Chapter 4

"Terima kasih, Bu Guru," kata murid-murid di dalam kelas itu serempak sebelum sang guru meninggalkan ruang kelas mereka.

Masih ada sekitar lima belas menit sebelum jam pelajaran olahraga dimulai. Para murid bersiap-siap untuk mengganti pakaiannya ke seragam olahraga. Mereka mengeluarkan seragam itu dari dalam tas mereka.

Di sekolah mereka terdapat ruang ganti yang terletak dibagian paling ujung toilet para murid. Toilet di sekolah mereka memiliki waktu piketnya sendiri dari kalangan para murid berdasarkan kelas mereka. Jadi, kotor dan bau tidak akan bertahan lama di toilet yang setiap hari dibersihkan itu.

Erina  berlari tergesa-gesa ke toilet dengan menenteng seragam olahraganya. Teman-temannya yang berjalan ke arah ruang ganti sudah hampir sampai ketika gadis itu mulai berlari dari dalam kelas.

Ia menyedot rakus udara yang ada di sekitarnya ketika ia sudah sampai di toilet murid perempuan. Setelahnya, ia menatap ke arah Tri yang sedang berdiri sambil menenteng seragam olahraganya di depan kamar ganti.

"Kok sendiri?" tanyanya, "yang lain mana?"

"Ada di dalam," jawab Tri ketus sambil memainkan kakinya.

Gadis itu bahkan tidak menatap ke arah Erina ketika menjawab pertanyaannya. Ekspresi yang ia tunjukkan seperti kurang suka dengan keberadaan Erina di sana.

"Hei!" bentak seorang perempuan yang tiba-tiba muncul dari belakang Erina.

"Kamu itu sudah kuteriaki dari tadi jangan masuk, tapi malah masuk?" katanya sambil menunjuk-nunjuk Erina.

Erina tidak membalas perkataan orang yang ia duga kakak kelasnya itu. Ia tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Ia sama sekali tidak mendengar ada orang yang memanggilnya tadi, apalagi sampai melarangnya masuk ke dalam toilet.

Ia menatap ke arah Tri yang sekaan-akan tidak begitu peduli ketika ia dimarahi oleh kakak kelasnya itu. Ia bingung karena dilarang masuk ke toilet di saat teman-temannya yang lain diperbolehkan. Gadis itu merasa sedikit tidak adil karena diperlakukan seperti itu. Apalagi tingkah kakak kelasnya yang memarahinya saat ini seolah-olah ingin mempermalukannya di depan teman-temannya yang lain.

Perempuan, yang ia duga kakak kelasnya itu, pergi meninggalkannya yang masih diam dan bingung setelah dibentak-bentak dengan ekspresi sangat kesal. Ia tampak belum puas usai memarahinya.

Ada perasaan tidak enak yang mengganjal dalam benak gadis itu usai dipermalukan seperti itu. Bukan hanya perasaan tidak enak, tapi ada juga perasaan tidak terima di sana. Ia tidak tahu alasan mengapa ia harus dimarahi seperti itu dan mengapa hanya dirinya saja yang tidak boleh melangkahkan kaki masuk ke dalam toilet di saat teman-temannya yang lain boleh.

Drrrrtttt.....

Pintu kamar ganti berderit ketika salah satu teman sekelasnya membuka pintu kamar ganti. Mereka belum usai berganti pakaian, tapi ingin ia dan Tri masuk ke dalam agar bisa berganti pakaian juga. Ia melangkahkan kedua kakinya masuk ke dalam kamar ganti untuk berganti pakaian menjadi seragam olahraga.

Ding...Dong...Ding...

Bel pertanda pergantian jam pelajaran telah berbunyi. Ia dan teman-teman kelasnya yang lain segera mengganti pakaian seragam mereka, lalu keluar dari kamar ganti.

Erina menatap satu per satu teman-teman sekelasnya yang telah selesai berganti dan keluar dari kamar ganti. Ia sudah selesai berganti, tapi ia ragu untuk melangkahkan kedua kakinya keluar dari kamar ganti. Ia takut harus berhadapan dengan kakak kelasnya dan kembali dimarahi seperti sebelumnya.

