NovelToon NovelToon

Melahirkan Bayi Untuk Kakakku

1. Kecelakaan

Elin membanting setir ketika melihat truk besar menyongsong mobilnya. Ia menahan napas ketika ia tahu bahwa usahanya sama sekali tidak berhasil. Dalam sedetik, mobilnya tertumbuk body besar truk hingga terdorong beberapa meter sebelum akhirnya terbalik di jalanan yang ramai.

"Ah! Sakit!" Elin mengerjap, ia mencoba mengumpulkan kesadarannya meskipun seluruh tubuhnya terasa begitu parah. Elin menoleh ke kanan di mana semua tampak terbalik. Ia melihat kaki-kaki bergerak ke arah mobilnya. Beberapa orang berteriak keras. "Tolong!"

Elin merintih berkali-kali ketika ia mendengar panggilan orang di luar mobilnya. Ia hanya ingin keluar dari mobil, tetapi kemudian ia sadar, ia tidak sendirian di dalam mobil.

Elin menoleh ke kiri di mana Sinta tergolek dengan posisi aneh karena mobil mereka yang terbalik. Elin mengerjap berkali-kali, ia sangat takut lantaran ia melihat banyak sekali darah di tubuh kakak iparnya yang tengah mengandung itu.

"Mbak!" panggilnya lirih. Elin ingin melihat Sinta membuka mata, tetapi Sinta bergeming. Ia menggeleng pelan, ia tak ingin sesuatu yang buruk menimpa kakak iparnya.

"Kamu baik-baik saja?"

Elin terkesiap, ketika seseorang membuka paksa pintu mobil dan membantunya keluar. Ia merasa pusing setengah mati ketika dibaringkan di atas aspal yang panas.

"Tolong kakak saya," ujar Elin lirih. "Dia sedang hamil."

"Oke!"

Elin tak tahu lagi apa yang terjadi. Tadinya ia masih bisa melihat langit biru, tetapi perlahan semuanya menggelap. Elin mendengar deru ambulans dan obrolan panik orang-orang lain di sekitarnya. Ia berharap bisa mendengar suara Sinta agar ia tahu bahwa Sinta baik-baik saja, tetapi nyatanya hingga ia tak sadarkan diri, ia sama sekali tidak bisa mendengar suara Sinta.

***

Ketika Elin terbangun, ia masih merasa sangat pusing. Ia melihat langit-langit putih dan menghidu aroma obat-obatan tajam. Ia mengernyit lalu meraba keningnya yang dibalut perban. Ia mencoba duduk, tetapi ia tak sanggup bergerak.

"Anda sudah bangun?" tanya seorang wanita berpakaian serba putih. Elin tahu, wanita itu adalah seorang perawat. Elin mengedarkan matanya dan sadar ia sedang berada di rumah sakit.

"Ya, saya di mana, Sus?" tanya Elin.

"Anda di Rumah Sakit Medika Utama. Jangan banyak bergerak, Anda masih harus beristirahat."

Elin mengangguk pelan. Ia mencoba menggerakkan kakinya dan bersyukur kedua kakinya baik-baik saja. Ia juga mengangkat tangannya. Tangan kanannya dibalut perban hingga ia merasa sedikit panik, ia harus menulis dengan tangannya, ia tak ingin tangannya terluka seperti ini.

Elin ingin menangis sekarang karena tubuhnya begitu sakit. Ia bahkan sendirian di sini tanpa ada yang menemani. Tidak! Seharusnya ia tidak sendiri, pikirnya. Ia tadi bersama dengan Sinta. Mereka sedang dalam perjalanan pulang dari membeli makan siang.

"Suster! Suster!" panggil Elin sekeras mungkin.

Wanita berpakaian serba putih itu kembali mendekat ke brankar Elin. Ia menatap Elin dengan penuh tanya. "Ya? Ada apa? Apa Anda merasa pusing?"

Elin menggeleng pelan meskipun sebenarnya ia masih sangat pusing. "Saya tadi bersama kakak saya di mobil. Di mana dia?"

Perawat itu mengangkat alis. Ia membuka tirai pembatas brankar Elin hingga gadis itu bisa melihat beberapa pasien korban kecelakaan lainnya. "Ada banyak korban kecelakaan yang dirawat di sini? Siapa nama kakak Anda?"

