NovelToon NovelToon

Bukan Wanita Malam Biasa

BAB 1 Pengkhianatan Yang Menyakitkan

Elisha berlari membawa kedua buah hatinya, menjauh dari suaminya yang mencoba membunuhnya dengan belati saat mereka tengah bertengkar hebat. Ia hanya membawa beberapa helai pakaian yang memang sebelumnya telah ia siapkan serta ponselnya, satu-satunya barang berharga yang bisa ia bawa saat itu.

Suara petir yang menggelegar saling bersahutan bahkan tidak ia pedulikan. Langit seolah ikut marah, awan gelap mulai menyelimuti. Rinai hujan mulai berjatuhan membasahi bumi. Wajahnya yang ayu telah basah oleh air mata dan tetesan air hujan.

"Ma, kita mau kemana?" tanya anak pertamanya.

"Kita harus pergi Nak, kita akan menginap di rumah tante mu,"

Elisha merogoh dompetnya, hanya tersisa uang 30 ribu di dompetnya. Cukup untuk naik angkot dua kali ke rumah kakaknya.

Beruntung saat hujan mulai deras, mereka sudah berada di dalam angkutan umum. Tubuhnya letih, perutnya terasa sangat lapar sekali. Namun dirinya lebih prihatin dengan kondisi kedua anaknya. Mereka pasti juga sangat lelah dan lapar.

"Sayang bangun, kita sudah sampai,"

Elisha membangunkan keduanya.

"Ma, aku capek dan lapar,"

Tanpa berkata pun, ia sudah tahu jika kedua buah hatinya sangat menderita.

"Iya Sayang, Sebentar lagi kita makan di rumah tante mu. Sabar ya,"

Dengan menahan tetes air mata agar tidak tumpah, ia mulai menghubungi nomor kakaknya. Tempat ia berhenti masih cukup jauh dari rumah kakaknya jika di tempuh dengan berjalan kaki. Ia bermaksud meminta di jemput karena kedua anaknya pasti tidak kuat lagi untuk berjalan lebih jauh.

"Mbak, aku mau ke rumah mu. Sekarang sudah ada di dekat pondok di dekat pasar, bisakah kamu jemput kami?"

Tanpa berbasa-basi ia langsung mengutarakan maksudnya saat mendengar suara kakaknya di seberang telepon.

"Yang benar? Kamu dengan siapa ke sini? Aku akan segera ke sana,"

Kakaknya sangat terkejut, tidak biasanya adiknya datang tanpa memberi kabar terlebih dahulu.

"Iya Mbak. Aku dengan anak-anak. Aku tunggu ya,"

Setelah mematikan panggilan, ia mengajak kedua anaknya duduk di depan teras rumah orang. Beruntung di tempat ini tidak hujan, jika tidak mereka pasti sudah basah kuyup. Di pangkunya anak keduanya sembari memeluk anak pertamanya. Mereka sesekali menguap menandakan sudah mulai mengantuk.

"Lisha..."

Elisha menoleh tatkala mendengar suara kakaknya memanggil. Ia bangkit membawa kedua anaknya naik motor kakaknya.

"Doni kemana? Kenapa kamu membawa tas segala?" tanya kakaknya.

"Ceritanya panjang, Mbak. Nanti saja aku ceritakan," jawab Elisha.

Tak banyak bertanya lagi, kakaknya segera melajukan motor menyusuri gelapnya malam, menuju rumahnya.

☆☆☆

"Apa kalian sudah makan?" tanya Dina.

Elisha menggeleng lemah. Ia yakin kakaknya pasti bisa melihat jika mereka belum makan dari wajah mereka yang sedikit pucat.

"Ya sudah, kalian makan dulu sana. Ceritanya besok saja. Setelah makan kalian istirahat saja di kamar itu,"

Elisha menuruti ucapan kakaknya. Ia menyuapi kedua anaknya yang makan dengan lahap. Setelah memastikan anaknya kenyang, barulah dia makan.

