Mulai Ragu

"Cie, yang mau dijemput cowok," goda Sita setelah panggilan berakhir. 

"Maksud lo apa, sih?" tanyaku bingung. 

"Cowok tadi mau jemput lo, Sya," balasnya enteng. 

"Ha!" pekikku kaget. 

"Kok lo kaget gitu?" tanyanya heran, padahal tadi aku sudah mengatakan bahwa orang itu adalah penguntit. 

"Gue udah bilang tadi. Itu orang penguntit, ngapain Lo angkat, sih!" Aku menggerutu kesal pada Sita. 

"Lah, gue enggak denger, sumpah!" serunya disertai cengiran. Ih, rasanya ingin sekali aku menjitak kepalanya itu. 

"Makanya, lain kali jangan rebut punya orang!" seruku makin kesal padanya. 

"Maaf, deh, Sya!" 

Tidak berselang lama, Dewi masuk ke kelas membawa dua kantong plastik hitam di tangan kanannya. Sahabatku itu menaruh dua kantong plastik di atas mejaku. 

Dia menatap heran pada kami. Pasti Dewi bingung karena aku memasang ekspresi kesal. "Kalian kenapa?" tanyanya bingung. 

"Tasya marah sama gue," sahut Sita, aku tahu dia pasti membutuhkan pembelaan dari Dewi. 

Aku hanya merotasikan kedua bola mataku saat Dewi menatapku dengan lekat. Dia sebenarnya paling mengerti tentang isi hatiku. Meski aku tidak cerita sekalipun. 

"Lo bikin Tasya kesel pasti," balasnya yang justru berpihak padaku. 

"Kok, Lo nuduh gue, sih!" gerutu Sita. 

"Gue tahu banget karakter kalian seperti apa. Jadi, kalau sampai Tasya marah sama Lo, itu artinya elo bikin ulah," tutur Dewi yakin dengan pendiriannya. 

"Dih! Elo mah suka buruk sangka sama gue." Sita yang sudah kalah telak, akhirnya memutuskan untuk bungkam. 

"Ish! Malah ngambek. Mending minta maaf ke Tasya," usul Dewi yang membuat Sita melirik padaku. 

"Udahlah, Wi. Gausah dibesar-besarkan. Gue juga enggak marah, kok!" Aku memutuskan untuk melerai perdebatan kedua sahabatku itu. 

"Oke. Ya udah, kita makan dulu aja!" ajak Dewi pada kami. 

Kami bertiga pun menikmati batagor dan es teh yang dibeli oleh Dewi sambil bergurau. Rasa kesal pada Sita sudah tidak lagi kurasa. Seperti apapun keanehan Sita, dia tetaplah sahabatku. 

Istirahat telah usai, pelajaran juga mulai dilanjutkan. Aku mulai fokus untuk mengikuti pelajaran. Rasa kecewaku pada Ibu perlahan mulai reda karena candaan kedua sahabatku ini. 

Saat pulang sekolah aku yang hendak menunggu angkutan umum, justru dikejutkan dengan kehadiran seseorang yang semalam mengikutiku. Dia duduk dengan santainya di atas motor, menatap ke arahku dengan senyuman yang menghiasi wajahnya. 

Kulihat dia memainkan ponsel dengan satu tangannya. Namun, pandangan matanya masih saja menatapku. Apa yang dilakukan olehnya tentu saja membuatku merasa risih. 

"Ngapain, sih, itu orang ngelihatin gue mulu."  Aku menggerutu dalam hati. 

Aku melihat ke arah kanan, tempat seharusnya angkutan umum melintas dari sana. Namun, belum ada tanda-tanda akan ada kendaraan umum yang akan melintas di jalan yang ada di hadapanku. 

Tidak lama ponselku berdering. Nomor tadi lagi yang menghubungi. Karena perbuatan Sita tadi, aku pun terpaksa menerima panggilan itu. 

"Hallo," sapaku datar. 

"Ngapain berdiri di sana terus? Mau aku samperin?" tanya si penelepon yang membuatku menatap ke sekeliling. Tidak ada orang lain selain laki-laki yang duduk di atas motor itu, terlihat dia juga sedang menempelkan ponselnya pada telinga. 

"Lo siapa, sih? Ngapain ngikutin gue terus?" tanyaku frustasi. Kini aku paham, seseorang yang selalu menerorku dengan pesan singkat adalah orang yang sama dengan laki-laki yang belakangan terus mengikutiku kemanapun. 

