NovelToon NovelToon

Bayang Cinta Semu

Awal Mula

Hari ini tepat satu pekan kepulanganku dari pulau sebrang–Sumatera. Sudah lama sekali aku meninggalkan tempat kelahiran, demi bisa melupakan seseorang yang pernah menjadi sosok pelindung untukku. 

Lima tahun lalu aku memutuskan untuk tinggal bersama kakakku di sana. Membuka lembaran baru dan berharap bisa mengikhlaskan pengkhianatan yang dia lakukan. 

Saat hatiku sudah lebih legowo dan menerima semua kenyataan ini, tiba-tiba seseorang datang mencariku. Ibu bilang, sudah berkali-kali orang itu bolak-balik ke rumah untuk menemuiku dalam kurung waktu dua tahun. 

Akhirnya, rasa penasaran membuatku menemui orang itu yang sudah cukup lama menunggu di ruang tamu. 

Aku sempat bingung, karena aku sama sekali tidak mengenalnya. Apalagi saat dia memberikanku sebuah kotak berwarna emas. Namun, saat dia menyebutkan nama seseorang, aku pun tertegun. 

"Dia memintaku memberikan barang itu untukmu," ucapnya dengan nada datar. 

Kutatap lama kotak yang kini berada di tanganku. Rasanya ingin sekali membuka kotak itu. Namun, rasa sakit akibat pengkhianatan yang dilakukan olehnya kembali datang, membuatku mengurungkan niat untuk membukanya. 

"Kembalikan saja barang ini padanya. Aku tidak ingin lagi mengingat apapun tentang dia," balasku, seraya menaruh kotak itu di atas meja, kemudian mendorongnya ke hadapan si pria asing. 

Kulihat dia tersenyum samar, lalu berkata, "Aku tidak bisa mengembalikannya, karena dia sudah tiada." 

Kata-kata yang keluar dari pria asing dihadapanku membuat kedua netraku membulat seketika. Hatiku tiba-tiba saja kosong setelah mendengar ucapannya. 

"Maksud kamu –"

"Dia sudah meninggal dua tahun yang lalu," potong pria asing itu dengan cepat. 

Seperti tersambar petir ditengah gurun pasir yang luas. Aku mematung ditempat dengan tatapan kosong. Apakah yang dikatakan oleh pria asing itu adalah sebuah kebenaran, atau hanya gurauan agar aku tidak lagi membencinya? Entahlah, aku pun tidak tahu. 

"Lima tahun yang lalu, dia menderita gagal ginjal. Alasan itulah yang membuatnya menjauhi kamu," katanya dengan nada yang terdengar serius. 

Aku pun mengalihkan pandangan ke arah pria asing itu. Mencoba mencari kebohongan dari sorot matanya. Namun, aku sama sekali tidak menemukan gurat kebohongan lewat sorot mata bulat itu. 

Pria berkemeja kotak-kotak berwarna biru itu kembali mendorong kotak kayu ke hadapanku. "Tugasku sudah selesai. Aku pamit dulu," ucapnya kemudian bangkit dan berlalu pergi. 

Dengan hati yang bergetar hebat, aku menggapai kotak berwarna emas pemberiannya, lalu membukanya perlahan. Di dalamnya terdapat sebuah jam tangan berwarna merah dan sepucuk surat di dalam amplop warna merah muda. 

Sudut mataku sudah penuh oleh cairan bening yang sebentar lagi akan lolos. Aku memberanikan diri untuk menggapai sepucuk surat itu. Namun, suara seseorang membuatku mengurungkan niatku. Kuusap kasar sudut mataku yang hampir meneteskan air mata. 

"Tamunya sudah pulang, Tasya?" tanya ibu, ditangannya membawa nampan berisi dua cangkir teh. 

"Sudah, Bu." 

"Dia siapa, Sya? Kenapa sampai bolak-balik ke sini selama dua tahun terakhir?" tanya ibu yang terlihat penasaran. 

"Dia teman baik Kak Rizqi, Bu." 

Ibu memandang kotak yang ada di pangkuanku, dari sorot matanya, aku tahu ibu mulai penasaran dengan isi di dalam kotak itu. 

