Siang itu, Elin kembali diperiksa dokter. Ia mengalami benturan, tetapi tidak cukup fatal sehingga ia hanya perlu dirawat di rumah sakit selama satu malam lagi. Ia sudah mendapatkan kamar perawatan karena semalaman ia ada di depan ruang Sinta. Namun, Elin sama sekali tidak bisa beristirahat di kamarnya.
"Sus, boleh saya pinjam ponselnya?" tanya Elin ketika seorang perawat mengunjungi kamarnya untuk melakukan pemeriksaan pada beberapa pasien yang ada di kamar tersebut.
"Oh ya. Tentu." Perawat itu mengulurkan ponselnya pada Elin lalu ia berjalan ke pasien di sebelah Elin.
Elin mengetikkan sebuah kontak di layar ponsel sang perawat. Ia tidak bisa bekerja hari ini dan ia harus memberi kabar pada Galang, atasannya. Ponselnya belum ditemukan, entah bagaimana nasib barang-barangnya yang ada di mobil saat kecelakaan kemarin, ia tak tahu.
"Boleh saya pakai telepon sebentar, Sus?" tanya Elin meminta izin.
"Ya. Silakan." Perawat itu tersenyum sembari mengganti infus milik pasien.
"Terima kasih." Elin pun menekan tombol panggil pada nomor Galang. Beruntung, ia mengingat jelas nomor kontak Galang jadi ia bisa segera menghubunginya.
"Halo, siapa ini?"
"Ini Elin, Pak." Elin menggigit bibirnya. Ia selalu merasa aneh ketika memanggil Galang dengan sebutan Pak karena mereka hanya berbeda beberapa tahun.
"Oh, Elin? Kamu ganti nomor baru? Kenapa kamu tidak masuk hari ini?"
"Maaf. Kemarin siang saya mengalami kecelakaan. Jadi saya tidak bisa masuk hari ini."
"Kamu kecelakaan? Di mana? Bagaimana keadaan kamu? Kamu di rumah sakit mana?" tanya Galang dengan nada khawatir.
"Saya nggak papa, Pak. Tangan saya luka sedikit kena gores, selebihnya saya baik-baik saja. Saya mau minta izin beberapa hari tidak masuk, Pak. Naskahnya bakal saya kerjakan di rumah," kata Elin. Ia tidak hanya sakit, ia juga sedang berduka karena bayi Sinta meninggal dunia.
"Kamu di mana? Saya datang sebentar lagi."
"Ehm, saya beneran nggak papa. Bapak nggak usah ke sini," kata Elin tak enak hati.
"Elin, saya khawatir sama kamu. Saya sedang di luar. Kamu sudah makan? Ada yang jaga kamu di sana?"
Elin kembali menggigit bibirnya. Ia sendirian. Tak ada yang menemaninya, tetapi ia juga tidak butuh. Toh, ia hanya sakit sedikit, pikirnya.
"Bilang sama saya. Kamu di rumah sakit mana?" tanya Galang dengan nada menuntut.
"Rumah Sakit Medika Utama, Pak. Saya di bangsal Melati kamar nomor 14," jawab Elin seraya membaca nomor kamarnya yang tertera di dekat pintu masuk.
"Oke. Kamu tunggu di sana. Kamu sudah makan?"
"Sudah, Pak," jawab Elin berdusta. Ia sama sekali tidak bisa menelan makanan sejak semalam. Bahkan, jika ia lapar, ia pun tak berselera sama sekali.
"Ya udah. Saya ke sana sebentar lagi."
Elin meletakkan ponsel sang perawat di pangkuannya. Ia tahu, Galang selalu baik padanya. Ia sudah bekerja sebagai penulis naskah film-film pendek atau dokumenter sejak setahun yang lalu setelah ia lulus kuliah. Dan Galang adalah pria pertama yang selalu memberikan dukungan padanya. Mereka sedang dalam proses menggarap film baru di kota itu.
"Makasih ya, Sus." Elin mengembalikan ponsel itu pada sang perawat.
"Sama-sama. Semoga temennya lekas datang ya, Mbak. Kasian dari kemarin nggak ada kerabatnya."
Elin tertegun. Yah, ia hanya tinggal bertiga dengan Ariel dan Sinta selama ini. Jadi, ketika Sinta sakit sudah pasti Ariel akan memilih menjaga istrinya. Elin membuang napas panjang, ia penasaran apa yang sedang terjadi di kamar Sinta sekarang. Sinta sudah tahu bahwa bayinya meninggal dunia, tetapi apakah Sinta sudah tahu bahwa rahimnya juga telah diangkat?
Elin mengusap wajahnya gusar. Ia membuang napas berkali-kali ketika ia mengingat kecelakaan mengerikan kemarin. Ia juga ingat betapa banyaknya darah yang ada di tubuh Sinta. Seandainya saja kemarin ia langsung pulang setelah makan siang, mungkin kecelakaan itu tidak akan terjadi. Elin baru ingat, setelah makan, ia berniat mengajak Sinta mampir untuk membeli laptop baru. Mereka tidak sedang dalam perjalanan pulang, tetapi mereka sedang menuju ke pusat perbelanjaan elektronik yang cukup jauh dari rumah.
