Elin jelas kaget mendengar ucapan Ariel yang menuntutnya untuk mengganti bayi Sinta. Bagaimana bisa? Ia menatap bingung Ariel dan tak tahu bagaimana merespon ucapan sang kakak.
"Aku ... aku minta maaf," kata Elin. Hanya kata-kata itu yang meluncur dari bibirnya.
Ariel berdiri pelan. Ia menyugar rambutnya dengan gusar. Desah napasnya terdengar di koridor seketika. "Aku harus mengurus pemakaman bayi kami. Kamu tunggu Sinta dengan baik. Aku segera kembali ke sini."
Elin menatap punggung Ariel yang menjauh darinya. Ia menunduk lalu mulai menangis tersedu-sedu. Ariel bahkan tidak bertanya tentang kondisinya. Ia mungkin tidak separah Sinta, tetapi ia juga sakit.
Yah, Elin sudah lama menyimpan perasaan pada Ariel yang merupakan kakak angkatnya. Elin diadopsi di keluarga Ariel sejak ia masih bayi dan diperlakukan seperti anak kandung oleh keluarga itu. Namun, seiring Elin tumbuh dewasa, ia menyimpan rasa cinta untuk Ariel. Ariel selalu baik padanya, Ariel bahkan sangat menyayanginya, dulu. Sejak Ariel menikah dengan Sinta, Elin merasa bahwa Ariel sama sekali tidak memiliki waktu untuknya. Ia sudah kehilangan sosok Ariel sejak saat itu.
Elin berdiri perlahan sembari menahan rasa sakit di tubuhnya. Ia mendekati pintu kamar Sinta lalu membukanya pelan. Kedua mata Elin terpaku pada sosok Sinta yang terbaring di ranjang dengan berbagai selang menancap di tubuhnya.
"Mbak Sinta," panggil Elin lemah. Ia duduk di kursi kecil yang ada di sebelah ranjang lalu menggenggam tangan Sinta erat-erat. "Maafin aku."
Elin mencoba mengingat-ingat apa yang terjadi tadi siang sebelum kecelakaan. Sinta ingin membeli makan sup ikan kesukaannya dan ia pun ikut karena bosan di rumah. Elin yakin ia menyetir dengan kecepatan yang standar, ia tidak mengebut sama sekali.
Elin baru ikut pindah ke rumah Ariel dan Sinta sejak dua bulan lalu karena ia memiliki pekerjaan di kota yang sama. Sebelumnya, Elin tinggal sendiri di rumah orang tua mereka. Namun, karena orang tua mereka dan adiknya, Gladis, memutuskan untuk pindah ke luar negeri, Elin pun menumpang di rumah Ariel.
"Ayo, Mbak, bangun," gumam Elin.
Sesungguhnya, Elin tak tahu apa yang akan ia katakan pada Sinta jika Sinta terbangun nantinya. Kedua matanya menatap perut Sinta yang sudah mengecil, padahal siang tadi Sinta sudah berceloteh riang tentang bayinya yang terus menendang. Sekarang, semuanya terasa begitu pedih.
***
"Bangun!"
Elin merasakan bahunya diremas oleh seseorang. Ia mengangkat kepalanya lalu menoleh pada Ariel yang sudah kembali ke rumah sakit. Ia masih bisa merasakan tatapan menusuk dari Ariel. Ia yakin, ia masih dianggap sebagai tersangka utama atas kecelakaan tadi siang.
"Kamu keluar aja," kata Ariel begitu Elin berdiri.
"Aku mau lihat Mbak Sinta bangun," kata Elin.
"Keluar!" hardik Ariel seraya menunjuk ke arah pintu kamar.
Elin membuang napas panjang. Ia baru saja ketiduran ketika menunggu Sinta dan sekarang ia baru sadar bahwa hari sudah berganti. Ia tak punya pilihan selain keluar dari kamar karena ia tak mau Ariel lebih marah padanya.
Begitu Elin meninggalkan kamar, Ariel pun duduk di kursi yang tadi dipakai oleh Elin. Sama seperti Elin, ia menggenggam erat tangan Sinta. Kedua matanya terpaku pada wajah pucat Sinta.
"Sayang, ayo bangun," gumam Ariel. Ia mengusap kening Sinta dengan lembut lalu menciumi punggung tangan Sinta.
Setelah waktu subuh berlalu, Ariel yang baru selesai menunaikan ibadah sholat pun mendengar rintihan lirih. Ia berdiri lalu mendekati ranjang Sinta. Kedua matanya melebar sempurna ketika Sinta menggeliat dengan mata menyipit.
"Sayang! Sinta, kamu udah bangun?"
Sinta mengangguk. Tangan kirinya meraba kening karena pusing yang mendera. "Aku di mana, Mas?"
"Tenang, Sayang. Kamu di rumah sakit," jawab Ariel setenang mungkin. Ia berdebar keras karena ia harus segera menjelaskan semuanya pada Sinta. Bahwa bayi mereka telah tiada! Bahwa mereka tidak akan pernah bisa memiliki bayi lagi!
"Aku ...." Sinta mengernyit ketika berusaha mengingat apa yang sudah terjadi padanya.