Setelah mencuci muka, ia mengajak anaknya beristirahat. Menit kemudian keduanya telah di lenakan oleh mimpi. Berbeda dengannya yang bukan hanya tak bisa tidur, matanya kini sudah mulai sembab karena terus saja menangis. Ia tak pernah menyangka hidupnya akan berakhir seperti ini.

☆☆☆

Keesokan harinya.

"Sebenarnya apa yang terjadi? Apa kalian bertengkar?" tanya Dina, yang merupakan kakak pertama Elisha.

"Dia ingin membunuh kami, Mbak. Dia membawa pisau dan mengejar kami," jelasnya.

Tangisnya pun pecah. Kakaknya sangat terkejut, pasalnya Doni suaminya setahunya bukanlah orang yang kasar. Janggal rasanya jika pria itu sampai menghunuskan pisau kepada anak dan istrinya.

"Tapi kenapa sampai ia berbuat begitu? Setahu ku dia orang yang sabar?" tanya Dina lagi.

Elisha mulai menceritakan segalanya dengan bercucuran air mata. Sebenarnya kehidupan rumah tangganya memang tak semanis yang terlihat. Suaminya kerap berbohong untuk banyak hal. Karena ia sadar ia juga bukanlah orang yang sempurna, ia selalu mengalah dan memaafkannya.

Namun kesalahan yang selalu berulang akhirnya membuatnya jengah. Ia mulai memberontak dan protes.

Hampir setiap hari ia melihat suaminya ber-chat mesra dengan banyak wanita. Walaupun ia belum pernah melihat mereka langsung dengan mata kepalanya sendiri, namun hati istri mana yang tak sakit di perlakukan begitu. Mereka menjadi sering bertengkar.

Padahal kehidupan mereka hanya cukup, bahkan kadang kurang. Betapa teganya suaminya mengkhianatinya yang sudah bertahun-tahun bertahan berjuang bersamanya. Baginya perbuatan suaminya sudah termasuk berselingkuh dan tidak bisa di maafkan.

Hari itu ia mendengar suaminya berbicara dengan seorang wanita di telepon. Ia tak sengaja mendengarnya saat menuju dapur. Sayup-sayup ia mendengar suara ******* dari kamar mandi yang tersamarkan oleh suara air kran yang mengalir. Karena penasaran ia mengintip dari lubang pintu. Ia tak bisa menahan keterkejutannya. Suaminya tengah video call dengan seorang wanita, mereka sedang melakukan phone **** di dalam kamar mandi.

Elisha tak sanggup melihatnya lebih lama. Ia berlari ke dalam kamar, membereskan pakaiannya dan juga anaknya yang muat ke dalam tas. Hatinya begitu pedih dan sakit melihat pemandangan tadi. Ia tak menyangka suaminya bisa berbuat begitu, pasalnya untuk kebutuhan ranjang mereka selama ini baik-baik saja. Entah mengapa suaminya masih menginginkan kepuasan dari luar.

Kedua anaknya menatapnya dengan bingung melihat ibu mereka mengemas pakaiannya.

Doni yang telah selesai dengan aktivitasnya, begitu terkejut melihat istrinya berkemas dan menangis. Adu mulut pun tak terelakkan. Keduanya bertengkar hebat sampai kedua anaknya menangis. Karena kalap, Doni mengejar istrinya dengan memegang pisau. Elisha yang ketakutan segera mengajak kedua anaknya pergi dari sana.

"Astaga, aku tidak menyangka kelakuan Doni begitu. Kamu yang sabar ya,"

Dina memeluk adiknya dan berusaha menghiburnya, setelah mendengar ceritanya.

"Aku ingin pulang, Mbak. Aku takut dia akan membunuh ku dan anak-anak," ucap Elisha.

"Lalu bagaimana nasib kalian ke depannya?"

Dina prihatin dengan nasib adiknya. Di usianya yang belum genap 25 tahun sudah harus menyandang status janda. Tapi tidak mungkin dirinya menyarankannya untuk kembali dengan Doni yang sudah menyakitinya.

