Ariel membuka pintu kamar perawatan Elin dan menerobos masuk. Ia menatap Galang sengit. Ia sudah sering melihat Elin bersama dengan Galang dan ia mengira Galang adalah pacar dari adiknya. Kemunculan Ariel sontak membuat tawa di bibir Elin musnah. Ia terkesiap karena Ariel datang dengan tampang marah.
"Ini ponsel sama tas kamu!" Ariel meletakkan benda-benda milik Elin di ujung tempat tidur pasien. "Kamu baik-baik aja kan?"
"Makasih," ujar Elin seraya melirik layar ponselnya yang retak serta terkena bercak darah. Ia tak yakin itu darahnya atau darah Sinta. "Aku nggak papa, besok udah pulang. Gimana Mbak Sinta?"
"Masih harus dirawat di sini selama beberapa hari. Kamu bisa ngurus kepulangan kamu sendiri kan?" tanya Ariel.
"Ya. Tenang aja."
Ariel bertemu tatap dengan Galang selama beberapa detik. Galang mencoba melemparkan senyuman pada Ariel. "Ehm, saya Galang Prakoso. Saya atasan Elin di tempat dia bekerja."
"Kamu dekat sekali dengan Elin untuk ukuran atasan dan bawahan," ujar Ariel dengan nada mencela.
"Pak Galang baru ada di dekat sini, jadi beliau bisa mampir," kata Elin yang tak ingin Ariel salah paham dengannya.
"Begitu?" Ariel mengalihkan tatapannya pada Elin yang hanya bisa mengangguk. "Bagus ya, kamu bisa ketawa-ketawa di sini seolah kamu lupa, apa yang udah kamu lakuin sama Sinta kemarin!"
Elin menelan keras. Ia tak ingin Ariel marah dan semakin marah padanya. Sementara Galang hanya menatap Ariel penuh tanya. Ia tidak mengira kakak dari Elin akan marah seperti ini padahal adiknya sedang sakit.
"Aku minta maaf," kata Elin. Entah sudah berapa kali ia meminta maaf pada Ariel sejak kemarin, ia tak tahu. "Nanti aku jenguk Mbak Sinta ke kamarnya."
"Nggak perlu. Kamu nikmati saja waktu kamu dengan dia."
Elin terkesiap. Ia ingin bicara lebih banyak pada Ariel, tetapi pria 31 tahun itu sudah lebih dulu meninggalkan kamarnya. Elin menatap Galang tak enak. Ia sedikit malu karena mendapat amarah di depan atasannya.
"Kenapa kakak kamu ketus gitu? Apa biasanya dia emang kayak gitu, El?" tanya Galang yang tak tahan lagi. Ia sungguh penasaran.
"Nggak juga, Mas. Kak Ariel baik kok," jawab Elin. Ia meneguk air minum di gelasnya hingga habis.
"Jadi, kenapa dia marah-marah? Harusnya dia khawatir liat kamu kayak gini. Kepala dan tangan kamu terluka bahkan diperban lho. Apa dia nggak peduli sama kamu?" tanya Galang dengan sedikit emosi.
Mendengar ucapan Galang, membuat hati Elin begitu pedih. Yah, seharusnya begitu. Ia juga ingin mendapatkan sedikit perhatian dari Ariel. Sayangnya, ia hanya dimarahi bahkan dibenci seperti sekarang.
"Saya udah bikin Kak Ariel marah, jadi wajar dia kayak gitu," jawab Elin. "Sebenarnya kemarin waktu saya kecelakaan kan saya yang nyetir, saya bareng sama Mbak Sinta. Dia istri kakak saya. Dan Mbak Sinta yang lagi hamil besar harus kehilangan bayinya."
"Apa?" Galang membelalak. "Bayinya nggak selamat?" Elin mengangguk dengan kepala tertunduk. "Tapi itu kecelakaan, nggak seharusnya kakak kamu marah sama kamu."
"Saya tahu, Mas. Tapi, itu salah saya. Harusnya setelah makan siang, saya bawa pulang Mbak Sinta, tapi saya ngajak dia mampir sekalian nyari laptop baru," kata Elin penuh sesal. Jika ia bisa membalik waktu, ia pasti tak akan membiarkan Sinta terluka.
"Tetap aja, itu murni kecelakaan kan? Bukan karena kamu sengaja ngebut atau nabrak?" tanya Galang dengan nada tak percaya.
"Kak Ariel sayang banget sama istrinya. Jadi, kalau ada sesuatu yang buruk menimpa Mbak Sinta, dia pasti marah. Apalagi kali ini sangat fatal banget. Mbak Sinta ...." Elin menghentikan ucapannya karena ia tak ingin menceritakan perihal kondisi Sinta yang sebenarnya pada Galang.
"Saya mengerti, kamu nggak usah cerita," kata Galang menenangkan. "Mungkin kakak kamu hanya sedang marah dan kehilangan saja."
Elin mengangguk. Setidaknya itu yang ia harapkan. Ia tak ingin Ariel berlarut-larut membencinya. Ia juga masih agak khawatir jika ia harus bertemu dengan Sinta nanti. Apakah Sinta bisa menerima permintaan maafnya? Ataukah Sinta akan marah seperti Ariel? Jauh lebih marah mungkin?
