"Apa yang kamu katakan, Sinta?" tanya Ariel tak terima.
"Itu yang terbaik buat kamu, Mas." Sinta menangkup wajah Ariel dengan tangannya.
Ariel menggeleng pelan, ia mengambil tangan Sinta lalu menggenggamnya. "Nggak, Sin. Nggak akan. Kamu tahu aku cuma cinta sama kamu. Kamu itu nggak tergantikan."
"Tapi aku nggak bisa kasih kamu anak, Mas," ujar Sinta lagi.
"Masalah anak ... kita bisa pikirkan nanti. Kamu cuma perlu menyembuhkan diri kamu dulu, Sin. Dengar," kata Ariel ketika Sinta membuka kembali bibirnya, "kita bisa mengadopsi anak besok jika kita memang ingin memiliki anak."
"Gimana dengan orang tua kamu? Mereka nggak akan menerima menantu seperti aku, Mas. Mereka bahkan udah menentang pernikahan kita dulu karena aku cuma ... aku anak orang miskin, Mas. Sekarang, aku ... aku udah semakin nggak berharga lagi, Mas."
Ariel membuang napas panjang. Ia menyugar rambut seraya menegakkan diri. "Kita nggak perlu kasih tahu mereka. Untuk saat ini."
"Lalu? Mereka bakalan tanya di mana bayi kita? Seharusnya cucu mereka lahir bulan depan!"
"Kita nggak bisa bohong tentang kecelakaan itu, kita bisa bilang yang sebenarnya, tapi masalah pengangkatan rahim kamu, itu bisa kita rahasiakan dari mereka."
Sinta tertawa getir. Apa artinya menyembunyikan semua itu? Sama seperti dirinya, mungkin mereka bisa merelakan bayinya yang telah tiada. Namun, mereka juga menginginkan seorang cucu, seorang pewaris. Dan sampai kapanpun, ia tak akan pernah bisa memberikan itu pada mereka.
"Aku kan udah bilang, suatu hari nanti kita bisa adopsi bayi atau ... kita bisa cari cara yang lain," kata Ariel meyakinkan.
Kedua mata Sinta membola. "Cara yang lain? Apa maksud kamu?"
"Kita bicarakan lain kali, Sayang. Aku mau kamu istirahat dulu sekarang. Masalah anak, aku nggak mau kamu mikir terlalu keras sekarang. Plis, kamu cepet sehat ya," kata Ariel.
Sinta menatap suaminya penuh tanya. Meskipun Ariel berkata ia baik-baik saja dengan kondisinya sekarang, ia masih merasa tidak tenang. Ia sudah berharap bisa melahirkan bayi dan bisa memberikan kebahagiaan di keluarga Ariel, ia juga berharap agar kedua orang tua Ariel bisa lebih menerimanya sebagai menantu.
Ia dan Ariel mungkin bisa merahasiakan kondisinya dari orang tua Ariel. Mereka juga bisa mengadopsi seorang bayi suatu hari nanti, tetapi bisakah mereka menerimanya? Mereka pasti menginginkan bayi kandung Ariel, seseorang yang mewarisi DNA-nya, seseorang yang mirip dengan Ariel.
"Mas," panggil Sinta tiba-tiba. Ia baru ingat, ia mengalami kecelakaan dengan Elin. "Gimana kondisi Elin? Aku kecelakaan bareng Elin, Mas."
"Elin baik-baik saja," jawab Ariel dingin. Ia masih merasa kesal dengan Elin.
"Kamu yakin? Apa dia juga luka parah?" tanya Sinta menerka-nerka.
"Dia nggak papa, kamu nggak usah mikirin Elin."
Sinta membuka bibirnya, tanpa Ariel bicara pun, ia tahu ada sesuatu yang membuat suaminya itu terlihat masam. "Kamu kenapa, Mas? Sejak semalam kamu di sini? Kamu nggak jenguk adik kamu?"
"Aku bilang dia baik-baik aja, Sin. Dia udah dewasa jadi dia bisa jaga diri. Mungkin sekarang, dia udah panggil temennya buat datang ke sini."
Sinta mengalihkan tatapan ke atas meja dan nakas. "Kamu udah ambil ponsel aku? Apa semua barang aku sama Elin udah diambil dari mobil?"
"Belum, sepertinya semua barang diamankan oleh polisi. Aku belum ke sana," kata Ariel.
"Ehm, kalau gitu pasti Elin juga belum dapat ponselnya, Mas. Coba kamu ambil dulu, sekalian kamu lihat kondisi Elin. Jangan-jangan dia sendirian, Mas."
Ariel kembali membuang napas panjang. "Dengerin aku, Sin," kata Ariel, "kemarin kenapa kamu sama Elin bisa pergi sejauh itu dari rumah? Kamu nggak cuma keluar buat makan siang kan?"
"Ya. Elin butuh laptop baru, jadi kami mau sekalian mumpung udah keluar," jawab Sinta. Ia menatap wajah masa Ariel. "Kenapa? Kamu marah sama Elin?"
"Semua gara-gara Elin. Harusnya dia nggak sembarangan bawa kamu pergi kayak gitu," ujar Ariel. Ia berdiri dan merapikan selimut Sinta. "Aku keluar bentar, aku bilang sama perawat biar kamu ditungguin ya."
Sinta menarik tangan Ariel ketika suaminya berpamitan. "Itu kecelakaan, Mas. Kamu jangan marah sama Elin."
"Kecelakaan itu nggak bakal terjadi kalau Elin nggak bawa kamu pergi." Ia mencium pipi Sinta dan mengusapnya. "Nanti aku belikan sesuatu buat kamu kalau aku balik ke sini."
