuatku sadar betapa beliau ingin aku segera keluar dari rumah ini. Tapi, aku tidak ingin pergi dari sini, aku benar-benar tak ingin pergi.
Aku akan menuruti semua kemauan ibu, selain pergi dari sini dan jauh darinya. Aku akan mematuhi setiap perintahnya, tapi tidak dengan menikah.
19 tahun adalah waktu yang lama untuk terus mengingat pengkhianatan ayah, dan aku akan menebusnya sebesar yang kubisa.
Beberapa menit duduk menunggu, hingga akhirnya mereka selesai makan. Aku segera memakan makanan yang tersisa diatas piring. Biasanya makanan akan langsung habis karena aku memasak sesuai porsi, tapi kali ini ada sedikit sisa karena aku belum makan.
Baru juga berniat membereskan meja makan, saat tepukan dipundak membuatku terkejut.
"Bu?"
"Kenapa makan makanan sisa? Memangnya tadi gak nyisihin!" tanyanya ketus.
Jika biasanya aku akan merasa terluka mendengar cara bicaranya padaku, tidak kali ini. Aku tau, dibalik sikap ketus yang beliau tunjukkan, terdapat kepedulian yang harus dia bayar dengan lukanya.
"Maafkan Khansa Bu" ucapku serius, beliau mengernyit heran dibalik kaca mata yang kini beliau kenakan.
"Ya! Memang kamu harus minta maaf sama ibu!" balasnya dengan wajah masam.
"Karena sudah merepotkan Ibu."
"Ya memang kamu ini selalu bikin repot!"
"Ibu mau menjahit?" tanyaku melihat benang dan jarum ditangannya.
"Nih, masukin benangnya!"
Aku menerimanya, lantas memasukan benang setelah kubasahi dengan air minum kemudian dipilin.
"Ini Bu."
"Beresin semua ini terus berangkat kerja!" titahnya menatap meja makan yang berantakan, kemudian berlalu dari hadapanku.
Belum sempat beliau melangkah, aku langsung mendekapnya dari belakang, bergelayut manja pada tubuh renta yang sudah 19 tahun merawatku, sekaligus terus mengulang lukanya sendiri.
"Mulai sekarang Khansa akan nurut apapun perintah Ibu kecuali menikah" ucapku sungguh-sungguh.
"Kamu kenapa sih! Lepasin!"
Tak kuhiraukan ucapannya, tetap mendekapnya dengan penuh rasa terima kasih.
"Terima kasih Bu, terima kasih!"
Aku tau, kata-kata itu tak akan membayar segala hal yang telah ibu berikan padaku, ataupun menyembuhkan lukanya yang tak pernah sembuh. Tapi, dengan kata-kata itu, aku akan menyadari, betapa beruntungnya aku mendapat seorang ibu sepertinya. Terlepas dari tidak adanya hubungan darah diantara kami.
"Lepasin! Katanya mau nurut sama Ibu, masa langsung dilanggar sendiri. Kamu mau Ibu tusuk pakai jarum jahit?"
Kulepaskan pelukan dengan tak rela, memamerkan deretan gigiku saat beliau menatapku kesal, kemudian pergi menuju kamarnya.
"Aku menyayangimu Bu, terima kasih telah merawatku selama ini. Dan maaf, membuatmu terus mengingat pengkhianatan ayah."
.........
Setelah seharian bekerja diwarung makan Bu Jum, aku pulang dengan membawa martabak manis dengan toping coklat dan keju. Berharap jika ibu akan menyukainya. Motor butut yang kukendarai baru saja terparkir didepan rumah, saat kudapati sebuah mobil mewah asing terparkir rapi dihalaman.
Aku masuk kedalam rumah, riuh suara anak-anak yang berlarian didalam rumah membuatku tahu siapa yang datang.
Mas Rian dan istrinya Mba Hana, tengah duduk bersama ibu dengan Mira dan juga seorang pria yang kuingat adalah kekasih Mira, yang memang sering diajak kerumah.
Seorang pria yang tinggal sendiri tak jauh dari kami, merupakan anak seorang PNS yang membuat ibu langsung menyetujui hubungannya dengan Mira, meskipun umur mereka terpaut cukup jauh.
Mereka tengah berbincang bahagia, dengan sesekali melihat kedua anak Mas Rian yang berumur tujuh dan lima tahun yang tengah berlarian.
Ibu yang melihatku diam sejenak, hingga detik berikutnya Mira yang melihatku memanggilku.