"Teman Rizqi bolak-balik datang karena mau kasih kotak itu?" tanyanya lagi. 

Aku memaksa bibir ini untuk tersenyum, kemudian mengangguk. "Ini titipan Kak Risqi, Bu." 

Kedua alis mata ibu bertaut, aku tahu ibu semakin bingung dengan jawabanku. Namun, aku belum ingin mengatakan yang sesungguhnya tentang Kak Rizqi, sosok pelindungku delapan tahun silam. 

"Tasya ke kamar dulu, ya, Bu. Capek banget," pamitku padanya. 

"Ya sudah. Istirahat sana! Tapi jangan ngebo, Sya. Hari udah sore," sahut ibu mengingatkanku. 

"Iya, Bu, Tasya tahu, Kok!" 

Aku berlalu menuju kamar yang sudah lama tidak kutinggali. Kamar yang terasa sangat dingin meski tidak ada AC di ruangan ini. 

Kujatuhkan bokongku di atas kasur kapuk sederhana di kamar itu, lalu bersandar di tembok dan menggapai bantal guling yang aku taruh dipangkuan. Pelan-pelan aku membuka lagi kotak pemberian orang asing itu yang katanya titipan Kak Rizqi. 

Tanganku mengambil jam tangan berwarna merah di dalam kotak itu. Ingatanku kembali pada saat delapan tahun yang lalu di sebuah pasar malam saat liburan sekolah. Di sanalah aku melihat jam tangan ini, dan aku sangat menginginkannya. Hanya saja, aku bukanlah anak yang berasal dari golongan orang-orang berada. Meski bekerja paruh waktu setelah pulang sekolah, nyatanya uangku selalu habis untuk membantu biaya hidup keluarga. 

Saat itu aku pergi bersama salah satu sahabatku, Tika. Dia yang hidupnya lebih baik dariku tentu saja dengan mudah membeli barang incarannya. Berbeda denganku yang harus berpikir ribuan kali untuk membeli barang-barang tersebut, yang pasti akan dibilang pemborosan oleh ibu. 

"Jadi kamu sudah mengikutiku sejak lama, Kak. Jam tangan ini adalah jam incaranku delapan tahun yang lalu." Tidak sadar, sebelah sudut bibirku terangkat. Aku tersenyum setelah sekian lama selalu menangis saat mengingatnya. 

Lagi-lagi aku kembali pada masa lalu, ketika baru saja mengenalnya. Perkenalan yang cukup unik dan tidak mudah dilupakan meski sudah bertahun-tahun lamanya. 

Saat itu, aku yang sedang menunggu angkutan umum setelah jam pulang sekolah, tiba-tiba dia datang di hadapanku dan menawarkan tumpangan. 

"Ayo biar kuantar kau pulang!" ajaknya dengan percaya diri, padahal kami sama sekali belum saling mengenal. 

"Maaf, tapi saya lebih baik menunggu angkot," tolakku dengan sopan. 

Dia pun kembali melajukan motornya pergi dari hadapanku tanpa mengucapkan sepatah katapun. Aku menganggap dia hanya orang iseng. 

Tidak berselang lama sebuah angkutan umum melintas, lalu berhenti saat aku melambaikan tangan. Angkutan umum itu berhenti, kemudian aku naik ke dalam dan kendaraan umum itu kembali melaju membelah jalanan. 

"Kiri, Mas," teriakku lirih, karena aku duduk di kursi paling belakang. 

Angkutan umum itu berhenti tepat di depan gang kecil  menuju rumah. Aku turun, lalu membayar ongkosnya dan angkutan umum itu pun kembali melaju, semakin menjauh dariku. 

Kutarik napas dalam-dalam, lalu mengeluarkannya dengan kasar. Tubuhku sudah cukup lelah, tetapi pikiranku sudah melayang ke tempat bekerja. Kupaksa kaki yang sebenarnya sudah sangat lemas itu untuk berjalan ke rumah. 

Terdengar suara klakson motor dari arah belakang, disusul oleh seseorang yang mengendarai motor secara pelan menjejeriku. Aku meliriknya sekilas. 