"Kamu pulang jam berapa besok?" tanya Galang memecah keheningan. Ia mengaduk sop ayam yang tersisa di meja Elin lalu menyingkirkan semuanya karena ia yakin Elin tak lagi berselera makan.
"Belum tahu, Mas. Tadi dokter cuma bilang kemungkinan besok saya udah boleh pulang."
"Kamu nggak ada yang nememin kan? Besok saya jemput. Nanti saya bawakan kamu baju ganti juga. Apalagi yang kamu perlukan?" tanya Galang sembari merapikan nakas kecil yang ada di sisi kanan tempat tidur pasien. Ia meletakkan beberapa botol air mineral di sana agar Elin bisa menjangkaunya dengan mudah.
Elin menatap Galang tak percaya. Ia tahu Galang memang baik, tetapi ia tidak bisa menerima kebaikan Galang seperti ini. Ia tak ingin teman-temannya di kantor salah paham.
"Ehm, saya bisa telepon Mirna buat ke sini nanti, Mas. Nggak usah deh, kalau soal baju ganti itu gampang. Besok juga pulangnya saya naik taksi aja." Elin meraih ponselnya yang ada di ujung tempat tidur. Ia mencoba mengaktifkan benda pipih itu. Namun, usahanya tidak membuahkan hasil. Ia menatap layar ponselnya yang retak di mana-mana hingga spontan bibirnya mencebik.
"Rusak mungkin. Sini biar saya lihat," kata Galang. Ia mengambil ponsel Elin lalu memeriksanya. "Kayaknya ini perlu diservis atau bahkan harus ganti yang baru. Nanti sekalian saya bawa ke tukang servis aja dulu."
"Tapi, Mas ... saya nggak mau ngerepotin."
Galang tersenyum tipis. "Sama sekali nggak repot. Kamu tenang aja. Nanti malam saya balik ke sini ya. Kalau sekarang saya harus ke kantor lagi. Kamu istirahat aja," kata Galang. Ia menyelipkan ponsel Elin ke dalam tasnya. "Kamu perlu ke toilet atau gimana-gimana nggak sebelum saya pergi?"
"Oh, nggak. Tenang aja, Mas. Saya baik-baik aja."
"Oke. Ini saya udah siapin air sama buah kalau kamu laper lagi. Bisa dibagi sama pasien sebelah itu juga kalau kamu nggak suka," ujar Galang.
Elin mengangguk. "Makasih ya, Mas. Maaf ya, saya banyak ngerepotin."
Galang mengibaskan tangannya sebagai kode bahwa Elin tak perlu mengatakan hal itu. "Ya udah, saya pergi dulu ya."
Elin mengangguk pelan. Ia melambai tangannya pada Galang hingga pria itu menghilang di balik daun pintu. Ia membuang napas pelan lalu merebahkan tubuhnya. Ia mendengar kasak-kusuk dari brankar sebelah yang memuji kebaikan Galang. Ia hanya tersenyum tipis. Yah, ia tahu Galang sangat baik, tetapi ia merasa tidak nyaman dengan kebaikan Galang padanya. Apalagi Galang adalah atasannya. Ia tak ingin ada gosip di tempat kerjanya.
***
Sementara itu, Ariel baru saja kembali ke ruangan Sinta. Ia meletakkan makanan yang ia beli di atas nakas dengan hati-hati karena Sinta sedang tidur. Tadinya ia hendak memberikan makanan itu pada Elin juga, tetapi melihat Elin sedang disuapi oleh Galang membuat Ariel mengurungkan niatnya. Ariel membuang napas panjang. Karena ia dititipi Elin oleh orang tua mereka, ia menjadi sangat sensitif ketika Elin dekat dengan teman prianya. Entah bagaimana, ia sangat tidak suka jika Elin berdekatan dengan pria lain.
Ariel merogoh ponsel di kantongnya. Ia tahu ponsel Elin rusak parah, tetapi ia sengaja tidak memberikan ponsel baru karena ia masih marah. Ia meletakkan ponsel milik Sinta di atas nakas setelah menancapkan kabel data untuk mengisi daya. Ia membaca sejenak beberapa pesan yang masuk di ponsel istrinya itu.
Kedua mata Ariel melebar seketika ketika ia membaca pesan singkat dari mertuanya, ibu Sinta, yang tinggal di desa.
"Sin, Ibu pengen datang ke kota. Ibu mau menemani kamu melahirkan anak pertama kamu. Ibu nggak sabar pengen lihat cucu ibu. Kamu bilang dong sama suami kamu, ibu boleh nggak datang dan menginap di rumah kalian?"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 92 Episodes
Comments
Al-rayan Sandi Syahreza
sebenarnya si Ariel cemburu apa bagaimana yah liat si Elin sama atasan nya itu
2023-07-02
0
Rin Hidayat
apakah Ariel itu cemburu atau gimana ya??
tapi kasar banget dech marah2 in Elin di depan bos nya. kan tengsin,malu Elin nya
2023-06-22
0
Rin Hidayat
galang baik banget, mgkn galang suka sama kamu lin..
2023-06-22
0