Chapter 5

"Kamu tadi kena marah sama Kak Yuri?" tanya Gideon begitu Erina ikut masuk dalam barisan.

"Iya," jawabnya dengan ekspresi bingung dan cemas.

"Kenapa? Kok bisa kamu kena marah tadi?"

Laki-laki itu menatap Erina dengan ekspresi penasaran. Gadis yang ditatap penasaran itu justru enggan membalas tatapan penasaran yang tengah diarahkan padanya saat ini. Ia hanya menggeleng lemah karena tidak tahu apa sebenarnya kesalahan yang telah ia lakukan sampai dibentak-bentak oleh kakak kelasnya itu.

Melihat gadis itu hanya menggeleng lemah, Gideon tidak lanjut bertanya lebih jauh lagi. Ia tidak ingin membuat Erina tambah terbebani karena rasa penasarannya.

Jam pelajaran olahraga pun berlangsung seperti biasanya. Murid-murid di kelas itu mengikuti pelajaran olahraga kecuali Alan, yang sesekali keluar dari kelas dan duduk di tepi lapangan untuk memperhatikan mereka.

Laki-laki itu duduk sesekali di tepi lapangan, lalu masuk kembali ke dalam kelas. Atau jika ia bosan, ia akan berkeliling sekolah sendirian. Teman-temannya yang berada di kelas lain tentu sedang belajar mengingat ini masih jam pelajaran. Ia juga tidak nyaman harus pergi ke kelas mereka dan bergabung bersama yang lainnya. Ia bukan lagi teman sekelas mereka.

Erina bisa melihat pergerakan laki-laki itu lewat sudut matanya, tapi ia ingin berpura-pura tidak tahu. Ia tidak begitu peduli dengan apa yang sedang dilakukan laki-laki itu atau dengan siapa ia pergi.

***

Ding... Dong... Ding...

Jam pelajaran olahraga telah selesai, bertepatan dengan jam istirahat. Beberapa murid masih ingin melanjutkan kegiatan olahraga mereka atau sekedar bermain dengan teman-temannya yang lain. Ada juga yang pergi ke kantin untuk mengisi perut mereka yang lapar.

Erina duduk diam di dalam kelas. Ia masih belum enggan untuk mengganti seragam olahraganya. Ia juga tidak pergi ke kantin. Uang saku yang diberikan oleh orang tuanya, tidaklah cukup untuk mengganjal rasa laparnya, sehingga ia lebih memilih untuk menabung uang saku itu. Lebih baik ia kelaparan saat istirahat makan siang, dibandingkan harus tidak puas saat mengisi perutnya yang kosong.

Hampir semua teman kelasnya tidak berada di dalam kelas saat ini. Termasuk Alan, Gideon dan Deo, beberapa murid yang duduk di dekat bangkunya. Mungkin mereka pergi untuk sekedar mengisi perut mereka yang telah kosong.

Gadis itu kembali menyandarkan kepalanya di atas meja. Tidak ada aktivitas lain yang bisa ia lakukan saat jam istirahat selain tidur. Ia tidak begitu pintar dan rajin untuk belajar di jam istirahat. Ia juga tidak begitu ambisius atas nilai-nilai akademiknya. Apalagi teman-teman sekelasnya adalah yang terbaik di angkatan mereka dalam hal akademik. Sulit untuk bersaing dengan mereka.

"Kamu nggak ke kantin?" tanya Gideon.

Laki-laki itu baru saja akan duduk di bangkunya, tapi tidak jadi begitu ia melihat Erina sendirian di dalam kelas. Ia baru saja selesai makan siang bersama teman-temannya yang lain.

Erina hanya menggeleng menjawab laki-laki itu, ia terlalu malas untuk sekedar bersuara. Ia masih perlu menghemat tenaganya untuk melanjutkan sisa jam pelajaran nanti sebelum waktu pulang sekolah.

Alan muncul tidak lama kemudian. Laki-laki itu langsung duduk di tempatnya tanpa menyapa Erina ataupun Gideon. Senyum di wajahnya luntur begitu ia melihat keduanya.

Gadis itu tidak memperhatikan perubahan ekspresi di wajah laki-laki itu. Ia sudah memejamkan matanya.

