Sedangkan Arya asik menikmati suasana alam yang indah dari bangku belakang sepeda itu. Di perjalanan menuju rumahnya itulah, Arya bertemu dengan seorang gadis cantik, diapun tersenyum pada Arya dan Arya membalasnya.
Awal mulanya terasa biasa-biasa saja, tapi lama kelamaan wajah gadis itu selalu saja terbayang di pelupuk mata Arya, senyumannya yang manis seperti tak henti-hentinya menari di pelupuk matanya.
Perasaan itu langsung di beritahukan Arya pada Ayahnya. Tanpa berpikir panjang Ningrat pun menyetujuinya.
“Pergilah nak, Ayah yakin kalau gadis itu adalah jodoh yang ditakdirkan Allah untuk mu.”
“Tapi, aku mesti mencari kemana Ayah?”
“Carilah di mana kau pernah menemuinya waktu itu.”
“Baiklah, aku akan pergi bersama Mang Ujang.”
“Ya, pergilah. Ayah pasti merestui hubungan kalian berdua.”
“Iya Ayah, terimakasih atas restu yang Ayah berikan pada ku,” ujar Arya seraya berangkat meninggalkan Ayahnya sendirian.
Bersama Mang Ujang, Arya langsung berangkat dengan menaiki sepeda. Sementara itu Ningrat yang telah melepaskan kepergian Arya tampak duduk tenang di teras rumah sambil menunggu kepulangan putranya.
Tubuhnya yang lemah tak berdaya itu pun sesekali mencoba untuk bangkit dari kursi tempat duduknya. Keyakinan hatinya untuk meruntuhkan tirani perbedaan antara yang kaya dengan yang miskin selalu ingin dia buktikan pada semua orang.
Bagi Ningrat, harta hanyalah titipan Allah semata, yang suatu saat nanti akan di mintai pertanggung jawaban. Itulah sebabnya, Arya selalu saja membagikan hartanya itu pada orang miskin dan menyantuni anak-anak yatim yang ada di Desa tempat tinggalnya.
Di hari tuanya, Ningrat selalu mendatangi rumah para warga miskin dengan mendermakan sedikit hartanya pada mereka semua. Arya yang selalu mengiringi Ayahnya kemanapun dia pergi, lama kelamaan menjadi terbiasa pula untuk di ikuti.
Sementara itu, Burhan yang sedang duduk di pintu samping rumah Ningrat, sekilas melihat Arya kembali bersama dengan Mang Ujang.
Lalu Burhan pun, bergegas menghampiri majikannya yang tampak tertidur di kursi roda miliknya.
“Tuan, Tuan! sepertinya Den Arya udah kembali,” bisik Burhan di telinga majikannya.
“Mana Burhan?”
“Itu, di depan gerbang, Tuan.”
Mendengar ucapan Burhan, mata Ningrat yang mulai sedikit kabur mencoba untuk bangkit dan menatap dengan tajam kearah gerbang.
“Kau kah itu nak?” tanya Ningrat pada Arya.
“Iya Ayah.”
“Gimana? apakah kau berhasil menemui perempuan itu?”
“Alhamdulillah, berhasil Ayah.”
“Alhamdulillah.”
“Mang Ujang juga telah meminang kan gadis itu untuk ku, Ayah.”
“Syukurlah, semoga kalian berjodoh nak.”
“Insya Allah Ayah.”
Sesuai dengan rencana yang telah di sepakati, satu minggu sesudah itu, keluarga besar Ningrat pun sibuk membenahi rumah dan menghiasinya dengan janur kuning. Pelaminan pun di pasang dengan indah dan rapi.
Para penduduk Desa sudah berdatangan, mereka semua bekerja sama, membantu acara pernikahan yang akan di lakukan Arya dengan Kenanga, seorang putri kepala Desa.
Seluruh karyawan dan para pekerja serta orang-orang kepercayaan Arya, mereka semua sibuk membenahi lokasi pesta, mesti mereka kaya dan punya banyak harta, namun acara pernikahan Arya mereka selenggarakan secara sederhana.
Di acara pernikahan yang sederhana itu, yang hadir hanya orang kalangan bawah saja, tak ada para petinggi yang di undang, pesta rakyat yang mereka lakukan memang khusus hanya untuk orang-orang kalangan bawah.
Bagaikan pinang di belah dua, begitulah Arya dan Kenanga. Mereka berdua terlihat begitu serasi sekali, semua orang tampak berdecak kagum saat memandangi wajah mereka.
