Sepanjang perjalanan, Elisha menatap ke luar jendela. Terbayang kenangan-kenangan indah yang sempat ia lalui bersama Doni selama bertahun-tahun. Rumah tangga yang mereka bangun atas dasar cinta nyatanya tak mampu bertahan dengan adanya cobaan demi cobaan yang menerpa.
Elisha mengerjapkan matanya, membuat air mata yang sejak tadi sekuat tenaga ia tahan agar tidak jatuh akhirnya menetes tanpa bisa ia bendung lagi. Ia menangis tertahan, ia tak ingin kedua anaknya tahu jika ibunya sedang bersedih.
"Ya Tuhan, semoga apa yang ku putuskan ini benar," ucapnya di dalam hati.
Ia menyeka air matanya, lalu memeluk dan mencium kedua buah hatinya.
"Kalian tidur saja dulu, kalau sampai nanti mama bangunkan,"
Keduanya menurut, mereka mulai memejamkan mata dan akhirnya benar-benar tertidur.
Elisha melihat ponselnya. Tidak ada satu pun pesan atau panggilan dari suaminya. Biasanya setiap kali mereka bertengkar, pria itu akan berusaha meminta maaf. Namun kali ini tidak seperti biasanya, apakah suaminya memang juga sudah enggan mempertahankan pernikahan mereka?
Elisha menghela napas dengan kasar, ia tidak ingin lagi berharap semuanya membaik. Dirinya sudah terlanjur jijik melihat apa yang suaminya perbuat. Sebagai seorang ibu, jujur ia sangat kuatir dengan nasib kedua anaknya. Namun sebagai seorang istri ia tidak ingin harga dirinya di injak-injak dengan kembali kepada suaminya.
☆☆☆
"Sayang bangun, kita sudah sampai," ucapnya.
Kedua anaknya membuka mata dengan sedikit malas karena masih mengantuk. Mereka turun dan berjalan sekitar 50 meter sebelum akhirnya sampai di rumah tua milik orang tuanya.
"Assalamualaikum,"
Karena pintu terbuka, ia langsung saja masuk ke dalam.
"Waalaikum salam, Lisha..."
Ibunya terkejut saat mendapatinya datang. Ia segera menyalami kedua orang tuanya.
"Kok pulang tidak memberi kabar? Mana suami mu?"
Mata tua itu memandangnya penuh selidik. Ia tidak dapat menghindar dari tatapan kedua orang tuanya. Dengan sekuat tenaga tadi ia bertahan agar tidak terlihat sedih di depan kedua anaknya. Namun tatapan kedua orang tuanya meruntuhkan pertahanannya. Seketika ia menangis sekencang-kencangnya, menumpahkan segala rasa perih di dada yang selalu ia pendam.
"Sabar, Nak. Menangislah supaya kamu lega,"
Ibunya menghampirinya, memeluk dan mengusap punggungnya dengan lembut. Berusaha menenangkannya. Tanpa dirinya bercerita, ibunya tahu jika dirinya sedang tidak baik-baik saja.
"Ibu tidak memaksa mu bercerita. Kamu sudah dewasa, sudah tahu mana yang baik dan buruk. Ibu hanya berpesan, jangan sampai mengambil keputusan dalam keadaan sedang marah," imbuh ibunya.
Elisha mendongak, ia menyeka air matanya. Tangisannya sudah tidak lagi terdengar. Ia sudah dapat menstabilkan emosinya. Tanpa di minta, ia pun mulai bercerita. Bukannya ingin membuka aib suami, namun ia tidak ingin orang tuanya salah paham dengan apa yang terjadi.
"Aku harus bagaimana, Bu? Aku sudah tidak sanggup hidup dengan dirinya?"
Ia meminta pendapat ibunya setelah selesai bercerita.
Bu Sariyati menghela napas dalam. Sejujurnya ia menyayangkan jika sampai pernikahan putrinya kandas karena mereka telah di karunia dua orang anak. Namun sebagai orang tua ia juga tidak rela jika putrinya di sakiti.
"Ibu hanya kasihan dengan anak kalian. Tapi sebagai wanita ibu juga tidak mau di perlakukan seperti itu. Kita lihat saja sejauh apa suami mu masih ingin mempertahankan pernikahan kalian,"
Keduanya sebenarnya sepemikiran. Sesakit apapun yang ada di pikiran orang tua, yang mereka pikirkan hanyalah nasib anak mereka.
Keduanya lanjut mengobrol tentang hal lainnya untuk mengubah situasi menjadi lebih ceria.
☆☆☆
Seminggu kemudian.
