Melahirkan Bayi Untuk Kakakku
Elin membanting setir ketika melihat truk besar menyongsong mobilnya. Ia menahan napas ketika ia tahu bahwa usahanya sama sekali tidak berhasil. Dalam sedetik, mobilnya tertumbuk body besar truk hingga terdorong beberapa meter sebelum akhirnya terbalik di jalanan yang ramai.
"Ah! Sakit!" Elin mengerjap, ia mencoba mengumpulkan kesadarannya meskipun seluruh tubuhnya terasa begitu parah. Elin menoleh ke kanan di mana semua tampak terbalik. Ia melihat kaki-kaki bergerak ke arah mobilnya. Beberapa orang berteriak keras. "Tolong!"
Elin merintih berkali-kali ketika ia mendengar panggilan orang di luar mobilnya. Ia hanya ingin keluar dari mobil, tetapi kemudian ia sadar, ia tidak sendirian di dalam mobil.
Elin menoleh ke kiri di mana Sinta tergolek dengan posisi aneh karena mobil mereka yang terbalik. Elin mengerjap berkali-kali, ia sangat takut lantaran ia melihat banyak sekali darah di tubuh kakak iparnya yang tengah mengandung itu.
"Mbak!" panggilnya lirih. Elin ingin melihat Sinta membuka mata, tetapi Sinta bergeming. Ia menggeleng pelan, ia tak ingin sesuatu yang buruk menimpa kakak iparnya.
"Kamu baik-baik saja?"
Elin terkesiap, ketika seseorang membuka paksa pintu mobil dan membantunya keluar. Ia merasa pusing setengah mati ketika dibaringkan di atas aspal yang panas.
"Tolong kakak saya," ujar Elin lirih. "Dia sedang hamil."
"Oke!"
Elin tak tahu lagi apa yang terjadi. Tadinya ia masih bisa melihat langit biru, tetapi perlahan semuanya menggelap. Elin mendengar deru ambulans dan obrolan panik orang-orang lain di sekitarnya. Ia berharap bisa mendengar suara Sinta agar ia tahu bahwa Sinta baik-baik saja, tetapi nyatanya hingga ia tak sadarkan diri, ia sama sekali tidak bisa mendengar suara Sinta.
***
Ketika Elin terbangun, ia masih merasa sangat pusing. Ia melihat langit-langit putih dan menghidu aroma obat-obatan tajam. Ia mengernyit lalu meraba keningnya yang dibalut perban. Ia mencoba duduk, tetapi ia tak sanggup bergerak.
"Anda sudah bangun?" tanya seorang wanita berpakaian serba putih. Elin tahu, wanita itu adalah seorang perawat. Elin mengedarkan matanya dan sadar ia sedang berada di rumah sakit.
"Ya, saya di mana, Sus?" tanya Elin.
"Anda di Rumah Sakit Medika Utama. Jangan banyak bergerak, Anda masih harus beristirahat."
Elin mengangguk pelan. Ia mencoba menggerakkan kakinya dan bersyukur kedua kakinya baik-baik saja. Ia juga mengangkat tangannya. Tangan kanannya dibalut perban hingga ia merasa sedikit panik, ia harus menulis dengan tangannya, ia tak ingin tangannya terluka seperti ini.
Elin ingin menangis sekarang karena tubuhnya begitu sakit. Ia bahkan sendirian di sini tanpa ada yang menemani. Tidak! Seharusnya ia tidak sendiri, pikirnya. Ia tadi bersama dengan Sinta. Mereka sedang dalam perjalanan pulang dari membeli makan siang.
"Suster! Suster!" panggil Elin sekeras mungkin.
Wanita berpakaian serba putih itu kembali mendekat ke brankar Elin. Ia menatap Elin dengan penuh tanya. "Ya? Ada apa? Apa Anda merasa pusing?"
Elin menggeleng pelan meskipun sebenarnya ia masih sangat pusing. "Saya tadi bersama kakak saya di mobil. Di mana dia?"
Perawat itu mengangkat alis. Ia membuka tirai pembatas brankar Elin hingga gadis itu bisa melihat beberapa pasien korban kecelakaan lainnya. "Ada banyak korban kecelakaan yang dirawat di sini? Siapa nama kakak Anda?"
"Sinta. Sinta Maharani. Di sedang hamil besar."
"Ah!" Perawat itu sepertinya langsung tahu siapa yang dimaksud oleh Elin. "Dia dibawa ke ruang operasi karena mengalami pendarahan yang cukup parah."
Elin terkesiap. Ia mulai menangis sekarang. Sinta akan melahirkan bulan depan. "Tapi ... dia baik-baik saja?"
"Saya belum tahu, tetapi walinya sudah datang. Anda perlu menghubungi seseorang. Orang tua Anda mungkin?"
Elin menggeleng. Ia hanya tinggal dengan Ariel, kakaknya, dan Sinta, kakak iparnya. Kedua orang tua dan adiknya tinggal di luar negeri. "Saya ingin melihat kakak saya."
"Anda bisa melihatnya nanti, Anda juga terluka. Jadi sebaiknya Anda beristirahat lebih dulu sekarang."