"Sinta. Sinta Maharani. Di sedang hamil besar."

"Ah!" Perawat itu sepertinya langsung tahu siapa yang dimaksud oleh Elin. "Dia dibawa ke ruang operasi karena mengalami pendarahan yang cukup parah."

Elin terkesiap. Ia mulai menangis sekarang. Sinta akan melahirkan bulan depan. "Tapi ... dia baik-baik saja?"

"Saya belum tahu, tetapi walinya sudah datang. Anda perlu menghubungi seseorang. Orang tua Anda mungkin?"

Elin menggeleng. Ia hanya tinggal dengan Ariel, kakaknya, dan Sinta, kakak iparnya. Kedua orang tua dan adiknya tinggal di luar negeri. "Saya ingin melihat kakak saya."

"Anda bisa melihatnya nanti, Anda juga terluka. Jadi sebaiknya Anda beristirahat lebih dulu sekarang."

Elin mengusap wajahnya yang basah karena air mata. Ia yakin, Ariel pasti sangat marah padanya karena Sinta harus terluka parah bahkan dioperasi. Tidak! Apa yang terjadi pada Sinta? Ia sungguh ingin tahu. Ia harus tahu! Dan setelah Elin merasa jauh lebih baik, ia pun turun dari ranjang. Ia mencopot jarum infus di lengannya lalu berjalan ke meja informasi.

"Permisi, Kak. Saya ingin melihat kakak saya, dia juga dirawat di rumah sakit. Dia ... namanya Sinta Maharani."

Elin mendengarkan penjelasan singkat tentang di mana sekarang kakak iparnya dirawat. Ia juga tidak bisa menemukan ponselnya jadi ia tak bisa menghubungi Ariel untuk bertanya langsung. Elin pun berjalan pelan menuju lift lalu menekan tombol lantai sembilan. Ia mengusap keningnya yang dibalut perban, ia berharap dalam hati agar kakak iparnya baik-baik saja.

Elin mengedarkan matanya begitu ia keluar dari lift. Ia berjalan di koridor rumah sakit yang sepi karena rupanya ini sudah malam. Napas Elin tercekat begitu melihat eksistensi Ariel yang terduduk di kursi tunggu pasien. Ia berdebar keras lantaran takut jika ia mendapat amarah dari Ariel.

"Kak," panggil Elin lirih.

Ariel yang tertunduk lesu pun mengangkat kepala, ia menatap Elin yang baru saja datang lalu sontak berdiri. "Kenapa kamu ke sini?"

"Aku ... aku mau lihat Mbak Sinta," ujar Elin gemetar. Ia menelengkan kepala untuk melihat pintu kamar Sinta yang tertutup. "Gimana Mbak Sinta? Mbak Sinta baik-baik aja kan?"

Ariel tertawa getir. Ia mendorong pelan bahu Elin. "Semuanya gara-gara kamu!"

Kedua mata Elin bergetar, ia bisa melihat ekspresi pahit di wajah Ariel. Sesuatu pasti sudah terjadi pada Sinta, wanita yang sangat dicintai oleh sang kakak. "Apa yang terjadi?"

"Kamu udah bikin Sinta kecelakaan! Bayi kami baru saja meninggal dunia." Ariel mencengkeram bahu Elin kuat-kuat. "Kenapa kamu ngebut bawa mobil? Kenapa bahkan kamu ajak Sinta keluar rumah tadi siang? Kenapa?"

"Itu ... maaf," kata Elin terisak. "Tapi Mbak Sinta yang ngajak aku pergi."

"Bohong! Aku udah bilang sama Sinta buat tinggal di rumah selama aku pergi. Pasti kamu yang udah bujuk dia buat nganter kamu kan?"

Elin menggeleng. Ia turut sedih karena bayi yang dikandung oleh Sinta harus meninggal dalam kecelakaan tadi. "Itu kecelakaan, Kak. Aku nggak ngebut, aku bersumpah! Mbak Sinta yang pengen makan sup ikan kesukaannya. Aku ... aku ikut sedih. Maaf."

