Bukan Wanita Malam Biasa
Elisha berlari membawa kedua buah hatinya, menjauh dari suaminya yang mencoba membunuhnya dengan belati saat mereka tengah bertengkar hebat. Ia hanya membawa beberapa helai pakaian yang memang sebelumnya telah ia siapkan serta ponselnya, satu-satunya barang berharga yang bisa ia bawa saat itu.
Suara petir yang menggelegar saling bersahutan bahkan tidak ia pedulikan. Langit seolah ikut marah, awan gelap mulai menyelimuti. Rinai hujan mulai berjatuhan membasahi bumi. Wajahnya yang ayu telah basah oleh air mata dan tetesan air hujan.
"Ma, kita mau kemana?" tanya anak pertamanya.
"Kita harus pergi Nak, kita akan menginap di rumah tante mu,"
Elisha merogoh dompetnya, hanya tersisa uang 30 ribu di dompetnya. Cukup untuk naik angkot dua kali ke rumah kakaknya.
Beruntung saat hujan mulai deras, mereka sudah berada di dalam angkutan umum. Tubuhnya letih, perutnya terasa sangat lapar sekali. Namun dirinya lebih prihatin dengan kondisi kedua anaknya. Mereka pasti juga sangat lelah dan lapar.
"Sayang bangun, kita sudah sampai,"
Elisha membangunkan keduanya.
"Ma, aku capek dan lapar,"
Tanpa berkata pun, ia sudah tahu jika kedua buah hatinya sangat menderita.
"Iya Sayang, Sebentar lagi kita makan di rumah tante mu. Sabar ya,"
Dengan menahan tetes air mata agar tidak tumpah, ia mulai menghubungi nomor kakaknya. Tempat ia berhenti masih cukup jauh dari rumah kakaknya jika di tempuh dengan berjalan kaki. Ia bermaksud meminta di jemput karena kedua anaknya pasti tidak kuat lagi untuk berjalan lebih jauh.
"Mbak, aku mau ke rumah mu. Sekarang sudah ada di dekat pondok di dekat pasar, bisakah kamu jemput kami?"
Tanpa berbasa-basi ia langsung mengutarakan maksudnya saat mendengar suara kakaknya di seberang telepon.
"Yang benar? Kamu dengan siapa ke sini? Aku akan segera ke sana,"
Kakaknya sangat terkejut, tidak biasanya adiknya datang tanpa memberi kabar terlebih dahulu.
"Iya Mbak. Aku dengan anak-anak. Aku tunggu ya,"
Setelah mematikan panggilan, ia mengajak kedua anaknya duduk di depan teras rumah orang. Beruntung di tempat ini tidak hujan, jika tidak mereka pasti sudah basah kuyup. Di pangkunya anak keduanya sembari memeluk anak pertamanya. Mereka sesekali menguap menandakan sudah mulai mengantuk.
"Lisha..."
Elisha menoleh tatkala mendengar suara kakaknya memanggil. Ia bangkit membawa kedua anaknya naik motor kakaknya.
"Doni kemana? Kenapa kamu membawa tas segala?" tanya kakaknya.
"Ceritanya panjang, Mbak. Nanti saja aku ceritakan," jawab Elisha.
Tak banyak bertanya lagi, kakaknya segera melajukan motor menyusuri gelapnya malam, menuju rumahnya.
☆☆☆
"Apa kalian sudah makan?" tanya Dina.
Elisha menggeleng lemah. Ia yakin kakaknya pasti bisa melihat jika mereka belum makan dari wajah mereka yang sedikit pucat.
"Ya sudah, kalian makan dulu sana. Ceritanya besok saja. Setelah makan kalian istirahat saja di kamar itu,"
Elisha menuruti ucapan kakaknya. Ia menyuapi kedua anaknya yang makan dengan lahap. Setelah memastikan anaknya kenyang, barulah dia makan.
Setelah mencuci muka, ia mengajak anaknya beristirahat. Menit kemudian keduanya telah di lenakan oleh mimpi. Berbeda dengannya yang bukan hanya tak bisa tidur, matanya kini sudah mulai sembab karena terus saja menangis. Ia tak pernah menyangka hidupnya akan berakhir seperti ini.
☆☆☆
Keesokan harinya.
"Sebenarnya apa yang terjadi? Apa kalian bertengkar?" tanya Dina, yang merupakan kakak pertama Elisha.
"Dia ingin membunuh kami, Mbak. Dia membawa pisau dan mengejar kami," jelasnya.
Tangisnya pun pecah. Kakaknya sangat terkejut, pasalnya Doni suaminya setahunya bukanlah orang yang kasar. Janggal rasanya jika pria itu sampai menghunuskan pisau kepada anak dan istrinya.
"Tapi kenapa sampai ia berbuat begitu? Setahu ku dia orang yang sabar?" tanya Dina lagi.
Elisha mulai menceritakan segalanya dengan bercucuran air mata. Sebenarnya kehidupan rumah tangganya memang tak semanis yang terlihat. Suaminya kerap berbohong untuk banyak hal. Karena ia sadar ia juga bukanlah orang yang sempurna, ia selalu mengalah dan memaafkannya.
