Love Me, Please
Prolog
"Niki Sayang, bangun. First day of school!"
Aku mengerang, akan tetapi tidak sepenuhnya erangan ini mengandung kejengkelan karena telah dibangunkan dari lelapnya tidur. Tidak. Sebagian besar dari suara yang ke luar dari mulutku itu disebabkan oleh rasa kantuk yang masih meraja di kelopak mata.
Kegugupan membuatku terjaga semalaman.
Hari ini adalah hari pertama masuk sekolah lagi setelah libur kenaikan kelas. Hari ini adalah hari pertama aku menjadi murid kelas delapan. Dan pada hari ini akan dibuka pendaftaran untuk menjadi anggota tim cheerleader sekolah.
Akhirnya aku bisa ikut mendaftar karena persyaratan pertama untuk bisa mendaftar adalah merupakan murid kelas delapan atau sembilan.
Aku adalah salah satu murid kelas delapan sekarang, yeay!
I love dancing with all my heart, body, and soul. Mama menurunkan kecintaan itu padaku melalui darah yang mengalir di dalam tubuh ini. Oleh karena itu Mama juga sama semangatnya denganku.
"Come on, Sweetie. Ayo, cepat bangun! Biar kamu gak terlambat sampai di sekolah," ucap Mama dari sela pintu yang terbuka, dari mana saat ini dia sedang mengulurkan kepalanya ke dalam demi membangunkanku. "Papa lagi bikinin kamu pancake choco chips, tuh! Your favorite."
Aku sudah akan bangkit dari tempat tidur sebelum Mama mengatakan itu, akan tetapi setelah mendengar detail yang baru saja Mama katakan, aku sekonyong-konyongnya langsung terbang dari bawah selimut dan mengarah lurus ke kamar mandi.
Tawa mama menjadi background sound langkah seribuku. "Kami tunggu di bawah, ya. Cepatan!"
***
"There she is!" seru Papa dari balik breakfast counter di dapur casa de Levine. Masih memakai apron untuk melindungi kemeja kerjanya dari kotoran, pria berusia awal empat puluh tahun itu meletakkan sebuah pancake yang baru saja selesai dibuatnya di atas piring yang sudah berisi banyak menu sarapan favoritku itu. "Calon anggota tim pemandu sorak terbaik yang akan Rockefeller dapatkan sudah datang."
Kuputar bola mata mendengar komentar cheesy-nya, pura-pura jengah. Namun, di dalam hati tetap saja merasa sangat bahagia karena mendapatkan dukungan seperti yang Papa berikan.
"Silakan makan, Kapten." Papa mengambilkan beberapa buah dan meletakkan piringnya di depanku. "Dan ini selai cokelatnya, atau selai kacang juga ada. Terserah sama Kapten mau pilih yang mana."
Aku tidak bisa menyembunyikan kikih. Apalagi setelah melihat kedipan sebelah mata yang sengaja dilakukan secara berlebihan oleh Papa barusan. Masa ada orang yang berkedip sampai bibirnya mencong-mencong begitu?
"Thank you." Namun, aku sungguh-sungguh bersyukur bisa terlahir di tengah keluarga ini, mendapatkan orang tua seperti papa dan mamaku. Keduanya mematahkan stigma yanb orang-orang punya soal keluarga "beruang". Meskipun merupakan seorang pemimpin sebuah grup perusahaan besar, Papa selalu memiliki waktu untuk kami. Papa selalu ada di sini.
Siapa pun yang bilang kalau keluarga dengan orang tua sibuk adalah keluarga yang dingin dan penuh keangkuhan, sepertinya mereka belum mengenal keluarga Levine. Di sini, aku tidak merasakan hal yang seperti itu.
Di tumah kami, hanya ada kedamaian, cinta, dan kehangatan. Bisa dilihat dari bagaimana Papa berusaha membuatkan pancake kesukaanku pagi ini demi memperlihatkan dukungannya terhadap aku, urusan sekolah, serta impianku. Bagaimana Mama mengayunkan tubuhnya sesuai dengan alunan musik yang ada di dalam kepala sembari mempersiapkan sarapan untuk Papa. Bagaimana mereka mencuri-curi kesempatan untuk saling bertukar kalimat cinta dan kecupan-kecupan di saat mereka pikir aku tidak bisa melihat.
Gah! Mereka terlalu manis dan membuat gigiku ngilu.
