...Mira...
“Dia masih hidup. Berbeda dengan lainnya. Entah dia beruntung atau justru pembawa sial.” Begitulah kata orang-orang yang menatapnya dengan sinis.
Gadis kecil, Mira. Berbagai insiden kecil maupun besar selalu saja Mira yang berhasil selamat tanpa luka sedikitpun. Ia selamat seorang diri, tanpa membawa satu orang pun. Kecelakaan bus, mobil, motor bahkan kereta api yang jalurnya terbilang lebih mudah.
Setiap kali, setiap kejadian itu terjadi, Mira dikarunia keberuntungan yang membuatnya tetap hidup lebih lama. Lebih lama dari lainnya.
Termasuk kali ini,
“Ayah dan Ibunya sudah jadi korban. Apa dia tidak punya kerabat? Coba tanyakan dia.”
“Tidak, ah. Itu bukan urusanku. Aku tidak mau berurusan dengan anak s*al itu.”
“Yah, kupikir benar.”
Bahkan saat tidak menaiki kendaraan juga, sebelumnya Mira bersama kedua orang tuanya tengah asik berjalan-jalan di pagi hari yang cerah ini. Akan tetapi, kendaraan beroda empat menabrak mereka dan tewas di tempat seketika.
Tidak ada yang menjadi saksi, karena jalan saat itu masih sepi. Namun sekarang, terdapat banyak jenis orang-orang hadir di rumahnya hanya untuk menjenguk ataupun mendoakan yang sudah tiada.
“Lihat, dia sama sekali tidak menangis.”
“Jangan bilang ini rencananya?”
“Jangan bilang begitu. Dia masih anak kecil.”
“Tunggu, kalau dia tidak punya siapa-siapa lalu siapa yang akan mengurusnya?”
Para tetangga sibuk dengan gosipan mereka. Mira dituding sebagai anak pembawa malapetaka, dituding telah merencanakan ini semua. Bahkan tidak menangis saat kedua orang tuanya pun dicurigai oleh mereka. Seolah-olah Mira adalah penjahat.
“Kenapa?”
Hanya satu kata yang keluar dari mulut Mira saat itu. Bertanya, "Kenapa?", tapi ia sama sekali tidak menemukan jawabannya. Ia hanya duduk diam di dekat jasad kedua orang tuanya. Beberapa orang lah yang mau mengurusnya termasuk Pak Tua yang mempunyai toko barang antik, hingga selesai.
“Aku ...kenapa? Ibu ...Ayah.”
Mira bukannya tidak menangis, melainkan ia hanya menahannya. Sebab ia teringat pesan Ibu untuk tidak menangis. Karena itulah ia menahannya.
Hari-hari telah berlanjut begitu cepat. Mira bertahan hidup dengan harta warisan dari kedua orang tua, meski tidak ada satupun kerabat yang datang serta tetangga yang ingin menjadi wali, Mira dapat bertahan layaknya orang dewasa.
Menginjak usia 16 tahun, menjelang akhir sekolah menengah pertama. Terdapat kepuasan diri karena nilainya cukup bagus untuk bisa sampai ke jenjang menengah awal.
“Asalkan aku mempertahankan nilai ini, maka aku akan lulus. Ya, itu tidak masalah. Aku tidak punya orang tua ataupun kerabat, jadi jika ada urusan apa pun tentang sekolah, maka cukup denganku saja. Ya, guruku akan mengerti.”
Menyematkan kata-kata semangat dengan riang. Mira terus tersenyum sebagai hiburan diri sendiri yang selama ini hanya hidup tanpa siapa-siapa yang melirik. Memang cukup sedih karena dikucilkan. Tidak hanya di rumah, di sekolah juga sama saja.
Mereka semua menatap Mira dengan sinis. Memperlakukannya seolah-olah Mira adalah aib atau sejenisnya. Walau menjengkelkan, Mira berusaha mengabaikan.