"Aku akan pulang ke rumah ibu, aku akan mencari pekerjaan agar bisa menghidupi anak-anak,"

Elisha memandang jauh ke depan. Sebenarnya ia juga tidak yakin dengan kehidupannya nanti. Pendidikannya hanya sampai SMA, entah pekerjaan apa yang akan ia dapat nanti. Yang jelas ia tidak ingin lagi hidup di kota ini, walaupun banyak kenangan manis namun kenangan pahit yang hanya terbayang kini di dalam ingatannya.

"Kamu mau pulang kapan, Lisha?"

"Secepatnya, Mbak. Tapi aku tidak punya uang sepeser pun, bolehkah aku pinjam dulu?"

Dina mengambil dompetnya. Ia memberikan beberapa lembar uang ratusan ribu kepada adiknya.

"Ini untuk mu, maaf ya aku tidak bisa memberi banyak. Kamu tahu sendiri kakak ipar mu hanya bekerja serabutan,"

Elisha mengambil uang pemberian kakaknya.

"Ini sudah lebih dari cukup, Mbak. Terima kasih ya, aku siap-siap dulu,"

Ia segera mengemas barang-barang. Tidak butuh waktu lama karena memang bawaannya tidak banyak.

"Mbak, aku pulang dulu ya. Terima kasih untuk semua bantuannya,"

Mereka saling berpelukan. Gurat kesedihan tampak jelas di mata keduanya.

"Hati-hati ya, salam untuk ibu dan bapak," pesan Dina.

Elisha berusaha menahan langkahnya yang sedikit limbung karena tidak kuat menahan perasaannya. Terbayang di kepalanya akan kerasnya hidup yang akan ia jalani nanti. Ia tidak akan mengeluh, hanya meminta Tuhan agar mempermudah jalannya. Itu saja yang ia harapkan saat ini.

BAB 2 Pulang Kampung

Sepanjang perjalanan, Elisha menatap ke luar jendela. Terbayang kenangan-kenangan indah yang sempat ia lalui bersama Doni selama bertahun-tahun. Rumah tangga yang mereka bangun atas dasar cinta nyatanya tak mampu bertahan dengan adanya cobaan demi cobaan yang menerpa.

Elisha mengerjapkan matanya, membuat air mata yang sejak tadi sekuat tenaga ia tahan agar tidak jatuh akhirnya menetes tanpa bisa ia bendung lagi. Ia menangis tertahan, ia tak ingin kedua anaknya tahu jika ibunya sedang bersedih.

"Ya Tuhan, semoga apa yang ku putuskan ini benar," ucapnya di dalam hati.

Ia menyeka air matanya, lalu memeluk dan mencium kedua buah hatinya.

"Kalian tidur saja dulu, kalau sampai nanti mama bangunkan,"

Keduanya menurut, mereka mulai memejamkan mata dan akhirnya benar-benar tertidur.

Elisha melihat ponselnya. Tidak ada satu pun pesan atau panggilan dari suaminya. Biasanya setiap kali mereka bertengkar, pria itu akan berusaha meminta maaf. Namun kali ini tidak seperti biasanya, apakah suaminya memang juga sudah enggan mempertahankan pernikahan mereka?

Elisha menghela napas dengan kasar, ia tidak ingin lagi berharap semuanya membaik. Dirinya sudah terlanjur jijik melihat apa yang suaminya perbuat. Sebagai seorang ibu, jujur ia sangat kuatir dengan nasib kedua anaknya. Namun sebagai seorang istri ia tidak ingin harga dirinya di injak-injak dengan kembali kepada suaminya.

☆☆☆

"Sayang bangun, kita sudah sampai," ucapnya.

Kedua anaknya membuka mata dengan sedikit malas karena masih mengantuk. Mereka turun dan berjalan sekitar 50 meter sebelum akhirnya sampai di rumah tua milik orang tuanya.

"Assalamualaikum,"

Karena pintu terbuka, ia langsung saja masuk ke dalam.

"Waalaikum salam, Lisha..."

Ibunya terkejut saat mendapatinya datang. Ia segera menyalami kedua orang tuanya.

"Kok pulang tidak memberi kabar? Mana suami mu?"

