Keesokan harinya.
"Nak, ini ada nomor ponsel bu Siti tetangga kita dulu. Katanya dia membuat usaha di kota B, kamu bisa menemuinya. Barangkali ada pekerjaan untuk mu di sana,"
Bu Sariyati memberikan secarik kertas kepada putrinya. Elisha menyimpan nomor tersebut di ponselnya dan menaruh kertas itu di dalam tasnya.
"Aku berangkat dulu ya Bu, titip anak-anak. Aku akan segera bekerja agar bisa secepatnya bisa mengirim uang untuk kalian,"
Ia memeluk ibunya dengan perasaan sedih. Tapi ia harus bertahan demi hidup yang lebih baik.
"Hati-hati di kota orang ya, Nak. Jika hidup mu menderita, secepatnya kembalilah ke rumah ini,"
Elisha mengangguk. Namun hatinya sudah bertekad, ia tidak akan kembali sebelum sukses.
"Sayang, mama pergi kerja dulu ya. Kalian harus menurut apa kata kakek dan nenek. Jangan membuat mereka repot ya,"
Dengan sekuat tenaga ia menguatkan dirinya sendiri agar tidak terbawa perasaan. Walaupun nyatanya hatinya bagai tersayat-sayat. Wanita mana yang bisa tahan berpisah dengan buah hatinya yang bahkan untuk mengurus dirinya sendiri mereka belum sanggup. Mereka masih kecil, bahkan mungkin belum mengerti dengan kenyataan yang tengah mereka alami.
Kedua anaknya menatapnya dengan raut tak terbaca. Sedih namun tak ada air mata. Mereka cenderung diam tanpa ekspresi. Mungkin mereka memang belum benar-benar mengerti dengan apa yang terjadi.
Setelah berpamitan kepada orang tua serta anaknya, Elisha segera melangkah menuju ke terminal dekat rumahnya. Hatinya kacau, kakinya terasa berat untuk melangkah. Namun ia tak ada pilihan selain memutuskan pergi demi mengubah hidup mereka.
☆☆☆
Sudah 2 jam ia berada di dalam bus yang ia tumpangi. Air matanya mengalir dengan deras, ia menangis tanpa suara. Setelah merasa tenang, ia mulai menghubungi nomor ponsel bu Siti.
"Assalamualaikum, Bu Siti," sapa Elisha.
"Waalaikum salam, ini siapa ya?" tanyanya.
"Ini Elisha anak bu Sariyati tetangga ibu di desa dulu,"
Dengan ramah Elisha mulai memperkenalkan diri dan mengutarakan maksudnya. Ternyata bu Siti sangat baik, ia memperbolehkannya tinggal di tempatnya sampai mendapatkan pekerjaan.
"Alhamdulillah aku bisa menghemat uang dari ibu," ucap Elisha setelah panggilan berakhir.
Elisha tersenyum senang. Ia kemudian beristirahat sampai tempat yang di tuju.
☆☆☆
"Bagaimana perjalan mu tadi?" tanya bu Siti saat menjemput Elisha di depan gang.
"Sedikit melelahkan bu, tapi alhamdulillah bisa ketemu ibu di sini," jawab Elisha.
"Syukurlah, aku senang bisa membantu mu. Ibu mu sangat baik sekali makanya semua tetangga juga baik terhadap beliau,"
Mereka terus mengobrol sambil berjalan menuju rumah bu Siti. Hanya butuh waktu lima menit untuk sampai di rumahnya.
"Kamu bisa tinggal di kamar itu," Bu Siti menunjukkan kamar Elisha.
"Lebih baik kamu mandi dulu lalu makan dan istirahat, besok saja kalau mau mencari pekerjaan," imbuh bu Siti.
Elisha menuruti saran bu Siti. Ia segera membersihkan diri setelah menaruh barangnya di dalam kamar.
☆☆☆
Malam harinya.
Waktu sudah menunjukkan pukul 20.00, Elisha yang berada di dalam kamarnya mendengar pintunya di ketuk. Ia bergegas membukanya.
"Lisha, Aku mau berangkat jualan dulu ya," pamit bu Siti.
"Ibu jualan apa?" tanya Elisha penasaran.
"Aku buka warung di dekat sini," jawab bu Siti.
"Warung apa, Bu? Boleh tidak aku ikut ke sana?" tanya Elisha penuh harap.
"Aku membuka warung kopi, bukanya sampai dini hari. Boleh saja kalau mau ikut, tapi jika kamu tidak mengantuk tentunya,"
Elisha senang, ia segera memakai jaketnya agar tidak kedinginan.