Lalu berkata pada dirinya sendiri, “Tidak ada waktu untuk memikirkan orang lain. Karena memikirkan diri sendiri saja sudah susah.”
Kemudian tertawa kecil di dalam kelas, namun ternyata hal itu dapat membuat seluruh siswa sekelasnya mengejek lagi.
“Haha, lihat dia itu. Tertawa sendiri, dia memang aneh.”
“Abaikan dia. Tidak usah pedulikan orang itu.”
“Kudengar dia membunuh Ayah dan Ibunya ya?”
Seketika dada Mira terasa sesak saat mendengar dugaan tak berlogis dari salah satu teman sekelasnya yang duduk di depan.
'Bukan. Aku tidak membunuh mereka. Kenapa aku harus lakukan itu?' Mira membatin, ingin menyangkal namun mulutnya terasa kaku seolah barusan dijahit.
“Hei, apa itu benar?” Datang seorang murid perempuan, ia mendatangi Mira namun agaknya dengan niat buruk.
“Apanya yang benar?” tanya Mira.
“Tentang kedua orang tuamu yang mati. Itu karenamu benar?”
“Ti-tidak ...itu ...,” Ucapan Mira terbata-bata.
“Oh, sepertinya benar ya? Tidak aku sangka cewe yang tadinya polos ternyata melakukan hal sekeji itu.”
Sekitarnya menjadi gelap bukan tanpa sebab. Emosi negatif, prasangka buruk yang dimiliki oleh banyak orang saat ini berkumpul di belakang punggung mereka. Seperti hidup dengan mata yang sama hitamnya, mata itu menatap Mira dan membuat perasaannya tidak nyaman.
Padahal sebelumnya hanya seukuran biji kecil. Tapi sekarang, menjadi sangat besar setelah teman sekelas Mira menuduhnya sebagai pembunuh.
'Kenapa aku melihat ini lagi? Kupikir sudah tidak ada lagi,' batin Mira. Dirinya mulai gelisah.
Sinar matahari yang biasa menyorot dari jendela, pun kini tertutup sangat rapat.
“Apa yang sebenarnya terjadi?”
“Apanya?”
Mira tertekan, ia diam membisu seraya melirik ke sekitar. Kegelapan pekat seolah mengerumuninya, berniat mengurungnya dengan alasan tertentu.
Brak!
Mira sudah tak kuat lagi, ia menggebrak meja lantas beranjak dari tempat duduknya. Bersamaan dengan itu, bel sekolah tanda pelajaran berakhir telah berbunyi.
Seketika semuanya kembali dalam keadaan normal. Mira kembali tersadarkan, dan mulai lebih tenang. Sesaat ia menghela napas, kemudian pergi dari sana.
“Itu tidak benar. Aku tidak melakukannya. Aku tidak melakukan apa pun. Tapi kenapa semua orang menuduhku hanya karena aku saja yang masih selamat?”
Terkadang selama perjalanan, ia bercermin pada dinding kaca yang ada di setiap toko pinggiran jalan. Mencoba untuk mencari tahu apa yang menjadi penyebab masalahnya, termasuk mahluk-mahluk yang muncul akibat perasaan negatif terhadap seseorang itu.
Sesekali muncul di setiap tempat maupun banyak orang. Kadang pula apa yang diucapkan oleh orang itu berkebalikan dengan isi hatinya.
Meski memasang wajah bahagia atau senyum, namun di dalam hati mereka sangat busuk. Itulah yang Mira lihat pada setiap orang yang memiliki perasaan negatif. Jika sangat kuat, akibatnya akan berdampak pada Mira sendiri. Sama seperti ketika di kelas saat itu.
Semua orang menuduhnya, dan mulai percaya bahwa perkataan dari seseorang itu benar. Semakin kuat perasaan negatif itu maka semakin kuat dan besar pula kegelapan yang ada di dasar hati mereka masing-masing.
