Alasan

Mendengar ucapannya tadi, aku langsung menghentikan langkah. Kutatap tajam pria itu hingga kepalanya tertunduk. Mungkin dia takut dengan tatapanku yang dingin ini. 

"Saya bukan orang yang memandang orang lain hanya berdasarkan fisik!" seruku dengan nada menekan. 

Pria itu mulai mengangkat pandangan, lalu menatapku dengan tatapan lain. Aku tidak tahu kenapa dia menatapku seperti itu. 

Tidak ingin membuang waktu dengan orang asing, aku pun kembali melanjutkan langkahku untuk pulang. Namun, aku merotasikan kedua bola mataku saat melihat dia kembali mengikuti di belakang. 

Kubiarkan dia mengikutiku hingga sampai ke rumah. Tanpa memperdulikan dia, aku bergegas masuk, karena aku juga harus buru-buru berangkat kerja. 

Setelah berada di rumah, aku segera membersihkan diri dan memakai pakaian kerjaku. Sebelum berangkat, seperti biasa aku akan makan dulu di rumah. 

Selesai dengan rutinitasku itu, aku pun mengambil ponsel yang sempat kutaruh di meja kecil di dalam kamar sederhana ini. Waktu sudah semakin dekat dengan jam kerjaku.

Kuambil sepeda butut bekas pakai kakakku saat SMA dulu. Entah sudah berapa lama usia sepeda ini. Aku malas untuk menghitungnya. Buru-buru kukayuh sepeda itu menuju tempat kerja. Sesampainya di sana, rumah makan itu sudah cukup ramai oleh pembeli. 

"Cepat, Sya!" teriak teman kerjaku yang sudah kelimpungan. 

"Iya, sebentar!" teriakku, sambil menaruh sepedaku di parkiran. 

Usai mengurus sepeda bututku itu, aku berlari masuk ke tempat bekerja. Sebelum membantu temanku bekerja, aku menyempatkan mencuci tangan lebih dulu serta memakai celemek. 

Aku segera bergabung dengan teman-teman untuk melayani pelanggan. Hingga malam harinya kami baru selesai setelah semua menu telah habis terjual. 

Terlalu lelah dengan pekerjaan hati ini, aku pun mendudukkan diri lebih dulu di kursi. Nadia juga ikut melakukan hal yang sama. Dia menatapku lama, aku yang sadar oleh apa yang dilakukan oleh Nadia pun sedikit risih. 

"Kamu ngapain ngelihatin aku kaya gitu, sih?" tanyaku seraya memandangnya. 

"Aku kasihan aja sama kamu, Sya." Nadia menatapku tanpa kedip. "Kamu kan masih SMA. Kenapa harus sambil kerja gini, sih?" tanyanya lagi. 

"Mau gimana lagi, Nad? Kalau enggak kaya gini, aku mana bisa jajan. Apa lagi aku juga harus mikirin rokok bapakku," jawabku seraya memalingkan wajah, agar Nadia tidak melihat kesedihanku.

"Bapak kamu masih rajin ngebakar duit ternyata. Terus ibu kamu tega ngebebani kamu dengan urusan rokok bapakmu itu?" 

Aku pun mengangguk pasrah. Memang itulah kenyataannya. Bapakku lebih mencintai rokok dari pada keluarga. Jika ibu tidak menyiapkan kebutuhannya satu itu, bapak pasti merajuk dan tidak mau makan. Alhasil ibu selalu menangis karena hal itu. 

"Aku makin kesel sama keluarga kamu, Sya. Bapak kamu itu kan enggak kerja, tapi malah ngerepotin anaknya kaya gitu." 

Aku melihat Nadia mengepalkan tangannya. Temanku yang satu ini memang sangat mengerti dengan isi hatiku. Usianya tiga tahun lebih tua dariku, membuat pikirannya lebih dewasa.

"Sudahlah, Nad. Aku enggak keberatan dengan ini semua, kok!" 

Aku terpaksa berpura-pura seperti itu. Tidak mungkin aku mengatakan keburukan tentang keluargaku pada orang lain, 'kan?

"Jangan bohong, Sya! Aku tahu gimana isi hati kamu sekarang." Dia tiba-tiba menarikku ke dalam pelukannya. 

"Makasih, Nad. Kamu selalu mengerti," ujarku tulus. 

Suara dering ponsel yang berasal dari saku celanaku melerai pelukan kami. Buru-buru aku mengambil ponsel pemberian kakakku itu, kedua alisku bertaut saat melihat nomor tidak dikenal yang mengirimkan pesan. Penasaran, aku pun segera membuka pesan singkat tersebut. 

