Di penghujung timur pulau jawa, di sebuah desa yang letaknya jauh dari keramaian kota, hiduplah seorang pedagang kaya yang sangat dermawan. Kedermawanannya itu membuat namanya dikenal hingga ke pelosok negeri.
Orang sering menyapanya dengan sebutan Kanjeng Ningrat. Karena memang, Kanjeng Ningrat masih keturunan Ningrat, yaitu putra berdarah biru.
Dari istrinya Diajeng Ayu Kedasih, Ningrat memiliki dua orang anak. Anak pertamanya, laki-laki yang diberi nama Arya di ningrat, dengan tujuan agar kelak dia memiliki sifat baik serta berbudi pekerti baik.
Sementara itu anaknya yang kedua seorang perempuan yang diberi nama Roro kedasih. Agar kelak dia memiliki jiwa yang lembut dan hati yang mulia seperti Ibunya.
Seiring bergulirnya waktu, merekapun tumbuh dewasa, akan tetapi mereka memiliki kepribadian yang berbeda. Arya memiliki jiwa yang lembut dan berhati dermawan, Arya suka menolong orang-orang yang membutuhkan tenaga dan pikirannya.
Sedangkan Roro kedasih, Dia memiliki kepribadian yang kasar dan sangat kikir. Sangat bertolak belakang dengan Arya.
Suatu ketika Arya dipanggil Ayahnya, karena menurut, Ningrat sudah pantas untuk melanjutkan usaha Ayahnya dalam berdagang.
“Ada apa, Yah! kenapa Ayah memanggilku?”
“Arya, kalau Ayah perhatikan selama ini, kau semakin hari semakin berbakat dalam melanjutkan usaha Ayah, saat ini Ayah udah tua, Ayah ingin beristirahat dalam mengelola seluruh bisnis yang sedang Ayah rintis. Ayah ingin semua usaha itu kau yang melanjutkannya.”
“Tapi, Yah! rasa-rasanya aku belum mampu untuk itu.”
“Kalau bukan kepadamu, lalu kepada siapa lagi akan Ayah serahkan semua tanggung jawab ini, kau lihat sendirikan Adikmu Roro, dia hanya menghambur-hamburkan uang saja kerjaannya.”
“Kalau begitu kata Ayah, aku akan patuhi semua yang Ayah katakan.”
“Bagus anakku, tapi ingat satu pesan Ayah, jangan sekali-kali kau bersifat sombong dan kikir, karena semua harta ini, hanyalah titipan semata dari Allah kepada kita sebagai seorang hamba yang rendah.”
“Baik Ayah, pesan Ayah pasti ku ingat selalu,” jawab Arya dengan suara lembut.
“Bantulah setiap orang yang membutuhkan pertolongan darimu. Jangan pilih pandang, siapapun orangnya, baik dia orang kaya maupun orang miskin,” jelas Ningrat pada putranya.
“Baik Ayah, pesan itu akan selalu ku ingat,” jawab Arya dengan suara yang lembut.
“Saat ini Ayah sudah tua, begitu juga dengan bunda mu, Ayah ingin kau segera berumah tangga. Carilah istri yang kau sukai dan yang pantas untukmu. Ayah tak akan melarang dengan siapa kau menikah, asalkan dia satu akidah dan seiman dengan kita."
“Tapi Ayah?”
“Ayah juga tak akan membuat pembatas dalam hubungan kalian, mekipun dia dari kalangan bawah sekalipun. Karena menurut Ayah semuanya itu sama, hanya keimanannya lah yang membuat seseorang itu berbeda disisi Allah.”
“Iya, Ayah! aku mengerti maksud Ayah. Aku akan berusaha menyenangkan hati Ayah dan Bunda,” jawab Arya sembari mohon izin untuk pamit pada Ayahnya.
“Ingat, Sholat tahajjud lah, agar Allah memberikanmu petunjuk.”
“Baiklah, Ayah,” jawab Arya pelan.
Semenjak hari itu, Arya tampak begitu gelisah, sudah empat bulan berlalu, namun dia belum juga mendapatkan gadis yang dicarinya, tapi Ayahnya Ningrat sangat memahami kondisi putranya, jadi sebelum putranya berputus asa, Ningrat sudah menguatkan keyakinan putranya terlebih dahulu.