"Khansa! Cepet sini!"
Aku menghampiri mereka dengan senang, bersiap menunjukkan martabak ditanganku saat Mira kembali bicara.
"Pas banget kamu pulang, nih beresin!" Dia menunjuk meja yang berantakan. Ada plastik snack dan kulit jeruk yang berserakan. Juga, kulit semangka berikut bijinya,dan tiga kotak pizza yang hanya menyisakan sisa minyaknya.
"Mira..." padahal kukira kedatangku ditunggu untuk bergabung bersama mereka, nyatanya aku ditunggu hanya untuk membereskan semuanya.
Aku menatap ibu yang melirikku sejenak, kemudian beliau pergi begitu saja.
"Udah cepet, gak enak banget diliat!" titah Mira ketus.
Aku menurut, meletakan plastik berisi martabak diatas meja, kemudian mulai membereskan kekacauan yang benar-benar membuat kepala pening.
"Eh, martabak nih!" ujar Mira membuka martabak yang kubawa.
"Lumayan nih!" sahut Mba Hana.
"Eh itu buat Ibu!" cegahku saat mereka bersiap memakannya.
"Udah gak papa, lagian Ibu tuh udah tua, gak suka martabak." ucap Mba Hana dan langsung memakan sepotong martabak.
"Tapi..."
"Udah sih! Cuman martabak murah aja pelit amat!" Mira mendorong kotak martabak yang tersisa begitu saja, hingga isinya terjatuh berserakan diatas lantai.
"Ya Allah Mira!"
Aku mengambil cepat martabak yang sudah tak berbentuk itu, memasukannya kembali kedalam kotak. Jika aku tidak bisa memberikannya pada ibu, setidaknya aku bisa memakannya sendiri.
"Lebay banget sih! Martabak murah pake nangis segala. Lagian dibanding makanan mahal dan uang yang kami bawa, ibu gak akan lirik martabak pinggir jalan yang kamu bawa itu!" ketus Mba Hana, sementara Mas Rian hanya sibuk dengan ponselnya. Tidak ada niatkah dia membela adik tirinya ini didepan istrinya?.
"Ngapain bengong disitu, beresin sekalian!" ucap Mira.
Aku segera melanjutkan membereskan sampah-sampah yang mereka buat, setelah menaruh martabak dilemari dapur, hingga beberapa menit kemudian semuanya selesai dan kembali bersih. Baru saja selesai membereskan semuanya, saat suara ibu terdengar.
"Masak ikan sama ayam dikulkas tuh! Tadi Masmu yang bawa!" titahnya menghampiriku yang berada didapur.
"Iya Bu" ucapku seraya mengambil bahan yang diperlukan didalam kulkas.
"Kamu udah punya pacar?" tanyanya dengan nada ketus seperti biasa, aku menggeleng pelan.
"Belum Bu."
"Punya kerjaan gak jelas, terus gak punya pacar apalagi calon suami. Kamutuh mau nyusahin Ibu sepanjang hidup!"
Aku menahan nyeri dihati mendengar perkataan beliau, karena semua itu benar adanya. Tapi, bukankah Mira juga belum menikah ataupun mendapatkan pekerjaan?.
"Tapi aku belum mau nikah Bu, umurku saja baru 19 tahun."
"Ibu juga dulu nikah masih muda, 17 tahun gak papa tuh! Malah sekarang punya anak yang sukses-suskes. Lihat tuh Rian sama Mira, bikin ibu bangga. Rian dateng bawainnya makanan enak sama kasih uang. Terus Mira nilainya juga tinggi dan Ibu yakin dia akan kaya Rian, apalagi pacarnya juga PNS. Lah kamu, kerja ditempat gak jelas dan gaji kecil!"
Aku merasa kecil hati, mendengar bagaimana beliau membandingkanku dengan Mas Rian dan Mira. Hanya saja, aku sadar diri belum bisa membahagiakan ibu, karena nyatanya akulah sumber kesedihannya.
"Kalau begitu aku boleh kuliah ya Bu?" tanyaku dengan senyum kecil.
"Ibu suruh kamu nikah atau cari kerja yang gajinya gede, bukan kuliah!" kesalnya dan berlalu menuju anak dan cucunya.
Aku hanya bisa tersenyum menanggapi kemarahan beliau, kemudian melanjutkan niat memasak.
'Aku akan membuat Ibu bangga padaku, aku janji!'
Bersambung.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 30 Episodes
Comments