"Orang iseng tadi lagi," gumamku lirih. 

"Aku bukan orang iseng, loh!" Dia menyahut setelah mendengar gumamanku. 

"Kalau bukan iseng, ngapain ngikutin orang yang enggak dikenal?" tanyaku, tanpa menghentikan langkah. 

"Kalau gitu, kita kenalan!" 

Aku seketika meliriknya dengan tajam. Enteng sekali dia mengajakku berkenalan di jalan seperti ini, pikirku. 

Lirikanku hanya ditanggapi dengan cengiran kuda olehnya. Aku pun kembali menatap jalanan di depan, tidak ingin tersandung jika berjalan tidak memperhatikan jalannya. 

"Tidak mau, ya, kenalan sama orang jelek kaya aku?" tanyanya saat aku enggan menanggapinya. 

Alasan

Mendengar ucapannya tadi, aku langsung menghentikan langkah. Kutatap tajam pria itu hingga kepalanya tertunduk. Mungkin dia takut dengan tatapanku yang dingin ini. 

"Saya bukan orang yang memandang orang lain hanya berdasarkan fisik!" seruku dengan nada menekan. 

Pria itu mulai mengangkat pandangan, lalu menatapku dengan tatapan lain. Aku tidak tahu kenapa dia menatapku seperti itu. 

Tidak ingin membuang waktu dengan orang asing, aku pun kembali melanjutkan langkahku untuk pulang. Namun, aku merotasikan kedua bola mataku saat melihat dia kembali mengikuti di belakang. 

Kubiarkan dia mengikutiku hingga sampai ke rumah. Tanpa memperdulikan dia, aku bergegas masuk, karena aku juga harus buru-buru berangkat kerja. 

Setelah berada di rumah, aku segera membersihkan diri dan memakai pakaian kerjaku. Sebelum berangkat, seperti biasa aku akan makan dulu di rumah. 

Selesai dengan rutinitasku itu, aku pun mengambil ponsel yang sempat kutaruh di meja kecil di dalam kamar sederhana ini. Waktu sudah semakin dekat dengan jam kerjaku.

Kuambil sepeda butut bekas pakai kakakku saat SMA dulu. Entah sudah berapa lama usia sepeda ini. Aku malas untuk menghitungnya. Buru-buru kukayuh sepeda itu menuju tempat kerja. Sesampainya di sana, rumah makan itu sudah cukup ramai oleh pembeli. 

"Cepat, Sya!" teriak teman kerjaku yang sudah kelimpungan. 

"Iya, sebentar!" teriakku, sambil menaruh sepedaku di parkiran. 

Usai mengurus sepeda bututku itu, aku berlari masuk ke tempat bekerja. Sebelum membantu temanku bekerja, aku menyempatkan mencuci tangan lebih dulu serta memakai celemek. 

Aku segera bergabung dengan teman-teman untuk melayani pelanggan. Hingga malam harinya kami baru selesai setelah semua menu telah habis terjual. 

Terlalu lelah dengan pekerjaan hati ini, aku pun mendudukkan diri lebih dulu di kursi. Nadia juga ikut melakukan hal yang sama. Dia menatapku lama, aku yang sadar oleh apa yang dilakukan oleh Nadia pun sedikit risih. 

"Kamu ngapain ngelihatin aku kaya gitu, sih?" tanyaku seraya memandangnya. 

"Aku kasihan aja sama kamu, Sya." Nadia menatapku tanpa kedip. "Kamu kan masih SMA. Kenapa harus sambil kerja gini, sih?" tanyanya lagi. 

"Mau gimana lagi, Nad? Kalau enggak kaya gini, aku mana bisa jajan. Apa lagi aku juga harus mikirin rokok bapakku," jawabku seraya memalingkan wajah, agar Nadia tidak melihat kesedihanku.

"Bapak kamu masih rajin ngebakar duit ternyata. Terus ibu kamu tega ngebebani kamu dengan urusan rokok bapakmu itu?" 