“Arya, mencari istri itu, tidak semudah membalikan telapak tangan nak, jodoh ada ditangan Allah. Jika Dia belum berkehendak, jodohmu tak akan datang padamu, apapun itu alasannya, jadi bersabarlah, tunggulah dengan ikhlas dan tawakal.”
“Baik Ayah, terimakasih atas semua nasehat yang Ayah berikan.”
“Bagus, kau memang anak yang taat, Ayah bangga padamu, nak,” kata Ningrat sembari memuji akhlak putra tunggalnya itu.
Hari pun berlalu, bergulir seiring dengan waktu yang terus mengejarnya, Minggu kini telah berganti dengan bulan, bulan merangkai dengan tahun, tahun berjalan dengan semestinya, tak ada yang salah dengan peredaran waktu saat itu, semua bergerak sesuai dengan takdir yang telah ditentukan Allah Swt.
Begitu juga dengan halnya Arya, setiap hari hasil dari usaha yang digelutinya semakin meningkat pesat. Sesuai dengan kehendak Ayahnya, Arya selalu bagi-bagi rezeki pada semua orang, sifat dermawan yang dia miliki, tentu tak lepas dari didikan Ayah dan Bundanya.
Karena mereka selalu senantiasa menggembleng kepribadian anak-anaknya. Mesti demikian, hal itu sangat berbeda sekali dengan adiknya Roro kedasih. Keberhasilan yang dicapai Arya membuat Roro iri dan sakit hati pada saudaranya itu.
Roro tak ingin Kang mas nya selalu mendapat perhatian yang lebih dari Ayah dan Ibunya, serta dari orang-orang yang dekat dengan dirinya. Roro selalu saja mencari celah kekurangan dan kelemahan Arya, untuk dijadikan bahan aduan kepada Ayah dan Ibunya.
Tapi karena Ningrat dan Ayu adalah orang tua yang bijak dan berbudi, dia selalu menanggapi ucapan putrinya itu, sebagai bahan masukan yang harus dipertimbangkan terlebih dahulu.
Semakin banyak keburukan Arya yang di adukan Roro, maka semakin tercium lah oleh Ningrat sifat buruk yang terselubung di hati putrinya itu. Hal itu ditanggapi Ningrat dengan sigap. Dengan cara menikahkan Roro dengan seorang bangsawan muda dari tanah seberang.
Selain pria itu kaya dan tampan, dia juga seorang ustad yang baik. Roro pun tidak menolak perjodohan itu, dia menerimanya dengan senang hati. Acara pernikahan pun segera dilangsungkan.
Meski terbilang kaya dan keturunan ningrat, namun Ningrat melangsungkan pernikahan putrinya secara sederhana. Hanya kalangan bawah saja yang banyak hadir di pesta itu, hal inilah yang membuat Roro semakin sakit hati, pada Ayah dan Ibunya.
Roro ingin pesta pernikahannya diselenggarakan secara meriah dan serba mewah. Dia juga ingin orang yang hadir di pestanya hanya orang-orang kaya dan terpandang saja. Tapi kenyataannya tidak seperti itu.
NIngrat dan Ayu melakukan hal itu tentu ada tujuannya, Ningrat ingin pria yang menikahi putrinya menerima segala kekurangan dan kelebihan putrinya, mesti hidup bergelimang harta, namun tetap berjiwa dan berhati sederhana.
Setelah pernikahan selesai, Ningrat mengirim putrinya ke suatu desa terpencil, agar selama disana Roro bisa berbenah diri, dan menyadari bahwa semua kekayaan yang dipamerkan selama ini bukanlah miliknya, akan tetapi semua itu adalah titipan Allah untuk keluarganya.
Di desa itu, Roro hidup sangat sederhana sekali, tak ada lagi harta yang bisa dia banggakan pada penduduk sekitarnya, Roro yang terkenal kaya itu, kini telah menjadi rakyat jelata, berbaur dengan masyarakat sekitarnya.
Meski demikian, Roro masih saja sombong dan angkuh. Terkadang para tetangganya mencibir mendengar cerita darinya, semua orang tampak mengejek saat Roro mencoba menceritakan siapa dirinya.
“Udahlah, Ro. Kalau kamu anak orang kaya dan orang ningrat, kenapa hidup miskin seperti ini?” tanya Diah ingin tahu.
“Benar itu! orang kaya itu pasti tinggal di gedung yang mewah, hidup serba berkecukupan. Mau makan enak tinggal minta, lalu orang akan datang melayani kita, tapi kenyataannya nggak seperti itu kan? hahaha!” timpal Rita.
