Ribut Sama Bapak

Aku hanya mampu menangis di dalam kamar. Lagi-lagi Bapak justru memarahiku karena aku bekerja, padahal dari hasil kerjaku itulah Ibu bisa membelikan Bapak rokok. Tapi mau bagaimana lagi. Bapak memang selalu keras kepala dan egois. Entah apa yang membuat Ibu jatuh cinta pada laki-laki seperti Bapak. 

Jikalau boleh memilih, aku akan lebih memilih Ibu berpisah dengan Bapak. Dari pada memiliki suami yang tidak bertanggung jawab sepertinya. Namun, aku tidak mungkin memaksa Ibu untuk meninggalkan Bapak, 'kan? 

Rasa sedih akibat dimarahi oleh Bapak membuatku ingin bercerita pada seseorang. Seseorang yang aku cintai, pria yang tengah sibuk mengadu nasib di Ibu Kota.

Aku beranjak dari kasur usang yang menjadi tempatku mengistirahatkan tubuh dari rasa lelah. Kugapai ponsel yang berada di atas meja, lalu kembali merebahkan diri di kasur dengan posisi tengkurap sambil bermain ponsel untuk menghubungi kekasihku. 

Ya, aku sudah memiliki kekasih. Hampir satu tahun kami menjalin hubungan jarak jauh demi mengumpulkan pundi-pundi rupiah. Dia bilang, jika uangnya sudah cukup, dia akan segera melamarku. 

Selama satu tahun itu kami hanya bertemu empat kali. Itupun dengan waktu yang cukup singkat. Setiap pulang ke kampung, dia hanya memberi waktu satu Minggu untuk kami menghabiskan waktu bersama. 

"Argh! Selalu saja seperti ini. Setiap aku membutuhkan, dia tidak pernah ada." Aku menggerutu kesal karena panggilanku tidak dijawab olehnya.

Malam sudah semakin larut sebelum tidur aku memutuskan untuk mandi lebih dulu. Badanku sudah bau asam akibat peluh hasil bekerja tadi. Selesai membersihkan diri, ternyata perutku malah keroncongan. Ini semua sebab tadi belum makan malam gara-gara pulang kerja langsung disemprot dengan omelan Bapak. 

"Jam segini, mana enak makan nasi, apa lagi lauknya pasti udah basi. Ibu kan kalau masak dari pagi," gumamku lirih. 

Aku pun memutuskan untuk membuat mi instan sebagai pengganjal rasa lapar. Sambil menunggu mi itu matang, aku juga berselancar di dunia maya menggunakan ponselku. 

Ketika aku tengah asyik berselancar di aplikasi berlogo F warna biru, sebuah pesan singkat kembali masuk. Penasaran, aku pun membukanya. 

"Belum tidur?" Alisku bertaut saat membaca pesan dari nomor asing yang tadi mengirimkan pesan. 

Belum usai dengan rasa penasaranku terhadap siapa sosok yang mengirimkan aku pesan itu, sebuah pesan kembali masuk yang otomatis langsung terbaca olehku. "Udah malam, tidak baik anak gadis begadang. Nanti cantiknya berkurang, loh!" 

"Ish! Aneh banget. Kek kenal aku aja," gumamku yang memutuskan untuk tidak menanggapi pesan tersebut. "Astaga, mie instanku!" pekikku saat tiba-tiba mengingat bahwa aku sedang memasak makanan instan itu. 

Saat kulihat mi instan itu sudah dalam keadaan benyek karena terlampau masak. Terpaksa aku memakan mi itu dari pada harus tidur dengan keadaan kelaparan. 

Selesai makan, aku langsung mencuci mangkok kotor bekas makanku tadi. Sebelum beranjak ke kamar, aku menyempatkan diri untuk minum air putih lebih dulu. Malam yang semakin larut akhirnya membuatku tertidur pulas setelah menyantap semangkuk mi instan benyek yang kubuat. 

Keesokan harinya aku terbangun setelah adzan subuh. Begitu mataku terbuka, aku langsung berlari ke kamar mandi untuk membersihkan diri serta berwudhu. 

Aku pun melaksanakan sholat wajib dua rakaat itu dengan khusyuk. Tidak lupa aku juga memanjatkan doa kepada yang maha kuasa. Begitu selesai, aku pun memeriksa ponselku yang ternyata banyak sekali panggilan tidak terjawab dari dua nomor yang berbeda, salah satunya adalah nomor Farid–kekasihku. 

Ku kurim pesan singkat padanya. "Ada apa? Aku baru sholat subuh." 

Tidak lama pesan balasan darinya masuk. "Tadi malam telepon ada apa, yang?" 

"Enggak ada apa-apa. Lupakan saja!" balasku, yang sudah tidak ingin membahas permasalahan semalam.

"Kok gitu, sih!" balasnya lagi, mungkin dia disana sedang kesal. 

"Kamu kerja aja sana! Nanti kesiangan. Aku juga mau sekolah." Aku mengakhiri acara kirim pesan dengannya. 

"Oke, love you, Sayang!" Dia membalas lagi, tetapi aku tidak menanggapinya. 

Aku kembali menaruh ponselku di atas meja sebelah tas sekolahku. Tidak ingin terlambat ke sekolah, aku segera bergegas memakai seragam pramuka karena hari ini adalah hari Sabtu. 