Mata tua itu memandangnya penuh selidik. Ia tidak dapat menghindar dari tatapan kedua orang tuanya. Dengan sekuat tenaga tadi ia bertahan agar tidak terlihat sedih di depan kedua anaknya. Namun tatapan kedua orang tuanya meruntuhkan pertahanannya. Seketika ia menangis sekencang-kencangnya, menumpahkan segala rasa perih di dada yang selalu ia pendam.

"Sabar, Nak. Menangislah supaya kamu lega,"

Ibunya menghampirinya, memeluk dan mengusap punggungnya dengan lembut. Berusaha menenangkannya. Tanpa dirinya bercerita, ibunya tahu jika dirinya sedang tidak baik-baik saja.

"Ibu tidak memaksa mu bercerita. Kamu sudah dewasa, sudah tahu mana yang baik dan buruk. Ibu hanya berpesan, jangan sampai mengambil keputusan dalam keadaan sedang marah," imbuh ibunya.

Elisha mendongak, ia menyeka air matanya. Tangisannya sudah tidak lagi terdengar. Ia sudah dapat menstabilkan emosinya. Tanpa di minta, ia pun mulai bercerita. Bukannya ingin membuka aib suami, namun ia tidak ingin orang tuanya salah paham dengan apa yang terjadi.

"Aku harus bagaimana, Bu? Aku sudah tidak sanggup hidup dengan dirinya?"

Ia meminta pendapat ibunya setelah selesai bercerita.

Bu Sariyati menghela napas dalam. Sejujurnya ia menyayangkan jika sampai pernikahan putrinya kandas karena mereka telah di karunia dua orang anak. Namun sebagai orang tua ia juga tidak rela jika putrinya di sakiti.

"Ibu hanya kasihan dengan anak kalian. Tapi sebagai wanita ibu juga tidak mau di perlakukan seperti itu. Kita lihat saja sejauh apa suami mu masih ingin mempertahankan pernikahan kalian,"

Keduanya sebenarnya sepemikiran. Sesakit apapun yang ada di pikiran orang tua, yang mereka pikirkan hanyalah nasib anak mereka.

Keduanya lanjut mengobrol tentang hal lainnya untuk mengubah situasi menjadi lebih ceria.

☆☆☆

Seminggu kemudian.

Setiap hari Elisha selalu berkabar dengan Dina, kakaknya. Ia selalu menanyakan barangkali suaminya berkunjung ke rumah kakaknya untuk meminta maaf atau sekadar bertanya keberadaan mereka. Namun pria itu tidak pernah melakukannya. Ia juga tidak datang ke rumah orang tuanya. Bahkan menghubungi dirinya saja ia tak pernah. Hatinya sakit, ternyata dirinya sudah tak di harapkan.

"Bagaimana Nak? Apa ada kabar dari Doni?" tanya ayahnya.

Elisha menggeleng pelan.

"Tidak ada, Pak. Sepertinya dia memang ingin pernikahan kita usai,"

Elisha menjawab penuh kepedihan. Luka di hatinya yang menganga lebar terasa di siram air garam. Pedih, perih, sakit, sesakit-sakitnya. Namun bibirnya masih berusaha tersenyum. Ia tidak ingin terlihat rapuh dan membuat orang tuanya lebih sedih lagi.

"Sudah seminggu berlalu, sepertinya dia memang bukan pria yang baik," ucap ayahnya.

"Iya Nak, ibu sangat kecewa kepadanya. Jangan pernah kembali kepadanya," sahut ibunya sembari tersenyum getir.

Kedua orang tuanya tidak menduga putrinya akan segera menjadi janda secepat ini.

Tok... tok... tok...

Terdengar suara ketukan pintu di susul salam dari depan rumah. Elisha bergegas membukakan pintu.

"Paman Jali, mari masuk,"

Elisha mempersilahkan pamannya masuk.

"Loh Lisha kok ada di sini? Sedang liburan ya?"

Alih-alih menjawab pertanyaan pamannya, ia justru mengalihkan pembicaraan.