Bersambung...
*Selamat membaca*
Mendengar ejekan dari kawan-kawannya, hati Roro semakin sakit, ingin sekali rasanya dia menonjok mulut yang usil itu, agar segera berhenti mengejeknya, tapi Roro tak bisa, karena ada Ilham yang selalu membuatnya tak dapat berbuat semena-mena.
Karena bagi penduduk desa itu, Ilham mereka jadikan sebagai panutan sekaligus seorang ustad. Jadi Roro tak bisa berbuat apa-apa sekehendak hatinya.
“Kalian itu ya, kalau ngomong selalu menyakitkan hati,” ujar Roro pada semua tetangganya itu.
“Sebenarnya aku ini ogah untuk menyakiti hati mu Ro, tapi karena kau begitu jumawa, maka kami pun terpaksa bersikap jahat pada mu.”
“Jumawa apanya? kalau kalian nggak percaya, coba kalian tanya sendiri pada Mas Ilham.”
“Nggak ada gunanya Ro, kami semua udah terlanjur nggak percaya pada mu.”
“Dasar orang Desa bodoh!” bentak Roro kedasih dengan suara keras.
“Kau yang bodoh Ro, kau bahkan seperti orang sinting saat ini, kau mengaku kaya, sementara kau hidup dengan serba kekurangan, jangan kan untuk membeli pakaian, beli beras saja kau nggak sanggup.”
“Awas kalian nanti, jika suatu saat nanti, Ayah ku sudah membagikan warisannya, akan ku bangun istana yang mewah di Desa ini.”
“Berkhayal terus Ro, biar tambah senewen! hahaha…!”
Ejekan itu, sangat menyakitkan sekali, ingin rasanya Roro menangis, namun dia malu pada dirinya sendiri, mesti Ayahnya hanya mengirimkan uang untuk bekal hidup satu minggu, Roro selalu menyisakan nya untuk membeli pakaian baru, agar tampak mewah dan kaya di hadapan para tetangganya.
“Lihat tuh Roro, mesti berlagak seperti apa pun, dia tetap saja terlihat seperti orang miskin di mata ku,” ucap Mawar.
“Ssst..! udah-udah, kasihan Roro, selalu saja mendapat ejekan dari kita semua, siapa tahu dia itu benar-benar orang kaya,” ujar Siti setengah berbisik.
“Orang kaya apanya, udah gila barang kali!” timpal Ningsih dengan suara lantang.
Melihat semua orang mengejeknya, Roro tampak bersedih hati, malam itu dia tak mau makan dan duduk diam menyendiri di jendela kamar seraya memandangi bulan.
Ilham yang melihat istrinya bersedih, dia hanya bisa diam saja, karena Ilham merasa takut, kalau di tegur Roro bisa marah besar padanya.
Lama-kelamaan, Ilham jadi semakin tak tega melihat istrinya tetap diam memandangi bulan sendirian sampai larut malam.
“Kau lagi mikirin apa sih Ro? Kok udah larut begini belum juga tidur?”
“Kau lihat sendirikan, aku sedang ngapain?”
“Aku tahu, kau sedang memandangi bulan, sebenarnya matamu memang kearah bulan, tapi pikiranmu pasti sedang kearah lain.”
“Kok kau bisa berfikiran seperti itu pada ku? kau tahu kagak, semenjak kita menikah hidup ku jadi hancur, tahu!” bentak Roro pada suaminya.
“Kalau gara-gara menikah dengan ku, hidupmu jadi hancur, lalu kenapa kau mau menikah dengan ku, aku juga nggak maksa kok.”
“Enak aja ya, kalau ngomong!” jawab Roro tak mau ngalah.
“Masih sukur, aku selalu setia pada mu, kalau aku mau, aku bisa meninggalkan mu.”
“Bagus, kalau kau memang sudah nggak betah menikah dengan ku, sana pergi!”
“Kata siapa aku akan pergi, kita akan tinggal dirumah ini berdua, urus diri masing-masing, aku juga bosan setiap hari harus masak untuk mu, emangnya kau siapa?”
“Maksudmu apa sih Ilham?”
“Kau tahu nggak Ro, keluargamu saja, udah nggak sudi menampung mu Sebagai seorang anak di rumah mewah itu. Lalu kenapa mesti tetap jadi orang sombong sih?”