Selesai memakai seragam aku keluar dari kamar dan langsung menuju dapur. Ibu sedang menyiapkan barang dagangannya di sana. Ibuku memang berjualan nasi keliling setiap pagi. Itulah yang menyebabkan aku sering terlambat sekolah karena sepedaku pun juga digunakan oleh Ibu lebih dulu. 

"Sarapan dulu, Sya!" perintah Ibu yang tentu saja langsung aku laksanakan.

"Mau aku bantu dulu?" tanyaku pada Ibu karena takut jika beliau terlambat berangkat dagang. 

"Boleh. Angkat dan tiriskan gorengan itu, Sya." 

Aku melihat ke arah penggorengan yang memang masih digunakan untuk menggoreng tempe. Kulangkahkan kaki untuk mendekat ke penggorengan itu, kemudian mengangkat aneka gorengan yang sudah matang. 

"Sudah, ini saja, Bu? Atau mau goreng lagi?" tanyaku pada Ibu. 

"Sudah, Sya. Kalau goreng lagi keburu siang nanti," jawab Ibu yang sudah semakin gugup.

Ibu berjalan tergesa-gesa dengan membawa dagangannya untuk dirapikan ke sepeda yang sudah diberi keranjang dibagian boncengannya. Akibat terlalu terburu-buru, Ibu hampir terjatuh. Beruntung aku langsung sigap menangkapnya dan mengambil alih bakul berisi nasi bungkus dagangan Ibu. 

 "Biar Tasya yang rapiin ke keranjang, Bu. Ibu siap-siap aja dulu," ujarku mengambil alih pekerjaan Ibu. 

Ibu mengangguk setuju, wanita tua yang sudah melahirkanku delapan belas tahun silam itu bergegas masuk ke kamar untuk mengganti pakaian. Begitu jug aku yang langsung ke halaman rumah–tempat di mana sepedaku terparkir. 

Ketika aku sedang memasukkan satu persatu nasi bungkus ke dalam keranjang, terdengar samar-samar suara ribut dari dalam rumah. Khawatir terjadi apa-apa pada Ibu, aku pun berlari masuk. 

"Semalam aku sudah bilang, rokokku habis. Kenapa sampai sekarang belum dibelikan?" tanya Bapak kepada Ibu dengan nada membentak. 

"Aku lupa, Pak. Badanku juga sedang kurang sehat," jawab Ibu dengan suaranya yang mulai bergetar. 

Seperti biasa, setiap bertengkar dengan Bapak, Ibu selalu menangis. Entah apa yang membuat Ibu begitu mencintai laki-laki sepertinya. Padahal, sejak aku kecil pun Bapak jarang sekali bekerja. 

"Ya sudah. Belikan sekarang juga!" perintah Bapak disertai tatapan mata tajamnya. 

"Jam segini warung mana yang udah buka, Pak?" tanya Ibu ketakutan. 

"Aku tidak peduli. Yang penting aku mau rokok itu ada di meja sebelum aku selesai mandi!" teriak Bapak di telinga Ibu. 

Kulihat Ibu memejamkan matanya saat Bapak berbicara dengan nada tinggi. Aku tahu, hati Ibu pasti sakit karena sikap Bapak. Namun, sudah berulang kali aku bertanya pada Ibu, kenapa terus bertahan jika semakin hari semakin menyakitkan. Jawaban Ibu hanya karena Ibu kasihan pada Bapak. Jika dipikir dengan logika, itu sama sekali tidak masuk akal. 

"Nanti, ya, Pak. Ibu mau jualan dulu, takut semakin siang pelanggan sudah beli sarapan ditempat lain," balas Ibu dengan nada lirihnya. 

Bapak mulai mengangkat tangan, bersiap menampar Ibu dengan tangan besarnya. Tidak ingin Ibu merasakan sakitnya ditampar oleh Bapak, aku berlari menghampiri mereka. Kujadikan diriku sebagai tameng untuk melindungi Ibu dari kasarnya sikap Bapak. Tangan laki-laki di depanku ini melayang diudara. 

"Cukup, Pak! Kalau Bapak mau rokok, kenapa tidak beli sendiri?" Aku bertanya dengan mata mendelik tajam ke arahnya, tidak ada sedikitpun rasa takut di jiwaku akan sikap Bapak, karena aku sudah sering merasakan kerasnya tamparan laki-laki pengecut itu. 

"Tasya, jangan, Nak! Nanti Bapakmu minggat dari rumah." Ibu berbisik di belakangku, aku tahu Ibuku sedang menangis akibat kelakuan Bapak. 

"Biar saja, Bu. Biar Bapak minggat ke rumah anak-anaknya dari istri pertamanya. Kita lihat nanti, apakah betah hidup bersama mereka?" Dengan berani, aku justru menantang Bapak agar tidak bertindak sesuka hati. 

"Dasar anak kurang ajar!" 

Akhirnya, kembali aku rasakan sakitnya tamparan Bapak. Tapi, aku sama sekali tidak menyesal. Kupegang pipiku yang terasa kebas akibat tamparannya. Netraku pun menatap sengit pada laki-laki yang seharusnya menjadi pelindung keluarga itu justru menjadi monster menakutkan untuk istri dan anak-anaknya. 

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!