Air Mata Ibuku
Di penghujung timur pulau jawa, di sebuah desa yang letaknya jauh dari keramaian kota, hiduplah seorang pedagang kaya yang sangat dermawan. Kedermawanannya itu membuat namanya dikenal hingga ke pelosok negeri.
Orang sering menyapanya dengan sebutan Kanjeng Ningrat. Karena memang, Kanjeng Ningrat masih keturunan Ningrat, yaitu putra berdarah biru.
Dari istrinya Diajeng Ayu Kedasih, Ningrat memiliki dua orang anak. Anak pertamanya, laki-laki yang diberi nama Arya di ningrat, dengan tujuan agar kelak dia memiliki sifat baik serta berbudi pekerti baik.
Sementara itu anaknya yang kedua seorang perempuan yang diberi nama Roro kedasih. Agar kelak dia memiliki jiwa yang lembut dan hati yang mulia seperti Ibunya.
Seiring bergulirnya waktu, merekapun tumbuh dewasa, akan tetapi mereka memiliki kepribadian yang berbeda. Arya memiliki jiwa yang lembut dan berhati dermawan, Arya suka menolong orang-orang yang membutuhkan tenaga dan pikirannya.
Sedangkan Roro kedasih, Dia memiliki kepribadian yang kasar dan sangat kikir. Sangat bertolak belakang dengan Arya.
Suatu ketika Arya dipanggil Ayahnya, karena menurut, Ningrat sudah pantas untuk melanjutkan usaha Ayahnya dalam berdagang.
“Ada apa, Yah! kenapa Ayah memanggilku?”
“Arya, kalau Ayah perhatikan selama ini, kau semakin hari semakin berbakat dalam melanjutkan usaha Ayah, saat ini Ayah udah tua, Ayah ingin beristirahat dalam mengelola seluruh bisnis yang sedang Ayah rintis. Ayah ingin semua usaha itu kau yang melanjutkannya.”
“Tapi, Yah! rasa-rasanya aku belum mampu untuk itu.”
“Kalau bukan kepadamu, lalu kepada siapa lagi akan Ayah serahkan semua tanggung jawab ini, kau lihat sendirikan Adikmu Roro, dia hanya menghambur-hamburkan uang saja kerjaannya.”
“Kalau begitu kata Ayah, aku akan patuhi semua yang Ayah katakan.”
“Bagus anakku, tapi ingat satu pesan Ayah, jangan sekali-kali kau bersifat sombong dan kikir, karena semua harta ini, hanyalah titipan semata dari Allah kepada kita sebagai seorang hamba yang rendah.”
“Baik Ayah, pesan Ayah pasti ku ingat selalu,” jawab Arya dengan suara lembut.
“Bantulah setiap orang yang membutuhkan pertolongan darimu. Jangan pilih pandang, siapapun orangnya, baik dia orang kaya maupun orang miskin,” jelas Ningrat pada putranya.
“Baik Ayah, pesan itu akan selalu ku ingat,” jawab Arya dengan suara yang lembut.
“Saat ini Ayah sudah tua, begitu juga dengan bunda mu, Ayah ingin kau segera berumah tangga. Carilah istri yang kau sukai dan yang pantas untukmu. Ayah tak akan melarang dengan siapa kau menikah, asalkan dia satu akidah dan seiman dengan kita."
“Tapi Ayah?”
“Ayah juga tak akan membuat pembatas dalam hubungan kalian, mekipun dia dari kalangan bawah sekalipun. Karena menurut Ayah semuanya itu sama, hanya keimanannya lah yang membuat seseorang itu berbeda disisi Allah.”
“Iya, Ayah! aku mengerti maksud Ayah. Aku akan berusaha menyenangkan hati Ayah dan Bunda,” jawab Arya sembari mohon izin untuk pamit pada Ayahnya.
“Ingat, Sholat tahajjud lah, agar Allah memberikanmu petunjuk.”
“Baiklah, Ayah,” jawab Arya pelan.
Semenjak hari itu, Arya tampak begitu gelisah, sudah empat bulan berlalu, namun dia belum juga mendapatkan gadis yang dicarinya, tapi Ayahnya Ningrat sangat memahami kondisi putranya, jadi sebelum putranya berputus asa, Ningrat sudah menguatkan keyakinan putranya terlebih dahulu.
“Arya, mencari istri itu, tidak semudah membalikan telapak tangan nak, jodoh ada ditangan Allah. Jika Dia belum berkehendak, jodohmu tak akan datang padamu, apapun itu alasannya, jadi bersabarlah, tunggulah dengan ikhlas dan tawakal.”