“Tutup mulutmu Ilham!” bentak Roro dengan suara lantang.
“Kau nggak punya hak untuk menyuruh ku menutup mulut.”
“Dasar kau ini ya suami nggak berguna!”
“Kau juga istri nggak tahu diri!”
Hingga malam semakin larut pun, mereka berdua masih saja bertengkar. Mereka berdua begitu frustasi menjalani hidup yang tak pernah dia lakukan selama ini.
Bukan hanya Roro saja yang orang kaya, Ilham sebenarnya juga orang kaya, anak seorang pengusaha terkenal di daerahnya, tapi karena dia telah menikah dengan Roro, keluarga Ilham beranggapan kalau mereka hidup tenang dan berkecukupan selama ini.
Sementara itu Ilham yang melihat kelakuan istrinya gila harta, dia enggan untuk meminta bantuan pada kedua orang tuanya. Ilham lebih memilih diam daripada banyak bicara.
Pagi itu, Roro mendatangi Ilham yang masih tidur di dalam kamarnya, Roro berniat ingin bicara baik-baik pada Ilham, agar dia bersedia menemui kedua orang tuanya.
“Ngapain aku mesti menemui mereka?”
“Kau minta bantuan saja pada Papa dan Mama mu, katakan padanya kalau selama ini kita hidup susah dan selalu saja kekurangan.”
“Aku nggak merasa kurang kok, dari hasil mengajar ngaji di masjid, aku masih punya uang untuk biaya kita sehari-hari.”
“Tapi itu nggak seberapa Ilham?”
“Jadi mau mu, kita hidup mewah, seperti keluargamu!”
“Bukan hanya keluarga ku saja yang hidup mewah dan bergelimang harta, keluarga mu juga begitu kan?”
“Tapi aku ogah mengemis pada mereka semua, biar hidup pas-pasan, tapi hati ku tenang, nggak ada yang membebani pikiranku setiap hari.”
“Dasar suami bodoh! di kasih solusi, malah nggak mau!”
“Kau nggak perlu mengajari ku tentang itu, kalau kau mau kau sendiri yang datang kerumah orang tuamu.”
“Untuk apa aku datang kesana?”
“Lah, tapi katanya mau minta uang, agar bisa hidup enak dan berkecukupan.”
“Aku nggak mau!”
“Kenapa nggak mau, apakah kau malu?”
“Aku benci bertemu mereka semua.”
“Kenapa begitu Ro?” tanya Ilham sedikit mengejek.
“Aku benci mereka semua, karena mereka telah mencampakkan aku ke Desa ini.”
“Ku rasa, kau tahu apa penyebabnya. kenapa mereka mencampakkan mu ke Desa ini.”
“Kenapa?”
“Karena kau itu serakah dan suka menghambur-hamburkan uang.”
“Tutup mulutmu Ilham!”
“Kau sendiri yang tutup mulut, kalau aku mah, ogah!” ledek Ilham sembari berlalu meninggalkan istrinya sendirian.
“Huuh…! dasar suami nggak berguna, bisanya hanya numpang hidup dari keluarga ku,” gerutu Roro kesal.
“Baiklah, kalau menurutmu, aku ini hanya sekedar menumpang, biar aku pergi saja.”
“Pergi sana, jika kau berani meninggalkan aku.”
“Baik, akan ku buktikan,” jawab Ilham.
Lalu Ilham masuk kedalam kamarnya dan dia langsung mengemasi seluruh pakaiannya serta pergi meninggalkan rumah Roro tanpa sepengetahuan istrinya. Ilham pergi kerumah orang tuanya untuk minta uang, agar rumah tangga mereka dapat di pertahankan.
Setelah empat tahun pernikahan mereka berdua, Ibu kandung Roro kedasih pun meninggal dunia. Duka mendalam menyelimuti keluarga Ningrat saat itu. banyak para kerabat, sanak saudara dan para tetangga datang untuk mengucapkan bela sungkawa.
Ningrat sangat terpukul dengan musibah yang menimpanya itu, betapa tidak, baginya Ayu kedasih adalah bagian dalam hidupnya, wanita lembut yang berbudi pekerti baik serta berjiwa sosial tinggi. Saat itu dia telah pergi untuk selama-lamanya.
Terasa hilang separoh jiwa Ningrat, terasa hancur hatinya saat itu, di hadapan jenazah istrinya, Ningrat hanya bisa terdiam.
Bersambung...
