Prolog
"Niki Sayang, bangun. First day of school!"
Aku mengerang, akan tetapi tidak sepenuhnya erangan ini mengandung kejengkelan karena telah dibangunkan dari lelapnya tidur. Tidak. Sebagian besar dari suara yang ke luar dari mulutku itu disebabkan oleh rasa kantuk yang masih meraja di kelopak mata.
Kegugupan membuatku terjaga semalaman.
Hari ini adalah hari pertama masuk sekolah lagi setelah libur kenaikan kelas. Hari ini adalah hari pertama aku menjadi murid kelas delapan. Dan pada hari ini akan dibuka pendaftaran untuk menjadi anggota tim cheerleader sekolah.
Akhirnya aku bisa ikut mendaftar karena persyaratan pertama untuk bisa mendaftar adalah merupakan murid kelas delapan atau sembilan.
Aku adalah salah satu murid kelas delapan sekarang, yeay!
I love dancing with all my heart, body, and soul. Mama menurunkan kecintaan itu padaku melalui darah yang mengalir di dalam tubuh ini. Oleh karena itu Mama juga sama semangatnya denganku.
"Come on, Sweetie. Ayo, cepat bangun! Biar kamu gak terlambat sampai di sekolah," ucap Mama dari sela pintu yang terbuka, dari mana saat ini dia sedang mengulurkan kepalanya ke dalam demi membangunkanku. "Papa lagi bikinin kamu pancake choco chips, tuh! Your favorite."
Aku sudah akan bangkit dari tempat tidur sebelum Mama mengatakan itu, akan tetapi setelah mendengar detail yang baru saja Mama katakan, aku sekonyong-konyongnya langsung terbang dari bawah selimut dan mengarah lurus ke kamar mandi.
Tawa mama menjadi background sound langkah seribuku. "Kami tunggu di bawah, ya. Cepatan!"
***
"There she is!" seru Papa dari balik breakfast counter di dapur casa de Levine. Masih memakai apron untuk melindungi kemeja kerjanya dari kotoran, pria berusia awal empat puluh tahun itu meletakkan sebuah pancake yang baru saja selesai dibuatnya di atas piring yang sudah berisi banyak menu sarapan favoritku itu. "Calon anggota tim pemandu sorak terbaik yang akan Rockefeller dapatkan sudah datang."
Kuputar bola mata mendengar komentar cheesy-nya, pura-pura jengah. Namun, di dalam hati tetap saja merasa sangat bahagia karena mendapatkan dukungan seperti yang Papa berikan.
"Silakan makan, Kapten." Papa mengambilkan beberapa buah dan meletakkan piringnya di depanku. "Dan ini selai cokelatnya, atau selai kacang juga ada. Terserah sama Kapten mau pilih yang mana."
Aku tidak bisa menyembunyikan kikih. Apalagi setelah melihat kedipan sebelah mata yang sengaja dilakukan secara berlebihan oleh Papa barusan. Masa ada orang yang berkedip sampai bibirnya mencong-mencong begitu?
"Thank you." Namun, aku sungguh-sungguh bersyukur bisa terlahir di tengah keluarga ini, mendapatkan orang tua seperti papa dan mamaku. Keduanya mematahkan stigma yanb orang-orang punya soal keluarga "beruang". Meskipun merupakan seorang pemimpin sebuah grup perusahaan besar, Papa selalu memiliki waktu untuk kami. Papa selalu ada di sini.
Siapa pun yang bilang kalau keluarga dengan orang tua sibuk adalah keluarga yang dingin dan penuh keangkuhan, sepertinya mereka belum mengenal keluarga Levine. Di sini, aku tidak merasakan hal yang seperti itu.
