Pengantin Iblis Yang Malang

Pengantin Iblis Yang Malang

Bagian Prolog: Pertemanan Sehidup Semati

...Mira...

“Dia masih hidup. Berbeda dengan lainnya. Entah dia beruntung atau justru pembawa sial.” Begitulah kata orang-orang yang menatapnya dengan sinis.

Gadis kecil, Mira. Berbagai insiden kecil maupun besar selalu saja Mira yang berhasil selamat tanpa luka sedikitpun. Ia selamat seorang diri, tanpa membawa satu orang pun. Kecelakaan bus, mobil, motor bahkan kereta api yang jalurnya terbilang lebih mudah.

Setiap kali, setiap kejadian itu terjadi, Mira dikarunia keberuntungan yang membuatnya tetap hidup lebih lama. Lebih lama dari lainnya.

Termasuk kali ini,

“Ayah dan Ibunya sudah jadi korban. Apa dia tidak punya kerabat? Coba tanyakan dia.”

“Tidak, ah. Itu bukan urusanku. Aku tidak mau berurusan dengan anak s*al itu.”

“Yah, kupikir benar.”

Bahkan saat tidak menaiki kendaraan juga, sebelumnya Mira bersama kedua orang tuanya tengah asik berjalan-jalan di pagi hari yang cerah ini. Akan tetapi, kendaraan beroda empat menabrak mereka dan tewas di tempat seketika.

Tidak ada yang menjadi saksi, karena jalan saat itu masih sepi. Namun sekarang, terdapat banyak jenis orang-orang hadir di rumahnya hanya untuk menjenguk ataupun mendoakan yang sudah tiada.

“Lihat, dia sama sekali tidak menangis.”

“Jangan bilang ini rencananya?”

“Jangan bilang begitu. Dia masih anak kecil.”

“Tunggu, kalau dia tidak punya siapa-siapa lalu siapa yang akan mengurusnya?”

Para tetangga sibuk dengan gosipan mereka. Mira dituding sebagai anak pembawa malapetaka, dituding telah merencanakan ini semua. Bahkan tidak menangis saat kedua orang tuanya pun dicurigai oleh mereka. Seolah-olah Mira adalah penjahat.

“Kenapa?”

Hanya satu kata yang keluar dari mulut Mira saat itu. Bertanya, "Kenapa?", tapi ia sama sekali tidak menemukan jawabannya. Ia hanya duduk diam di dekat jasad kedua orang tuanya. Beberapa orang lah yang mau mengurusnya termasuk Pak Tua yang mempunyai toko barang antik, hingga selesai.

“Aku ...kenapa? Ibu ...Ayah.”

Mira bukannya tidak menangis, melainkan ia hanya menahannya. Sebab ia teringat pesan Ibu untuk tidak menangis. Karena itulah ia menahannya.

Hari-hari telah berlanjut begitu cepat. Mira bertahan hidup dengan harta warisan dari kedua orang tua, meski tidak ada satupun kerabat yang datang serta tetangga yang ingin menjadi wali, Mira dapat bertahan layaknya orang dewasa.

Menginjak usia 16 tahun, menjelang akhir sekolah menengah pertama. Terdapat kepuasan diri karena nilainya cukup bagus untuk bisa sampai ke jenjang menengah awal.

“Asalkan aku mempertahankan nilai ini, maka aku akan lulus. Ya, itu tidak masalah. Aku tidak punya orang tua ataupun kerabat, jadi jika ada urusan apa pun tentang sekolah, maka cukup denganku saja. Ya, guruku akan mengerti.”

Menyematkan kata-kata semangat dengan riang. Mira terus tersenyum sebagai hiburan diri sendiri yang selama ini hanya hidup tanpa siapa-siapa yang melirik. Memang cukup sedih karena dikucilkan. Tidak hanya di rumah, di sekolah juga sama saja.

Mereka semua menatap Mira dengan sinis. Memperlakukannya seolah-olah Mira adalah aib atau sejenisnya. Walau menjengkelkan, Mira berusaha mengabaikan.

Lalu berkata pada dirinya sendiri, “Tidak ada waktu untuk memikirkan orang lain. Karena memikirkan diri sendiri saja sudah susah.”

Kemudian tertawa kecil di dalam kelas, namun ternyata hal itu dapat membuat seluruh siswa sekelasnya mengejek lagi.

“Haha, lihat dia itu. Tertawa sendiri, dia memang aneh.”

“Abaikan dia. Tidak usah pedulikan orang itu.”

“Kudengar dia membunuh Ayah dan Ibunya ya?”