Namun kesalahan yang selalu berulang akhirnya membuatnya jengah. Ia mulai memberontak dan protes.
Hampir setiap hari ia melihat suaminya ber-chat mesra dengan banyak wanita. Walaupun ia belum pernah melihat mereka langsung dengan mata kepalanya sendiri, namun hati istri mana yang tak sakit di perlakukan begitu. Mereka menjadi sering bertengkar.
Padahal kehidupan mereka hanya cukup, bahkan kadang kurang. Betapa teganya suaminya mengkhianatinya yang sudah bertahun-tahun bertahan berjuang bersamanya. Baginya perbuatan suaminya sudah termasuk berselingkuh dan tidak bisa di maafkan.
Hari itu ia mendengar suaminya berbicara dengan seorang wanita di telepon. Ia tak sengaja mendengarnya saat menuju dapur. Sayup-sayup ia mendengar suara ******* dari kamar mandi yang tersamarkan oleh suara air kran yang mengalir. Karena penasaran ia mengintip dari lubang pintu. Ia tak bisa menahan keterkejutannya. Suaminya tengah video call dengan seorang wanita, mereka sedang melakukan phone **** di dalam kamar mandi.
Elisha tak sanggup melihatnya lebih lama. Ia berlari ke dalam kamar, membereskan pakaiannya dan juga anaknya yang muat ke dalam tas. Hatinya begitu pedih dan sakit melihat pemandangan tadi. Ia tak menyangka suaminya bisa berbuat begitu, pasalnya untuk kebutuhan ranjang mereka selama ini baik-baik saja. Entah mengapa suaminya masih menginginkan kepuasan dari luar.
Kedua anaknya menatapnya dengan bingung melihat ibu mereka mengemas pakaiannya.
Doni yang telah selesai dengan aktivitasnya, begitu terkejut melihat istrinya berkemas dan menangis. Adu mulut pun tak terelakkan. Keduanya bertengkar hebat sampai kedua anaknya menangis. Karena kalap, Doni mengejar istrinya dengan memegang pisau. Elisha yang ketakutan segera mengajak kedua anaknya pergi dari sana.
"Astaga, aku tidak menyangka kelakuan Doni begitu. Kamu yang sabar ya,"
Dina memeluk adiknya dan berusaha menghiburnya, setelah mendengar ceritanya.
"Aku ingin pulang, Mbak. Aku takut dia akan membunuh ku dan anak-anak," ucap Elisha.
"Lalu bagaimana nasib kalian ke depannya?"
Dina prihatin dengan nasib adiknya. Di usianya yang belum genap 25 tahun sudah harus menyandang status janda. Tapi tidak mungkin dirinya menyarankannya untuk kembali dengan Doni yang sudah menyakitinya.
"Aku akan pulang ke rumah ibu, aku akan mencari pekerjaan agar bisa menghidupi anak-anak,"
Elisha memandang jauh ke depan. Sebenarnya ia juga tidak yakin dengan kehidupannya nanti. Pendidikannya hanya sampai SMA, entah pekerjaan apa yang akan ia dapat nanti. Yang jelas ia tidak ingin lagi hidup di kota ini, walaupun banyak kenangan manis namun kenangan pahit yang hanya terbayang kini di dalam ingatannya.
"Kamu mau pulang kapan, Lisha?"
"Secepatnya, Mbak. Tapi aku tidak punya uang sepeser pun, bolehkah aku pinjam dulu?"
Dina mengambil dompetnya. Ia memberikan beberapa lembar uang ratusan ribu kepada adiknya.
"Ini untuk mu, maaf ya aku tidak bisa memberi banyak. Kamu tahu sendiri kakak ipar mu hanya bekerja serabutan,"
Elisha mengambil uang pemberian kakaknya.
"Ini sudah lebih dari cukup, Mbak. Terima kasih ya, aku siap-siap dulu,"
Ia segera mengemas barang-barang. Tidak butuh waktu lama karena memang bawaannya tidak banyak.
"Mbak, aku pulang dulu ya. Terima kasih untuk semua bantuannya,"
Mereka saling berpelukan. Gurat kesedihan tampak jelas di mata keduanya.
"Hati-hati ya, salam untuk ibu dan bapak," pesan Dina.
Elisha berusaha menahan langkahnya yang sedikit limbung karena tidak kuat menahan perasaannya. Terbayang di kepalanya akan kerasnya hidup yang akan ia jalani nanti. Ia tidak akan mengeluh, hanya meminta Tuhan agar mempermudah jalannya. Itu saja yang ia harapkan saat ini.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 48 Episodes
Comments
Agustine
sabar yah Elisha pasti sulit banget, harus pergi emang kalo punya lakik kek gitu 😤🤭
semangat kak aku udah mampir juga 🤭
2023-06-14
0
Melasari
semangat thor😍
2023-06-14
2
Fah
semoga. Mangat Elisha
2023-06-13
0