Dari cerita bu Siti, ternyata usaha jualan bajunya sudah gulung tikar sejak setengah tahun lalu. Karena usia yang sudah tua dan minim keterampilan ia terpaksa membuka usaha warung kopi demi bertahan hidup. Ia tidak mungkin kembali lagi ke desa karena tanah miliknya telah ia jual saat akan berangkat merantau ke kota ini.
"Beginilah keadaan ku di sini, Lisha. Hanya ini yang aku bisa agar dapat uang, yang penting halal," ucap Bu Siti.
"Tidak apa-apa Bu, justru aku salut melihatnya," ucap Lisha jujur.
Pelanggan bu Siti ternyata cukup banyak. Rata-rata mereka adalah laki-laki. Selain menyediakan kopi dan berbagai macam es, Bu Siti juga berjualan gorengan dan camilan. Bahkan ia terkadang sampai kerepotan jika sedang ramai sekali. Elisha mencoba membantu sebisanya.
"Kenapa Ibu melihat ku seperti itu?" tanya Elisha.
"Bagaimana jika sebelum kamu mendapat kerja, kamu membantu ku berjualan. Aku bisa memberi mu uang harian, ya tapi tidak banyak karena ini kan hanya warung kecil,"
Mendengar ucapan bu Siti, Elisha terlihat berpikir. Sepertinya tawaran bu Siti lumayan menarik. Iya bisa membalas kebaikannya dengan membantunya berjualan. Apalagi jika mendapatkan upah, lumayan bisa untuk menyambung hidup.
"Boleh Bu, aku mau," jawab Elisha.
Mulai malam itu dia membantu bu Siti berjualan. Ia di beri tugas untuk menggoreng adonan gorengan yang bu Siti buat. Ternyata ini tidak semudah yang terlihat. Berada di depan penggorengan cukup lama membuatnya merasa panas dan berkeringat. Namun karena tak ingin mengecewakan bu Siti, ia terus melanjutkan pekerjaannya secara profesional.
☆☆☆
Beberapa saat kemudian.
Berkali-kali Elisha terlihat menguap. Ketika melihat jam di ponselnya, waktu telah menunjukkan pukul 01.30 dini hari. Matanya sudah terasa sangat berat, ia tak dapat menahan rasa kantuknya lagi. Bu Siti yang tidak sengaja melihatnya merasa kasihan.
"Kita siap-siap pulang saja yuk," ajak bu Siti.
"Kok pulang, Bu? Gorengannya kan masih ada?" tanya Elisha.
"Sisa sedikit ini kok. Nanti kita makan atau bagi ke tetangga saja," jawab bu Siti.
Mereka pun segera berkemas untuk pulang.
☆☆☆
Keesokan harinya.
Ayam mulai berkokok pertanda hari sudah mulai pagi. Elisha mendengarnya, namun matanya tidak sanggup terbuka. Tentu saja ia tidak bisa bangun karena ia baru tidur sekitar pukul 02.30. Ia meneruskan tidurnya dan mengabaikan suara kokok ayam yang membangunkannya.
Ia terbangun sekitar pukul 09.00. Sebenarnya ia sungkan bangun sesiang itu, tapi mau bagaimana lagi ia merasa sangat mengantuk sekali. Matanya tidak bisa terbuka walaupun ia berusaha melawan kantuknya tadi pagi.
"Kamu sudah bangun ya, cepat mandi lalu kita sarapan ya," sapa bu Siti yang tengah memasak.
"Maaf ya Bu, aku bangunnya siang. Lain kali pasti aku bangun lebih pagi," balas Elisha.
"Tidak masalah, kamu kan belum terbiasa. Kita tidurnya juga kan dini hari, jadi wajar jika bangun siang. Aku juga baru saja bangun setengah jam yang lalu kok,"
Bu Siti yang tersenyum ramah membuat rasa bersalah Elisha sedikit berkurang.
Setelah membersihkan badannya, ia segera bergabung dengan bu Siti untuk sarapan menjelang siang.
"Lisha, terimalah ini untuk mu. Kamu bisa terus membantu ku selama belum mendapat pekerjaan, itu juga kalau kamu mau,"
Bu Siti memberinya upah 50 ribu untuk pekerjaannya semalam. Tidak banyak namun sangat membantunya. Apalagi dia tinggal dan makan gratis di situ.
"Terima kasih ya Bu, aku akan terus membantu selama belum mendapatkan yang lebih baik," ucap Elisha seraya tersenyum penuh syukur.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 48 Episodes
Comments