Elin mengusap wajahnya yang basah karena air mata. Ia yakin, Ariel pasti sangat marah padanya karena Sinta harus terluka parah bahkan dioperasi. Tidak! Apa yang terjadi pada Sinta? Ia sungguh ingin tahu. Ia harus tahu! Dan setelah Elin merasa jauh lebih baik, ia pun turun dari ranjang. Ia mencopot jarum infus di lengannya lalu berjalan ke meja informasi.
"Permisi, Kak. Saya ingin melihat kakak saya, dia juga dirawat di rumah sakit. Dia ... namanya Sinta Maharani."
Elin mendengarkan penjelasan singkat tentang di mana sekarang kakak iparnya dirawat. Ia juga tidak bisa menemukan ponselnya jadi ia tak bisa menghubungi Ariel untuk bertanya langsung. Elin pun berjalan pelan menuju lift lalu menekan tombol lantai sembilan. Ia mengusap keningnya yang dibalut perban, ia berharap dalam hati agar kakak iparnya baik-baik saja.
Elin mengedarkan matanya begitu ia keluar dari lift. Ia berjalan di koridor rumah sakit yang sepi karena rupanya ini sudah malam. Napas Elin tercekat begitu melihat eksistensi Ariel yang terduduk di kursi tunggu pasien. Ia berdebar keras lantaran takut jika ia mendapat amarah dari Ariel.
"Kak," panggil Elin lirih.
Ariel yang tertunduk lesu pun mengangkat kepala, ia menatap Elin yang baru saja datang lalu sontak berdiri. "Kenapa kamu ke sini?"
"Aku ... aku mau lihat Mbak Sinta," ujar Elin gemetar. Ia menelengkan kepala untuk melihat pintu kamar Sinta yang tertutup. "Gimana Mbak Sinta? Mbak Sinta baik-baik aja kan?"
Ariel tertawa getir. Ia mendorong pelan bahu Elin. "Semuanya gara-gara kamu!"
Kedua mata Elin bergetar, ia bisa melihat ekspresi pahit di wajah Ariel. Sesuatu pasti sudah terjadi pada Sinta, wanita yang sangat dicintai oleh sang kakak. "Apa yang terjadi?"
"Kamu udah bikin Sinta kecelakaan! Bayi kami baru saja meninggal dunia." Ariel mencengkeram bahu Elin kuat-kuat. "Kenapa kamu ngebut bawa mobil? Kenapa bahkan kamu ajak Sinta keluar rumah tadi siang? Kenapa?"
"Itu ... maaf," kata Elin terisak. "Tapi Mbak Sinta yang ngajak aku pergi."
"Bohong! Aku udah bilang sama Sinta buat tinggal di rumah selama aku pergi. Pasti kamu yang udah bujuk dia buat nganter kamu kan?"
Elin menggeleng. Ia turut sedih karena bayi yang dikandung oleh Sinta harus meninggal dalam kecelakaan tadi. "Itu kecelakaan, Kak. Aku nggak ngebut, aku bersumpah! Mbak Sinta yang pengen makan sup ikan kesukaannya. Aku ... aku ikut sedih. Maaf."
Ariel melepaskan bahu Elin. Ia kembali duduk lalu mengusap wajahnya dengan gusar. Percuma menyalahkan Elin atau siapapun juga. Karena semuanya tidak akan kembali. Hatinya terlalu sakit karena kehilangan yang ia alami sekarang.
Melihat kakaknya begitu terpuruk, Elin pun berlutut di depan Ariel. Ia menggenggam kedua tangan Ariel dengan kepala menengadah. "Aku beneran minta maaf, Kak. Tapi Mbak Sinta baik-baik aja kan?"
"Gimana bisa dia baik-baik aja setelah bayi kami meninggal?" Ariel kembali berdiri. Ia membuat Elin terjengkang ke lantai karena gerakannya, tetapi ia terlalu marah untuk peduli. "Sinta bahkan ... Sinta mengalami perobekan rahim yang parah karena kecelakaan itu. Rahimnya harus diangkat karena pendarahan. Kami ... kami nggak akan pernah bisa memiliki anak lagi!"
"Apa?" tanya Elin tak percaya. Ia menutup bibirnya rapat-rapat karena kaget dengan apa yang dikatakan Ariel.
"Semuanya salah kamu! Gara-gara kamu, aku udah kehilangan banyak hal! Apa yang harus aku katakan sama Sinta begitu dia bangun? Bahwa dia nggak bakal bisa hamil lagi?" Ariel melotot pada Elin yang terisak-isak. Ia berjongkok di depan Elin. "Karena kamu sudah membuat Sinta seperti itu, kamu harus tanggung jawab! Kamu harus mengganti bayi kami yang telah tiada!"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 92 Episodes
Comments
Eva Rosiana
padahal murni kecelakaan tapi elin harus disalahkan
2023-07-07
0
Nur Hidayah
inikan musibah woeeee kenapa malah nyalahin Elin..Gilak kali
2023-07-07
0
Windhy Attaya
Hoho siapa yang nabung bawang dipart awal ini😭😭😭 ksihan bnget sintaaa
2023-06-28
0