Ariel melepaskan bahu Elin. Ia kembali duduk lalu mengusap wajahnya dengan gusar. Percuma menyalahkan Elin atau siapapun juga. Karena semuanya tidak akan kembali. Hatinya terlalu sakit karena kehilangan yang ia alami sekarang.

Melihat kakaknya begitu terpuruk, Elin pun berlutut di depan Ariel. Ia menggenggam kedua tangan Ariel dengan kepala menengadah. "Aku beneran minta maaf, Kak. Tapi Mbak Sinta baik-baik aja kan?"

"Gimana bisa dia baik-baik aja setelah bayi kami meninggal?" Ariel kembali berdiri. Ia membuat Elin terjengkang ke lantai karena gerakannya, tetapi ia terlalu marah untuk peduli. "Sinta bahkan ... Sinta mengalami perobekan rahim yang parah karena kecelakaan itu. Rahimnya harus diangkat karena pendarahan. Kami ... kami nggak akan pernah bisa memiliki anak lagi!"

"Apa?" tanya Elin tak percaya. Ia menutup bibirnya rapat-rapat karena kaget dengan apa yang dikatakan Ariel.

"Semuanya salah kamu! Gara-gara kamu, aku udah kehilangan banyak hal! Apa yang harus aku katakan sama Sinta begitu dia bangun? Bahwa dia nggak bakal bisa hamil lagi?" Ariel melotot pada Elin yang terisak-isak. Ia berjongkok di depan Elin. "Karena kamu sudah membuat Sinta seperti itu, kamu harus tanggung jawab! Kamu harus mengganti bayi kami yang telah tiada!"

2. Kondisi Sinta

Elin jelas kaget mendengar ucapan Ariel yang menuntutnya untuk mengganti bayi Sinta. Bagaimana bisa? Ia menatap bingung Ariel dan tak tahu bagaimana merespon ucapan sang kakak.

"Aku ... aku minta maaf," kata Elin. Hanya kata-kata itu yang meluncur dari bibirnya.

Ariel berdiri pelan. Ia menyugar rambutnya dengan gusar. Desah napasnya terdengar di koridor seketika. "Aku harus mengurus pemakaman bayi kami. Kamu tunggu Sinta dengan baik. Aku segera kembali ke sini."

Elin menatap punggung Ariel yang menjauh darinya. Ia menunduk lalu mulai menangis tersedu-sedu. Ariel bahkan tidak bertanya tentang kondisinya. Ia mungkin tidak separah Sinta, tetapi ia juga sakit.

Yah, Elin sudah lama menyimpan perasaan pada Ariel yang merupakan kakak angkatnya. Elin diadopsi di keluarga Ariel sejak ia masih bayi dan diperlakukan seperti anak kandung oleh keluarga itu. Namun, seiring Elin tumbuh dewasa, ia menyimpan rasa cinta untuk Ariel. Ariel selalu baik padanya, Ariel bahkan sangat menyayanginya, dulu. Sejak Ariel menikah dengan Sinta, Elin merasa bahwa Ariel sama sekali tidak memiliki waktu untuknya. Ia sudah kehilangan sosok Ariel sejak saat itu.

Elin berdiri perlahan sembari menahan rasa sakit di tubuhnya. Ia mendekati pintu kamar Sinta lalu membukanya pelan. Kedua mata Elin terpaku pada sosok Sinta yang terbaring di ranjang dengan berbagai selang menancap di tubuhnya.

"Mbak Sinta," panggil Elin lemah. Ia duduk di kursi kecil yang ada di sebelah ranjang lalu menggenggam tangan Sinta erat-erat. "Maafin aku."

Elin mencoba mengingat-ingat apa yang terjadi tadi siang sebelum kecelakaan. Sinta ingin membeli makan sup ikan kesukaannya dan ia pun ikut karena bosan di rumah. Elin yakin ia menyetir dengan kecepatan yang standar, ia tidak mengebut sama sekali.

Elin baru ikut pindah ke rumah Ariel dan Sinta sejak dua bulan lalu karena ia memiliki pekerjaan di kota yang sama. Sebelumnya, Elin tinggal sendiri di rumah orang tua mereka. Namun, karena orang tua mereka dan adiknya, Gladis, memutuskan untuk pindah ke luar negeri, Elin pun menumpang di rumah Ariel.