"Sebentar aku panggilkan ibu dan bapak dulu ya, Paman,"

Elisha melenggang pergi, menyisakan pamannya yang penuh tanda tanya.

"Oh kamu Jali, mau lapor masalah panen ya?" tanya bu Sariyati.

"Iya Mbak, mana Mas Darminto?"

Rojali melihat ke belakang karena kakaknya hanya sendiri menemuinya.

"Masih di kamar mandi, tadi sudah ku beri tahu," jawab bu Sariyati.

"Oh... Eh iya Mbak, itu si Elisha kok ada di sini? Apa sedang liburan?" tanya Rojali yang penasaran.

"Biasalah orang rumah tangga, ia sedang ada masalah sedikit. Oh iya, jadi bagaimana panen kita?"

Karena tidak ingin membahas lebih jauh bu Sariyati mencoba mengalihkan pembicaraan.

"Eh Rojali... bagaimana panen kita?"

Pak Darminto datang dari arah belakang dan ikut duduk bergabung bersama mereka.

"Maaf ya Mas, kita gagal panen. Semua tanaman kita rusak karena hama. Aku juga tidak menyangka bisa begini, karena aku sudah berusaha mengantisipasinya,"

Rojali merasa bersalah. Ia tahu hasil panen ini adalah satu-satunya harapan mereka untuk bisa bertahan hidup. Walaupun sawah mereka tidak luas, namun masih bisa untuk menghidupi mereka.

"Kok bisa gagal sih, Jali? Bukannya biasanya kamu selalu bisa mengatasi masalah hama itu?" tanya kakaknya.

"Aku sudah melakukan antisipasi seperti biasanya, Mbak. Tapi tidak tahu juga mengapa begini. Padahal sawah pak Darno itu sukses bisa panen," jawab Rojali.

"Kok aneh ya, padahal sawahnya tepat di sebelah sawah kita," sahut pak Darminto.

"Aku juga heran, Mas. Bukannya ingin berburuk sangka, tapi sepertinya ada yang berusaha membuat kita gagal panen,"

Ucapan Rojali membuat mereka saling berpandangan. Selama ini mereka selalu baik kepada semua orang, dan tidak mempunyai musuh. Lalu benarkah masih ada yang tidak menyukai mereka?

"Sudahlah kita ikhlaskan saja. Jika masih ada rejeki, pasti nanti ada gantinya," ucap pak Darminto.

"Tapi bagaimana hidup kita ke depannya, Pak? Apalagi sekarang bertambah tiga orang di rumah ini, kasihan mereka,"

Bu Sariyati menatap kedua cucunya dengan perasaan sedih.

"Elisha kan punya suami Mbak. Ya itu sudah tanggung jawab suaminya memberinya nafkah, bukan tugas kalian lagi,"

Rojali menatap kakak dan kakak iparnya bergantian. Melihat mereka tidak menjawab justru membuatnya kuatir.

"Kok kalian diam? Apa jangan-jangan mereka akan bercerai ya?"

Rojali menatap keduanya, meminta penjelasan.

BAB 3 Mencari Pekerjaan

Keesokan harinya.

Elisha yang mendengar kabar tentang gagalnya panen sawah milik orang tuanya merasa sangat sedih. Ia yang seharusnya bisa membantu kehidupan orang tuanya justru menambah beban mereka di masa tua. Kehadirannya bersama dua anaknya akan membuat pengeluaran rumah ini naik berkali lipat. Ia memutuskan untuk mencari pekerjaan agar dapat membantu orang tuanya.

Sejak pagi dirinya telah sibuk membuat lamaran pekerjaan. Walaupun ia tidak yakin dengan ijazahnya yang hanya tamatan SMA, ia harus tetap berusaha keras. Ia rela bahkan jika harus bekerja di pabrik, hal yang tak pernah ia lakukan selama ini. Walaupun orang tuanya bukan dari kalangan berada, ia beruntung karena orang tuanya selalu berusaha memberikan kehidupan yang nyaman kepadanya selama ini.

"Kamu mau kemana kok sudah rapi begini?" tanya ibunya.