"Kamu bakal baik-baik saja. Aku janji." Ariel menggenggam erat tangan Sinta. Ia mengusap-usap puncak kepala Sinta agar Sinta lebih tenang.
"Mas, bayi kita gimana?" Sinta mengangkat kepalanya sedikit untuk melihat perutnya. Sontak, ia membelalak. Kesadarannya seolah kembali begitu saja. Ia ingat, ia baru makan sup ikan dengan Elin lalu mereka dalam perjalanan pulang dan mereka mengalami tabrakan.
"Tenang, Sayang." Ariel menelan keras. Bibirnya terasa kelu hingga ia tak sanggup menjelaskan.
"Bayi kita udah lahir?" tanya Sinta seraya meletakkan kembali kepalanya di atas bantal.
Ariel mengangguk dengan air mata menggenang. "Ya, bayi perempuan kita udah lahir."
Sinta tersenyum tipis, tetapi entah bagaimana, ia merasa sangat sedih. "Bayinya di mana? Dia baik-baik aja?"
Sinta menunggu Ariel menjawab. Karena tubuhnya terasa begitu parah, ia tiba-tiba tidak yakin dengan kondisi bayinya. Apalagi Ariel langsung meneteskan air mata.
"Mas! Apa yang terjadi sama bayi aku?" tanya Sinta panik. Ia menggeliat untuk mencoba bangun, tetapi Ariel menahannya. Lagipula ia tak bisa banyak bergerak, perutnya sakit luar biasa. "Mas, jawab!"
"Maaf, Sayang. Tapi bayi kita nggak selamat. Kamu mengalami pendarahan," kata Ariel.
"Nggak mungkin! Nggak! Kamu bohong kan, Mas?" tanya Sinta tak percaya. Ia menggeleng berkali-kali pada suaminya.
"Aku nggak bohong, kondisi kamu nggak bagus karena kecelakaan itu," kata Ariel.
Sinta menangis sejadi-jadinya di atas tempat tidur. Ia bahkan tidak bisa banyak bergerak. Ia ingin bisa memeluk bayinya tetapi Ariel berkata ia sudah memakamkan bayi mereka dengan alasan, ia tidak tega jika Sinta harus melihat kondisi bayi yang sebenarnya akan lahir bulan depan itu.
"Aku mengambil foto bayi kita sebelum dia dimakamkan, Sayang. Tapi sebaiknya kamu melihatnya nanti setelah kamu sedikit membaik. Hm?"
Pagi itu, Sinta menangis bersama Ariel atas kemalangan yang menimpanya. Ia bahkan belum tahu bahwa ia tak akan memiliki kesempatan untuk bisa hamil lagi. Ariel masih mengurungkan niatnya untuk memberitahu Sinta, ia juga meminta dokter untuk merahasiakan ini dari Sinta hingga kondisinya jauh lebih baik.
Sementara itu, Elin yang duduk di depan ruangan Sinta pun bisa mendengar tangisan pilu pasangan suami istri itu. Ariel masih marah padanya, bisa saja Sinta juga akan menyalahkannya karena tidak bisa membawa mobil dengan baik. Sinta adalah kakak ipar yang sangat baik dan penyayang, jadi ia juga sangat menyayangkan kejadian ini.
Bahkan, Elin memendam perasaannya untuk Ariel selama ini karena ia tahu Sinta sangat mencintai Ariel. Begitu juga dengan Ariel yang sangat mencintai istrinya. Ia sudah membuat Ariel marah padanya, dan mungkin saja Ariel akan membencinya.
"Kak Ariel nggak boleh benci sama aku," gumamnya. Ia menoleh ke arah pintu kamar Sinta. "Apa yang harus aku lakuin biar Kak Ariel nggak marah lagi?"
Elin menyeka wajahnya yang basah dengan telapak tangan. Ariel ingin ia mengganti bayinya yang telah tiada. Ia tahu, itu hanyalah permintaan spontan yang keluar dari bibir Ariel ketika ia sedang berduka dan marah. Lagipula, bagaimana caranya ia bisa mengganti bayi tersebut? Tidak mungkin ia harus hamil dan melahirkan. Ia bahkan belum menikah. Dan jika ia hamil suatu hari nanti, bisakah ia memberikan bayinya pada Ariel dan Sinta?
Elin menggeleng pelan karena merasa apa yang ia pikirkan barusan begitu konyol. Ia berharap, Ariel tidak sungguh-sungguh dengan ucapannya tadi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 92 Episodes
Comments
Lisa Meliana
perempuan mana yang nga sakit hati klau lagi hamil trus tiba" keguguran 😭😭😭 mana lagi nga sempat ngeliatnya😭😭 gmna nga nangis tuu sinta
2023-07-18
0
Eva Rosiana
Kasian Sinta juga elin
semua nya musibah ga ada yang ingin itu terjadi namun gimana lagi
2023-07-07
0
Kisti
smg kalian bertiga dlm keiklasan dan damai pd takdir dan kenyataan.memang berat tapi tdk bsa saling menyalahkn bgtu 😭🤲🙏
2023-06-24
0