Penguntit

Hari ini, aku terpaksa berangkat sekolah dengan membawa perasaan sakit. Bukan hanya akibat tamparan Bapak, tetapi juga akibat dari kemarahan Ibu. 

Bukannya senang karena aku membelanya, Ibu justru memarahiku habis-habisan. Lagi-lagi aku hanya merutuki kebodohanku karena mengulang kejadian yang sama. Sudah berkali-kali kejadian tadi terjadi dalam kehidupan kami. Namun, Ibu selalu menutup mata demi cintanya pada Bapak. 

Semua saudaraku memutuskan untuk merantau juga karena bosan dengan kehidupan kami yang malang ini. Memiliki Bapak yang tidak bertanggung jawab, serta Ibu yang lebih mengutamakan rasa cintanya pada suami dari pada perasaan anak-anak. 

Dari semua anak yang berjumlah enam orang termasuk aku, hanya ada dua Kakak yang masih memberi kami kabar, serta sesekali mengirim uang untuk membantu perekonomian. Yang lain sudah seperti anak yang tidak memiliki orang tua. 

Saat ini aku sudah berada di dalam kelas. Guru bahasa Indonesia pun sedang memberikan kami materi. Jika biasanya aku selalu antusias ketika pelajaran ini, tidak dengan sekarang. Pikiranku tengah melanglang buana entah ke mana. 

"Oke, sekarang ada yang mau membantu saya untuk menulis di papan atau membacakan materi seperti biasa?" tanya Guru dengan name tag Bambang. 

"Sya, biasanya elo yang bantuin Pak Bam, 'kan?" Sita menyenggol lenganku saat aku tidak menjawab pertanyaannya. 

"Apa, Sit?" tanyaku padanya. 

"Itu Lo di kasih tugas sama Pak Bam," ucapnya seraya menunjuk ke arah Pak Bambang dengan isyarat kepalanya. 

"Eggak, deh! Lo aja sana. Gue capek," tolakku yang seketika membuat Sita heran. 

"Lo ada masalah, ya?" tanyanya dengan tatapan menyelidik. 

"Enggak ada. Udah sana, gantiin gue!" seruku dengan lirih. 

"Tasya, Sita! Kalian ngapain malah ngobrol? Ada yang mau bantu Bapak tidak?" tanyanya pada kami. 

"He-he, enggak, Pak. Tulisan saya enggak bagus, kalau Tasya lagi kurang enak badan," jawab Sita pada Pak Bam. 

"Loh, Tasya sakit?" tanya guruku itu seraya berjalan mendekat. 

Aku menggelengkan kepalaku seraya berkata, "Enggak, Pak. Cuma sedikit pusing aja, kok!" 

"Ya sudah, ke UKS aja dulu. Minta obat pusing di sana," ucap Pak Bam memberi saran. 

"Enggak usah, Pak. Saya istirahat di sini aja," pungkasku yang ditanggapi anggukan kepala oleh guru favoritku itu. 

"Kalau makin pusing, bilang, yah! Bapak enggak mau kamu kenapa-kenapa." Itulah sebabnya aku mengidolakan Pak Bambang, guru yang lebih sering kupanggil dengan sebutan Pak Bam. Dia guru yang begitu peduli pada siswa-siswinya. 

Selama pelajaran berlangsung, aku hanya menyembunyikan kepalaku dengan lengan. Sebenarnya hal itu aku lakukan untuk menyembunyikan air mata yang luruh dari kedua sudut mata. 

Kekecewaanku terhadap Ibu sudah semakin besar. Tidak tahu lagi bagaimana aku harus bersikap padanya. Membelanya agar tidak terkena pukulan Bapak pun aku di anggap salah. Apakah aku harus rela melihat Bapak memukul Ibu dengan tangan besarnya? Itu tidak mungkin aku lakukan. 

Pelajaran berakhir ditandai dengan terdengarnya bunyi bel. Saat istirahat pun telah tiba. Pak Bam sudah berlalu keluar dari kelas setelah memastikan keadaanku. 

"Sya, Lo kenapa, sih?" tanya sita saat aku kembali menyembunyikan wajahku dengan lengan. 

"Gue enggak apa-apa, Sit. Lo tenang aja," jawabku tanpa mau memperlihatkan wajahku yang mulai sembab.

"Sit, Sya, gue mau ke kantin. Kalian berdua mau nitip apaan?" tanya Dewi kepada kami. 

"Gue enggak, deh, Wi," jawabku, tetapi tidak dengan perutku. Cacing diperutku berdemo hingga menimbulkan suara yang cukup memalukan. Bagaimana tidak, pagi tadi aku tidak jadi sarapan gara-gara ribut dengan Bapak. 

Malu akibat ulah cacing-cacing di perut, aku pun akhirnya menunjukkan wajah. Sebelum itu, aku sempat menyeka jejak air mata yang tadi membanjiri pipiku. 

"Mulut ngomong enggak, tapi perut berkata lain," sindir Dewi yang ditanggapi tawa ringan Sita. 

"Udah, samain aja, Wik. Kek biasanya gitu," sahut Sita memutuskan. 

Dewi pun berlalu meninggalkan kami, Sita kembali menatapku lekat. Aku tahu, sahabatku itu mulai curiga dengan sikapku yang murung hari ini. 

"Lo udah enggak anggap gue sahabat, ya?" tanyanya dengan nada sedikit menekan. 

"Kok, Lo ngomong gitu, sih. Lo sama Dewi itu sahabat gue," sahutku meyakinkan. 

"Tapi sikap Lo enggak menunjukkan kalau Lo anggap kita sahabat, Sya. Lo selalu mendem semuanya sendirian!* seru Sita yang mulai jengah. 

"Gue minta maaf. Tapi … gue perlu waktu buat ceritain semua ini," ucapku lirih. 

"Waktu-waktu, dan waktu. Itu terus alasan Lo, Sya! Gue udah bosen dengernya!" bentak Sita padaku. Aku tahu, dia mulai kehilangan kesabaran. 

"Besok gue ceritain ke kalian. Tapi enggak sekarang, Sit. Gue masih perlu menyaring semuanya dengan akal sehat gue," balasku yang hanya ditanggapi oleh Sita dengan merotasikan kedua bola matanya. 

Saat kami sedang mengobrol, ponsel di saku rok bergetar. Segera kuambil benda pipih berwarna kuning itu. Di layar terlihat nomor asing yang mulai tidak asing di penglihatan ku sedang memanggil. 

"Siapa, Sya?" tanya Sita saat aku tidak langsung menerima panggilan tersebut. 

"Enggak tahu. Nomor asing," jawabku seraya menunjukkan ponsel milikku padanya. 

"Angkat coba!" usul Sita yang kutanggapi dengan gelengan kepala. 

"Sini biar gue yang angkat!" serunya yang langsung merebut ponselku. 

"Jangan, Sit! Itu nomor penguntit tahu!" seruku, tetapi terlambat. Sita sudah mengangkat panggilan dari seseorang yang beberapa hari ini selalu mengirimkan pesan padaku. 

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!