"Aku harus mencari kerja, Bu. Aku tidak ingin menjadi benalu di sini," jawabnya.

Ibunya menghela napas dalam, wanita itu tahu jika putrinya pasti sudah mendengar ucapan Rojali kemarin. Adiknya itu memang terkadang memang ceplas ceplos jika berbicara. Jika orang yang tidak tahu sifatnya pasti akan merasa sakit hati mendengarnya.

"Kamu jangan dengarkan ucapan paman mu itu, dia dari dulu memang begitu mulutnya. Jangan sampai kamu masukkan hati, Nak," balas ibunya.

Sejujurnya, Elisha memang sakit hati mendengar ucapan pamannya kemarin. Walaupun ia tahu mulut pamannya memang dari dulu berbisa dan tidak bisa di rem, tetap saja dia juga punya perasaan. Tanpa harus berkata begitu pun dirinya sudah sadar diri, tidak mungkin ia hanya bergantung kepada orang tuanya. Ia hanya butuh waktu untuk membiasakan kedua anaknya bersama orang tuanya, agar jika dirinya bekerja mereka tidak rewel.

"Tidak Bu, tanpa paman berkata begitu pun aku memang berniat bekerja. Aku yakin suami ku tidak akan memberi uang lagi setelah ini, jadi aku harus bertanggung jawab terhadap mereka," ucap Elisha.

"Maafkan ibu ya Nak, karena kita hanya orang miskin hingga kalian semua harus hidup seperti ini. Semoga kalian semua bisa bahagia nantinya," balas ibunya.

Keduanya berpelukan. Bukannya mereka tidak ingin bersyukur, hanya saja keadaan mereka yang seperti ini membuat mereka sering tak berdaya.

☆☆☆

Elisha melajukan motor bebek milik ayahnya perlahan karena dirinya sedikit lupa dengan jalanan di kota kelahirannya itu. Wajahnya yang cantik mulai di basahi keringat karena cuaca yang cenderung panas.

Ia menaruh lamaran pekerjaannya ke beberapa tempat. Di koperasi simpan pinjam sebagai admin. Di pabrik rokok ia memilih tenaga produksi. Di konter handphone sebagai kasir. Lalu yang terakhir ia menaruh di pabrik tripleks sebagai tenaga produksi.

"Kira-kira berapa lama di panggil untuk interview ya, Pak?" tanyanya kepada satpam pabrik.

"Paling lama 2 minggu biasanya, Mbak," jawab satpam itu.

"Jadi jika 2 minggu tidak ada panggilan artinya sudah tidak ada harapan ya, Pak?"

"Ya bisa di bilang begitu. Berdoa saja semoga masih rejeki, Mbak,"

"Amin... terima kasih, Pak. Saya permisi dulu," pamit Elisha.

Matahari siang bersinar sangat terik. Kulit Elisha mulai belang karena tidak memakai sarung tangan. Tapi dirinya tidak peduli lagi, yang terpenting saat ini baginya adalah secepatnya mendapatkan pekerjaan agar bisa meringankan beban orang tuanya.

"Sebaiknya aku mampir ke rumah Davina, barangkali ia ada informasi pekerjaan,"

Elisha segera melajukan motornya ke desa sebelah. Davina adalah teman karibnya semasa bersekolah dulu. Walau mereka sudah lost contact sejak lama namun setiap pulang kampung ia selalu menyempatkan diri mampir ke rumah sahabatnya itu.

Tok... tok... tok...

"Assalamualaikum,"

Elisha mengetuk pintu, tampaknya sahabatnya sedang berada di dalam rumah. Setelah menunggu beberapa saat belum ada sahutan, ia mengetuk kembali. Tepat setelah ia memutuskan untuk pergi, pintu pun terbuka.

"Waalaikum salam... Elisha!"

Davina menatapnya tak percaya. Ia melihat sahabatnya lagi setelah sekitar tiga tahun tidak bertemu.

"Maaf ya aku mengganggu. Apa kamu sedang tidur?" tanya Elisha merasa bersalah.

