Luka gores yang ia dapatkan di ibu jarinya kini perlahan menghilang. Setelah beberapa saat, luka itu benar-benar lenyap. Tidak ada yang tersisa selain tetesan darah sebelumnya. Tidak percaya akan hal itu, sejenak Mira berhenti berlari dan kemudian mencoba untuk memastikan sesuatu.
Ia melukai punggung tangan dengan kuku tajam pada setiap jari-jemari miliknya. Sesaat luka yang membuatnya berdarah walau hanya sedikit itu perlahan pulih.
“Apa maksudnya ini?”
Kedua kakinya tak lagi mampu menopang tubuh, ia terjatuh tak berada jauh dari toko barang antik. Ia merasa lemas saat ini.
Pikirannya tak pernah teralihkan dari luka yang sembuh, begitupun dengan darah di seragam serta jalan di sana. Ia terdiam dengan mata membulat, syok melihat semua tak masuk akal itu.
“Aku ...tidak bisa terluka? Tidak ...aku ...apa? Kalau benar aku tidak terluka saat ditabrak?”
“Kamu ...,” Barusan teringat, ada beberapa petugas kepolisian yang masih menyelidiki insiden mengerikan tersebut.
Salah satunya mengajak Mira berbicara untuk mengetahui sesuatu.
“Kamu adalah korban bukan? Saksi mengatakan korbannya adalah seorang gadis berusia 16 tahun dengan rambut panjang hitam. Benar?”
Mira mendongakkan kepala, namun tak bisa menjawab apa-apa. Sampai akhirnya paman dari toko barang antik datang.
“Maafkan saya!”
Ia menundukkan kepala dan terkadang menyatukan kedua telapak tangannya ke depan sebagai tanda permintaan maaf pada petugas kepolisan itu.
“Ya! Gadis ini korban. Tetapi ...Anda seharusnya sudah tahu bahwa dia tidak bisa diajak bicara. Traumanya akan meningkat bila diinterogasi. Kumohon, mengertilah, pak!” Ia memohon dengan sangat agar Mira tidak ditanya-tanyai sesuatu hal terutama jika berkaitan dengan insiden kecelakaan hari ini.
Beberapa polisi itu kemudian berunding, menyertakan bagaimana hasil laporan mereka yang akan didapatkan bilamana yang ada hanyalah hal kejanggalan. Tentunya mereka tak menginginkan hal ini.
“Kami berusaha keras untuk bertahan melakukan itu karena sebelumnya, memang ada pelaku.”
“Karena itu —”
“Tapi sekarang berbeda, pak.” Petugas mengangkat satu tangannya. “Kami menemukan dua mobil tapi tidak dengan sopirnya yang berarti pelaku dari kejadian ini.”
Sontak saja paman tercengang. Ia diam sementara berpikir apa maksud dari ucapan si petugas tersebut.
“Saya sama sekali tidak mengerti.”
“Tidak ada pelaku, tapi jejak kecelakaan terlihat jelas kalau ini disengaja. Maka dari itu saya membutuhkan saksi lebih termasuk dari korban kecelakaan sendiri,” ujarnya seraya melirik Mira yang tetap terduduk di sana.
“Kumohon, berikan waktu untuknya.”
“Baiklah. Lagi pula, menanyainya saat ini itu percuma.”
Paman itu membantu Mira bangkit dari sana, ia mengantarnya untuk kembali ke toko barang antik dan bukan rumah Mira sendiri. Alasannya cukup jelas sebab paman tidak ingin meninggalkannya sendirian.
Namun Kina menentang perbuatan baik itu.
Prang!
Ia melempar piring kaca tepat ke arah mereka. Dengan marah ia menggebu-gebu, “JANGAN PERNAH KEMARI, PEREMPUAN PEMBAWA S*AL!”
“KINA!!”
Kesadaran Mira kembali. Ia tak lagi melamun, namun ia merasa iba akan sesuatu pada sosok Kina yang berada di hadapannya. Seorang gadis yang hanya bisa duduk di kursi roda, tampak kedua kakinya tidak bisa bergerak seperti orang lain, dan di mata Mira ia melihat mahluk yang hidup di sana (emosi negatif).
'Jadi dia juga memilikinya? Tapi kenapa di kedua kakinya?' Dalam batin, Mira bertanya-tanya. Mengapa ada sosok seperti itu di kedua kaki Kina? Hal itu membuat Mira penasaran sekaligus merasa kasihan sebab ia berpikir bahwa karena itulah Kina tak bisa berjalan normal.