"Ayo, Mbak, bangun," gumam Elin.

Sesungguhnya, Elin tak tahu apa yang akan ia katakan pada Sinta jika Sinta terbangun nantinya. Kedua matanya menatap perut Sinta yang sudah mengecil, padahal siang tadi Sinta sudah berceloteh riang tentang bayinya yang terus menendang. Sekarang, semuanya terasa begitu pedih.

***

"Bangun!"

Elin merasakan bahunya diremas oleh seseorang. Ia mengangkat kepalanya lalu menoleh pada Ariel yang sudah kembali ke rumah sakit. Ia masih bisa merasakan tatapan menusuk dari Ariel. Ia yakin, ia masih dianggap sebagai tersangka utama atas kecelakaan tadi siang.

"Kamu keluar aja," kata Ariel begitu Elin berdiri.

"Aku mau lihat Mbak Sinta bangun," kata Elin.

"Keluar!" hardik Ariel seraya menunjuk ke arah pintu kamar.

Elin membuang napas panjang. Ia baru saja ketiduran ketika menunggu Sinta dan sekarang ia baru sadar bahwa hari sudah berganti. Ia tak punya pilihan selain keluar dari kamar karena ia tak mau Ariel lebih marah padanya.

Begitu Elin meninggalkan kamar, Ariel pun duduk di kursi yang tadi dipakai oleh Elin. Sama seperti Elin, ia menggenggam erat tangan Sinta. Kedua matanya terpaku pada wajah pucat Sinta.

"Sayang, ayo bangun," gumam Ariel. Ia mengusap kening Sinta dengan lembut lalu menciumi punggung tangan Sinta.

Setelah waktu subuh berlalu, Ariel yang baru selesai menunaikan ibadah sholat pun mendengar rintihan lirih. Ia berdiri lalu mendekati ranjang Sinta. Kedua matanya melebar sempurna ketika Sinta menggeliat dengan mata menyipit.

"Sayang! Sinta, kamu udah bangun?"

Sinta mengangguk. Tangan kirinya meraba kening karena pusing yang mendera. "Aku di mana, Mas?"

"Tenang, Sayang. Kamu di rumah sakit," jawab Ariel setenang mungkin. Ia berdebar keras karena ia harus segera menjelaskan semuanya pada Sinta. Bahwa bayi mereka telah tiada! Bahwa mereka tidak akan pernah bisa memiliki bayi lagi!

"Aku ...." Sinta mengernyit ketika berusaha mengingat apa yang sudah terjadi padanya.

"Kamu bakal baik-baik saja. Aku janji." Ariel menggenggam erat tangan Sinta. Ia mengusap-usap puncak kepala Sinta agar Sinta lebih tenang.

"Mas, bayi kita gimana?" Sinta mengangkat kepalanya sedikit untuk melihat perutnya. Sontak, ia membelalak. Kesadarannya seolah kembali begitu saja. Ia ingat, ia baru makan sup ikan dengan Elin lalu mereka dalam perjalanan pulang dan mereka mengalami tabrakan.

"Tenang, Sayang." Ariel menelan keras. Bibirnya terasa kelu hingga ia tak sanggup menjelaskan.

"Bayi kita udah lahir?" tanya Sinta seraya meletakkan kembali kepalanya di atas bantal.

Ariel mengangguk dengan air mata menggenang. "Ya, bayi perempuan kita udah lahir."

Sinta tersenyum tipis, tetapi entah bagaimana, ia merasa sangat sedih. "Bayinya di mana? Dia baik-baik aja?"

Sinta menunggu Ariel menjawab. Karena tubuhnya terasa begitu parah, ia tiba-tiba tidak yakin dengan kondisi bayinya. Apalagi Ariel langsung meneteskan air mata.

"Mas! Apa yang terjadi sama bayi aku?" tanya Sinta panik. Ia menggeliat untuk mencoba bangun, tetapi Ariel menahannya. Lagipula ia tak bisa banyak bergerak, perutnya sakit luar biasa. "Mas, jawab!"

"Maaf, Sayang. Tapi bayi kita nggak selamat. Kamu mengalami pendarahan," kata Ariel.