“Terserah lah.”
Dalam perjalanan menuju ke rumah, datang kendaraan beroda empat dari arah depan maupun belakang dalam satu ruas jalan yang seharusnya hanya digunakan oleh pejalan kaki.
Dalam beberapa waktu singkat, Mira yang terdesak kini terhimpit oleh kedua kendaraan dari depan dan belakangnya. Kedua kendaraan itu membuat tubuh Mira tak dapat mengelak.
“KECELAKAAN?! HEI! PANGGILKAN AMBULANS!”
“TIDAK, POLISI!?”
Kejadian itu terjadi dalam waktu singkat. Tanpa adanya peringatan, bahkan firasat buruk pun tidak akan selalu ada untuk memperingatinya.
Kejadian mengenaskan ini menimpa Mira dalam perjalanan pulang ke rumah. Dan saat ini, ia dalam kondisi antara hidup dan mati, darah segar terus mengalir keluar dari setiap bagian tubuhnya.
Di tengah kekacauan tersebut. Terdapat seseorang yang terlihat sangat misterius dengan jubah bertudung, ia menatap ke arah Mira yang tergeletak, sembari menyunggingkan senyum tipis.
Hari yang membuatnya suntuk sepanjang perjalanan, berakhir mengenaskan bagi Rima saat dirinya hendak pulang kembali ke rumahnya. Dua kendaraan yang datang dari arah depan dan belakang secara bersamaan menghantam tubuh Mira. Bagi saksi yang melihatnya, pasti akan berpikir bahwa Mira telah mati dalam sekejap.
Ya, jika dipikir secara logika memang begitu. Tulang-tulang remuk, kulit tersayat hingga ke daging. Benturan tak terelakkan membuatnya terluka di setiap bagian fatalnya.
“Panggilkan ambulans! Lalu polisi! Cepat! Cepat! Ada kecelakaan di sini!”
“Baik!”
Semua orang ricuh, terutama para penjual di sekitar lokasi kejadian. Mereka histeris sebab kejadian itu berlangsung sangat singkat. Ada rasa tidak percaya karena kendaraan itu bergerak dengan aneh. Ada pula yang hanya berdiam diri karena merasa tidak berdaya.
Lalu, seseorang yang berperan sebagai pengamat. Entah siapa ia sebenarnya, selain orang yang selalu mengenakan tudung berjubah. Saat dirinya menghampiri Mira di bawah bagian dari antara dua mobil, waktu terasa terhenti.
Setiap aktivitas di jalan ini sepenuhnya terhenti saat orang itu datang. Ia ingin membawa Mira, namun saat tangannya hendak sampai ke tubuh Mira, ada seseorang berteriak dan membuatnya terkejut.
“Kau siapa?! Jangan dekati dia!!”
Teriakannya cukup keras, waktu yang telah terhenti membuat ia sedikit bingung. Namun setelah beberapa saat ia akhirnya membuat keputusan. Tanpa menjawab apa pun, ia lantas pergi dan waktu pun kembali seperti sedia kala.
“Dia—!”
Sementara itu kondisi si gadis,
Darahnya menggenangi tubuh, bahkan setengah wajah gadis itu tertutup. Bau anyir tak mengenakkan terus tercium di kedua lubang hidung. Butuh beberapa waktu hingga arus jalan kembali berjalan lancar serta insiden mengerikan ini juga terselesaikan.
Setelah beberapa jam,
Perlahan-lahan, Mira membuka kedua matanya. Ia mulai sadar namun sepertinya masih tidak ingat dengan kejadian sebelum ini.
“Di mana ini?” Mira bertanya.
“Maaf. Ini rumahku, Mira. Apa kamu baik-baik saja?” Seseorang menjawab lalu setelahnya bertanya mengenai keadaan Mira sendiri.
Setelah ia sadari, rumah ini cukup familiar dalam kilas ingatannya.