Dan karena itulah, Ariel marah padanya.
***
"Aku nggak bakal bisa hamil lagi?" tanya Sinta dengan kedua mata bergetar. Ia sudah menangis sejak pagi, dan siang itu meskipun ia mendengar fakta menyakitkan rasanya ia sudah kehabisan air mata. "Dokter bohong kan? Mas! Dokter bohong sama aku kan?"
"Sin, tenang. Kondisi kamu cukup parah hingga itu adalah opsi terbaik untuk menyelamatkan kamu," kata Ariel mencoba menenangkan istrinya.
Sinta menggeleng, rasa sedihnya akibat kehilangan bayi seperti ditingkatkan menjadi berkali-kali lipat. Ia tak akan menjadi sosok sempurna lagi di depan Ariel! Ia cacat. Ia tak bisa memberikan keturunan untuk suaminya. Dan itu sangat menyiksa sanubari Sinta.
"Kamu fokus sembuh aja, Sayang. Nggak usah terlalu kamu pikirkan, oke? Aku mau kamu tenang," ujar Ariel lemah. Ia meminta Sinta untuk lebih tenang padahal hatinya sendiri tidak.
"Seharusnya aku melahirkan bulan depan, Mas. Dan sekarang ... kenapa semua ini terjadi sama aku?" tanya Sinta lirih.
"Kita harus ikhlas, hm?" Ariel mengusap-usap pipi Sinta yang memerah karena goresan luka. "Kita nggak punya pilihan lain. Kita hanya bisa ikhlas, Sin."
"Aku mungkin bisa ikhlasin bayi aku yang udah tiada, Mas. Tapi ... tapi aku nggak bakal bisa hamil lagi. Aku ... nggak bisa kasih kamu bayi." Sinta menatap nanar suaminya yang menangis. Ia tahu, Ariel begitu mendambakan seorang bayi. Mereka sudah merencanakan untuk memiliki setidaknya dua anak. Mereka sudah menyiapkan nama-nama, kamar bayi dengan segala peralatan bayi. Mereka sudah membuat tabungan khusus untuk anak mereka. Namun, semuanya terasa mustahil.
"Yang penting kamu sehat, Sin. Aku hanya mau lihat kamu sembuh dan bisa pulang ke rumah. Aku nggak peduli jika kita nggak bisa punya anak." Ariel mencoba untuk meyakinkan Sinta bahwa ia baik-baik saja.
"Aku nggak sempurna, Mas. Aku cacat. Kamu masih mau sama wanita cacat kayak aku?" Sinta melepaskan genggaman tangan Ariel. Ia memiringkan tubuhnya dengan perlahan, tetapi ia tetap merasa sakit luar biasa. Ia tak bisa menghadapi Ariel saat ini. Ia merasa begitu hancur.
"Sayang, kenapa kamu tanya kayak gitu?" tanya Ariel. Ia berpindah duduk di tepi ranjang Sinta lalu merundukkan badannya agar bisa mencium pipi Sinta. "Aku sayang banget sama kamu. Aku beneran nggak peduli, yang penting kita bisa tetap bersama, Sayang."
Sinta memejamkan matanya rapat-rapat ketika ia merasakan kecupan lembut di pipinya dua kali. Ia juga bisa merasakan air mata Ariel yang menetes ke wajahnya. Itu menyakitkan baginya, ia selalu ingin Ariel bahagia, tetapi sekarang ia sudah sehancur ini.
"Sayang," panggil Ariel seraya memeluk lembut tubuh Sinta dan mengusap punggungnya beberapa kali. "Aku tahu kamu sedih dan tertekan. Aku juga sedih, tapi kita bisa melewati semua ini bersama. Kamu sama aku. Oke? Aku cinta sama kamu."
Sinta terisak-isak kembali. Ia ingin berpura-pura tidur karena ia tidak bisa menatap wajah pedih Ariel saat ini. Namun, ia terlalu sedih untuk tidak menangis lagi. Ia pun mengusap wajahnya lalu menoleh pada Ariel. Ia menatap kedua mata gelap suaminya. Dengan lembut, ia membelai pipi sang suami.
"Mas, kamu tahu aku udah nggak sempurna lagi. Aku nggak bakal bisa kasih kamu keturunan sampai kapanpun. Apa yang bakal orang tua kamu katakan tentang aku sekarang? Aku ... aku tahu mereka ingin segera memiliki cucu. Tapi, aku nggak bisa. Aku bukan istri yang pantas buat kamu. Aku pikir, kamu harus cari wanita lain yang jauh lebih sempurna daripada aku, Mas."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 92 Episodes
Comments
Lisa Meliana
😭😭😭 Sinta mau melepaskan Ariel krna Sinta berfikir dia udh nga bisa ngasih keturunan buat Ariel apa yg di katakan keluarga Ariel nanti klau Sinta nga bisa hamil🤧🤧🤧
2023-07-18
0
Julie Rahmat
susternya baik mau pinjamin hp
2023-06-25
0
Kisti
smg elin nikah sama galang.dan iklas jka nanti anaknya ada yg d adopsi kakak nya yaaa.shingga kalian smpurna bahagia dlm takaran iklas 🙏
2023-06-24
0