Beberapa orang di suruh menyampaikan kabar berita itu kepada Roro, bahwa Ibu tercintanya telah berpulang ke Rahmatullah.
Mang Ujang orang kepercayaan Ayahnya datang mengabari berita itu pada Roro dan suaminya Ilham. Roro yang menerima kabar duka itu, hanya di tanggapi dingin, dia tak bicara sepatah katapun pada Mang Ujang.
“Kata Tuan, kalau Non, ingin pulang ke rumah, pulanglah bersama Mamang.”
“Ngapain pulang bersama Mamang?”
“Lho, tadi kan udah Mamang kabari, kalau Ibu Non, sudah meninggal dunia.”
“Ya sudah, di sana kan begitu banyak orang, jadi kehadiran ku nggak pala di harapkan dong?”
“Kata siapa kehadiran Non, nggak di harapkan Tuan?”
“Buktinya saja, dia mencampakkan aku ke hutan ini, Mamang tahu kagak, disini aku seperti anak gelandangan!”
“Non serius, seperti itu? bukankah setiap minggu Ayah Non, selalu mengirimkan uang belanja?”
“Iya, Mang, tapi uang nya hanya cukup untuk beli garam doang! apa lagi, ada anak orang yang menumpang makan dengan ku, jangankan bersisa, untuk biaya makan saja kurang.”
“Non serius, kalau uangnya kurang?”
“Ya, kurang lah Mang, Mamang kira hidup ini kagak butuh uang apa!”
“Padahal, uang yang dikirim Ayah Non, bisa menghidupi tiga keluarga sekaligus, tapi Non, masih saja bilang kagak cukup.”
“Emang kagak cukup kok, mesti gimana lagi.”
“Astagfirullah! ternyata Non, belum juga berubah ya.”
“Heh Mang, itu bukan urusan mu ya, tugas mu hanya sekedar jadi pembantu, nggak lebih!”
“Mulut Non, ternyata nggak bisa di jaga juga ya?”
“Haah…! udah-udah, kalau Mamang masih ngomong juga, maka aku akan mengusir Mamang dari rumah ini.”
“kagak di usir pun, Mamang juga akan pergi kok.”
“Dasar pria tua, udah pikun juga, masih saja di pertahankan,” gerutu Roro kesal.
Karena merasa tersakiti oleh Roro kedasih, Mang Ujang langsung pergi meninggalkan Roro, dia begitu kesal sekali, sehingga dia tak memperdulikan Roro, apakah ikut bersamanya atau tidak.
Setibanya di rumah Ningrat, Mang Ujang langsung duduk diam di bawah sebatang pohon yang berdiri kokoh di depan halaman rumah besar itu.
Ningrat yang melihat kedatangan Ujang, dia langsung menyuruh orang untuk memanggilnya.
“Tino, benar itu Ujang yang duduk di bawah pohon?”
“Benar Tuan,” jawab Tino dengan suara lembut.
“Tolong kau panggilkan dia untuk ku.”
“Bik Tuan,” jawab Tino sembari bergegas menghampiri Ujang yang tampak sedang asik mengipas wajahnya dengan menggunakan topi.
“Mang Ujang, Mang Ujang!”
“Heh, kamu Tin, ada apa?” tanya Ujang heran.
“Panggil Tuan.”
“Ooo, baik. Aku akan segera datang.”
“Iya.”
Lalu Ujang pun bergegas menghampiri majikannya. Yang saat itu masih duduk diam di samping tubuh istrinya yang telah terbujur kaku.
“Tuan memanggil saya?”
“Benar. Gimana, apakah sudah kau kabarkan berita ini pada Roro?”
“Sudah Tuan.”
“Apakah dia datang?”
“Saya nggak tahu Tuan, tapi sepertinya Non Roro terlihat begitu acuh dan santai.”
“Apakah kau mengajaknya bersama mu?”
“Iya Tuan, tapi Non Roro kagak mau ikut Tuan.”
“Ya sudah, kalau begitu mari kita mandikan saja jenazahnya, nanti kalau Roro datang saya yang bicara padanya nanti.”
“Baik Tuan,” jawab seluruh pekerja serentak.
Dengan bekerja sama, mereka pun langsung memandikan jenazah Ayu kedasih serta mengapani nya. Setelah menunggu beberapa saat, akhirnya jenazah Ayu kedasih di makamkan di dekat rumahnya.
Setelah beberapa minggu berlalu, ternyata Roro kedasih tak datang juga mengunjungi makam Ibu tercintanya, hal itu membuat Arya geram, diam-diam tanpa sepengetahuan Ayahnya dia pun mendatangi rumah Roro.