"Nggak mungkin! Nggak! Kamu bohong kan, Mas?" tanya Sinta tak percaya. Ia menggeleng berkali-kali pada suaminya.

"Aku nggak bohong, kondisi kamu nggak bagus karena kecelakaan itu," kata Ariel.

Sinta menangis sejadi-jadinya di atas tempat tidur. Ia bahkan tidak bisa banyak bergerak. Ia ingin bisa memeluk bayinya tetapi Ariel berkata ia sudah memakamkan bayi mereka dengan alasan, ia tidak tega jika Sinta harus melihat kondisi bayi yang sebenarnya akan lahir bulan depan itu.

"Aku mengambil foto bayi kita sebelum dia dimakamkan, Sayang. Tapi sebaiknya kamu melihatnya nanti setelah kamu sedikit membaik. Hm?"

Pagi itu, Sinta menangis bersama Ariel atas kemalangan yang menimpanya. Ia bahkan belum tahu bahwa ia tak akan memiliki kesempatan untuk bisa hamil lagi. Ariel masih mengurungkan niatnya untuk memberitahu Sinta, ia juga meminta dokter untuk merahasiakan ini dari Sinta hingga kondisinya jauh lebih baik.

Sementara itu, Elin yang duduk di depan ruangan Sinta pun bisa mendengar tangisan pilu pasangan suami istri itu. Ariel masih marah padanya, bisa saja Sinta juga akan menyalahkannya karena tidak bisa membawa mobil dengan baik. Sinta adalah kakak ipar yang sangat baik dan penyayang, jadi ia juga sangat menyayangkan kejadian ini.

Bahkan, Elin memendam perasaannya untuk Ariel selama ini karena ia tahu Sinta sangat mencintai Ariel. Begitu juga dengan Ariel yang sangat mencintai istrinya. Ia sudah membuat Ariel marah padanya, dan mungkin saja Ariel akan membencinya.

"Kak Ariel nggak boleh benci sama aku," gumamnya. Ia menoleh ke arah pintu kamar Sinta. "Apa yang harus aku lakuin biar Kak Ariel nggak marah lagi?"

Elin menyeka wajahnya yang basah dengan telapak tangan. Ariel ingin ia mengganti bayinya yang telah tiada. Ia tahu, itu hanyalah permintaan spontan yang keluar dari bibir Ariel ketika ia sedang berduka dan marah. Lagipula, bagaimana caranya ia bisa mengganti bayi tersebut? Tidak mungkin ia harus hamil dan melahirkan. Ia bahkan belum menikah. Dan jika ia hamil suatu hari nanti, bisakah ia memberikan bayinya pada Ariel dan Sinta?

Elin menggeleng pelan karena merasa apa yang ia pikirkan barusan begitu konyol. Ia berharap, Ariel tidak sungguh-sungguh dengan ucapannya tadi.

3. Mengetahui Fakta

Siang itu, Elin kembali diperiksa dokter. Ia mengalami benturan, tetapi tidak cukup fatal sehingga ia hanya perlu dirawat di rumah sakit selama satu malam lagi. Ia sudah mendapatkan kamar perawatan karena semalaman ia ada di depan ruang Sinta. Namun, Elin sama sekali tidak bisa beristirahat di kamarnya.

"Sus, boleh saya pinjam ponselnya?" tanya Elin ketika seorang perawat mengunjungi kamarnya untuk melakukan pemeriksaan pada beberapa pasien yang ada di kamar tersebut.

"Oh ya. Tentu." Perawat itu mengulurkan ponselnya pada Elin lalu ia berjalan ke pasien di sebelah Elin.

Elin mengetikkan sebuah kontak di layar ponsel sang perawat. Ia tidak bisa bekerja hari ini dan ia harus memberi kabar pada Galang, atasannya. Ponselnya belum ditemukan, entah bagaimana nasib barang-barangnya yang ada di mobil saat kecelakaan kemarin, ia tak tahu.

"Boleh saya pakai telepon sebentar, Sus?" tanya Elin meminta izin.

"Ya. Silakan." Perawat itu tersenyum sembari mengganti infus milik pasien.

"Terima kasih." Elin pun menekan tombol panggil pada nomor Galang. Beruntung, ia mengingat jelas nomor kontak Galang jadi ia bisa segera menghubunginya.