Wajah Gideon sedikit mengeras begitu melihat perubahan ekspresi yang ditunjukkan oleh Alan. Laki-laki itu tidak menyembunyikan sedikit pun rasa tidak sukanya satu sama lain.

***

Jarak rumah yang begitu jauh membuat kedua orang tuanya membelikannya sebuah sepeda motor untuk ia kendarai ke sekolah. Orang tuanya cukup sibuk sehingga tidak bisa mengantarnya atau pun menjeputnya dari sekolah.

Gadis itu mengendarai motornya perlahan menuju rumah. Ia tidak sengaja melihat Alan dan Ali yang berjalan kaki pulang ke rumah. Ia bisa menyimpulkan bahwa rumah kedua saudara kembar itu tidak begitu jauh dari area sekolah mengingat keduanya lebih sering berjalan kaki ke sekolah dibandingkan dengan memakai kendaraan pribadi seperti teman-temannya yang lain.

Ia langsung mengalihkan pandangannya begitu kedua matanya bertemu dengan mata milik Alan yang tengah balas menatapnya. Ia bisa melihat ekspresi kurang suka yang dipancarkan oleh laki-laki itu.

'Apa, sih! Dikira aku naksir sama situ! Cih!' batinnya. Ia benar-benar kesal karena laki-laki itu.

Gadis itu melajukan motornya sedikit lebih cepat karena tidak ingin lebih lama lagi berada di sekitar laki-laki itu. Ia ingin segera pulang, mengisi perutnya, lalu beristirahat.

***

Alan menatap Erina yang semakin menjauh. Ia menatap dengan tidak suka gadis itu. Ia selalu merasa tidak nyaman setiap berada di sekitar gadis itu. Ia juga tidak tahu apa penyebabnya, tapi ia sudah merasakan itu sejak dari pertemuan pertama mereka di dalam kelas.

Ia melanjutkan perjalanannya pulang ke rumah. Rumahnya tidak begitu jauh dari sekolah. Tapi ia terkadang merasa sedikit kelelahan harus berjalan kaki bolak balik rumah dan sekolah sehingga terkadang ia lebih memilih untuk  mengendarai motor. Hanya saja, motornya masih berada di bengkel untuk diperbaiki, sehingga ia hari ini harus berjalan kaki.

Ia sering pulang pergi dengan Ali, tapi terkadang juga laki-laki itu berangkat lebih dulu dari pada dia. Mereka memang saudara kembar, tapi mereka tidak selalu mirip dalam segala hal.

Ketika ia hampir sampai di rumah, ia tidak sengaja berpapasan dengan Venia, gadis yang cukup lama ia taksir. Ia sudah mencoba mendekati gadis itu dengan terang-terangan, tapi selalu berakhir penolakan. Hal yang lebih membuatnya kesulitan ialah sekolah mereka yang berbeda sehingga kesempatannya untuk mendekati gadis itu tidaklah banyak.

"Ada Venia, Lan!" goda Ali begitu mereka berpapasan dengan Venia.

Alan hanya tersenyum tersipu mendengar Ali menggodanya. Ia masih menyukai gadis itu. Ia masih selalu berdebar ketika berpapasan dengan gadis itu. Tapi ia juga memiliki harga diri. Ia tidak ingin terus mengejar orang yang sudah menolaknya berkali-kali itu.

"Nggak disapa?" tanya Ali menggoda Alan.

"Apa sih!"

Laki-laki itu mempercepat langkah kakinya karena tidak tahan digoda terus menerus oleh kembarannya. Wajahnya sedikit memerah karena ulah kembarannya itu.

Ali terkekeh melihat reaksi Alan yang selalu sesuai sama ekspektasinya. Ia suka menggoda kembarannya yang wajahnya mudah memerah itu.

Banyak yang mengira bahwa laki-laki itu sedikit sombong karena sikapnya yang tertutup. Hanya ia dan beberapa orang terdekatnya saja yang tahu bahwa Alan sering merasa canggung dengan orang lain dan membenci rasa canggung itu, sehingga ia bersikap seakan-akan tidak peduli dengan orang lain. Padahal ia sendiri adalah orang yang sangat mudah tersipu dengan perlakuan manis orang lain, seperti yang sedang terjadi saat ini.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!