Namun, aku akan memilih mempunyai gigi ngilu seumur hidup jika dibandingkan dengan rasa sakit yang lain yang tidak ada seorang pun yang tahu akan menerpa keluarga kami beberapa waktu kedepan.
***
Delapan bulan kemudian
Aku tidak menyangka bahwa kita bisa merindukan keberadaan orang yang masih ... ada.
Gundah karena menginginkan orang yang sudah tidak ada di sini, yes, aku paham. Dan aku tahu betul akan perasaan itu. Namun, kalau untuk mengharapkan kehadiran orang yang nyatanya masih menginjakkan kaki di sekelilingku ....
No, I didn't know anything would come to that.
Dan aku juga tidak menyangka bahwa aku akan merasakan hal itu pada dua orang yang dari dulu selalu menjadi sesuatu yang konstan dalam hidupku.
You will never know what you have until they're gone.
Kalimat klise di atas ternyata benar adanya. Kita tidak akan pernah tahu apa yang selama sudah ada di dalam genggaman sampai sesuatu itu menghilang.
Hilang.
Sesuatu.
Ya. Semenjak sesuatu itu hilang, satu demi satu hal lain mengikuti hingga akhirnya aku hanya tinggal sendiri di sini, tiada lagi yang menemani. Lagi pula, siapa aku? Aku tidak butuh siapa pun, bukan? Aku tidak bisa mengandalkan siapa pun selain diriku sendiri, bukan?
Another bull-crap cliche words. But, screw them. Whatever the fxck.
Ngomong-ngomong, sepertinya hidup ini tidak akan pernah lepas dari yang namanya jargon-jargon itu karena—aku juga tidak menyangka akan mengatakan dan membahas hal ini—sekarang aku adalah contoh kasus yang paling tepat jika dikaitkan dengan apa yang orang-orang di luar sana rumuskan dengan five stages of grief and loss.
Lima hal yang dihadapi oleh orang-orang yang baru saja kehilangan sesuatu, atau yang lebih tepatnya adalah seseorang, yang paling berharga di dalam hidup mereka.
Penolakan, rasa marah, tawar-menawar, depresi, dan yang terakhir adalah penerimaan.
Well ... yeah. That's ... that.
Come the fxck on, guys. Siapa yang akan dengan mudah menerima sesuatu jika mereka ada di posisiku sekarang? Siapa yang akan dengan gampang menerima kepergian orang yang paling mereka cintai, coba? Siapa? Silakan kasih tahu sama aku siapa yang baru saja ditinggal pergi oleh salah satu orang tuanya, orang yang melahirkannya to be exact and precise, dan langsung menerima keadaan itu dengan lapang dada tanpa ada pemberontakan? Siapa, ha? Coba sini kasih namanya, kontaknya, sekalian dengan alamatnya sama aku! Biar aku samperin dan interogasi dia. Aku mau tanya apa resepnya dalam menerima ketidakadilan seperti ini dalam waktu yang singkat.
Yep. Ketidakadilan.
It's not fair! It's not fxcking fair!
Dan mengingat banyak yang bilang kalau hidup ini adil. Hah! Mana? Mana keadilan itu? Karena aku seratus persen yakin dan tidak menyangka bahwa kepergian satu orang saja dapat memberikan dampak yang begitu besar terhadap hidup orang yang ditinggalkan. Kepergian sosok tersebut dapat membuat hidupku berubah seratus delapan puluh derajat. Atau, apakah aku bisa bilang kalau perubahannya terjadi lima ratus empat puluh derajat? Setelah satu putaran penuh, aku malah harus digolekkan sebanyak setengah lingkaran lagi.
Begitulah kira-kira gambaran ketidakadilan yang kurasakan.
Five stages of bullshxt.
Bagaimana aku bisa melalui kelima fase tersebut kalau satu fase saja rasanya sudah terlalu menenggelamkan selayaknya yang aku rasakan sekarang? Bagaimana aku bisa bertahan untuk mengarungi lima fase tersebut kalau belum-belum aku rasanya sudah ingin mati saja?
Lima fase sialan! Aku tidak butuh lima fase itu. Aku tidak butuh semua tahapan-tahapan itu. Yang aku inginkan hanya satu dan satu saja.
Just ... care for me.
Help me.
Love me.
Please!
To be continued ....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 55 Episodes
Comments