“Assalamu’alaikum!”
“Wa’alaikum salam, siapa di luar?” tanya Roro dari dalam rumah.
“Aku, Kang Mas Arya.”
Mendengar namanya di sebut, Roro langsung bergegas membukakan pintu rumahnya, namun setelah pintu di bukan, Roro sadar, karena ulah Arya lah hidupnya jadi hancur dan dia dibuang ke Desa yang sepi tanpa penghuni.
“Buat apa kang Mas datang kesini?”
“Kau masih bertanya, buat apa Kang mas datang kesini?”
Mendengar pertanyaan yang berbalik datang padanya, Roro hanya diam saja, dia tak mau menjawab pertanyaan itu.
“Kenapa kau nggak datang, melihat Ibu kita meninggal dek?”
“Buat apa aku datang!”
“Buat apa kau datang?”
“Iya, bukan kah selama ini mereka berdua telah membuang ku ke Desa yang sepi ini dan dia lebih memilih untuk mengurus Kang Mas saja, lalu bukti apa lagi yang mengatakan kalau dia itu benar-benar menyayangi ku sebagai putrinya.
“Siapa bilang mereka tak menyayangi mu, agar kau tahu, siang malam Ibu menangis karena berpisah dengan mu, berminggu-minggu Ibu kita sakit karena merindukanmu. Tapi hanya ini balasan yang kau berikan padanya.”
“Bohong! Kang Mas bohong! kalau memang mereka menyayangi ku dan begitu merindukan aku, lalu kenapa mereka nggak mengajak ku kembali kerumah, mereka justru mencampakkan ku di sini.”
“Semua itu terpaksa mereka lakukan, agar perilaku mu yang buruk itu bisa berubah.”
“Perilaku buruk apa? emangnya selama ini aku jahat, aku suka mencuri, atau aku suka berfoya-foya!”
“Ya, semua apa yang kau katakan itu benar.”
“Apa maksud Kang Mas?”
“Itulah perilaku buruk mu selama ini, namun setelah sekian tahun keluar dari kemewahan, justru kau nggak mau berubah. Kau nggak mampu mengendalikan diri dan hawa nafsu mu sendiri.”
“Alaah…! jangan sok baik kamu Kang Mas, kau suka sekali menjilat, kau kira aku nggak tahu siapa kau sebenarnya Kang Mas, aku tahu, sangat tahu!”
“Terserah mu Dek, tapi semua yang kau katakan itu nggak benar.”
“Apapun alasan mu Kang Mas, kau tetap saja menjadi Kakak yang nggak berguna untuk ku.”
“Keras kepala kau Dek.”
“Terserah..! sekarang cepat kau keluar dari rumah ku!” teriak Roro.
“Baik, tapi ingat pesan Kang Mas, kau pasti akan menyesalinya nanti.”
“Nggak akan, nggak akan…!” teriak Roro dengan suara lantang.
Mendengar teriakan Roro, Arya langsung pergi, dia tak menggubris sama sekali apa yang di katakan oleh adiknya itu.
Arya pun kembali kerumah mewah milik Ayah tercintanya.
Ketika hendak memasuki gerbang rumah itu, Ningrat melihat Arya dalam keadaan kecewa dan kesal, dia pun menyuruh Tino untuk memanggil Arya.
“Baik Tuan,” jawab Tino seraya bergegas menuju kamar Arya.
Setelah tiba di dalam kamar Arya, Tino tak menemukan majikannya, seluruh ruangan pun di periksa namun hasilnya tetap sama. Di sudut luar kamarnya, tampak Arya duduk diam seraya memandang langit.
“Den.”
“Eh, Mang Tino, ada apa?”
“Aden di panggil Tuan.”
“Ooo baiklah, sebentar lagi aku akan kesana.”
“Baik Den, kalau begitu Mamang pergi dulu.”
“Iya, Mang.”
Tino pun kemudian pergi meninggalkan Arya. Tak berapa lama, Arya langsung pergi menemui Ayahnya.
“Ayah memanggil ku?”
“Iya Nak, tadi Ayah melihatmu masuk gerbang, emangnya kau dari mana?”
Bersambung...
*Selamat membaca*
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 120 Episodes
Comments
Dwi sonya
wah, sedihnya hidup ini,jika ibu tak ada bersama kita
2023-07-27
0
Iril Nasri
semoga ibu mendapat kelapangan di sisi Allah
2023-06-05
0