Keesokan harinya.
Elisha yang mendengar kabar tentang gagalnya panen sawah milik orang tuanya merasa sangat sedih. Ia yang seharusnya bisa membantu kehidupan orang tuanya justru menambah beban mereka di masa tua. Kehadirannya bersama dua anaknya akan membuat pengeluaran rumah ini naik berkali lipat. Ia memutuskan untuk mencari pekerjaan agar dapat membantu orang tuanya.
Sejak pagi dirinya telah sibuk membuat lamaran pekerjaan. Walaupun ia tidak yakin dengan ijazahnya yang hanya tamatan SMA, ia harus tetap berusaha keras. Ia rela bahkan jika harus bekerja di pabrik, hal yang tak pernah ia lakukan selama ini. Walaupun orang tuanya bukan dari kalangan berada, ia beruntung karena orang tuanya selalu berusaha memberikan kehidupan yang nyaman kepadanya selama ini.
"Kamu mau kemana kok sudah rapi begini?" tanya ibunya.
"Aku harus mencari kerja, Bu. Aku tidak ingin menjadi benalu di sini," jawabnya.
Ibunya menghela napas dalam, wanita itu tahu jika putrinya pasti sudah mendengar ucapan Rojali kemarin. Adiknya itu memang terkadang memang ceplas ceplos jika berbicara. Jika orang yang tidak tahu sifatnya pasti akan merasa sakit hati mendengarnya.
"Kamu jangan dengarkan ucapan paman mu itu, dia dari dulu memang begitu mulutnya. Jangan sampai kamu masukkan hati, Nak," balas ibunya.
Sejujurnya, Elisha memang sakit hati mendengar ucapan pamannya kemarin. Walaupun ia tahu mulut pamannya memang dari dulu berbisa dan tidak bisa di rem, tetap saja dia juga punya perasaan. Tanpa harus berkata begitu pun dirinya sudah sadar diri, tidak mungkin ia hanya bergantung kepada orang tuanya. Ia hanya butuh waktu untuk membiasakan kedua anaknya bersama orang tuanya, agar jika dirinya bekerja mereka tidak rewel.
"Tidak Bu, tanpa paman berkata begitu pun aku memang berniat bekerja. Aku yakin suami ku tidak akan memberi uang lagi setelah ini, jadi aku harus bertanggung jawab terhadap mereka," ucap Elisha.
"Maafkan ibu ya Nak, karena kita hanya orang miskin hingga kalian semua harus hidup seperti ini. Semoga kalian semua bisa bahagia nantinya," balas ibunya.
Keduanya berpelukan. Bukannya mereka tidak ingin bersyukur, hanya saja keadaan mereka yang seperti ini membuat mereka sering tak berdaya.
☆☆☆
Elisha melajukan motor bebek milik ayahnya perlahan karena dirinya sedikit lupa dengan jalanan di kota kelahirannya itu. Wajahnya yang cantik mulai di basahi keringat karena cuaca yang cenderung panas.
Ia menaruh lamaran pekerjaannya ke beberapa tempat. Di koperasi simpan pinjam sebagai admin. Di pabrik rokok ia memilih tenaga produksi. Di konter handphone sebagai kasir. Lalu yang terakhir ia menaruh di pabrik tripleks sebagai tenaga produksi.
"Kira-kira berapa lama di panggil untuk interview ya, Pak?" tanyanya kepada satpam pabrik.
"Paling lama 2 minggu biasanya, Mbak," jawab satpam itu.
"Jadi jika 2 minggu tidak ada panggilan artinya sudah tidak ada harapan ya, Pak?"
"Ya bisa di bilang begitu. Berdoa saja semoga masih rejeki, Mbak,"
"Amin... terima kasih, Pak. Saya permisi dulu," pamit Elisha.
Matahari siang bersinar sangat terik. Kulit Elisha mulai belang karena tidak memakai sarung tangan. Tapi dirinya tidak peduli lagi, yang terpenting saat ini baginya adalah secepatnya mendapatkan pekerjaan agar bisa meringankan beban orang tuanya.
"Sebaiknya aku mampir ke rumah Davina, barangkali ia ada informasi pekerjaan,"
Elisha segera melajukan motornya ke desa sebelah. Davina adalah teman karibnya semasa bersekolah dulu. Walau mereka sudah lost contact sejak lama namun setiap pulang kampung ia selalu menyempatkan diri mampir ke rumah sahabatnya itu.
Tok... tok... tok...
"Assalamualaikum,"
Elisha mengetuk pintu, tampaknya sahabatnya sedang berada di dalam rumah. Setelah menunggu beberapa saat belum ada sahutan, ia mengetuk kembali. Tepat setelah ia memutuskan untuk pergi, pintu pun terbuka.