“Toko barang antik?!” pekiknya tanpa sadar. Ia bangkit dari kursi sofa panjang, setelah tahu tempat yang ia singgahi saat ini.
“Ya, benar. Kamu ternyata ingat ya dan juga sehat. Syukurlah kalau begitu.”
Seorang pria tua yang tinggal bersama putri seusia dirinya. Tempat ini adalah rumah bagi mereka sekaligus toko barang antik, tempat di mana semua barang antik dijual.
“Paman ...kenapa aku di sini ya?” Mira masih dalam keadaan bingung.
Tiba-tiba saja berada di sini itu tidaklah masuk akal.
“Apa kamu tidak ingat?” Ia menunjuk ke arah luar. Spontan Mira menoleh ke arah yang ditunjuk.
Bekas gesekan ban kedua mobil cukup terlihat jelas termasuk darah yang masih tergenang sampai saat ini. Tidak hanya itu, para petugas kepolisian juga ada di sana.
“Tidak. Sama sekali. Apa sebelumnya aku terjatuh?”
“Bukan jatuh tapi kau ditabrak,” jawab seorang gadis yang duduk di kursi roda. Jawabannya terdengar ketus sekali.
“Aku ...ditabrak?”
Tidak ada tanda-tanda kegelapan yang biasa ia lihat, terutama saat adanya kecelakaan seperti ini. Mira masih belum mengerti kejadian yang sebenarnya, namun tampaknya ia tidak memusingkan hal itu terus-menerus.
“Aku juga bingung harus menanggapinya bagaimana. Intinya, kamu benar-benar ditabrak dua mobil dari arah berlawanan.”
“Itu terdengar mengerikan, paman.”
“Benar juga.”
Paman penjual barang antik itu kemudian mendekat, ia menepuk pelan ujung kepala Mira seraya berkata, “Tenang saja. Kamu tidak terluka sedikitpun.”
“Kalau benar begitu, bukankah aneh? Di sana ada banyak sekali darah dan—”
Saat melihat pakaiannya ia baru sadar, pakaian yang ia kenakan bukanlah seragam sekolah melainkan pakaian biasa.
Gadis itu menyahut, “Itu pakaianku. Seragam punyamu jadi merah semua.” Lagi-lagi ia menjawabnya dengan sangat ketus.
“Be-begitu ya? Terima kasih.”
“Kenapa kau berterima kasih? Kau menyusahkan saja. Lagi pula mana ada orang selamat dari kecelakaan seperti itu. Apalagi hanya bajumu yang terkena darah sementara kau tidak—”
“Kina!!” Ayah dari anak gadis itu meninggikan nada suaranya. Memperingatkan ia agar tak menjelaskannya begitu detail.
“Tidak masalah, paman. Aku akan mendengarkannya baik-baik jadi ...,”
“Tidak perlu. Bagus jika kamu tidak ingat itu. Karena itu akan membuatmu semakin terpuruk,” ucap si paman.
Ia tak tega apabila Mira mengingat hal buruk terutama mengenai dirinya sendiri. Sebab itu akan mengingatkan Mira mengenai kedua orang tuanya.
“Tapi aku penasaran. Kenapa ...aku sama sekali tidak terluka?”
Jika di pikir-pikir selama ini ia tidak pernah merasakan sakit. Demam atau sejenisnya juga tidak pernah. Apalagi luka luar.
Tidak merasakan rasa sakit, tidak membuatnya merasa tenang. Tetapi, jika terus dipikirkan akan membuat perasaan negatif muncul dan mahluk yang menyerupai hantu atau sejenisnya akan membuat ia semakin merasa takut.
“Mira, ini makanlah.” Paman itu menyodorkan beberapa buah dalam satu keranjang.
“Ya, terima kasih. Maaf merepotkan.”
