Bayang Cinta Semu
Hari ini tepat satu pekan kepulanganku dari pulau sebrang–Sumatera. Sudah lama sekali aku meninggalkan tempat kelahiran, demi bisa melupakan seseorang yang pernah menjadi sosok pelindung untukku.
Lima tahun lalu aku memutuskan untuk tinggal bersama kakakku di sana. Membuka lembaran baru dan berharap bisa mengikhlaskan pengkhianatan yang dia lakukan.
Saat hatiku sudah lebih legowo dan menerima semua kenyataan ini, tiba-tiba seseorang datang mencariku. Ibu bilang, sudah berkali-kali orang itu bolak-balik ke rumah untuk menemuiku dalam kurung waktu dua tahun.
Akhirnya, rasa penasaran membuatku menemui orang itu yang sudah cukup lama menunggu di ruang tamu.
Aku sempat bingung, karena aku sama sekali tidak mengenalnya. Apalagi saat dia memberikanku sebuah kotak berwarna emas. Namun, saat dia menyebutkan nama seseorang, aku pun tertegun.
"Dia memintaku memberikan barang itu untukmu," ucapnya dengan nada datar.
Kutatap lama kotak yang kini berada di tanganku. Rasanya ingin sekali membuka kotak itu. Namun, rasa sakit akibat pengkhianatan yang dilakukan olehnya kembali datang, membuatku mengurungkan niat untuk membukanya.
"Kembalikan saja barang ini padanya. Aku tidak ingin lagi mengingat apapun tentang dia," balasku, seraya menaruh kotak itu di atas meja, kemudian mendorongnya ke hadapan si pria asing.
Kulihat dia tersenyum samar, lalu berkata, "Aku tidak bisa mengembalikannya, karena dia sudah tiada."
Kata-kata yang keluar dari pria asing dihadapanku membuat kedua netraku membulat seketika. Hatiku tiba-tiba saja kosong setelah mendengar ucapannya.
"Maksud kamu –"
"Dia sudah meninggal dua tahun yang lalu," potong pria asing itu dengan cepat.
Seperti tersambar petir ditengah gurun pasir yang luas. Aku mematung ditempat dengan tatapan kosong. Apakah yang dikatakan oleh pria asing itu adalah sebuah kebenaran, atau hanya gurauan agar aku tidak lagi membencinya? Entahlah, aku pun tidak tahu.
"Lima tahun yang lalu, dia menderita gagal ginjal. Alasan itulah yang membuatnya menjauhi kamu," katanya dengan nada yang terdengar serius.
Aku pun mengalihkan pandangan ke arah pria asing itu. Mencoba mencari kebohongan dari sorot matanya. Namun, aku sama sekali tidak menemukan gurat kebohongan lewat sorot mata bulat itu.
Pria berkemeja kotak-kotak berwarna biru itu kembali mendorong kotak kayu ke hadapanku. "Tugasku sudah selesai. Aku pamit dulu," ucapnya kemudian bangkit dan berlalu pergi.
Dengan hati yang bergetar hebat, aku menggapai kotak berwarna emas pemberiannya, lalu membukanya perlahan. Di dalamnya terdapat sebuah jam tangan berwarna merah dan sepucuk surat di dalam amplop warna merah muda.
Sudut mataku sudah penuh oleh cairan bening yang sebentar lagi akan lolos. Aku memberanikan diri untuk menggapai sepucuk surat itu. Namun, suara seseorang membuatku mengurungkan niatku. Kuusap kasar sudut mataku yang hampir meneteskan air mata.
"Tamunya sudah pulang, Tasya?" tanya ibu, ditangannya membawa nampan berisi dua cangkir teh.
"Sudah, Bu."
"Dia siapa, Sya? Kenapa sampai bolak-balik ke sini selama dua tahun terakhir?" tanya ibu yang terlihat penasaran.
"Dia teman baik Kak Rizqi, Bu."
Ibu memandang kotak yang ada di pangkuanku, dari sorot matanya, aku tahu ibu mulai penasaran dengan isi di dalam kotak itu.
"Teman Rizqi bolak-balik datang karena mau kasih kotak itu?" tanyanya lagi.
Aku memaksa bibir ini untuk tersenyum, kemudian mengangguk. "Ini titipan Kak Risqi, Bu."
Kedua alis mata ibu bertaut, aku tahu ibu semakin bingung dengan jawabanku. Namun, aku belum ingin mengatakan yang sesungguhnya tentang Kak Rizqi, sosok pelindungku delapan tahun silam.
"Tasya ke kamar dulu, ya, Bu. Capek banget," pamitku padanya.
