Chapter 2

Namanya Erina, murid kelas VIII SMP. Ia tidak begitu menonjol di dalam kelasnya, bahkan pesonanya tertutup oleh pesona murid-murid lain di dalam kelasnya. Ia juga tidak begitu pintar mengingat peringkatnya ada di peringkat enam belas di dalam kelasnya. Tapi itu sudah lumayan mengingat kelasnya adalah kelas unggulan di angkatannya, yang selalu dirombak tiap kali pengumuman nilai akhir keluar.

Hanya tiga puluh dua murid dengan peringkat tertinggi di angkatannya yang boleh masuk ke dalam kelasnya. Jadi ia tidak begitu berkecil hati dengan nilai yang ia peroleh.

Ada banyak murid yang berasal dari sekolah yang sama dengannya saat masih SD, tapi tidak ada yang begitu akrab dengannya. Di antara mereka semua ada dua orang yang dulu sekelas dengannya. Keduanya adalah murid laki-laki sehingga tidak begitu akrab dengannya.

Paras kedua murid itu terkenal tampan dan terkenal sampai ada adik kelas dan kakak kelas mereka yang menggoda keduanya dengan terang-terangan. Tapi tidak ada yang seperti itu di dalam kelas mereka.

Beda halnya dengan Alan yang menjadi pusat perhatian dan menjadi topik pembicaraan di antara murid-murid di dalam kelasnya. Ia yang baru dikenal sejak kemarin justru menjadi orang yang paling banyak mendapatkan perhatian di dalam kelas saat ini.

Tidak sedikit murid perempuan yang suka menggodanya dan mengatakan ingin berpacaran dengannya. Hal itu jujur saja membuat Erina cukup iri karena ia juga ingin mendapatkan banyak teman, tapi kesulitan karena mudah canggung ketika berinteraksi dengan orang-orang di sekitarnya.

Katakanlah ia pengecut, tapi rasa irinya itu membuat bibit kebencian yang tertanam di dalam hatinya yang ia arahkan kepada Alan, justru makin subur. Ia makin membenci laki-laki itu hari demi hari. Sialnya, ia justru duduk sebangku dengan orang yang paling ia benci di dalam kelas saat ini.

"Erina, pacaran, yuk!" goda Gideon dengan tatapan tengilnya ke arah gadis itu sambil mencolek lengan gadis itu berkali-kali.

Ia tahu bahwa laki-laki itu hanya bercanda, tapi tetap saja jantungnya berdebar karena ulah laki-laki itu. Ia tahu dan sadar ia tidak boleh memiliki perasaan lebih karena itu semua hanya candaan di mata laki-laki itu. Tapi jantungnya sulit untuk diajak bekerja sama.

"Erina," panggil Gideon dengan tengil sambil mencolek lengan kiri gadis itu.

Setelah puas bercanda, Gideon pergi mengobrol dengan teman-temannya yang lain sambil tertawa. Jantung milik gadis itu yang sebelumnya terus berdebar kencang kembali berdetak normal sama seperti sebelumnya. Ia sedikit merasa kecewa karena hanya dijadikan bahan bercandaan oleh laki-laki itu.

Ia menatap kepergian Gideon dalam diam. Ia cukup tahu diri bahwa ia tidak akan pernah pantas untuk disandingkan dengan laki-laki itu.

Ketika gadis itu mengalihkan tatapannya dari bahu Gideon yang telah menjauh darinya, tatapan matanya kembali bertemu dengan Alan yang tengah menatapnya dengan ekspresi mengejek saat ini. Ia benar-benar kesal karena sering ketahuan menatap ke arah Gideon oleh laki-laki itu.

Dengan cepat dan sedikit kasar, ia memutuskan tatapan keduanya dan beralih pada buku tulisnya. Gadis itu mulai menggambar pada halaman terakhir dari buku tulisnya. Gambarnya tidak terlalu bagus, tapi merupakan yang terbaik di dalam kelasnya selama ini.

***

Sebagian besar murid-murid di dalam kelasnya tengah mengerumuni Alan saat ini untuk sekedar mengajak laki-laki itu mengobrol bersama. Tapi tidak ada satu pun di antara mereka yang tertarik untuk mengajak Erina ikut mengobrol bersama mereka. Mereka hanya penasaran dengan Alan, tidak dengan gadis itu.

Ia hanya berdiam diri di tempatnya sambil meletakkan kepalanya di atas meja. Ia menatap sesekali ke arah Alan.

Ia benar-benar iri dengan laki-laki itu. Alan hanya berdiam diri tapi orang-orang datang mendekat ke arahnya. Bahkan laki-laki itu tidak begitu pintar dan juga dia bukan yang tertampan di dalam kelas itu. Tapi ia seakan-akan memiliki magnet yang sangat kuat dan mampu menarik perhatian semua orang.

Tatapannya lagi-lagi bertemu. Ia kembali kesal. Ia membalikkan kepalanya jadi membelakangi Alan. Dia tidak suka bertatapan mata dengan laki-laki itu. Laki-laki yang senantiasa membuatnya merasa iri.