“Ya! Kau itu sangat merepotkan Ayahku. Lain kali kalau ingin memperburuk keadaan jangan dekat-dekat di sini!” pekik Kina. Anak dari paman penjual barang antik.
“Kina! Jangan berkata seperti itu.” Paman kembali meneriakinya, karena merasa bahwa perkataan Kina sang anak sangat tidak sopan.
“Iya, iya. Aku tahu!” Setelahnya Kina menggerakkan kursi rodanya sendiri menuju ke kamar. Wajah yang kesal itu tak pernah lepas dari bayangan Mira, takut akan bayang-bayangan perasaan negatif tersebut.
Mira mengambil buah apel, akan tetapi ia justru teringat akan warna kulit apel yang sama seperti warna darah, membuatnya enggan memakan buah itu. Lantas ia meletakkan kembali ke dalam ranjang.
“Paman, maaf. Aku akan pulang ke rumah hari ini. Terima kasih.”
“Tidak ingin istirahat dulu?”
“Tidak.” Mira menggelengkan kepala.
“Hei!!” Kina kembali berteriak pada Mira yang hendak pergi. Lantas melemparkan seragam yang penuh akan darah itu.
Sang Ayah kembali memarahinya namun Kina tidak peduli. Ia kemudian berkata, “Itu punyamu, jadi aku kembalikan. Dan jangan lupa pakaian yang kau pakai itu adalah punyaku, kembalikan dalam keadaan bersih!”
“Kina, kamu ini benar-benar ya!”
“Apa sih, Ayah?! Aku 'kan sudah bilang, jangan dekat-dekat dia! Dia lah penyebab semua masalah di kota ini!” amuk Kina.
“Aku mengerti!” Mira meninggikan suara dengan berani. Sekali lagi ia berucap namun lirih, “Aku akan segera mengembalikannya ...dalam keadaan bersih.”
Tanpa banyak kata-kata lagi. Mira membuka pintu toko dan lekas pergi dengan berlari cepat menuju ke rumah. Tapi karena langkah terburu-burunya ia mendapatkan luka gores di bagian jari saat membuka pintu toko.
“Eh?”
Hal yang paling mengejutkan adalah saat ia sadar bahwa luka gores itu perlahan pulih tanpa menyisakan sedikit bekas pada luka. Yang tersisa hanyalah setetes darah barusan.
“Apa-apaan? Bukankah aku terluka? Aku barusan merasakan sakit tapi sekarang tidak lagi? Dan ke mana perginya luka itu?”
Langkahnya melambat, seraya ia mengusap bagian jari yang terluka. Tetapi berusaha sekeras apa pun, lukanya tetaplah menutup seolah tak pernah terluka sejak awal.
Luka gores yang ia dapatkan di ibu jarinya kini perlahan menghilang. Setelah beberapa saat, luka itu benar-benar lenyap. Tidak ada yang tersisa selain tetesan darah sebelumnya. Tidak percaya akan hal itu, sejenak Mira berhenti berlari dan kemudian mencoba untuk memastikan sesuatu.
Ia melukai punggung tangan dengan kuku tajam pada setiap jari-jemari miliknya. Sesaat luka yang membuatnya berdarah walau hanya sedikit itu perlahan pulih.
“Apa maksudnya ini?”
Kedua kakinya tak lagi mampu menopang tubuh, ia terjatuh tak berada jauh dari toko barang antik. Ia merasa lemas saat ini.
Pikirannya tak pernah teralihkan dari luka yang sembuh, begitupun dengan darah di seragam serta jalan di sana. Ia terdiam dengan mata membulat, syok melihat semua tak masuk akal itu.
“Aku ...tidak bisa terluka? Tidak ...aku ...apa? Kalau benar aku tidak terluka saat ditabrak?”
“Kamu ...,” Barusan teringat, ada beberapa petugas kepolisian yang masih menyelidiki insiden mengerikan tersebut.
Salah satunya mengajak Mira berbicara untuk mengetahui sesuatu.