“Baik Ayah, terimakasih atas semua nasehat yang Ayah berikan.”
“Bagus, kau memang anak yang taat, Ayah bangga padamu, nak,” kata Ningrat sembari memuji akhlak putra tunggalnya itu.
Hari pun berlalu, bergulir seiring dengan waktu yang terus mengejarnya, Minggu kini telah berganti dengan bulan, bulan merangkai dengan tahun, tahun berjalan dengan semestinya, tak ada yang salah dengan peredaran waktu saat itu, semua bergerak sesuai dengan takdir yang telah ditentukan Allah Swt.
Begitu juga dengan halnya Arya, setiap hari hasil dari usaha yang digelutinya semakin meningkat pesat. Sesuai dengan kehendak Ayahnya, Arya selalu bagi-bagi rezeki pada semua orang, sifat dermawan yang dia miliki, tentu tak lepas dari didikan Ayah dan Bundanya.
Karena mereka selalu senantiasa menggembleng kepribadian anak-anaknya. Mesti demikian, hal itu sangat berbeda sekali dengan adiknya Roro kedasih. Keberhasilan yang dicapai Arya membuat Roro iri dan sakit hati pada saudaranya itu.
Roro tak ingin Kang mas nya selalu mendapat perhatian yang lebih dari Ayah dan Ibunya, serta dari orang-orang yang dekat dengan dirinya. Roro selalu saja mencari celah kekurangan dan kelemahan Arya, untuk dijadikan bahan aduan kepada Ayah dan Ibunya.
Tapi karena Ningrat dan Ayu adalah orang tua yang bijak dan berbudi, dia selalu menanggapi ucapan putrinya itu, sebagai bahan masukan yang harus dipertimbangkan terlebih dahulu.
Semakin banyak keburukan Arya yang di adukan Roro, maka semakin tercium lah oleh Ningrat sifat buruk yang terselubung di hati putrinya itu. Hal itu ditanggapi Ningrat dengan sigap. Dengan cara menikahkan Roro dengan seorang bangsawan muda dari tanah seberang.
Selain pria itu kaya dan tampan, dia juga seorang ustad yang baik. Roro pun tidak menolak perjodohan itu, dia menerimanya dengan senang hati. Acara pernikahan pun segera dilangsungkan.
Meski terbilang kaya dan keturunan ningrat, namun Ningrat melangsungkan pernikahan putrinya secara sederhana. Hanya kalangan bawah saja yang banyak hadir di pesta itu, hal inilah yang membuat Roro semakin sakit hati, pada Ayah dan Ibunya.
Roro ingin pesta pernikahannya diselenggarakan secara meriah dan serba mewah. Dia juga ingin orang yang hadir di pestanya hanya orang-orang kaya dan terpandang saja. Tapi kenyataannya tidak seperti itu.
NIngrat dan Ayu melakukan hal itu tentu ada tujuannya, Ningrat ingin pria yang menikahi putrinya menerima segala kekurangan dan kelebihan putrinya, mesti hidup bergelimang harta, namun tetap berjiwa dan berhati sederhana.
Setelah pernikahan selesai, Ningrat mengirim putrinya ke suatu desa terpencil, agar selama disana Roro bisa berbenah diri, dan menyadari bahwa semua kekayaan yang dipamerkan selama ini bukanlah miliknya, akan tetapi semua itu adalah titipan Allah untuk keluarganya.
Di desa itu, Roro hidup sangat sederhana sekali, tak ada lagi harta yang bisa dia banggakan pada penduduk sekitarnya, Roro yang terkenal kaya itu, kini telah menjadi rakyat jelata, berbaur dengan masyarakat sekitarnya.
Meski demikian, Roro masih saja sombong dan angkuh. Terkadang para tetangganya mencibir mendengar cerita darinya, semua orang tampak mengejek saat Roro mencoba menceritakan siapa dirinya.
“Udahlah, Ro. Kalau kamu anak orang kaya dan orang ningrat, kenapa hidup miskin seperti ini?” tanya Diah ingin tahu.
“Benar itu! orang kaya itu pasti tinggal di gedung yang mewah, hidup serba berkecukupan. Mau makan enak tinggal minta, lalu orang akan datang melayani kita, tapi kenyataannya nggak seperti itu kan? hahaha!” timpal Rita.
Bersambung...
*Selamat membaca*
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 120 Episodes
Comments
Awdifal
saya suka cerita bgni.. tp juga kesel da yg jahatnya😭
2023-10-23
0
Dwi sonya
semangat terus thor
2023-07-17
0
Iril Nasri
cerita yang menarik thor
2023-06-05
0