Setiap hari Elisha selalu berkabar dengan Dina, kakaknya. Ia selalu menanyakan barangkali suaminya berkunjung ke rumah kakaknya untuk meminta maaf atau sekadar bertanya keberadaan mereka. Namun pria itu tidak pernah melakukannya. Ia juga tidak datang ke rumah orang tuanya. Bahkan menghubungi dirinya saja ia tak pernah. Hatinya sakit, ternyata dirinya sudah tak di harapkan.
"Bagaimana Nak? Apa ada kabar dari Doni?" tanya ayahnya.
Elisha menggeleng pelan.
"Tidak ada, Pak. Sepertinya dia memang ingin pernikahan kita usai,"
Elisha menjawab penuh kepedihan. Luka di hatinya yang menganga lebar terasa di siram air garam. Pedih, perih, sakit, sesakit-sakitnya. Namun bibirnya masih berusaha tersenyum. Ia tidak ingin terlihat rapuh dan membuat orang tuanya lebih sedih lagi.
"Sudah seminggu berlalu, sepertinya dia memang bukan pria yang baik," ucap ayahnya.
"Iya Nak, ibu sangat kecewa kepadanya. Jangan pernah kembali kepadanya," sahut ibunya sembari tersenyum getir.
Kedua orang tuanya tidak menduga putrinya akan segera menjadi janda secepat ini.
Tok... tok... tok...
Terdengar suara ketukan pintu di susul salam dari depan rumah. Elisha bergegas membukakan pintu.
"Paman Jali, mari masuk,"
Elisha mempersilahkan pamannya masuk.
"Loh Lisha kok ada di sini? Sedang liburan ya?"
Alih-alih menjawab pertanyaan pamannya, ia justru mengalihkan pembicaraan.
"Sebentar aku panggilkan ibu dan bapak dulu ya, Paman,"
Elisha melenggang pergi, menyisakan pamannya yang penuh tanda tanya.
"Oh kamu Jali, mau lapor masalah panen ya?" tanya bu Sariyati.
"Iya Mbak, mana Mas Darminto?"
Rojali melihat ke belakang karena kakaknya hanya sendiri menemuinya.
"Masih di kamar mandi, tadi sudah ku beri tahu," jawab bu Sariyati.
"Oh... Eh iya Mbak, itu si Elisha kok ada di sini? Apa sedang liburan?" tanya Rojali yang penasaran.
"Biasalah orang rumah tangga, ia sedang ada masalah sedikit. Oh iya, jadi bagaimana panen kita?"
Karena tidak ingin membahas lebih jauh bu Sariyati mencoba mengalihkan pembicaraan.
"Eh Rojali... bagaimana panen kita?"
Pak Darminto datang dari arah belakang dan ikut duduk bergabung bersama mereka.
"Maaf ya Mas, kita gagal panen. Semua tanaman kita rusak karena hama. Aku juga tidak menyangka bisa begini, karena aku sudah berusaha mengantisipasinya,"
Rojali merasa bersalah. Ia tahu hasil panen ini adalah satu-satunya harapan mereka untuk bisa bertahan hidup. Walaupun sawah mereka tidak luas, namun masih bisa untuk menghidupi mereka.
"Kok bisa gagal sih, Jali? Bukannya biasanya kamu selalu bisa mengatasi masalah hama itu?" tanya kakaknya.
"Aku sudah melakukan antisipasi seperti biasanya, Mbak. Tapi tidak tahu juga mengapa begini. Padahal sawah pak Darno itu sukses bisa panen," jawab Rojali.
"Kok aneh ya, padahal sawahnya tepat di sebelah sawah kita," sahut pak Darminto.
"Aku juga heran, Mas. Bukannya ingin berburuk sangka, tapi sepertinya ada yang berusaha membuat kita gagal panen,"
Ucapan Rojali membuat mereka saling berpandangan. Selama ini mereka selalu baik kepada semua orang, dan tidak mempunyai musuh. Lalu benarkah masih ada yang tidak menyukai mereka?
"Sudahlah kita ikhlaskan saja. Jika masih ada rejeki, pasti nanti ada gantinya," ucap pak Darminto.
"Tapi bagaimana hidup kita ke depannya, Pak? Apalagi sekarang bertambah tiga orang di rumah ini, kasihan mereka,"
Bu Sariyati menatap kedua cucunya dengan perasaan sedih.
"Elisha kan punya suami Mbak. Ya itu sudah tanggung jawab suaminya memberinya nafkah, bukan tugas kalian lagi,"
Rojali menatap kakak dan kakak iparnya bergantian. Melihat mereka tidak menjawab justru membuatnya kuatir.
"Kok kalian diam? Apa jangan-jangan mereka akan bercerai ya?"
Rojali menatap keduanya, meminta penjelasan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 48 Episodes
Comments
Alifia Najla Azhara
kasihan bget elisha
2023-06-07
0