“Kamu adalah korban bukan? Saksi mengatakan korbannya adalah seorang gadis berusia 16 tahun dengan rambut panjang hitam. Benar?”
Mira mendongakkan kepala, namun tak bisa menjawab apa-apa. Sampai akhirnya paman dari toko barang antik datang.
“Maafkan saya!”
Ia menundukkan kepala dan terkadang menyatukan kedua telapak tangannya ke depan sebagai tanda permintaan maaf pada petugas kepolisan itu.
“Ya! Gadis ini korban. Tetapi ...Anda seharusnya sudah tahu bahwa dia tidak bisa diajak bicara. Traumanya akan meningkat bila diinterogasi. Kumohon, mengertilah, pak!” Ia memohon dengan sangat agar Mira tidak ditanya-tanyai sesuatu hal terutama jika berkaitan dengan insiden kecelakaan hari ini.
Beberapa polisi itu kemudian berunding, menyertakan bagaimana hasil laporan mereka yang akan didapatkan bilamana yang ada hanyalah hal kejanggalan. Tentunya mereka tak menginginkan hal ini.
“Kami berusaha keras untuk bertahan melakukan itu karena sebelumnya, memang ada pelaku.”
“Karena itu —”
“Tapi sekarang berbeda, pak.” Petugas mengangkat satu tangannya. “Kami menemukan dua mobil tapi tidak dengan sopirnya yang berarti pelaku dari kejadian ini.”
Sontak saja paman tercengang. Ia diam sementara berpikir apa maksud dari ucapan si petugas tersebut.
“Saya sama sekali tidak mengerti.”
“Tidak ada pelaku, tapi jejak kecelakaan terlihat jelas kalau ini disengaja. Maka dari itu saya membutuhkan saksi lebih termasuk dari korban kecelakaan sendiri,” ujarnya seraya melirik Mira yang tetap terduduk di sana.
“Kumohon, berikan waktu untuknya.”
“Baiklah. Lagi pula, menanyainya saat ini itu percuma.”
Paman itu membantu Mira bangkit dari sana, ia mengantarnya untuk kembali ke toko barang antik dan bukan rumah Mira sendiri. Alasannya cukup jelas sebab paman tidak ingin meninggalkannya sendirian.
Namun Kina menentang perbuatan baik itu.
Prang!
Ia melempar piring kaca tepat ke arah mereka. Dengan marah ia menggebu-gebu, “JANGAN PERNAH KEMARI, PEREMPUAN PEMBAWA S*AL!”
“KINA!!”
Kesadaran Mira kembali. Ia tak lagi melamun, namun ia merasa iba akan sesuatu pada sosok Kina yang berada di hadapannya. Seorang gadis yang hanya bisa duduk di kursi roda, tampak kedua kakinya tidak bisa bergerak seperti orang lain, dan di mata Mira ia melihat mahluk yang hidup di sana (emosi negatif).
'Jadi dia juga memilikinya? Tapi kenapa di kedua kakinya?' Dalam batin, Mira bertanya-tanya. Mengapa ada sosok seperti itu di kedua kaki Kina? Hal itu membuat Mira penasaran sekaligus merasa kasihan sebab ia berpikir bahwa karena itulah Kina tak bisa berjalan normal.
“Hentikan perlakuan kasarmu itu, Kina!”
“Ayah! Bahkan Ayah membela dia daripada aku?”
“Ini bukan permasalahan siapa yang ayah bela. Mira sendirian dan kamu mau membiarkannya sendirian?”
“Cih! Awas saja!”
Kina itu orang yang keras kepala. Tapi ia tak bisa melawan ayahnya yang terus terang seperti itu. Lantas Kina pergi dari hadapan mereka sementara Mira diantar ke kamar kosong agar dapat beristirahat dengan tenang.
“Turunlah ke bawah kalau lapar. Atau bilang saja tidak masalah, ya,” ucap paman.
