Mendengar ejekan dari kawan-kawannya, hati Roro semakin sakit, ingin sekali rasanya dia menonjok mulut yang usil itu, agar segera berhenti mengejeknya, tapi Roro tak bisa, karena ada Ilham yang selalu membuatnya tak dapat berbuat semena-mena.
Karena bagi penduduk desa itu, Ilham mereka jadikan sebagai panutan sekaligus seorang ustad. Jadi Roro tak bisa berbuat apa-apa sekehendak hatinya.
“Kalian itu ya, kalau ngomong selalu menyakitkan hati,” ujar Roro pada semua tetangganya itu.
“Sebenarnya aku ini ogah untuk menyakiti hati mu Ro, tapi karena kau begitu jumawa, maka kami pun terpaksa bersikap jahat pada mu.”
“Jumawa apanya? kalau kalian nggak percaya, coba kalian tanya sendiri pada Mas Ilham.”
“Nggak ada gunanya Ro, kami semua udah terlanjur nggak percaya pada mu.”
“Dasar orang Desa bodoh!” bentak Roro kedasih dengan suara keras.
“Kau yang bodoh Ro, kau bahkan seperti orang sinting saat ini, kau mengaku kaya, sementara kau hidup dengan serba kekurangan, jangan kan untuk membeli pakaian, beli beras saja kau nggak sanggup.”
“Awas kalian nanti, jika suatu saat nanti, Ayah ku sudah membagikan warisannya, akan ku bangun istana yang mewah di Desa ini.”
“Berkhayal terus Ro, biar tambah senewen! hahaha…!”
Ejekan itu, sangat menyakitkan sekali, ingin rasanya Roro menangis, namun dia malu pada dirinya sendiri, mesti Ayahnya hanya mengirimkan uang untuk bekal hidup satu minggu, Roro selalu menyisakan nya untuk membeli pakaian baru, agar tampak mewah dan kaya di hadapan para tetangganya.
“Lihat tuh Roro, mesti berlagak seperti apa pun, dia tetap saja terlihat seperti orang miskin di mata ku,” ucap Mawar.
“Ssst..! udah-udah, kasihan Roro, selalu saja mendapat ejekan dari kita semua, siapa tahu dia itu benar-benar orang kaya,” ujar Siti setengah berbisik.
“Orang kaya apanya, udah gila barang kali!” timpal Ningsih dengan suara lantang.
Melihat semua orang mengejeknya, Roro tampak bersedih hati, malam itu dia tak mau makan dan duduk diam menyendiri di jendela kamar seraya memandangi bulan.
Ilham yang melihat istrinya bersedih, dia hanya bisa diam saja, karena Ilham merasa takut, kalau di tegur Roro bisa marah besar padanya.
Lama-kelamaan, Ilham jadi semakin tak tega melihat istrinya tetap diam memandangi bulan sendirian sampai larut malam.
“Kau lagi mikirin apa sih Ro? Kok udah larut begini belum juga tidur?”
“Kau lihat sendirikan, aku sedang ngapain?”
“Aku tahu, kau sedang memandangi bulan, sebenarnya matamu memang kearah bulan, tapi pikiranmu pasti sedang kearah lain.”
“Kok kau bisa berfikiran seperti itu pada ku? kau tahu kagak, semenjak kita menikah hidup ku jadi hancur, tahu!” bentak Roro pada suaminya.
“Kalau gara-gara menikah dengan ku, hidupmu jadi hancur, lalu kenapa kau mau menikah dengan ku, aku juga nggak maksa kok.”
“Enak aja ya, kalau ngomong!” jawab Roro tak mau ngalah.
“Masih sukur, aku selalu setia pada mu, kalau aku mau, aku bisa meninggalkan mu.”
“Bagus, kalau kau memang sudah nggak betah menikah dengan ku, sana pergi!”
“Kata siapa aku akan pergi, kita akan tinggal dirumah ini berdua, urus diri masing-masing, aku juga bosan setiap hari harus masak untuk mu, emangnya kau siapa?”
“Maksudmu apa sih Ilham?”
“Kau tahu nggak Ro, keluargamu saja, udah nggak sudi menampung mu Sebagai seorang anak di rumah mewah itu. Lalu kenapa mesti tetap jadi orang sombong sih?”
“Tutup mulutmu Ilham!” bentak Roro dengan suara lantang.
“Kau nggak punya hak untuk menyuruh ku menutup mulut.”
“Dasar kau ini ya suami nggak berguna!”