Pintu masuk toilet murid berhadapan langsung dengan koridor kelas IX. Kemungkinan besar untuk bertemu dengan kakak kelasnya tadi lebih besar. Kemungkinan ia akan dimarahi lagi akan besar juga, apalagi kakak kelasnya tadi pergi dengan ekspresi sangat kesal dan tampak belum puas memarahinya.

Ia baru memberanikan dirinya untuk melangkah keluar dari ruang ganti setelah semua teman-temannya sudah keluar. Ia menjadi yang paling terakhir pergi keluar.

Erina begitu terkejut ketika melihat perempuan yang tadi memarahinya tengah berdiri tepat di depan pintu masuk ke toilet dengan tangan disilangkan di depan dada sambil menatapnya kesal ke arahnya. Hal yang lebih mengejutkan ialah perempuan itu tidak sendiri, ada banyak sekali kakak-kakak kelasnya, yang mungkin sekelas dengan perempuan itu, yang juga berdiri tepat di depan pintu masuk toilet murid.

"Yang mana, sih?" tanya Yatsen, kakak kelasnya, kepada perempuan itu.

Ia mengenali kakak kelasnya itu karena ia sering datang untuk sekedar tebar pesona di kelasnya sejak mereka masih duduk di bangku kelas VII. Yatsen dan beberapa temannya yang lain sering datang untuk sekedar tebar pesona di depan kelas mereka. Benar-benar mengganggu dan tidak membuat nyaman.

"Itu, yang jalan di belakang Sherin," kata perempuan itu.

Benar, seperti yang sudah ia duga sejak awal, perempuan itu adalah kakak kelasnya. Entah apa yang sudah ia ceritakan pada teman-teman sekelasnya yang lain sebelumnya sampai mereka datang berkerumun di depan pintu masuk toilet hanya untuk mencari tahu dirinya.

Ia melewati kerumunan itu dengan ragu dan sedikit ketakutan. Jumlah kakak-kakak kelasnya yang tengah berdiri di depan pintu masuk toilet sekitar dua puluhan. Jika mereka memarahi atau bahkan memukulnya, ia tidak akan sanggup untuk melawan karena jumlah mereka yang terlalu banyak untuk ia hadapi sendirian.

Gadis itu baru bisa menghembuskan nafas lega setelah berhasil melewati kerumunan itu tanpa menderita luka sedikit pun. Ia hanya dberi tatapan sinis, kesal dan penasaran dari kakak-kakak kelasnya tadi.

"Kamu ada masalah apa sama Kak Yuri?" tanya Sherin, teman sekelasnya, ketika mereka sudah cukup jauh dari kerumunan itu.

"Aku juga nggak tahu," jawabnya.

Ia memang tidak tahu menahu apa kesalahan yang telah dibuatnya sampai ia harus dibentak-bentak oleh kakak kelasnya itu. Apalagi kakak kelasnya itu sampai membawa teman-teman kelasnya yang lain hanya untuk mengintimidasinya.

Mereka berjalan menuju ruang kelas untuk kembali menyimpan seragam yang tengah mereka tenteng saat ini. Dari sudut matanya, Erina bisa melihat beberapa teman sekelasnya sudah berbaris untuk mulai pemanasan. Ia segera mempercepat langkah kakinya ke ruang kelas agar bisa segera ikut berbaris seperti teman-teman kelasnya yang lain.

Ia memasukkan seragam miliknya ke dalam loker, sebelum pergi keluar ke luar kelas. Ia sempat bertatapan dengan Alan yang tengaj duduk sambil mencoret-coref bagian belakang buku tulisnya. Laki-laki itu tidak ikut pelajaran olahraga lagi kali ini.

Sejujurnya ia sedikit penasaran dengan penyakit yang diderita oleh laki-laki itu yang membuatnya tidak boleh melakukan aktivitas fisik yang berat, misalnya berolahraga. Tapi laki-laki itu pasti tidak akan mau menceritakannya. Apalagi ia tampak tidak menyukainya.

Erina mengabaikan rasa penasaran itu dan berjalan ke arah lapangan. Ia akan ikut pelajaran olahraga hari ini dengan penuh semangat. Olahraga merupakan salah satu pelajaran favoritnya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!