*Selamat membaca*
Beberapa orang di suruh menyampaikan kabar berita itu kepada Roro, bahwa Ibu tercintanya telah berpulang ke Rahmatullah.
Mang Ujang orang kepercayaan Ayahnya datang mengabari berita itu pada Roro dan suaminya Ilham. Roro yang menerima kabar duka itu, hanya di tanggapi dingin, dia tak bicara sepatah katapun pada Mang Ujang.
“Kata Tuan, kalau Non, ingin pulang ke rumah, pulanglah bersama Mamang.”
“Ngapain pulang bersama Mamang?”
“Lho, tadi kan udah Mamang kabari, kalau Ibu Non, sudah meninggal dunia.”
“Ya sudah, di sana kan begitu banyak orang, jadi kehadiran ku nggak pala di harapkan dong?”
“Kata siapa kehadiran Non, nggak di harapkan Tuan?”
“Buktinya saja, dia mencampakkan aku ke hutan ini, Mamang tahu kagak, disini aku seperti anak gelandangan!”
“Non serius, seperti itu? bukankah setiap minggu Ayah Non, selalu mengirimkan uang belanja?”
“Iya, Mang, tapi uang nya hanya cukup untuk beli garam doang! apa lagi, ada anak orang yang menumpang makan dengan ku, jangankan bersisa, untuk biaya makan saja kurang.”
“Non serius, kalau uangnya kurang?”
“Ya, kurang lah Mang, Mamang kira hidup ini kagak butuh uang apa!”
“Padahal, uang yang dikirim Ayah Non, bisa menghidupi tiga keluarga sekaligus, tapi Non, masih saja bilang kagak cukup.”
“Emang kagak cukup kok, mesti gimana lagi.”
“Astagfirullah! ternyata Non, belum juga berubah ya.”
“Heh Mang, itu bukan urusan mu ya, tugas mu hanya sekedar jadi pembantu, nggak lebih!”
“Mulut Non, ternyata nggak bisa di jaga juga ya?”
“Haah…! udah-udah, kalau Mamang masih ngomong juga, maka aku akan mengusir Mamang dari rumah ini.”
“kagak di usir pun, Mamang juga akan pergi kok.”
“Dasar pria tua, udah pikun juga, masih saja di pertahankan,” gerutu Roro kesal.
Karena merasa tersakiti oleh Roro kedasih, Mang Ujang langsung pergi meninggalkan Roro, dia begitu kesal sekali, sehingga dia tak memperdulikan Roro, apakah ikut bersamanya atau tidak.
Setibanya di rumah Ningrat, Mang Ujang langsung duduk diam di bawah sebatang pohon yang berdiri kokoh di depan halaman rumah besar itu.
Ningrat yang melihat kedatangan Ujang, dia langsung menyuruh orang untuk memanggilnya.
“Tino, benar itu Ujang yang duduk di bawah pohon?”
“Benar Tuan,” jawab Tino dengan suara lembut.
“Tolong kau panggilkan dia untuk ku.”
“Bik Tuan,” jawab Tino sembari bergegas menghampiri Ujang yang tampak sedang asik mengipas wajahnya dengan menggunakan topi.
“Mang Ujang, Mang Ujang!”
“Heh, kamu Tin, ada apa?” tanya Ujang heran.
“Panggil Tuan.”
“Ooo, baik. Aku akan segera datang.”
“Iya.”
Lalu Ujang pun bergegas menghampiri majikannya. Yang saat itu masih duduk diam di samping tubuh istrinya yang telah terbujur kaku.
“Tuan memanggil saya?”
“Benar. Gimana, apakah sudah kau kabarkan berita ini pada Roro?”
“Sudah Tuan.”
“Apakah dia datang?”
“Saya nggak tahu Tuan, tapi sepertinya Non Roro terlihat begitu acuh dan santai.”
“Apakah kau mengajaknya bersama mu?”
“Iya Tuan, tapi Non Roro kagak mau ikut Tuan.”
“Ya sudah, kalau begitu mari kita mandikan saja jenazahnya, nanti kalau Roro datang saya yang bicara padanya nanti.”
“Baik Tuan,” jawab seluruh pekerja serentak.
Dengan bekerja sama, mereka pun langsung memandikan jenazah Ayu kedasih serta mengapani nya. Setelah menunggu beberapa saat, akhirnya jenazah Ayu kedasih di makamkan di dekat rumahnya.