Aku pun mengangguk pasrah. Memang itulah kenyataannya. Bapakku lebih mencintai rokok dari pada keluarga. Jika ibu tidak menyiapkan kebutuhannya satu itu, bapak pasti merajuk dan tidak mau makan. Alhasil ibu selalu menangis karena hal itu. 

"Aku makin kesel sama keluarga kamu, Sya. Bapak kamu itu kan enggak kerja, tapi malah ngerepotin anaknya kaya gitu." 

Aku melihat Nadia mengepalkan tangannya. Temanku yang satu ini memang sangat mengerti dengan isi hatiku. Usianya tiga tahun lebih tua dariku, membuat pikirannya lebih dewasa.

"Sudahlah, Nad. Aku enggak keberatan dengan ini semua, kok!" 

Aku terpaksa berpura-pura seperti itu. Tidak mungkin aku mengatakan keburukan tentang keluargaku pada orang lain, 'kan?

"Jangan bohong, Sya! Aku tahu gimana isi hati kamu sekarang." Dia tiba-tiba menarikku ke dalam pelukannya. 

"Makasih, Nad. Kamu selalu mengerti," ujarku tulus. 

Suara dering ponsel yang berasal dari saku celanaku melerai pelukan kami. Buru-buru aku mengambil ponsel pemberian kakakku itu, kedua alisku bertaut saat melihat nomor tidak dikenal yang mengirimkan pesan. Penasaran, aku pun segera membuka pesan singkat tersebut. 

"Hai, belum pulang kerja, yah!" Tasya membaca pesan tersebut dalam hati. 

"Siapa, Sya?" tanya Nadia yang melihat ekspresi wajahku berubah. 

"Enggak tahu, Nad. Orang iseng paling," jawabku sambil mengedikkan bahu, kemudian kembali memasukkan ponsel ke saku celana. 

"Oh. Ya sudah, kita cuci piring kotor dulu, yuk! Abis itu pulang." Nadia mengajakku karena malam semakin larut. 

"Ayo, Kak!" 

Kami pun mulai mencuci semua perabot yang kotor. Tidak ingin semakin malam ditempat kerja, kami pun melakukannya dengan cepat. Usai melakukan kegiatan itu. Kami pun segera bersiap pulang.

Tempat makan tempat kami bekerja sudah dalam keadaan tertutup. Aku dan Nadia pun sedang mengambil kendaraan kami masing-masing. Nadia mengambil motor maticnya, sedangkan aku dengan sepeda butut yang selalu setia menemani. 

"Aku duluan, ya, Sya!" seru Nadia setelah menyalakan mesin motor. 

"Iya, Nad. Hati-hati di jalan!" teriakku saat Nadia mulai mengendari motornya. 

Aku mulai menaiki sepeda butut milikku. Satu-satunya alat transportasi yang aku miliki selama ini. Kukayuh pedalnya dengan penuh perjuangan. Rasa lelah dan kantuk mulai menyerang, membuatku benar-benar ingin menyerah. Namun, aku tidak memiliki pilihan lain selain menjalani takdir meski dengan berat hati. 

"Ya Allah, andaikan aku memiliki seseorang yang selalu ada untukku, mungkin hidupku tidak akan seberat ini." Aku membatin penuh harap. 

Tiba-tiba dari arah belakang ada seseorang yang memegang besi boncengan sepedaku. Sedikit memberikan dorongan hingga aku tidak perlu mengayuh sepeda itu lagi. Aku pun melihat ke samping kanan, ternyata pria itu lagi yang membuntuti. 

"Capek, yah?" tanyanya, dia tetap mendorong sepedaku dengan tangan kiri, sedangkan tangan kanannya mengatur gas motor miliknya. 

"Sok tahu!" seruku mengelak. 

"Dari jauh juga kelihatan, kok! Kamu capek. Makanya jalannya pelan banget, kaya siput!" kelakar pria itu, sumpah aku benar-benar kesal sekali padanya. 

"Jangan marah, aku cuma bercanda, kok!" 

"Tolong lepasin, dong! Kita enggak sedekat itu sampai kamu kasih aku pertolongan gini," ucapku padanya. 