"Tidak kok, aku hanya menemani anak ku tidur. Ayo masuk,"

Mereka duduk di ruang tamu, berbincang seputar kehidupan mereka selama tidak bertemu. Terkadang mereka mengingat masa sekolah yang indah.

"Jadi kamu sudah berpisah dengan suami mu?" tanya Davina.

"Secara resmi sih belum, tapi sekarang aku sudah tinggal dengan orang tua ku," jawab Elisha.

"Aku turut prihatin ya. Kamu harus tetap semangat demi kedua anak mu,"

Davina berusaha menghibur Elisha. Ia hanya bisa tersenyum getir mendapat support dari sahabatnya itu.

"Iya, tadi saja aku sudah menaruh beberapa lamaran. Aku harus segera bekerja untuk menghidupi mereka, kasihan orang tua ku jika harus di recoki terus," ucap Elisha.

"Memangnya sudah melamar kemana saja?" tanya Davina.

"Tadi sih aku taruh di koperasi, konter, pabrik rokok dan tripleks,"

"Semoga segera di panggil ya, nanti aku coba tanya teman-teman barangkali ada lowongan,"

Mereka asyik mengobrol tentang banyak hal, sekaligus melepas rindu. Karena takut anaknya rewel, beberapa saat kemudian Elisha pun pamit pulang.

☆☆☆

"Bagaimana Nak, apa ada yang di terima?" tanya ibunya.

"Tadi baru naruh saja, Bu. Nanti akan di kabari lewat ponsel jika di panggil," jawab Elisha.

"Ya sudah, jangan terlalu di pikirkan. Kita makan seadanya saja, yang penting kalian tidak di sakiti,"

Bu Sariyati sebenarnya tidak punya tabungan karena hasil panennya selama ini hanya cukup untuk makan sehari-hari. Namun ia tidak ingin putrinya merasa tidak nyaman tinggal bersamanya. Tadi pagi ia telah meminjam uang kepada tetangganya tanpa sepengetahuan suami atau pun putrinya untuk biaya hidup mereka sehari-hari.

"Terima kasih ya, Bu,"

Keduanya berpelukan. Keduanya sama-sama tidak berdaya oleh keadaan, namun tetap tidak ingin menyerah.

☆☆☆

Tiga minggu kemudian.

Hari demi hari terasa sangat cepat. Elisha sudah berupaya mencari pekerjaan kemana-mana namun tidak satu pun yang di terima. Bahkan di pabrik pun sama sekali tidak di hubungi.

Beberapa kali ia mendapat sindiran pedas dari pamannya saat bertemu di jalan atau ketika pamannya datang ke rumah orang tuanya. Hatinya sakit sekali namun ia hanya bisa diam. Sering ia menangis di saat malam menjelang, kala semua orang tertidur pulas ia bisa leluasa meluapkan rasa sedihnya.

Sudah satu bulan lebih ia meninggalkan rumah, namun suaminya sama sekali tidak mencari atau bahkan menghubunginya. Sepertinya pernikahan mereka memang harus usai sampai di sini saja.

"Sepertinya aku harus merantau, di sini belum ada rejeki ku," ucap Elisha.

Ia perlahan turun dari kasur menuju ke kamar orang tuanya. Ternyata ibunya sedang tidur sendiri, ayahnya sedang keluar bersama pamannya.

"Bu, sudah sebulan aku dan anak-anak di sini. Aku tahu kami hanya menambah beban Ibu, maafkan aku ya,"

Manik Elisha mulai berkaca-kaca. Detik kemudian cairan bening itu mulai turun perlahan membasahi pipinya.

"Kamu jangan bicara seperti itu. Kamu putri ku, mereka juga cucu ku. Sudah kewajiban kami orang tua untuk merawat kalian," ucap ibunya ikut menangis.

"Bu, izinkan aku merantau untuk mencari pekerjaan. Aku tidak ingin seperti ini terus, mereka akan semakin besar dan membutuhkan banyak uang. Ibu tidak keberatankan aku titip mereka di sini?"

Elisha bersimpuh di kaki ibunya meminta persetujuan.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!