Sembari memeluk seragam kotor itu ke dalam dekapannya, Mira diam mematung di balik pintu. Ia masih tidak begitu mengerti dengan yang terjadi hari ini. Semua terjadi seolah itu adalah hal biasa.
Namun sebaliknya, ia merasa bahwa dirinya sendiri itu sangat aneh.
“Seragamnya kotor, warna putihnya pun sampai tertutup darah sebanyak ini. Seharusnya aku terluka parah, tapi aku sama sekali tidak menemukan luka sedikitpun. Kenapa?”
Kebingungan namun sulit berbuat sesuatu. Selain diam dan merenung, ia tengah mencoba memikirkan banyak kemungkinan tentunya dengan hal yang tak masuk akal juga.
“Manusia tidak mungkin punya kemampuan pemulihan secepat itu. Bahkan luka gores saja butuh satu-dua hari agar sembuh dan tidak berbekas lagi,” pikir Mira.
Langit sudah berganti warna dari jingga ke hitam. Malam tanpa rembulan yang membuatnya terkesan sepi.
“Gadis itu ...Kina. Oh ya, aku ingat sesuatu!”
Teringat sesuatu yang ada di kedua kaki Kina. Mira berinisiatif untuk mendekatinya. Ia turun ke bawah, dan kemudian bertemu dengan paman.
“Apa perutmu mulai lapar?”
“Tidak. Aku hanya ingin bertanya pada paman.”
“Jangan bilang ini tentang anakku, Kina ya?” Ekspresinya terlihat kecewa dan sedih. Ia kepikiran bahwa perkataan Kina menyakiti Mira.
Namun sebenarnya bukan begitu. Mira menggelengkan kepala dan berkata, “Bukan. Aku hanya ingin bertanya, maaf ...tentang kakinya.” Ia bertanya namun masih ragu.
“Kalau kamu bertanya soal kakinya, itu karena kecelakaan. Dia tidak berhati-hati saat menyebarangi jalan, itu karena kecerobohannya.”
“Begitu rupanya. Terima kasih, paman. Bolehkah aku bertemu dengannya?”
“Ya, boleh. Dia ada di kamar.”
Paman menunjuk ke belakangnya, di mana letak kamar Kina berada. Segera ia menuju ke sana. Namun sebelum benar-benar masuk atau menyapa dari luar pintu kamar, Mira mencoba mengintip dari celah pintu yang kebetulan terbuka.
“Terbuka? Apa dia lupa menutup pintunya?” Mira melirihkan suaranya.
Di sana ia melihat anak gadis itu tetap duduk di kursi roda. Kedua kakinya tidak terlihat bagi Mira sebab mahluk hitam menyelimuti. Aura negatif itu semakin menguat dari beberapa jam sebelumnya.
'Orang-orang yang marah, benci, dendam, atau iri pasti memiliki sesuatu itu di belakang punggungnya. Aku tidak tahu kenapa begitu tapi kali ini di kedua kaki. Aku yakin itu terasa berat,' batin Mira.
Bentakan Kina sebelumnya tidak membuatnya mundur. Ia justru mengacuhkan segala ejekan dari Kina, dan kemudian mencoba untuk membantu Kina entah dengan cara apa.
“Baiklah, aku akan mencobanya.”
Setelah membulatkan tekad sekuat baja. Ia memberanikan diri untuk mengetuk pintu. Akan tetapi sebelum Mira melakukannya, Kina sudah sadar.
“SIAPA DI SANA?!” Suaranya yang keras mengejutkan Mira hingga terjungkal ke belakang.
Kina membuka pintu, langsung saja mereka saling bertukar tatap satu sama lain. Antara Mira yang ketakutan atau Kina yang menatapnya dengan semakin sinis.
Sangat terasa jelas bahwa perasaan Kina hari ini semakin lama semakin tambah memburuk.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!