“Kau juga istri nggak tahu diri!”
Hingga malam semakin larut pun, mereka berdua masih saja bertengkar. Mereka berdua begitu frustasi menjalani hidup yang tak pernah dia lakukan selama ini.
Bukan hanya Roro saja yang orang kaya, Ilham sebenarnya juga orang kaya, anak seorang pengusaha terkenal di daerahnya, tapi karena dia telah menikah dengan Roro, keluarga Ilham beranggapan kalau mereka hidup tenang dan berkecukupan selama ini.
Sementara itu Ilham yang melihat kelakuan istrinya gila harta, dia enggan untuk meminta bantuan pada kedua orang tuanya. Ilham lebih memilih diam daripada banyak bicara.
Pagi itu, Roro mendatangi Ilham yang masih tidur di dalam kamarnya, Roro berniat ingin bicara baik-baik pada Ilham, agar dia bersedia menemui kedua orang tuanya.
“Ngapain aku mesti menemui mereka?”
“Kau minta bantuan saja pada Papa dan Mama mu, katakan padanya kalau selama ini kita hidup susah dan selalu saja kekurangan.”
“Aku nggak merasa kurang kok, dari hasil mengajar ngaji di masjid, aku masih punya uang untuk biaya kita sehari-hari.”
“Tapi itu nggak seberapa Ilham?”
“Jadi mau mu, kita hidup mewah, seperti keluargamu!”
“Bukan hanya keluarga ku saja yang hidup mewah dan bergelimang harta, keluarga mu juga begitu kan?”
“Tapi aku ogah mengemis pada mereka semua, biar hidup pas-pasan, tapi hati ku tenang, nggak ada yang membebani pikiranku setiap hari.”
“Dasar suami bodoh! di kasih solusi, malah nggak mau!”
“Kau nggak perlu mengajari ku tentang itu, kalau kau mau kau sendiri yang datang kerumah orang tuamu.”
“Untuk apa aku datang kesana?”
“Lah, tapi katanya mau minta uang, agar bisa hidup enak dan berkecukupan.”
“Aku nggak mau!”
“Kenapa nggak mau, apakah kau malu?”
“Aku benci bertemu mereka semua.”
“Kenapa begitu Ro?” tanya Ilham sedikit mengejek.
“Aku benci mereka semua, karena mereka telah mencampakkan aku ke Desa ini.”
“Ku rasa, kau tahu apa penyebabnya. kenapa mereka mencampakkan mu ke Desa ini.”
“Kenapa?”
“Karena kau itu serakah dan suka menghambur-hamburkan uang.”
“Tutup mulutmu Ilham!”
“Kau sendiri yang tutup mulut, kalau aku mah, ogah!” ledek Ilham sembari berlalu meninggalkan istrinya sendirian.
“Huuh…! dasar suami nggak berguna, bisanya hanya numpang hidup dari keluarga ku,” gerutu Roro kesal.
“Baiklah, kalau menurutmu, aku ini hanya sekedar menumpang, biar aku pergi saja.”
“Pergi sana, jika kau berani meninggalkan aku.”
“Baik, akan ku buktikan,” jawab Ilham.
Lalu Ilham masuk kedalam kamarnya dan dia langsung mengemasi seluruh pakaiannya serta pergi meninggalkan rumah Roro tanpa sepengetahuan istrinya. Ilham pergi kerumah orang tuanya untuk minta uang, agar rumah tangga mereka dapat di pertahankan.
Setelah empat tahun pernikahan mereka berdua, Ibu kandung Roro kedasih pun meninggal dunia. Duka mendalam menyelimuti keluarga Ningrat saat itu. banyak para kerabat, sanak saudara dan para tetangga datang untuk mengucapkan bela sungkawa.
Ningrat sangat terpukul dengan musibah yang menimpanya itu, betapa tidak, baginya Ayu kedasih adalah bagian dalam hidupnya, wanita lembut yang berbudi pekerti baik serta berjiwa sosial tinggi. Saat itu dia telah pergi untuk selama-lamanya.
Terasa hilang separoh jiwa Ningrat, terasa hancur hatinya saat itu, di hadapan jenazah istrinya, Ningrat hanya bisa terdiam.
Bersambung...
*Selamat membaca*
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 120 Episodes
Comments
Awdifal
nah ni s roro pasti plg ni, bkin kacau pastinya.
2023-10-23
0
Iril Nasri
widih sifat Roro kok jahat banget ya
2023-06-05
0