Di tumah kami, hanya ada kedamaian, cinta, dan kehangatan. Bisa dilihat dari bagaimana Papa berusaha membuatkan pancake kesukaanku pagi ini demi memperlihatkan dukungannya terhadap aku, urusan sekolah, serta impianku. Bagaimana Mama mengayunkan tubuhnya sesuai dengan alunan musik yang ada di dalam kepala sembari mempersiapkan sarapan untuk Papa. Bagaimana mereka mencuri-curi kesempatan untuk saling bertukar kalimat cinta dan kecupan-kecupan di saat mereka pikir aku tidak bisa melihat.
Gah! Mereka terlalu manis dan membuat gigiku ngilu.
Namun, aku akan memilih mempunyai gigi ngilu seumur hidup jika dibandingkan dengan rasa sakit yang lain yang tidak ada seorang pun yang tahu akan menerpa keluarga kami beberapa waktu kedepan.
***
Delapan bulan kemudian
Aku tidak menyangka bahwa kita bisa merindukan keberadaan orang yang masih ... ada.
Gundah karena menginginkan orang yang sudah tidak ada di sini, yes, aku paham. Dan aku tahu betul akan perasaan itu. Namun, kalau untuk mengharapkan kehadiran orang yang nyatanya masih menginjakkan kaki di sekelilingku ....
No, I didn't know anything would come to that.
Dan aku juga tidak menyangka bahwa aku akan merasakan hal itu pada dua orang yang dari dulu selalu menjadi sesuatu yang konstan dalam hidupku.
You will never know what you have until they're gone.
Kalimat klise di atas ternyata benar adanya. Kita tidak akan pernah tahu apa yang selama sudah ada di dalam genggaman sampai sesuatu itu menghilang.
Hilang.
Sesuatu.
Ya. Semenjak sesuatu itu hilang, satu demi satu hal lain mengikuti hingga akhirnya aku hanya tinggal sendiri di sini, tiada lagi yang menemani. Lagi pula, siapa aku? Aku tidak butuh siapa pun, bukan? Aku tidak bisa mengandalkan siapa pun selain diriku sendiri, bukan?
Another bull-crap cliche words. But, screw them. Whatever the fxck.
Ngomong-ngomong, sepertinya hidup ini tidak akan pernah lepas dari yang namanya jargon-jargon itu karena—aku juga tidak menyangka akan mengatakan dan membahas hal ini—sekarang aku adalah contoh kasus yang paling tepat jika dikaitkan dengan apa yang orang-orang di luar sana rumuskan dengan five stages of grief and loss.
Lima hal yang dihadapi oleh orang-orang yang baru saja kehilangan sesuatu, atau yang lebih tepatnya adalah seseorang, yang paling berharga di dalam hidup mereka.
Penolakan, rasa marah, tawar-menawar, depresi, dan yang terakhir adalah penerimaan.
Well ... yeah. That's ... that.
Come the fxck on, guys. Siapa yang akan dengan mudah menerima sesuatu jika mereka ada di posisiku sekarang? Siapa yang akan dengan gampang menerima kepergian orang yang paling mereka cintai, coba? Siapa? Silakan kasih tahu sama aku siapa yang baru saja ditinggal pergi oleh salah satu orang tuanya, orang yang melahirkannya to be exact and precise, dan langsung menerima keadaan itu dengan lapang dada tanpa ada pemberontakan? Siapa, ha? Coba sini kasih namanya, kontaknya, sekalian dengan alamatnya sama aku! Biar aku samperin dan interogasi dia. Aku mau tanya apa resepnya dalam menerima ketidakadilan seperti ini dalam waktu yang singkat.
Yep. Ketidakadilan.
It's not fair! It's not fxcking fair!
Dan mengingat banyak yang bilang kalau hidup ini adil. Hah! Mana? Mana keadilan itu? Karena aku seratus persen yakin dan tidak menyangka bahwa kepergian satu orang saja dapat memberikan dampak yang begitu besar terhadap hidup orang yang ditinggalkan. Kepergian sosok tersebut dapat membuat hidupku berubah seratus delapan puluh derajat. Atau, apakah aku bisa bilang kalau perubahannya terjadi lima ratus empat puluh derajat? Setelah satu putaran penuh, aku malah harus digolekkan sebanyak setengah lingkaran lagi.