"Ya sudah. Istirahat sana! Tapi jangan ngebo, Sya. Hari udah sore," sahut ibu mengingatkanku.
"Iya, Bu, Tasya tahu, Kok!"
Aku berlalu menuju kamar yang sudah lama tidak kutinggali. Kamar yang terasa sangat dingin meski tidak ada AC di ruangan ini.
Kujatuhkan bokongku di atas kasur kapuk sederhana di kamar itu, lalu bersandar di tembok dan menggapai bantal guling yang aku taruh dipangkuan. Pelan-pelan aku membuka lagi kotak pemberian orang asing itu yang katanya titipan Kak Rizqi.
Tanganku mengambil jam tangan berwarna merah di dalam kotak itu. Ingatanku kembali pada saat delapan tahun yang lalu di sebuah pasar malam saat liburan sekolah. Di sanalah aku melihat jam tangan ini, dan aku sangat menginginkannya. Hanya saja, aku bukanlah anak yang berasal dari golongan orang-orang berada. Meski bekerja paruh waktu setelah pulang sekolah, nyatanya uangku selalu habis untuk membantu biaya hidup keluarga.
Saat itu aku pergi bersama salah satu sahabatku, Tika. Dia yang hidupnya lebih baik dariku tentu saja dengan mudah membeli barang incarannya. Berbeda denganku yang harus berpikir ribuan kali untuk membeli barang-barang tersebut, yang pasti akan dibilang pemborosan oleh ibu.
"Jadi kamu sudah mengikutiku sejak lama, Kak. Jam tangan ini adalah jam incaranku delapan tahun yang lalu." Tidak sadar, sebelah sudut bibirku terangkat. Aku tersenyum setelah sekian lama selalu menangis saat mengingatnya.
Lagi-lagi aku kembali pada masa lalu, ketika baru saja mengenalnya. Perkenalan yang cukup unik dan tidak mudah dilupakan meski sudah bertahun-tahun lamanya.
Saat itu, aku yang sedang menunggu angkutan umum setelah jam pulang sekolah, tiba-tiba dia datang di hadapanku dan menawarkan tumpangan.
"Ayo biar kuantar kau pulang!" ajaknya dengan percaya diri, padahal kami sama sekali belum saling mengenal.
"Maaf, tapi saya lebih baik menunggu angkot," tolakku dengan sopan.
Dia pun kembali melajukan motornya pergi dari hadapanku tanpa mengucapkan sepatah katapun. Aku menganggap dia hanya orang iseng.
Tidak berselang lama sebuah angkutan umum melintas, lalu berhenti saat aku melambaikan tangan. Angkutan umum itu berhenti, kemudian aku naik ke dalam dan kendaraan umum itu kembali melaju membelah jalanan.
"Kiri, Mas," teriakku lirih, karena aku duduk di kursi paling belakang.
Angkutan umum itu berhenti tepat di depan gang kecil menuju rumah. Aku turun, lalu membayar ongkosnya dan angkutan umum itu pun kembali melaju, semakin menjauh dariku.
Kutarik napas dalam-dalam, lalu mengeluarkannya dengan kasar. Tubuhku sudah cukup lelah, tetapi pikiranku sudah melayang ke tempat bekerja. Kupaksa kaki yang sebenarnya sudah sangat lemas itu untuk berjalan ke rumah.
Terdengar suara klakson motor dari arah belakang, disusul oleh seseorang yang mengendarai motor secara pelan menjejeriku. Aku meliriknya sekilas.
"Orang iseng tadi lagi," gumamku lirih.
"Aku bukan orang iseng, loh!" Dia menyahut setelah mendengar gumamanku.
"Kalau bukan iseng, ngapain ngikutin orang yang enggak dikenal?" tanyaku, tanpa menghentikan langkah.
"Kalau gitu, kita kenalan!"
Aku seketika meliriknya dengan tajam. Enteng sekali dia mengajakku berkenalan di jalan seperti ini, pikirku.
Lirikanku hanya ditanggapi dengan cengiran kuda olehnya. Aku pun kembali menatap jalanan di depan, tidak ingin tersandung jika berjalan tidak memperhatikan jalannya.
"Tidak mau, ya, kenalan sama orang jelek kaya aku?" tanyanya saat aku enggan menanggapinya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 34 Episodes
Comments
Chimud
Mak, atiku langsung mak tratap. Hampir juga air mata jatuh. Awal cerita sudah disuguhi adegan seperti ini. 😭
2024-02-25
1
ᴹᴮ𝓕𝓐𝓜✿𝔐𝔟𝔲𝔫𝔞
Duh, bikin nyesek. 🤧
2023-09-27
0
Saythename_27
Berasa ke ulu hati rasanya
2023-09-27
1