“Maaf kan aku Ayah, aku geram dengan sikap Roro yang begitu acuh ketika mendengar Ibu kandungnya tiada.”
“Lalu, kau mendatangi rumahnya?”
“Iya Ayah.”
“Lagi ngapain dia dirumah itu?”
“Dia terlihat biasa-biasa saja Ayah.”
“Apakah ada suaminya di rumah itu?”
“Sepertinya aku nggak melihat Ilham di sana, sebab yang keluar hanya Roro sendiri.”
“Ayah dengar kabar, Roro telah memiliki tiga orang anak, apakah kau melihat anak-anaknya?”
“Nggak Ayah.”
“Ya sudah, lain kali, kau nggak perlu mendatangi rumah adik mu itu.”
“Kenapa Ayah?”
“Dia itu berhati batu nak, menemuinya sama saja mencari penyakit untuk kita.”
“Aku begitu kasihan padanya Ayah.”
“Ayah paham itu, nak.”.
“Sepertinya hidup Roro begitu susah saat ini Ayah.”
“Begitu susah?”
“Benar Ayah.”
“Bukankah Ayah, selalu mengirimkan uang belanja kepadanya setiap minggu, bahkan uang yang Ayah kirim bisa membelanjakan tiga orang keluarga sekaligus.”
“Berarti Roro telah menghambur-hamburkan uang yang Ayah berikan.”
“Bisa jadi begitu,” jawab Ningrat seraya mengangguk-anggukkan kepalanya.
Enam tahun pernikahan Roro berjalan, tak ada perubahan sama sekali pada dirinya, Roro malah bertambah jahat.
Sementara itu Ningrat, masih tenggelam dengan rasa sedih atas kehilangan orang yang sangat dia sayangi, siang malam Ningrat menangis, memikirkan istrinya yang telah lama tiada.
Arya yang selalu memperhatikannya mencoba mencari seorang ustadz untuk pendamping Ayah tercintanya. Agar di usia tua, Ayahnya tetap berpegang teguh pada Al-Qur'an dan Islam.
Sedangkan usaha yang selama ini dia geluti di ambil alih oleh Arya.
Di tangan Arya yang dingin, ternyata usaha Ayahnya berkembang dengan pesat, usaha yang di jalaninya tumbuh berkembang bagaikan jamur di musim penghujan.
Nilai harta yang di miliki Arya, menjadi tiga kali lipat dari harta yang sudah dia miliki sebelumnya. Kemudian Arya berinisiatif untuk membagi hartanya itu menjadi dua, sebagian untuk dirinya dan sebagian lagi untuk Roro.
Niat baik itupun di beritahukan Arya pada Ayahnya, Ningrat menyambut niat baik putranya dan langsung menyetujuinya.
“Sebenarnya semua ini sengaja aku lakukan, demi keutuhan keluarga kita Ayah. Agar kelak Roro nggak menganggap Ayah sebagai orang tua yang pilih kasih. Selagi Ayah masih hidup, aku ingin Ayah menuliskan surat wasiat untuk Roro, tentang pembagian harta ini,” ujar Arya dengan suara lembut.
“Baiklah nak, Ayah setuju dengan usulan mu itu dan Ayah pun nggak merasa tersinggung dengan permohonan mu,” jawab Ningrat sembari mengambil secarik kertas.
Di atas kertas itu Ningrat menulis dengan kata-kata yang indah yang penuh makna. Kemudian kertas yang telah di tulis tangan dan di tanda tangani itu di serahkan kepada Arya.
“Ini surat yang kau inginkan itu, berikanlah pada adik mu!” perintah Ningrat pada putranya.
“Baik Ayah, nanti setelah pembagian hartanya selesai, aku akan mengantarkannya sendiri pada Roro."
“Baiklah.”
“Kalau begitu, aku pamit dulu Ayah.”
“Silahkan.”
Kemudian Arya pun berlalu meninggalkan Ayahnya. Dari pertemuannya itu Arya merasa, bahwa Ayahnya telah kembali seperti dahulu. Terlihat dari sikap dan ketenangan serta senyum lembut yang tersungging dari bibirnya yang tipis.
Dari harta yang dia dapat selama memegang bisnis yang di kelola, Arya membagi rata dengan adiknya Roro, tak sedikitpun terniat di hati Arya untuk tidak bersikap adil, semuanya di bagi rata. Tak ada yang di sembunyikan dan tak ada yang di tutup-tutupi.
Arya menulis semuanya secara transparan dan sedetail mungkin. Semua itu sengaja dia lakukan, agar Roro tidak mencurigainya dan menyalahkan kedua orang tuanya tidak berbuat adil.