Begitulah kira-kira gambaran ketidakadilan yang kurasakan.
Five stages of bullshxt.
Bagaimana aku bisa melalui kelima fase tersebut kalau satu fase saja rasanya sudah terlalu menenggelamkan selayaknya yang aku rasakan sekarang? Bagaimana aku bisa bertahan untuk mengarungi lima fase tersebut kalau belum-belum aku rasanya sudah ingin mati saja?
Lima fase sialan! Aku tidak butuh lima fase itu. Aku tidak butuh semua tahapan-tahapan itu. Yang aku inginkan hanya satu dan satu saja.
Just ... care for me.
Help me.
Love me.
Please!
To be continued ....
Kebekuan merajai udara, terik dan kilau cahaya matahari musim panas tak dapat menandingi hawa dingin yang dibawa oleh malaikat pencabut nyawa. Kental sekali rasa kematian, sehingga, jika mau, setiap orang bisa menjulurkan lidah dan mengecapnya.
"Kita tidak punya banyak waktu lagi. Silakan ucapkan selamat tinggal ...."
Entah apa hak yang orang-orang itu punya karena dengan beraninya mereka menyuruhku melakukan hal yang sama sekali tidak akan pernah kulakukan. Tidak akan pernah. Mereka pikir siapa mereka sehingga bisa mengatur apa yang harus kulakukan seenaknya?
Walaupun dalam hati tidak inggin terima, walau dalam hati aku mendongkol, akan tetapi tetap kutangkup telapak kanan sosok ringkih yang terbaring di depanku itu. Bukan untuk berpamitan, damn it. Aku hanya ingin memegang tangannya lebih lama lagi.
Dia adalah Mama, akan tetapi bukan Mama dalam waktu yang sama. Mamaku tidak begini. Mamaku adalah orang yang sehat, energik, ceria. Kulitnya merona, wajahnya sempurna. Dia seorang balerina, sangat suka menari sambil melakukan pekerjaan rumah. Dia menyiapkan sarapan sambil menari, menghidangkan makan malam sembari menari. Dia dan Papa akan membereskan meja bersama setelah makan, lalu kemudian mereka akan menari.
Sampai suatu hari kala dia merasakan nyeri yang hebat di dada. Papa membawanya ke rumah sakit yang tak lama menjadi kediamannya. Sejak saat itu, tidak ada lagi Mama yang biasa. Tidak ada lagi tariannya. Masakannya. Nyaring gelak tawanya.
Dokter mengaku sudah mengupayakan semua yang mereka bisa. Mama dalam waktu dekat akan menggenapkan usia.
Kanker payudara sudah memaksa Mama menyerah di angka yang terbilang muda, empat puluh empat, meninggalkan suami dan anaknya yang belia.
Mama pergi begitu saja. Satu detik, dadanya masih bergerak tipis naik untuk menghirup udara, lalu turun sececah bersama karbondioksida yang dilepaskan. Sesudahnya, tiada. Tanda kehidupan terakhir yang ada akhirnya ... mereda.
"No, Mama, please, jangan tinggalin Niki, Ma. Please. No. No, no, no, no no no no no. Mama, please, noooooooo!"
Namun, percuma saja meraung, melolong hingga ke langit. Malaikat baru saja menunaikan tugasnya. Roh mama sudah berpisah dengan raga. Mama kini sudah berada di dunia yang berbeda.
Membawa separuh nyawaku.
Membawa segenap kepedulian Papa.
***
Proses pemakaman berlalu dengan ... I don't know. I didn't remember much of that day.