Setelah beberapa minggu berlalu, ternyata Roro kedasih tak datang juga mengunjungi makam Ibu tercintanya, hal itu membuat Arya geram, diam-diam tanpa sepengetahuan Ayahnya dia pun mendatangi rumah Roro.
“Assalamu’alaikum!”
“Wa’alaikum salam, siapa di luar?” tanya Roro dari dalam rumah.
“Aku, Kang Mas Arya.”
Mendengar namanya di sebut, Roro langsung bergegas membukakan pintu rumahnya, namun setelah pintu di bukan, Roro sadar, karena ulah Arya lah hidupnya jadi hancur dan dia dibuang ke Desa yang sepi tanpa penghuni.
“Buat apa kang Mas datang kesini?”
“Kau masih bertanya, buat apa Kang mas datang kesini?”
Mendengar pertanyaan yang berbalik datang padanya, Roro hanya diam saja, dia tak mau menjawab pertanyaan itu.
“Kenapa kau nggak datang, melihat Ibu kita meninggal dek?”
“Buat apa aku datang!”
“Buat apa kau datang?”
“Iya, bukan kah selama ini mereka berdua telah membuang ku ke Desa yang sepi ini dan dia lebih memilih untuk mengurus Kang Mas saja, lalu bukti apa lagi yang mengatakan kalau dia itu benar-benar menyayangi ku sebagai putrinya.
“Siapa bilang mereka tak menyayangi mu, agar kau tahu, siang malam Ibu menangis karena berpisah dengan mu, berminggu-minggu Ibu kita sakit karena merindukanmu. Tapi hanya ini balasan yang kau berikan padanya.”
“Bohong! Kang Mas bohong! kalau memang mereka menyayangi ku dan begitu merindukan aku, lalu kenapa mereka nggak mengajak ku kembali kerumah, mereka justru mencampakkan ku di sini.”
“Semua itu terpaksa mereka lakukan, agar perilaku mu yang buruk itu bisa berubah.”
“Perilaku buruk apa? emangnya selama ini aku jahat, aku suka mencuri, atau aku suka berfoya-foya!”
“Ya, semua apa yang kau katakan itu benar.”
“Apa maksud Kang Mas?”
“Itulah perilaku buruk mu selama ini, namun setelah sekian tahun keluar dari kemewahan, justru kau nggak mau berubah. Kau nggak mampu mengendalikan diri dan hawa nafsu mu sendiri.”
“Alaah…! jangan sok baik kamu Kang Mas, kau suka sekali menjilat, kau kira aku nggak tahu siapa kau sebenarnya Kang Mas, aku tahu, sangat tahu!”
“Terserah mu Dek, tapi semua yang kau katakan itu nggak benar.”
“Apapun alasan mu Kang Mas, kau tetap saja menjadi Kakak yang nggak berguna untuk ku.”
“Keras kepala kau Dek.”
“Terserah..! sekarang cepat kau keluar dari rumah ku!” teriak Roro.
“Baik, tapi ingat pesan Kang Mas, kau pasti akan menyesalinya nanti.”
“Nggak akan, nggak akan…!” teriak Roro dengan suara lantang.
Mendengar teriakan Roro, Arya langsung pergi, dia tak menggubris sama sekali apa yang di katakan oleh adiknya itu.
Arya pun kembali kerumah mewah milik Ayah tercintanya.
Ketika hendak memasuki gerbang rumah itu, Ningrat melihat Arya dalam keadaan kecewa dan kesal, dia pun menyuruh Tino untuk memanggil Arya.
“Baik Tuan,” jawab Tino seraya bergegas menuju kamar Arya.
Setelah tiba di dalam kamar Arya, Tino tak menemukan majikannya, seluruh ruangan pun di periksa namun hasilnya tetap sama. Di sudut luar kamarnya, tampak Arya duduk diam seraya memandang langit.
“Den.”
“Eh, Mang Tino, ada apa?”
“Aden di panggil Tuan.”
“Ooo baiklah, sebentar lagi aku akan kesana.”
“Baik Den, kalau begitu Mamang pergi dulu.”
“Iya, Mang.”
Tino pun kemudian pergi meninggalkan Arya. Tak berapa lama, Arya langsung pergi menemui Ayahnya.
“Ayah memanggil ku?”
“Iya Nak, tadi Ayah melihatmu masuk gerbang, emangnya kau dari mana?”
Bersambung...
*Selamat membaca*
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!