"Nolongin orang itu, enggak perlu harus dekat dulu, loh! Menolong orang itu udah suatu kewajiban," kata dia, seulas senyum tipis terbit di sudut bibirnya. 

"Iya, sih! Tapi aku enggak butuh pertolongan kamu," balasku yang masih enggan menerima kebaikannya. 

"Ya sudah. Kalau gitu, hati-hati di jalan, yah!" serunya, lalu melepaskan tangannya dari boncengan sepedaku. "Kalau ada apa-apa, teriak saja tiga kali. Nanti aku datang!" 

Aku hanya merotasikan kedua bola mataku. Entah kenapa, aku sangat enggan menanggapi pria asing itu. 

Dia pun memacu motornya menjauh dariku. Merasa pria itu tidak penting, aku hanya mengedikkan bahu. 

"Dia pikir aku butuh bantuannya? Hm, maaf. Aku lebih baik lelah dari pada menerima pertolongan orang asing," ucapku sambil menatap pria itu yang semakin jauh. 

Setelah perjuangan berat, aku sampai di rumah yang sudah dalam keadaan tertutup. Kuketuk pintu itu perlahan-lahan. Tidak berselang lama, pintu itu terbuka. 

Bapak tampak menatap tajam padaku dengan mata birunya. "Seneng, yah! Main dari siang sampai malam. Enggak ingat pulang!" omel bapak dengan ekspresi dingin. 

"Tasya enggak main, Pak. Tasya kerja, kok!" 

"Siapa yang menyuruhmu bekerja? Tidak usah mengada-ada. Bapak tahu kamu hanya beralasan!" 

Kali ini, rasanya ingin sekali aku memukul bibir tanpa saringan itu. Namun, aku tidak mau jadi anak durhaka. Jadi, aku hanya mampu terdiam mematung di depan pintu rumah. 

Ribut Sama Bapak

Aku hanya mampu menangis di dalam kamar. Lagi-lagi Bapak justru memarahiku karena aku bekerja, padahal dari hasil kerjaku itulah Ibu bisa membelikan Bapak rokok. Tapi mau bagaimana lagi. Bapak memang selalu keras kepala dan egois. Entah apa yang membuat Ibu jatuh cinta pada laki-laki seperti Bapak. 

Jikalau boleh memilih, aku akan lebih memilih Ibu berpisah dengan Bapak. Dari pada memiliki suami yang tidak bertanggung jawab sepertinya. Namun, aku tidak mungkin memaksa Ibu untuk meninggalkan Bapak, 'kan? 

Rasa sedih akibat dimarahi oleh Bapak membuatku ingin bercerita pada seseorang. Seseorang yang aku cintai, pria yang tengah sibuk mengadu nasib di Ibu Kota.

Aku beranjak dari kasur usang yang menjadi tempatku mengistirahatkan tubuh dari rasa lelah. Kugapai ponsel yang berada di atas meja, lalu kembali merebahkan diri di kasur dengan posisi tengkurap sambil bermain ponsel untuk menghubungi kekasihku. 

Ya, aku sudah memiliki kekasih. Hampir satu tahun kami menjalin hubungan jarak jauh demi mengumpulkan pundi-pundi rupiah. Dia bilang, jika uangnya sudah cukup, dia akan segera melamarku. 

Selama satu tahun itu kami hanya bertemu empat kali. Itupun dengan waktu yang cukup singkat. Setiap pulang ke kampung, dia hanya memberi waktu satu Minggu untuk kami menghabiskan waktu bersama. 

"Argh! Selalu saja seperti ini. Setiap aku membutuhkan, dia tidak pernah ada." Aku menggerutu kesal karena panggilanku tidak dijawab olehnya.

Malam sudah semakin larut sebelum tidur aku memutuskan untuk mandi lebih dulu. Badanku sudah bau asam akibat peluh hasil bekerja tadi. Selesai membersihkan diri, ternyata perutku malah keroncongan. Ini semua sebab tadi belum makan malam gara-gara pulang kerja langsung disemprot dengan omelan Bapak. 

"Jam segini, mana enak makan nasi, apa lagi lauknya pasti udah basi. Ibu kan kalau masak dari pagi," gumamku lirih. 