***

"Hari ini aku jadian sama Alan," ucap Maudy dengan nada centil sambil menggoda Alan.

Laki-laki itu tidak membalas perkataan Maudy karena ia tahu benar bahwa itu hanya sekedar bercanda. Ia hanya tertawa kecil sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

Tatapannya beralih pada Erina yang saat ini tengah memunggunginya dan teman-teman sekelasnya yang lain. Gadis itu selalu sendirian. Ia benar-benar tidak memiliki teman di dalam kelas.

Ia berhenti menatap Erina dan melanjutkan obrolannya dengan beberapa teman sekelasnya. Lagi pula gadis itu juga tidak terlalu penting baginya.

Keduanya juga tidak cukup akrab meskipun mereka merupakan teman sebangku. Ada tembok besar dan tinggi yang tercipta di antara keduanya tanpa disengaja dan membuat hanya ada kecanggungan jika keduanya berinteraksi seperti ketika laki-laki itu meminta izin untuk duduk di bangku yang ada tepat di sebelah gadis itu.

Tentu tidak menyenangkan harus berlama-lama dengan orang yang selalu membuat suasana terasa canggung. Inilah sebabnya keduanya sangat minim interaksi. Mereka tidak memiliki niat untuk menjadi lebih akrab satu sama lain.

Ding...Dong...Ding....

Bel masuk telah berbunyi. Jam pelajaran akan segera dimulai. Murid-murid yang tadinya berkerumun di sekitar Alan kembali ke tempat duduknya masing-masing menyisakan laki-laki itu dan Erina yang masih duduk sambil memunggunginya.

Pelan tapi tetap terdengar, suara dengkuran halus yang keluar dari saluran pernapasan Erina. Laki-laki itu menahan tawanya saat melirik gadis itu dan mendapati ia tengah menggeliat karena merasa kurang nyaman. Ia tidak memiliki niat untuk membangunkan gadis itu meski jam pelajaran telah dimulai.

Seorang laki-laki bertubuh gempal, sedikit botak dan mengenakan kacamata tebal, masuk ke dalam ruang kelas mereka sambil membawa perlengkapan mengajarnya. Wajahnya yang tertekuk memberi kesan galak sehingga tidak ada yang berani bersuara ketika guru itu masuk ke dalam kelas.

Ia terus berjalan sampai di tempat duduk yang disediakan untuk guru di depan kelas. Proses belajar mengajar pun dimulai seperti biasa.

***

Gadis itu belum kunjung bangun dari tidurnya. Tidak ada siapa pun yang membangunkan gadis itu, termasuk Alan, teman sebangkunya.

Laki-laki yang duduk di belakang Alan, Gideon, tidak tega melihat gadis itu dalam masalah jika dibiarkan lebih lama lagi. Perlahan ia memajukan tangannya untuk menepuk punggung gadis itu, sayangnya tidak sampai. Ia menendang-nendang kecil bangku Alan.

"Psst... psstt... bangunin Erina," bisiknya.

Alan tidak ingin begitu peduli dengan gadis itu. Ia mengabaikan apa yang tengah dilakukan oleh Gideon. Ia juga tidak begitu peduli jika gadis itu terkena masalah nantinya.

Brukkkh....

Gideon menendang bangku Alan lebih keras karena laki-laki itu tidak mendengarnya yang sejak tadi meminta untuk membangunkan Erina yang duduk tepat di sebelahnya. Tubuh Alan sampai tersentak karena ulah Gideon.

"Apa itu?" tanya laki-laki bertubuh gempal yang sedang mengajar saat itu.

Ia menyipitkan matanya dan memandang tajam ke arah Gideon dan Alan. Ia baru akan menegur keduanya, tapi perhatiannya teralihkan pada Erina yang tengah tertidur.

"Itu siapa yang lagi tidur di belakang?? Enak sekali ya! Saya capek-capek ngajar dia malah tidur."

Deo yang ada di samping Gideon berdiri, sedikit memajukan tubuhnya untuk membangunkan Erina yang masih tertidur pulas. Alan hanya berdiam diri di tempatnya sambil menatap ke arah Erina, sama seperti semua orang yang ada di kelas itu saat ini.

Tidak butuh waktu lama untuk membangunkan gadis itu. Ketika ia bangun, ia terkejut karena ia tiba-tiba menjadi pusat perhatian. Lebih terkejut lagi karena sudah ada guru yang berdiri di depan kelas saat ini dan tengah menatapnya dengan penuh amarah.

"Selamat pagi, Tuan Putri!" kata guru itu dengan mata terbelalak seperti ingin memakan gadis itu hidup-hidup.

"Bagus ya kamu!! Enak-enak tidur pas jam pelajaran saya!! Kurang ajar!! Keluar kamu!!" bentak guru itu.

Tidak ingin memperpanjang masalah, gadis itu pun menurut untuk keluar dari dalam kelas. Sekilas ia bisa melihat Gideon tengah menatap Alan dengan wajah kesal.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!