"Halo, siapa ini?"

"Ini Elin, Pak." Elin menggigit bibirnya. Ia selalu merasa aneh ketika memanggil Galang dengan sebutan Pak karena mereka hanya berbeda beberapa tahun.

"Oh, Elin? Kamu ganti nomor baru? Kenapa kamu tidak masuk hari ini?"

"Maaf. Kemarin siang saya mengalami kecelakaan. Jadi saya tidak bisa masuk hari ini."

"Kamu kecelakaan? Di mana? Bagaimana keadaan kamu? Kamu di rumah sakit mana?" tanya Galang dengan nada khawatir.

"Saya nggak papa, Pak. Tangan saya luka sedikit kena gores, selebihnya saya baik-baik saja. Saya mau minta izin beberapa hari tidak masuk, Pak. Naskahnya bakal saya kerjakan di rumah," kata Elin. Ia tidak hanya sakit, ia juga sedang berduka karena bayi Sinta meninggal dunia.

"Kamu di mana? Saya datang sebentar lagi."

"Ehm, saya beneran nggak papa. Bapak nggak usah ke sini," kata Elin tak enak hati.

"Elin, saya khawatir sama kamu. Saya sedang di luar. Kamu sudah makan? Ada yang jaga kamu di sana?"

Elin kembali menggigit bibirnya. Ia sendirian. Tak ada yang menemaninya, tetapi ia juga tidak butuh. Toh, ia hanya sakit sedikit, pikirnya.

"Bilang sama saya. Kamu di rumah sakit mana?" tanya Galang dengan nada menuntut.

"Rumah Sakit Medika Utama, Pak. Saya di bangsal Melati kamar nomor 14," jawab Elin seraya membaca nomor kamarnya yang tertera di dekat pintu masuk.

"Oke. Kamu tunggu di sana. Kamu sudah makan?"

"Sudah, Pak," jawab Elin berdusta. Ia sama sekali tidak bisa menelan makanan sejak semalam. Bahkan, jika ia lapar, ia pun tak berselera sama sekali.

"Ya udah. Saya ke sana sebentar lagi."

Elin meletakkan ponsel sang perawat di pangkuannya. Ia tahu, Galang selalu baik padanya. Ia sudah bekerja sebagai penulis naskah film-film pendek atau dokumenter sejak setahun yang lalu setelah ia lulus kuliah. Dan Galang adalah pria pertama yang selalu memberikan dukungan padanya. Mereka sedang dalam proses menggarap film baru di kota itu.

"Makasih ya, Sus." Elin mengembalikan ponsel itu pada sang perawat.

"Sama-sama. Semoga temennya lekas datang ya, Mbak. Kasian dari kemarin nggak ada kerabatnya."

Elin tertegun. Yah, ia hanya tinggal bertiga dengan Ariel dan Sinta selama ini. Jadi, ketika Sinta sakit sudah pasti Ariel akan memilih menjaga istrinya. Elin membuang napas panjang, ia penasaran apa yang sedang terjadi di kamar Sinta sekarang. Sinta sudah tahu bahwa bayinya meninggal dunia, tetapi apakah Sinta sudah tahu bahwa rahimnya juga telah diangkat?

Elin mengusap wajahnya gusar. Ia membuang napas berkali-kali ketika ia mengingat kecelakaan mengerikan kemarin. Ia juga ingat betapa banyaknya darah yang ada di tubuh Sinta. Seandainya saja kemarin ia langsung pulang setelah makan siang, mungkin kecelakaan itu tidak akan terjadi. Elin baru ingat, setelah makan, ia berniat mengajak Sinta mampir untuk membeli laptop baru. Mereka tidak sedang dalam perjalanan pulang, tetapi mereka sedang menuju ke pusat perbelanjaan elektronik yang cukup jauh dari rumah.

Dan karena itulah, Ariel marah padanya.

***

"Aku nggak bakal bisa hamil lagi?" tanya Sinta dengan kedua mata bergetar. Ia sudah menangis sejak pagi, dan siang itu meskipun ia mendengar fakta menyakitkan rasanya ia sudah kehabisan air mata. "Dokter bohong kan? Mas! Dokter bohong sama aku kan?"