Saat jam dinding menunjukan angka Sembilan, penghulu pun datang memasuki rumah mewah itu, dia tampak tercengang, ketika melihat pesta sederhana di adakan dirumah mewah.
“Apakah kedua saksi sudah hadir?” tanya penghulu pada semua yang tampak duduk dengan rapi dan tenang.
“Sudah Pak,” jawab kedua saksi serentak.
“Baiklah, kalau begitu mari kita mulai akad nikahnya.”
NIngrat yang biasanya menggunakan kursi roda untuk duduk, kali itu dia minta diturunkan dan ingin duduk di dekat Arya putranya. Saat itu Ningrat mendengarkan langsung ketika Arya membacakan akad nikah di hadapan semua orang.
“Gimana saksi? apakah sah?” tanya penghulu memastikan.
“Saah..!” jawab saksi serentak.
Di saat kata-kata sah itu di ucapkan, tampak Arya dan Kenanga tersenyum manis. Lalu tiba-tiba saja terdengar suara desah nafas yang sangat kuat dari orang yang berada di samping kiri Arya.
Saat Arya menoleh ke arah Ayahnya, ternyata itulah suara ******* nafas Ningrat. Arya melihat Ayahnya terkulai lemah tak berdaya di sampingnya.
“Ayah!” teriak Arya, seraya mengangkat kepala Ayahnya.
Tampak Ningrat menatap wajah Arya dengan pandangan yang hampa, Arya pun berusaha untuk terus membangunkan Ayahnya yang terdiam.
“Ayah, bangun Ayah. Bangun…! jangan tinggalkan aku Ayah!” ujar Arya sembari menggoncang tubuh Ayahnya.
Tiba-tiba terdengar suara batuk kecil dari mulut Ningrat, lalu sepatah kata terucap pelan, suara itu hampir saja tak bisa di dengar oleh orang lain.
“Putra ku, Ayah nggak apa-apa, Ayah bangga pada mu. Karena kau memiliki hati yang bersih dan tulus. Mana adik mu Roro, nak?”
“Ini Ayah, ini Roro,” ujar Arya seraya memegang pundak adiknya yang sedang menangis tersedu-sedu.
“Maafkan Roro Ayah. Roro jarang sekali menjenguk Ayah,” ucap Roro pelan.
“Roro, putri ku. Ayah dan Ibu sangat menyayangimu nak. Kalian berdua adalah putra putri kami yang baik. Tapi saat ini Ayah nggak bisa lagi mendampingi kalian.
“Iya, Ayah. Roro sangat mengerti sekali.”
“Roro putriku.”
“Iya Ayah.”
“Satu permintaanku pada mu nak.”
“Apa itu Ayah, katakanlah. Roro janji akan selalu mendengarkan ucapan Ayah.”
“Roro, kau memiliki sifat yang keras dan angkuh, Ayah mohon buanglah sifat itu dari hati mu nak, buang jauh-jauh karena itu sifat syetan. Sifat itu akan menjadi petaka bagi dirimu sendiri. Hormati suamimu, jangan pernah kau menghardiknya, apalagi berkata kasar padanya.”
Sesaat kemudian, Ningrat pun menghela nafas dan perlahan menghembuskan, saat itu Arya pun membisikan kalimah syahadat di telinga Ayahnya, perlahan kata itu pun di ucapkan oleh Kromo, hingga dia pun terkulai lemah di pangkuan putranya Arya Diningrat.
Isak tangis tak dapat di bendung lagi, uraian air mata sepertinya telah memenuhi suasana ruangan itu. Acara yang mestinya di warnai keceriaan kini berubah menjadi deraian air mata.
Keadaan tampak begitu mencekam, kegembiraan yang semestinya harus di nikmati bersama-sama, justru berubah menjadi duka. Ternyata Allah berkehendak lain di hari pernikahan Arya.
Tubuh Ningrat pun di baringkan di tengah ruangan, dengan di tutup sehelai kain panjang. Tubuh yang dulunya kuat dan kokoh, kini terbujur kaku tak berdaya, di samping tubuh Ningrat yang terbujur Arya bersama Kenanga, tampak duduk diam. Begitu juga dengan Roro kedasih.
Air mata mereka tak henti-hentinya mengalir, sesekali Arya membuka kain penutup wajah Ayahnya. Sembari berdo’a.
Bersambung...
*Selamat membaca*
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 120 Episodes
Comments
Dwi sonya
👍👍👍
2023-07-27
0
Iril Nasri
waah semua pada wafat ternyata
2023-06-05
0