Setelah semuanya selesai, lalu Arya pun berangkat, dia ditemani oleh Mang Ujang yang selama ini bekerja pada Ayahnya. Selain itu Mang ujang merupakan orang kepercayaan Ningrat dalam segala bidang, sama seperti Burhan, mereka berdua telah di anggap Arya sebagai bagian dalam keluarga.
Setibanya di rumah Roro, Arya dan Mang Ujang di sambut dengan sikap yang tidak baik oleh adiknya itu, Roro mengucapkan kata-kata kasar pada dirinya, tapi Arya tak membalasnya sama sekali.
“Semakin hari, aku melihat sifat mu semakin jahat adik ku. kau kasar dan angkuh.”
“Itu bukan urusan mu, sekarang katakan apa tujuan kalian datang ke rumah ku ini, kalau nggak terlalu penting sekali, silahkan kalian pulang, karena aku nggak punya waktu untuk melayani kalian bicara.”
“Mana suami mu?”
“Dia pergi kerumah orang tuanya.”
“Pergi kerumah orang tuanya?”
“Sejak kapan?”
“Itu bukan urusan mu, sekarang katakan saja, apa tujuan kalian datang kesini.”
Saat mereka sedang bicara lalu keluar lima orang anaknya, semuanya laki-laki, Arya memperhatikan kelima anak itu seraya tersenyum, namun mereka tak seorang pun yang membalas senyuman Arya yang polos itu.
“Mereka semua anak mu Dek?”
“Nggak mungkin aku memungut anak orang lain kan?”
“Astagfirullah! kenapa kau begitu kasar sekali Dek?”
“Itu bukan urusan mu.”
“Udahlah Den, nggak usah di layani, berikan saja apa yang hendak kita serahkan padanya.”
“Baik Mang.”
Ketika Arya hendak mengutarakan niat hatinya, tiba-tiba saja Ilham datang. Mereka bertiga pun memandanginya dengan tatapan mata yang berbeda.
“Eh, ada Kak Arya dan Mang Ujang,” ujar Ilham seraya memberi salam mereka berdua.
“Kenapa kembali? nggak betah kan hidup di luar sana, mana mungkin betah hidup jadi gelandangan, sementara di sini kau tinggal minum dan makan gratis dari pemberian Ayah ku.”
“Ssst..! Roro, jaga ucapan mu itu! apakah kau nggak sadar kalau dia itu suami mu?”
“Kalau aku sadar, emangnya kenapa?”
“Dia itu suami mu Roro.”
“Sudahlah Kang Mas, dia itu memang seperti itu, selalu saja membantah bila di kasih tahu yang baik. Sebenarnya aku sudah lelah untuk menasehatinya, sebab dia itu, nggak bakalan mau berubah.”
“Begini Ilham, tujuan Kang Mas datang kesini, hanya untuk menyampaikan amanah dari Ayah.”
“Amanah, amanah apa itu Kang Mas? Apakah masalah pembagian harta warisan?” potong Roro dengan cepat.
“Benar.”
“Waah..! kalau begitu berikan pada ku suratnya itu.”
“Ini bacalah,” ujar Sidik sembari menyodorkan kertas surat yang di tulis tangan oleh Ayahnya sendiri.
Dengan cepat surat itu langsung di rebut oleh Roro, perasaan gembira sepertinya terpancar dari raut wajahnya. Roro membaca surat itu sembari tersenyum senang.
“Terimakasih Kakang, terimakasih, sekarang hidupku baru tenang, karena Ayah telah membagi hartanya pada ku. aku janji akan memanfaatkan harta ini dengan sebaik-baiknya.”
“Ya, terserah kamu saja, sekarang aku mohon pamit. Aku takut nanti Ayah kelamaan menunggu di rumah.”
“Baik Kang Mas. Terimakasih atas kebaikan Kakang pada ku.”
“Iya, sama-sama. Satu pesan Kakang pada mu, usahakan sesering mungkin untuk mengunjungi Ayah di rumah, karena saat ini, Ayah sudah semakin tua.”
“Iya Kakang,” jawab Roro dengan suara sangat lembut sekali.
Setelah urusan mereka berdua selesai, Arya dan Mang Ujang pun kembali pulang kerumahnya. Dengan menggunakan sepeda, Perlahan roda pun berputar sesuai dengan kecepatan yang mereka perlukan.
Bersambung...
*Selamat membaca*
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 120 Episodes
Comments
Iril Nasri
Arya emang pintar ya, baik lagi
2023-06-05
0