Tidak banyak detail yang kuingat. Karena jelas saja aku tidak ingin mengingat. Hanya, otak ini kukuh menyimpan potret mama/bukan mama dalam balutan gaun berwarna mint favoritnya, muka pucat itu dipoles dengan riasan yang tetap tak bisa menyembunyikan tulang pipi yang mencuat, muka tirus, dan mata yang cekung; tubuh yang hanya tinggal kulit pembalut tulang, rambut yang belum sempat tumbuh setelah treatment terakhir yang mama lalui. Suara isak tak henti papa yang berdiri di sebelah kanan, dan lengan kekar yang setia menopang tubuh sempoyonganku sepanjang hari di sisi kiri.
Tatkala peti mati turun ke liang lahat, lengan itu jualah yang menahan diri ini dari hasrat untuk ikut terbenam bersama mama.
"Shh, Sayang, it's okay. It's gonna be okay. Aku ada di sini. Everything will be okay," bisiknya berulang kali.
***
Terus saja dia membisikkan kalimat-kalimat palsu itu di telingaku. Tidakkah dia sadar bahwa tidak akan ada yang baik setelah ini? Bahwa Mama telah membawa semua kebaikan pergi? Tidakkah dia berpikir aku pun tak ingin hancur begini? Bahwa aku juga merindu damai di dalam diri?
"Aku tahu, Sayang, aku tahu. Tapi, kamu harus yakin kalau suatu saat kamu akan baik-baik saja. Ya? Dan aku akan selalu ada di samping kamu untuk memastikan itu." Didekapnya aku erat-erat.
Kubalas rangkulannya tak kalah ketat. Sangat putus asa mencari ketenangan, kenyamanan, dalam bentuk apa pun yang bisa kudapat. "Kamu janji?" lirihku di antara isak. "Kamu janji, apa pun yang terjadi, kamu akan selalu ada di sini? Kamu gak akan pergi?"
Tanpa ragu, dia menyegel takdirnya dengan kisahku yang kelabu. "Aku janji."
***
Pemuda itu menepati janjinya. Keberadaan hangatnya yang konstan, kuatnya yang setiap saat bisa aku gunakan, kepribadiannya yang ringan selalu dapat mengubah suasana menjadi menyenangkan.
Bahkan saat-saat di mana aku merasa bahwa hari itu aku tidak hanya mengubur Mama, akan tetapi juga Papa. Satu-satunya sosok orang tua yang kupunya malah menenggelamkan dirinya ke lembah kesibukan perusahaan. Meninggalkan aku yang akan masih terhuyung, jika tidak ada si pemuda.
"Hey, Kay?" panggilku suatu waktu, ketika dia sedang asyik memainkan PlayStation 4, dan aku sedang setengah berbaring di antara kedua kakinya.
"Hm." Dia bergumam, matanya masih terpaku ke layar di depan.
"Sejak kapan aku dan kamu menjadi kita?" tanyaku pada dadanya.
Seketika suara yang keluar dari speaker televisi berhenti, ruang kamar sekonyong-konyongnya diselimuti keheningan. Lamun, bukan keheningan yang mencekam seperti saat Mama akan pergi. Keheningan ini ... terasa agak berbeda dikarenakan percikan-percikan antisipasi di udara.
Kayden menegakkan tubuh, membawaku sekalian bergerak bersamanya. Dia kemudian memutar badanku dengan mudah, sehingga posisi kami kini saling berhadapan, aku kini duduk di atas pahanya. Ditatap mataku dalam-dalam. "Nikita Bliss Levine, kalau boleh jujur, aku udah suka sama kamu semenjak kamu pindah ke rumah sebelah.
"Aku ingat banget waktu itu kamu pakai baju monyet, rambut dikuncir dua sama pita warna kuning. Aku lagi main bola di halaman, lalu tiba-tiba aja muncul monster bergigi ompong ini ngotot mau main sama aku. Aku tolak, kamu jorokin aku sampai lutut aku gores dan berdarah. Eh, malah kamu yang nangis duluan. Pas aku tanya, kamu masih ingat kamu jawab apa?"