"Waalaikum salam... Elisha!"
Davina menatapnya tak percaya. Ia melihat sahabatnya lagi setelah sekitar tiga tahun tidak bertemu.
"Maaf ya aku mengganggu. Apa kamu sedang tidur?" tanya Elisha merasa bersalah.
"Tidak kok, aku hanya menemani anak ku tidur. Ayo masuk,"
Mereka duduk di ruang tamu, berbincang seputar kehidupan mereka selama tidak bertemu. Terkadang mereka mengingat masa sekolah yang indah.
"Jadi kamu sudah berpisah dengan suami mu?" tanya Davina.
"Secara resmi sih belum, tapi sekarang aku sudah tinggal dengan orang tua ku," jawab Elisha.
"Aku turut prihatin ya. Kamu harus tetap semangat demi kedua anak mu,"
Davina berusaha menghibur Elisha. Ia hanya bisa tersenyum getir mendapat support dari sahabatnya itu.
"Iya, tadi saja aku sudah menaruh beberapa lamaran. Aku harus segera bekerja untuk menghidupi mereka, kasihan orang tua ku jika harus di recoki terus," ucap Elisha.
"Memangnya sudah melamar kemana saja?" tanya Davina.
"Tadi sih aku taruh di koperasi, konter, pabrik rokok dan tripleks,"
"Semoga segera di panggil ya, nanti aku coba tanya teman-teman barangkali ada lowongan,"
Mereka asyik mengobrol tentang banyak hal, sekaligus melepas rindu. Karena takut anaknya rewel, beberapa saat kemudian Elisha pun pamit pulang.
☆☆☆
"Bagaimana Nak, apa ada yang di terima?" tanya ibunya.
"Tadi baru naruh saja, Bu. Nanti akan di kabari lewat ponsel jika di panggil," jawab Elisha.
"Ya sudah, jangan terlalu di pikirkan. Kita makan seadanya saja, yang penting kalian tidak di sakiti,"
Bu Sariyati sebenarnya tidak punya tabungan karena hasil panennya selama ini hanya cukup untuk makan sehari-hari. Namun ia tidak ingin putrinya merasa tidak nyaman tinggal bersamanya. Tadi pagi ia telah meminjam uang kepada tetangganya tanpa sepengetahuan suami atau pun putrinya untuk biaya hidup mereka sehari-hari.
"Terima kasih ya, Bu,"
Keduanya berpelukan. Keduanya sama-sama tidak berdaya oleh keadaan, namun tetap tidak ingin menyerah.
☆☆☆
Tiga minggu kemudian.
Hari demi hari terasa sangat cepat. Elisha sudah berupaya mencari pekerjaan kemana-mana namun tidak satu pun yang di terima. Bahkan di pabrik pun sama sekali tidak di hubungi.
Beberapa kali ia mendapat sindiran pedas dari pamannya saat bertemu di jalan atau ketika pamannya datang ke rumah orang tuanya. Hatinya sakit sekali namun ia hanya bisa diam. Sering ia menangis di saat malam menjelang, kala semua orang tertidur pulas ia bisa leluasa meluapkan rasa sedihnya.
Sudah satu bulan lebih ia meninggalkan rumah, namun suaminya sama sekali tidak mencari atau bahkan menghubunginya. Sepertinya pernikahan mereka memang harus usai sampai di sini saja.
"Sepertinya aku harus merantau, di sini belum ada rejeki ku," ucap Elisha.
Ia perlahan turun dari kasur menuju ke kamar orang tuanya. Ternyata ibunya sedang tidur sendiri, ayahnya sedang keluar bersama pamannya.
"Bu, sudah sebulan aku dan anak-anak di sini. Aku tahu kami hanya menambah beban Ibu, maafkan aku ya,"
Manik Elisha mulai berkaca-kaca. Detik kemudian cairan bening itu mulai turun perlahan membasahi pipinya.
"Kamu jangan bicara seperti itu. Kamu putri ku, mereka juga cucu ku. Sudah kewajiban kami orang tua untuk merawat kalian," ucap ibunya ikut menangis.
"Bu, izinkan aku merantau untuk mencari pekerjaan. Aku tidak ingin seperti ini terus, mereka akan semakin besar dan membutuhkan banyak uang. Ibu tidak keberatankan aku titip mereka di sini?"
Elisha bersimpuh di kaki ibunya meminta persetujuan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 48 Episodes
Comments
Alifia Najla Azhara
semoga dpt pekerjaan yg baik
2023-06-07
0