"Aku penggemar berat kamu, Sya," jawabnya singkat, tetapi berhasil membuat aku tertegun. Dia tahu namaku, bagaimana bisa. Namun, aku tersadar jangankan nama, nomor ponselku pun dia tahu. 

"Berhenti ngikutin gue, atau gue bakal teriakin lo maling." Aku terpaksa mengancamnya demi keamananku. 

"Teriak aja. Enggak apa-apa, kok! Aku iklas dipukuli orang sekampung demi terus bisa mengikuti kamu," ucapnya yang membuat aku menggelengkan kepala. 

"Dasar orang aneh!" makiku dengan nada lirih. 

"Kamu bebas panggil aku dengan sebutan apapun, asal jangan minta aku untuk berhenti mengikuti kamu," pintanya, dari suaranya terdengar dia bersungguh-sungguh dengan ucapannya. 

Semakin risih dengan perkataannya, aku memutuskan untuk mengakhiri panggilan. Kulihat lagi jalanan yang justru semakin sepi. Jika tahu akan seperti ini, aku pasti akan meminta Dewi atau Sita mengantarku pulang. Namun, semua sudah percuma, mereka berdua juga sudah pulang. Mau telepon mereka dan meminta dijemput pun rasanya tidak enak hati. 

Kulihat lagi laki-laki itu mulai memakai helm, kemudian menyalakan mesin motor. Mungkin dia juga sudah jengah menungguku yang sedang menunggu angkutan umum ini. Namun, aku membiarkan laki-laki itu jika memang akan pergi. 

Sayangnya, perkiraanku salah besar. Laki-laki itu tidak pergi dan justru menghampiriku. Dia menghentikan laju motornya tepat di hadapanku. 

"Ayo aku antar!" ajaknya padaku. Namun, aku masih diam mematung, enggan untuk menuruti ucapan laki-laki itu. 

Dia memperhatikan aku yang masih berdiri tegak, membungkam mulut untuk tidak mengeluarkan suara apapun. "Udah makin sore, loh! Emangnya kamu enggak kerja?" tanyanya padaku. 

Sekilas aku melirik laki-laki itu sambil berkata, "Libur." 

"Wah, asik, dong! Jalan-jalan, yuk!" ajaknya dengan ekspresi wajahnya yang secerah mentari pagi. 

"Lo pikir gue bakal mau? Kalau di antar pulang aja gue nolak, apa lagi Lo ajak gue jalan-jalan?" tanyaku dengan nada nyolot. 

"Kenapa enggak mau? Katanya enggak pernah nilai orang dari fisik." Dia menyindirku dengan membahas fisiknya lagi. 

"Gue udah punya pacar!" seruku dengan nada menekan.

"Jadi, aku sama sekali tidak memiliki kesempatan untuk menjadi teman, hanya karena kamu memiliki pacar?" tanyanya dengan nada yang terdengar kecewa. 

"Gue cuma berusaha buat jaga hati dan jaga perasaan pacar gue," sahutku meluruskan. 

Dia tersenyum, aku melihatnya tersenyum. Padahal, aku tahu dia kecewa. Tapi, dia masih bisa tersenyum dalam keadaan seperti ini. Hatiku merasa tersentuh oleh senyumannya itu. 

"Beruntung sekali, ya, yang jadi pacar kamu. Kalau aku jadi pacar kamu, aku enggak akan biarin kamu sendirian nunggu angkot di sini," ucapnya yang langsung membuat aku tersenyum kecut. 

"Pacar itu enggak perlu terus ada setiap saat. Yang penting dia sedang berusaha buat meresmikan hubungan kami," balasku agar dia tidak berbicara buruk tentang kekasihku. 

"Kamu yakin kalau dia di sana enggak macam-macam?" tanyanya yang seketika membuat hatiku meragu. 

Ya, aku mulai ragu dengan hubungan kami. Meski dia selalu berkata sedang berusaha, nyatanya dia pun jarang sekali memiliki waktu untuk sekedar bertanya tentang perasaanku.

"Ah! Apa, sih? Ngapain juga Lo kepancing sama omongan orang asing? Dia bukan siapa-siapa, Sya. Jangan pedulikan dia!" Batinku seakan menyadarkan aku yang mulai meragukan perasaanku dengan kekasihku.  

"Kamu diam karena kamu ragu, 'kan? Aku ingatkan, Sya. Jangan terlalu terpedaya dengan ucapan laki-laki yang mengatakan akan selalu ada, tapi nyatanya tidak pernah ada. Jika saat ini saja hubungan kalian sedingin ini, bagaimana setelah menikah nanti?" 

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!