Dia tidak membiarkanku menjawab.
"Kamu bilang, kamu gak bermaksud bikin aku jatuh dan sakit. Kamu cuma mau maksa aku buat izinin kamu ikut main. Karena kamu gak akan pernah menyakiti orang lain dengan sengaja.
"Kalimat itu nempel banget di kepala aku sampai sekarang, Niki. Dan, semakin lama, semakin kenal kamu, aku semakin yakin sama perasaan aku. Tambah lagi kamu gak pernah nolak pas Bokap dan Nyokap sering bercanda soal perjodohan kita waktu makan malam bareng. Yaaa Aku anggap kamu juga mau dijodohin sama aku." Dia lalu mengedikkan bahunya.
Aku masih ingat hari-hari membahagiakan itu.
"Jadi, ya, gitu deh," simpulnya sambil mengangkat bahu.
Kupandangi setiap lekuk wajahnya; bekas luka yang ada di keningnya, tepat di garis rambut, sepanjang kira-kira lima sentimeter yang dia dapat ketika jatuh dari pohon di belakang rumahku; sudut bibir, pipinya; semuanya. Penjelajahan berakhir di titik mata biru itu. Mata yang tak pernah gagal menampilkan emosi yang dirasakannya. "Dan kamu serius soal janji kamu?"
Dia mengangguk mantap. Tentu saja kedua manik jernih itu memancarkan kesungguhan yang sama.
"Okay," ungkapku di kesudahannya.
"Okay?" tanyanya memastikan, akan tetapi tak berusaha sedikit pun menyembunyikan kebahagiaan yang menarik bibirnya membentuk sebuah senyuman.
"Okay," yakinku sambil melingkarkan lengan di sekeliling lehernya.
Kayden membalas pelukan dengan melilitkan lengannya erat di pinggangku.
Okay. Everything's gonna be okay seperti yang dia janjikan.
Andai saja ada yang mengingatkan aku bahwa terkadang janji hanya sebatas kata-kata.
To be continued ....
Cewek Gak Jelas
Dua tahun kemudian
Kami sedang membahas tentang pertandingan nanti sore ketika sebuah suara tetiba saja menggema di gedung olahraga, mengalahkan percakapan heboh yang dilakukan oleh lima belas gadis dalam waktu yang hampir bersamaan.
"Nikita, ke kantor saya. Sekarang juga!"
Sontak keheningan menjelma, dan semua mata tertuju ke arah sumber suara. Mrs. Lekovich masih berdiri di ambang pintu ruangannya, berkacak pinggang, dengan air muka yang sangat serius.
Uh oh. Jelas itu bukan pertanda bagus.
Isobel, Mariana, dan Paulina melirikku. Mata mereka menyiratkan rasa ingin tahu. Aku hanya mengangkat bahu dan terus mengelap keringat yang mengalir di tengkuk dan leher dengan handuk yang dari tadi tergeletak di atas tas. "Kalian duluan aja," perintahku sebelum berjalan ke arah pelatih kami yang auranya kini bertambah angker.
"Tutup pintunya sekalian," titah wanita tiga puluh tahunan itu tanpa melihat padaku saat aku membuntutinya dari belakang.
Aku tidak mempunyai pilihan lain selain menurut.
"So, Nikita," mulai Mrs. Lekovich tanpa basa basi setelah mengenyakkan tubuh ke atas kursi kerjanya di seberang kursi yang kududuki. "Ibu baru dapat kabar dari penasehat akademik. Katanya nilai kalkulus-mu jauh di bawah standar."
Oh, shxt.
"Dan Ibu yakin kamu tahu apa artinya kalau kamu tidak segera memperbaiki hal ini."
"Coach, aku ...." Sorot mata Mrs. Lekovich yang tajam seperti biasa berhasil membungkam siapa saja yang menjadi sasarannya.