Ariel pun meninggalkan kamar Sinta usai ia memastikan Sinta dalam keadaan nyaman dan ditemani seorang perawat.
***
Sementara itu, Elin dibuat kaget dengan kedatangan Galang. Pria itu benar-benar datang ke kamarnya. Bahkan, Galang membawa beberapa makanan untuknya.
"Kamu sendiri aja? Bukannya di sini kamu tinggal sama kakak kamu, El," ujar Galang.
"Ehm, iya, Pak. Soalnya saya kecelakaan bareng sama kakak ipar saya. Jadi, Kak Ariel pasti jagain Mbak Sinta."
"Ah, jadi kamu nggak ada yang nunggu?" Galang membelalak.
Elin tersenyum tipis. "Nggak masalah, Pak. Saya kan nggak sakit parah. Besok juga udah boleh pulang."
"Tapi kamu kan pasti kan butuh bantuan kalau kamu mau ke toilet atau kamu mau makan." Galang menatap lengan kanan Elin yang dibalut perban. "Kamu pasti nggak bisa makan dengan baik pakai tangan yang diperban gitu."
"Bisa kok, Pak. Tenang aja."
Galang berdecak jengkel. Ia sudah bolak-balik mengingatkan Elin agar bersikap santai ketika mereka di luar pekerjaan. "Kamu nggak perlu panggil saya kayak gitu, El. Kita kan nggak lagi kerja."
"Nggak enak lah, Pak." Elin menggeleng pelan. "Ngomong-ngomong, Pak Galang baru ke mana kok bisa langsung ke sini?"
"Nggak jauh dari sini kok," jawab Galang. "Ehm, kamu lapar kan? Ayo makan dulu. Ini saya bawakan sop ayam. Kamu suka kan?"
"Ah, nanti aja, Pak."
Galang sepertinya tak mengindahkan apa yang dikatakan oleh Elin. Karena tanpa permisi, pria itu mulai menata meja makan untuk Elin. Ia sudah melihat baki makanan rumah sakit yang masih utuh, artinya Elin belum makan siang. Jadi, ia sengaja meminta Elin untuk makan sekarang.
"Saya yakin kamu lapar, El. Ayo, makan dulu." Galang menyendok sesuap kuah lalu menyodorkannya ke depan bibir Elin.
"Saya bisa makan sendiri, Pak."
"Panggil mas, atau Galang aja. Kita kan cuma beda dua tahun," kata Galang dengan nada menuntut. Kedua matanya terpaku pada sepasang manik kecoklatan Elin.
"Nggak enak kalau ada yang denger, Pak." Elin mencoba mengambil sendok di tangan Galang, tetapi pria itu dengan cepat menariknya. "Saya bisa makan sendiri."
"Tangan kanan kamu sakit. Kamu pasti kesusahan kalau makan dengan tangan kayak gitu. Lagian kalau kamu makan sendiri, saya yakin kamu pasti nggak habis banyak," kata Galang. Ia mengangkat alisnya, membuat Elin akhirnya menyerah. Galang tersenyum puas ketika Elin menerima suapan pertamanya. "Nah, gitu dong. Nggak usah jaim, El. Tangan kamu banyak istirahat aja dulu. Kamu harus menulis banyak naskah ke depannya. Kita punya banyak proyek. Jadi kamu fokus sembuh aja, saya yang suapin kamu."
Elin tertawa mendengar ucapan Galang. "Kan nggak mungkin aku disuapin kamu terus, Mas."
Senyum Galang melebar mendengar Elin sudah mengubah panggilan untuknya. "Nah gitu dong, kalau kamu panggil saya mas kan enak didenger. Lagian kita nggak di kantor. Jadi santai aja. Makan lagi, aak!"
Galang mengambil tisu, ia mengulurkannya pada Elin. Meskipun Elin masih merasa agak sungkan dengan perhatian Galang, ia juga tidak enak untuk menolak. Galang memang selalu baik padanya, itu membuat Elin teringat akan segala perhatian yang diberikan oleh Ariel dulu sebelum ia menikah. Ia masih ingat, ketika ia sakit, Ariel pasti akan panik dan merawatnya dengan penuh kasih sayang.
"Ini minum dulu," ujar Galang ketika Elin tiba-tiba tersedak. "Pelan-pelan aja makannya, saya kan nggak buru-buru nyuapinnya."
"Maaf, Mas. Ternyata aku laper banget." Elin terkekeh seraya meletakkan gelasnya di atas meja.
Galang tertawa mendengar ucapan Elin. Ia sudah cukup lama menyukai Elin, tetapi mendekati Elin tidak mudah. Padahal ia sudah mengerahkan semua pesonanya di depan Elin. Kali ini, ia berharap bisa mengambil hati Elin.
Tanpa mereka berdua sadari, sejak tadi, Ariel sudah mengamati mereka dari ambang pintu. Ia tidak percaya dengan pemandangan yang ada di depan matanya. Ia berniat mengantarkan ponsel Elin sekaligus membawakan makanan untuk adiknya itu. Namun, rupanya ada seseorang yang datang lebih dulu.
"Bisa-bisanya kamu tertawa seperti itu, El. Sementara aku dan Sinta berduka!"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 92 Episodes
Comments
Enung Samsiah
aaahhh,,, siaril egois kauu
2023-10-11
0
Lisa Meliana
astaga siii Ariel slah sangka lagi ke elin🤧🤧🤧 elin ketawa kaya gtu krna ada galang yang support dia
2023-07-18
0
Al-rayan Sandi Syahreza
Ariel itu yah,itu kan musibah harusnya tidak terlalu menyalahkan Elin donk
2023-06-27
0