"Sin, tenang. Kondisi kamu cukup parah hingga itu adalah opsi terbaik untuk menyelamatkan kamu," kata Ariel mencoba menenangkan istrinya.

Sinta menggeleng, rasa sedihnya akibat kehilangan bayi seperti ditingkatkan menjadi berkali-kali lipat. Ia tak akan menjadi sosok sempurna lagi di depan Ariel! Ia cacat. Ia tak bisa memberikan keturunan untuk suaminya. Dan itu sangat menyiksa sanubari Sinta.

"Kamu fokus sembuh aja, Sayang. Nggak usah terlalu kamu pikirkan, oke? Aku mau kamu tenang," ujar Ariel lemah. Ia meminta Sinta untuk lebih tenang padahal hatinya sendiri tidak.

"Seharusnya aku melahirkan bulan depan, Mas. Dan sekarang ... kenapa semua ini terjadi sama aku?" tanya Sinta lirih.

"Kita harus ikhlas, hm?" Ariel mengusap-usap pipi Sinta yang memerah karena goresan luka. "Kita nggak punya pilihan lain. Kita hanya bisa ikhlas, Sin."

"Aku mungkin bisa ikhlasin bayi aku yang udah tiada, Mas. Tapi ... tapi aku nggak bakal bisa hamil lagi. Aku ... nggak bisa kasih kamu bayi." Sinta menatap nanar suaminya yang menangis. Ia tahu, Ariel begitu mendambakan seorang bayi. Mereka sudah merencanakan untuk memiliki setidaknya dua anak. Mereka sudah menyiapkan nama-nama, kamar bayi dengan segala peralatan bayi. Mereka sudah membuat tabungan khusus untuk anak mereka. Namun, semuanya terasa mustahil.

"Yang penting kamu sehat, Sin. Aku hanya mau lihat kamu sembuh dan bisa pulang ke rumah. Aku nggak peduli jika kita nggak bisa punya anak." Ariel mencoba untuk meyakinkan Sinta bahwa ia baik-baik saja.

"Aku nggak sempurna, Mas. Aku cacat. Kamu masih mau sama wanita cacat kayak aku?" Sinta melepaskan genggaman tangan Ariel. Ia memiringkan tubuhnya dengan perlahan, tetapi ia tetap merasa sakit luar biasa. Ia tak bisa menghadapi Ariel saat ini. Ia merasa begitu hancur.

"Sayang, kenapa kamu tanya kayak gitu?" tanya Ariel. Ia berpindah duduk di tepi ranjang Sinta lalu merundukkan badannya agar bisa mencium pipi Sinta. "Aku sayang banget sama kamu. Aku beneran nggak peduli, yang penting kita bisa tetap bersama, Sayang."

Sinta memejamkan matanya rapat-rapat ketika ia merasakan kecupan lembut di pipinya dua kali. Ia juga bisa merasakan air mata Ariel yang menetes ke wajahnya. Itu menyakitkan baginya, ia selalu ingin Ariel bahagia, tetapi sekarang ia sudah sehancur ini.

"Sayang," panggil Ariel seraya memeluk lembut tubuh Sinta dan mengusap punggungnya beberapa kali. "Aku tahu kamu sedih dan tertekan. Aku juga sedih, tapi kita bisa melewati semua ini bersama. Kamu sama aku. Oke? Aku cinta sama kamu."

Sinta terisak-isak kembali. Ia ingin berpura-pura tidur karena ia tidak bisa menatap wajah pedih Ariel saat ini. Namun, ia terlalu sedih untuk tidak menangis lagi. Ia pun mengusap wajahnya lalu menoleh pada Ariel. Ia menatap kedua mata gelap suaminya. Dengan lembut, ia membelai pipi sang suami.

"Mas, kamu tahu aku udah nggak sempurna lagi. Aku nggak bakal bisa kasih kamu keturunan sampai kapanpun. Apa yang bakal orang tua kamu katakan tentang aku sekarang? Aku ... aku tahu mereka ingin segera memiliki cucu. Tapi, aku nggak bisa. Aku bukan istri yang pantas buat kamu. Aku pikir, kamu harus cari wanita lain yang jauh lebih sempurna daripada aku, Mas."

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!