Seketika dada Mira terasa sesak saat mendengar dugaan tak berlogis dari salah satu teman sekelasnya yang duduk di depan.

'Bukan. Aku tidak membunuh mereka. Kenapa aku harus lakukan itu?' Mira membatin, ingin menyangkal namun mulutnya terasa kaku seolah barusan dijahit.

“Hei, apa itu benar?” Datang seorang murid perempuan, ia mendatangi Mira namun agaknya dengan niat buruk.

“Apanya yang benar?” tanya Mira.

“Tentang kedua orang tuamu yang mati. Itu karenamu benar?”

“Ti-tidak ...itu ...,” Ucapan Mira terbata-bata.

“Oh, sepertinya benar ya? Tidak aku sangka cewe yang tadinya polos ternyata melakukan hal sekeji itu.”

Sekitarnya menjadi gelap bukan tanpa sebab. Emosi negatif, prasangka buruk yang dimiliki oleh banyak orang saat ini berkumpul di belakang punggung mereka. Seperti hidup dengan mata yang sama hitamnya, mata itu menatap Mira dan membuat perasaannya tidak nyaman.

Padahal sebelumnya hanya seukuran biji kecil. Tapi sekarang, menjadi sangat besar setelah teman sekelas Mira menuduhnya sebagai pembunuh.

'Kenapa aku melihat ini lagi? Kupikir sudah tidak ada lagi,' batin Mira. Dirinya mulai gelisah.

Sinar matahari yang biasa menyorot dari jendela, pun kini tertutup sangat rapat.

“Apa yang sebenarnya terjadi?”

“Apanya?”

Mira tertekan, ia diam membisu seraya melirik ke sekitar. Kegelapan pekat seolah mengerumuninya, berniat mengurungnya dengan alasan tertentu.

Brak!

Mira sudah tak kuat lagi, ia menggebrak meja lantas beranjak dari tempat duduknya. Bersamaan dengan itu, bel sekolah tanda pelajaran berakhir telah berbunyi.

Seketika semuanya kembali dalam keadaan normal. Mira kembali tersadarkan, dan mulai lebih tenang. Sesaat ia menghela napas, kemudian pergi dari sana.

“Itu tidak benar. Aku tidak melakukannya. Aku tidak melakukan apa pun. Tapi kenapa semua orang menuduhku hanya karena aku saja yang masih selamat?”

Terkadang selama perjalanan, ia bercermin pada dinding kaca yang ada di setiap toko pinggiran jalan. Mencoba untuk mencari tahu apa yang menjadi penyebab masalahnya, termasuk mahluk-mahluk yang muncul akibat perasaan negatif terhadap seseorang itu.

Sesekali muncul di setiap tempat maupun banyak orang. Kadang pula apa yang diucapkan oleh orang itu berkebalikan dengan isi hatinya.

Meski memasang wajah bahagia atau senyum, namun di dalam hati mereka sangat busuk. Itulah yang Mira lihat pada setiap orang yang memiliki perasaan negatif. Jika sangat kuat, akibatnya akan berdampak pada Mira sendiri. Sama seperti ketika di kelas saat itu.

Semua orang menuduhnya, dan mulai percaya bahwa perkataan dari seseorang itu benar. Semakin kuat perasaan negatif itu maka semakin kuat dan besar pula kegelapan yang ada di dasar hati mereka masing-masing.

“Terserah lah.”

Dalam perjalanan menuju ke rumah, datang kendaraan beroda empat dari arah depan maupun belakang dalam satu ruas jalan yang seharusnya hanya digunakan oleh pejalan kaki.

Dalam beberapa waktu singkat, Mira yang terdesak kini terhimpit oleh kedua kendaraan dari depan dan belakangnya. Kedua kendaraan itu membuat tubuh Mira tak dapat mengelak.

“KECELAKAAN?! HEI! PANGGILKAN AMBULANS!”

“TIDAK, POLISI!?”

Kejadian itu terjadi dalam waktu singkat. Tanpa adanya peringatan, bahkan firasat buruk pun tidak akan selalu ada untuk memperingatinya.

Kejadian mengenaskan ini menimpa Mira dalam perjalanan pulang ke rumah. Dan saat ini, ia dalam kondisi antara hidup dan mati, darah segar terus mengalir keluar dari setiap bagian tubuhnya.

Di tengah kekacauan tersebut. Terdapat seseorang yang terlihat sangat misterius dengan jubah bertudung, ia menatap ke arah Mira yang tergeletak, sembari menyunggingkan senyum tipis.

Terpopuler

Comments

ciber ara

ciber ara

baru awal udh sed

2023-10-09

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!