Aku pun memutuskan untuk membuat mi instan sebagai pengganjal rasa lapar. Sambil menunggu mi itu matang, aku juga berselancar di dunia maya menggunakan ponselku. 

Ketika aku tengah asyik berselancar di aplikasi berlogo F warna biru, sebuah pesan singkat kembali masuk. Penasaran, aku pun membukanya. 

"Belum tidur?" Alisku bertaut saat membaca pesan dari nomor asing yang tadi mengirimkan pesan. 

Belum usai dengan rasa penasaranku terhadap siapa sosok yang mengirimkan aku pesan itu, sebuah pesan kembali masuk yang otomatis langsung terbaca olehku. "Udah malam, tidak baik anak gadis begadang. Nanti cantiknya berkurang, loh!" 

"Ish! Aneh banget. Kek kenal aku aja," gumamku yang memutuskan untuk tidak menanggapi pesan tersebut. "Astaga, mie instanku!" pekikku saat tiba-tiba mengingat bahwa aku sedang memasak makanan instan itu. 

Saat kulihat mi instan itu sudah dalam keadaan benyek karena terlampau masak. Terpaksa aku memakan mi itu dari pada harus tidur dengan keadaan kelaparan. 

Selesai makan, aku langsung mencuci mangkok kotor bekas makanku tadi. Sebelum beranjak ke kamar, aku menyempatkan diri untuk minum air putih lebih dulu. Malam yang semakin larut akhirnya membuatku tertidur pulas setelah menyantap semangkuk mi instan benyek yang kubuat. 

Keesokan harinya aku terbangun setelah adzan subuh. Begitu mataku terbuka, aku langsung berlari ke kamar mandi untuk membersihkan diri serta berwudhu. 

Aku pun melaksanakan sholat wajib dua rakaat itu dengan khusyuk. Tidak lupa aku juga memanjatkan doa kepada yang maha kuasa. Begitu selesai, aku pun memeriksa ponselku yang ternyata banyak sekali panggilan tidak terjawab dari dua nomor yang berbeda, salah satunya adalah nomor Farid–kekasihku. 

Ku kurim pesan singkat padanya. "Ada apa? Aku baru sholat subuh." 

Tidak lama pesan balasan darinya masuk. "Tadi malam telepon ada apa, yang?" 

"Enggak ada apa-apa. Lupakan saja!" balasku, yang sudah tidak ingin membahas permasalahan semalam.

"Kok gitu, sih!" balasnya lagi, mungkin dia disana sedang kesal. 

"Kamu kerja aja sana! Nanti kesiangan. Aku juga mau sekolah." Aku mengakhiri acara kirim pesan dengannya. 

"Oke, love you, Sayang!" Dia membalas lagi, tetapi aku tidak menanggapinya. 

Aku kembali menaruh ponselku di atas meja sebelah tas sekolahku. Tidak ingin terlambat ke sekolah, aku segera bergegas memakai seragam pramuka karena hari ini adalah hari Sabtu. 

Selesai memakai seragam aku keluar dari kamar dan langsung menuju dapur. Ibu sedang menyiapkan barang dagangannya di sana. Ibuku memang berjualan nasi keliling setiap pagi. Itulah yang menyebabkan aku sering terlambat sekolah karena sepedaku pun juga digunakan oleh Ibu lebih dulu. 

"Sarapan dulu, Sya!" perintah Ibu yang tentu saja langsung aku laksanakan.

"Mau aku bantu dulu?" tanyaku pada Ibu karena takut jika beliau terlambat berangkat dagang. 

"Boleh. Angkat dan tiriskan gorengan itu, Sya." 

Aku melihat ke arah penggorengan yang memang masih digunakan untuk menggoreng tempe. Kulangkahkan kaki untuk mendekat ke penggorengan itu, kemudian mengangkat aneka gorengan yang sudah matang. 

"Sudah, ini saja, Bu? Atau mau goreng lagi?" tanyaku pada Ibu. 

"Sudah, Sya. Kalau goreng lagi keburu siang nanti," jawab Ibu yang sudah semakin gugup.