"Miss Remington bilang kalau kamu bisa mencari tutor. Dan, kalau kamu tanya pendapat Ibu, kamu harus mencari seorang tutor." Wanita itu kemudian meletakkan kedua lengannya di atas meja, tubuhnya menjadi condong ke depan. Dia menekankan kata harus dengan intonasi, ekspresi, dan ujung telunjuk yang ditekankan ke atas permukaan meja. Sambil menatapku lekat, dia di kalakian berkata, "Temukan tutor itu segera, Niki. Perbaiki kekacauan ini dengan cepat. Sebelum Ibu harus menskorsmu dari tim. Walaupun kita sama-sama tahu bahwa tidak ada yang lebih baik darimu di tim itu, Ibu tetap akan melakukannya. Karena kamu, sebagai kapten dan seorang senior, harus bisa menjadi contoh bagi anggota tim dan siswa lain di sekolah ini. Kamu mengerti?"
Aku mengangguk.
Mrs. Lekovich kemudian menyuruhku ke luar.
Dengan senang hati aku meninggalkan ruangan yang mulai terasa menyesakkan itu.
***
Namun, "senang" bukanlah kata yang tepat untuk menggambarkan suasana hatiku kini. Aku seharusnya sadar bahwa tidak ada yang bisa disembunyikan dari pihak sekolah, terutama masalah nilai. Aku seharusnya tidak membiarkan masalah ini.
Hal ini seharusnya tidak pernah terjadi.
Dxmn you, calculus!
Aku berusaha menahan kekesalan yang membuncah setelah pertemuan dengan Mrs. Lekovich. Marina dan Paula memahami ada sesuatu yang tidak beres dan memberiku ruang. Namun, Isobel sepertinya tidak bisa membaca suasana.
Atau cara berpikirnya saja yang agak lamban dalam mencerna kondisi.
Dia mengintiliku sesaat setelah berganti pakaian. "Lo ga apa-apa, Nik?" tanya Isobel dengan suara lembutnya.
Aku menggerutu dalam hati. Ini anak cantik-cantik sayangnya oon, ya! Gak lihat apa orang lagi gak mau diganggu?
"Tadi pelatih ngomong apa sama lo? Kok muka lo jadi kusut gitu habis dari sana?" desaknya lagi.
Aku menanggapinya dengan diam seraya terus merapikan pita yang mengikat rambut cokelat keemasanku di puncak kepala.
"Nik, Niki! Lo kok diam aja, sih? Ayo, dong, cerita sama gue. Kan gue juga pengin tahu!"
Dan gue pengin banget lo tutup tu bacot! Tapi, aku berhasil menguasai diri sehingga bukan kalimat itu yang melompat keluar dari mulut. "Apaan sih, Is? Lo urus aja kepangan rambut lo yang masih mencong itu!"
Well.
Matanya terbelalak mendengar jawaban ketus dariku. Tak lama, bibirnya mulai bergetar.
Shxt. Ini anak cengeng banget lagi, ah!
Aku menghela napas panjang, mencoba mengendalikan diri bersamaan dengan situasi ini. "Sorry, Is, gue gak bermaksud marah sama lo. Gue cuma lagi repot aja," kilahku sambil memberikan isyarat ke sekeliling. "The Lions mau tanding. Kita mau tampil. Gue gak mau fokus gue pecah. Nanti, habis ini, gue kasih tahu. Oke?"
Seperti anak kecil, dia mencebik. Isobel lalu mengangguk lemah.
Waktu, cepatlah berlalu.
***
Adegannya terlalu familier.
The Lions menang—tim Palisades High tidak punya kesempatan sama sekali, kemudian kami mengganti baju di ruang ganti, dan konvoi menuju ke rumah Kayden—yang berarti juga menuju ke arah rumahku. Kami minum, nge-dance, "bermain-main", kemudian minum lagi, joget lagi, "bermain-main" lagi.
Di lapangan, pertandingan dan cheerleading bisa mengalihkan perhatianku. Di sini, kegembiraan yang diciptakan Kay menjadi penggantinya. Aku bisa berlagak bahwa hari ini hidupku baik-baik saja.