“Hentikan perlakuan kasarmu itu, Kina!”
“Ayah! Bahkan Ayah membela dia daripada aku?”
“Ini bukan permasalahan siapa yang ayah bela. Mira sendirian dan kamu mau membiarkannya sendirian?”
“Cih! Awas saja!”
Kina itu orang yang keras kepala. Tapi ia tak bisa melawan ayahnya yang terus terang seperti itu. Lantas Kina pergi dari hadapan mereka sementara Mira diantar ke kamar kosong agar dapat beristirahat dengan tenang.
“Turunlah ke bawah kalau lapar. Atau bilang saja tidak masalah, ya,” ucap paman.
Sembari memeluk seragam kotor itu ke dalam dekapannya, Mira diam mematung di balik pintu. Ia masih tidak begitu mengerti dengan yang terjadi hari ini. Semua terjadi seolah itu adalah hal biasa.
Namun sebaliknya, ia merasa bahwa dirinya sendiri itu sangat aneh.
“Seragamnya kotor, warna putihnya pun sampai tertutup darah sebanyak ini. Seharusnya aku terluka parah, tapi aku sama sekali tidak menemukan luka sedikitpun. Kenapa?”
Kebingungan namun sulit berbuat sesuatu. Selain diam dan merenung, ia tengah mencoba memikirkan banyak kemungkinan tentunya dengan hal yang tak masuk akal juga.
“Manusia tidak mungkin punya kemampuan pemulihan secepat itu. Bahkan luka gores saja butuh satu-dua hari agar sembuh dan tidak berbekas lagi,” pikir Mira.
Langit sudah berganti warna dari jingga ke hitam. Malam tanpa rembulan yang membuatnya terkesan sepi.
“Gadis itu ...Kina. Oh ya, aku ingat sesuatu!”
Teringat sesuatu yang ada di kedua kaki Kina. Mira berinisiatif untuk mendekatinya. Ia turun ke bawah, dan kemudian bertemu dengan paman.
“Apa perutmu mulai lapar?”
“Tidak. Aku hanya ingin bertanya pada paman.”
“Jangan bilang ini tentang anakku, Kina ya?” Ekspresinya terlihat kecewa dan sedih. Ia kepikiran bahwa perkataan Kina menyakiti Mira.
Namun sebenarnya bukan begitu. Mira menggelengkan kepala dan berkata, “Bukan. Aku hanya ingin bertanya, maaf ...tentang kakinya.” Ia bertanya namun masih ragu.
“Kalau kamu bertanya soal kakinya, itu karena kecelakaan. Dia tidak berhati-hati saat menyebarangi jalan, itu karena kecerobohannya.”
“Begitu rupanya. Terima kasih, paman. Bolehkah aku bertemu dengannya?”
“Ya, boleh. Dia ada di kamar.”
Paman menunjuk ke belakangnya, di mana letak kamar Kina berada. Segera ia menuju ke sana. Namun sebelum benar-benar masuk atau menyapa dari luar pintu kamar, Mira mencoba mengintip dari celah pintu yang kebetulan terbuka.
“Terbuka? Apa dia lupa menutup pintunya?” Mira melirihkan suaranya.
Di sana ia melihat anak gadis itu tetap duduk di kursi roda. Kedua kakinya tidak terlihat bagi Mira sebab mahluk hitam menyelimuti. Aura negatif itu semakin menguat dari beberapa jam sebelumnya.
'Orang-orang yang marah, benci, dendam, atau iri pasti memiliki sesuatu itu di belakang punggungnya. Aku tidak tahu kenapa begitu tapi kali ini di kedua kaki. Aku yakin itu terasa berat,' batin Mira.
Bentakan Kina sebelumnya tidak membuatnya mundur. Ia justru mengacuhkan segala ejekan dari Kina, dan kemudian mencoba untuk membantu Kina entah dengan cara apa.
“Baiklah, aku akan mencobanya.”
Setelah membulatkan tekad sekuat baja. Ia memberanikan diri untuk mengetuk pintu. Akan tetapi sebelum Mira melakukannya, Kina sudah sadar.
“SIAPA DI SANA?!” Suaranya yang keras mengejutkan Mira hingga terjungkal ke belakang.
Kina membuka pintu, langsung saja mereka saling bertukar tatap satu sama lain. Antara Mira yang ketakutan atau Kina yang menatapnya dengan semakin sinis.
Sangat terasa jelas bahwa perasaan Kina hari ini semakin lama semakin tambah memburuk.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 37 Episodes
Comments