"Hai, belum pulang kerja, yah!" Tasya membaca pesan tersebut dalam hati. 

"Siapa, Sya?" tanya Nadia yang melihat ekspresi wajahku berubah. 

"Enggak tahu, Nad. Orang iseng paling," jawabku sambil mengedikkan bahu, kemudian kembali memasukkan ponsel ke saku celana. 

"Oh. Ya sudah, kita cuci piring kotor dulu, yuk! Abis itu pulang." Nadia mengajakku karena malam semakin larut. 

"Ayo, Kak!" 

Kami pun mulai mencuci semua perabot yang kotor. Tidak ingin semakin malam ditempat kerja, kami pun melakukannya dengan cepat. Usai melakukan kegiatan itu. Kami pun segera bersiap pulang.

Tempat makan tempat kami bekerja sudah dalam keadaan tertutup. Aku dan Nadia pun sedang mengambil kendaraan kami masing-masing. Nadia mengambil motor maticnya, sedangkan aku dengan sepeda butut yang selalu setia menemani. 

"Aku duluan, ya, Sya!" seru Nadia setelah menyalakan mesin motor. 

"Iya, Nad. Hati-hati di jalan!" teriakku saat Nadia mulai mengendari motornya. 

Aku mulai menaiki sepeda butut milikku. Satu-satunya alat transportasi yang aku miliki selama ini. Kukayuh pedalnya dengan penuh perjuangan. Rasa lelah dan kantuk mulai menyerang, membuatku benar-benar ingin menyerah. Namun, aku tidak memiliki pilihan lain selain menjalani takdir meski dengan berat hati. 

"Ya Allah, andaikan aku memiliki seseorang yang selalu ada untukku, mungkin hidupku tidak akan seberat ini." Aku membatin penuh harap. 

Tiba-tiba dari arah belakang ada seseorang yang memegang besi boncengan sepedaku. Sedikit memberikan dorongan hingga aku tidak perlu mengayuh sepeda itu lagi. Aku pun melihat ke samping kanan, ternyata pria itu lagi yang membuntuti. 

"Capek, yah?" tanyanya, dia tetap mendorong sepedaku dengan tangan kiri, sedangkan tangan kanannya mengatur gas motor miliknya. 

"Sok tahu!" seruku mengelak. 

"Dari jauh juga kelihatan, kok! Kamu capek. Makanya jalannya pelan banget, kaya siput!" kelakar pria itu, sumpah aku benar-benar kesal sekali padanya. 

"Jangan marah, aku cuma bercanda, kok!" 

"Tolong lepasin, dong! Kita enggak sedekat itu sampai kamu kasih aku pertolongan gini," ucapku padanya. 

"Nolongin orang itu, enggak perlu harus dekat dulu, loh! Menolong orang itu udah suatu kewajiban," kata dia, seulas senyum tipis terbit di sudut bibirnya. 

"Iya, sih! Tapi aku enggak butuh pertolongan kamu," balasku yang masih enggan menerima kebaikannya. 

"Ya sudah. Kalau gitu, hati-hati di jalan, yah!" serunya, lalu melepaskan tangannya dari boncengan sepedaku. "Kalau ada apa-apa, teriak saja tiga kali. Nanti aku datang!" 

Aku hanya merotasikan kedua bola mataku. Entah kenapa, aku sangat enggan menanggapi pria asing itu. 

Dia pun memacu motornya menjauh dariku. Merasa pria itu tidak penting, aku hanya mengedikkan bahu. 

"Dia pikir aku butuh bantuannya? Hm, maaf. Aku lebih baik lelah dari pada menerima pertolongan orang asing," ucapku sambil menatap pria itu yang semakin jauh. 

Setelah perjuangan berat, aku sampai di rumah yang sudah dalam keadaan tertutup. Kuketuk pintu itu perlahan-lahan. Tidak berselang lama, pintu itu terbuka. 

Bapak tampak menatap tajam padaku dengan mata birunya. "Seneng, yah! Main dari siang sampai malam. Enggak ingat pulang!" omel bapak dengan ekspresi dingin. 

"Tasya enggak main, Pak. Tasya kerja, kok!" 

"Siapa yang menyuruhmu bekerja? Tidak usah mengada-ada. Bapak tahu kamu hanya beralasan!" 

Kali ini, rasanya ingin sekali aku memukul bibir tanpa saringan itu. Namun, aku tidak mau jadi anak durhaka. Jadi, aku hanya mampu terdiam mematung di depan pintu rumah. 

Terpopuler

Comments

Rinie Rahayu

Rinie Rahayu

Tetap Semangat ya, Tasya. Biarin aja bapak kamu itu.

2023-06-09

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!