Sampai Isobel memecah semua kesenangan itu dengan pertanyaannya. "So, Niki, ceritain dong ke kita-kita kenapa lo dipanggil sama Mrs. Lekovich tadi sore?"
Kurasakan tubuhku menegang, tidak menerima invasi yang dilakukan oleh gadis yang biasanya pemalu itu. Suaranya yang lembut, dan cara bicara yang sering terkesan ragu-ragu, barusan terdengar berkebalikan. Seperti sebuah tantangan.
Lengan Kayden yang sedari tadi melingkari pinggangku ikut meregang. Tetapi, dia tidak melakukan apa-apa soal itu. Dia lebih memilih untuk memperhatikan terlebih dahulu.
"Maksud lo?" Aku balik bertanya dengan sebelah alis terangkat setelah sekilas melihat gelas di tangan Is.
She's drunk.
Aku memutar bola mata. Udahlah. Ngapain juga diladeni. Cewek lagi gak sadar banget ini. Besok dia juga lupa sama kelakuannya.
Tanpa menghiraukan Is, aku menoleh pada pacar yang sedang memangkuku. "Kay, aku mau pulang."
Dan dengan demikian, pesta perayaan kemenangan The Lions berakhir sampai di sana.
***
Rumahku dan Kayden sebenarnya bersebelahan. Akan tetapi, dengan adanya halaman seluas kira-kira seratus atau dua ratus meter di antara kedua buah bangunan, dan ini sudah lewat tengah malam, Kay mengantarku menggunakan mobilnya.
"Kamu oke, Yang?" usutnya sambil meraih tanganku.
Aku mendesah.
"Kok kamu gak cerita sama aku?" Secercah kecupan mendarat di punggung tangan yang digenggamnya . "Kamu kan tahu kamu bisa cerita apa aja sama aku."
Aku mendesah lagi.
"Yang," bujuknya pula. Saat itu mobil sudah berhenti di depan rumahku. Kay melongok. "Gak ada orang di rumah, ya? Papa mana?"
Pertanyaan-pertanyaan itu tidak diucapkan Kayden dengan nada ingin tahu remaja yang bermaksud mengambil kesempatan dalam ketiadaan sosok orang tua. Sebaliknya, Kay mengutarakan pertanyaan itu karena benar-benar ingin tahu. Malahan ada sedikit nada sedih di balik suaranya.
"Tadi Mrs. Lekovich panggil aku soal nilai kalkulus," ungkapku tiba-tiba.
Kayden menatapku sejenak sebelum mengikuti taktik pengalihan isuku. "Shxt, Yang. That's sxck. Terus?"
"Aku disuruh nyari tutor. Kamu tahu gimana kalau nilai aku gak berubah pas ujian nanti."
Dia berputar sedikit sehingga kini tubuhnya menghadap padaku. "Udah dapat?"
Aku menggeleng. "Belum sempat nyari. Kan tadi masih sibuk."
"Oke, oke. Hm ...." Kay menopang lengan kirinya ke setir dan mengetuk-ngetukkan jarinya di sana. "Ah!" serunya tak berapa lama. "Aku sekelas sama si Songong. Dia pasti bisa ngajarin kamu."
"Si Songong?" ulangku, tak begitu yakin dengan siapa yang dimaksud oleh Kay. "Emang dia mau?"
Dia meremas tanganku sekali sebelum kembali mendaratkan kecupan di sana. "Udah, biar aku yang urus. Kamu tenang aja, oke? Gak usah sedih lagi."
Tatapannya lembut, selembut suaranya yang berhasil menenangkan sebagian kegalauan. "Thanks, Sayang," bisikku sambil menghambur ke dalam pelukannya.
"Anything for you."
Kayden James Ford benar-benar rela melakukan semuanya untukku.
To be continued ....
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!