Ibu berjalan tergesa-gesa dengan membawa dagangannya untuk dirapikan ke sepeda yang sudah diberi keranjang dibagian boncengannya. Akibat terlalu terburu-buru, Ibu hampir terjatuh. Beruntung aku langsung sigap menangkapnya dan mengambil alih bakul berisi nasi bungkus dagangan Ibu. 

 "Biar Tasya yang rapiin ke keranjang, Bu. Ibu siap-siap aja dulu," ujarku mengambil alih pekerjaan Ibu. 

Ibu mengangguk setuju, wanita tua yang sudah melahirkanku delapan belas tahun silam itu bergegas masuk ke kamar untuk mengganti pakaian. Begitu jug aku yang langsung ke halaman rumah–tempat di mana sepedaku terparkir. 

Ketika aku sedang memasukkan satu persatu nasi bungkus ke dalam keranjang, terdengar samar-samar suara ribut dari dalam rumah. Khawatir terjadi apa-apa pada Ibu, aku pun berlari masuk. 

"Semalam aku sudah bilang, rokokku habis. Kenapa sampai sekarang belum dibelikan?" tanya Bapak kepada Ibu dengan nada membentak. 

"Aku lupa, Pak. Badanku juga sedang kurang sehat," jawab Ibu dengan suaranya yang mulai bergetar. 

Seperti biasa, setiap bertengkar dengan Bapak, Ibu selalu menangis. Entah apa yang membuat Ibu begitu mencintai laki-laki sepertinya. Padahal, sejak aku kecil pun Bapak jarang sekali bekerja. 

"Ya sudah. Belikan sekarang juga!" perintah Bapak disertai tatapan mata tajamnya. 

"Jam segini warung mana yang udah buka, Pak?" tanya Ibu ketakutan. 

"Aku tidak peduli. Yang penting aku mau rokok itu ada di meja sebelum aku selesai mandi!" teriak Bapak di telinga Ibu. 

Kulihat Ibu memejamkan matanya saat Bapak berbicara dengan nada tinggi. Aku tahu, hati Ibu pasti sakit karena sikap Bapak. Namun, sudah berulang kali aku bertanya pada Ibu, kenapa terus bertahan jika semakin hari semakin menyakitkan. Jawaban Ibu hanya karena Ibu kasihan pada Bapak. Jika dipikir dengan logika, itu sama sekali tidak masuk akal. 

"Nanti, ya, Pak. Ibu mau jualan dulu, takut semakin siang pelanggan sudah beli sarapan ditempat lain," balas Ibu dengan nada lirihnya. 

Bapak mulai mengangkat tangan, bersiap menampar Ibu dengan tangan besarnya. Tidak ingin Ibu merasakan sakitnya ditampar oleh Bapak, aku berlari menghampiri mereka. Kujadikan diriku sebagai tameng untuk melindungi Ibu dari kasarnya sikap Bapak. Tangan laki-laki di depanku ini melayang diudara. 

"Cukup, Pak! Kalau Bapak mau rokok, kenapa tidak beli sendiri?" Aku bertanya dengan mata mendelik tajam ke arahnya, tidak ada sedikitpun rasa takut di jiwaku akan sikap Bapak, karena aku sudah sering merasakan kerasnya tamparan laki-laki pengecut itu. 

"Tasya, jangan, Nak! Nanti Bapakmu minggat dari rumah." Ibu berbisik di belakangku, aku tahu Ibuku sedang menangis akibat kelakuan Bapak. 

"Biar saja, Bu. Biar Bapak minggat ke rumah anak-anaknya dari istri pertamanya. Kita lihat nanti, apakah betah hidup bersama mereka?" Dengan berani, aku justru menantang Bapak agar tidak bertindak sesuka hati. 

"Dasar anak kurang ajar!" 

Akhirnya, kembali aku rasakan sakitnya tamparan Bapak. Tapi, aku sama sekali tidak menyesal. Kupegang pipiku yang terasa kebas akibat tamparannya. Netraku pun menatap sengit pada laki-laki yang seharusnya menjadi pelindung keluarga itu justru menjadi monster menakutkan untuk istri dan anak-anaknya. 

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!