Percayalah, aku sudah mencoba. Setidaknya untuk tiga puluh menit pertama. Saat Papa dengan senyum selebar Texas memperkenalkan aku pada kekasih dan anaknya secara "resmi", lalu mempersilakan mereka menuju ruang makan. Meja yang bisa menampung enam belas orang sekaligus itu untuk pertama kalinya dipakai setelah kepergian Mama. Saking lamanya, aku tidak ingat kapan kali terakhir keluarga Levine makan malam bersama di sini.
Aku masih bisa bertahan saat Mrs. Crane masih mondar-mandir menyajikan santapan makan malam, sementara Papa beramah-tamah dengan tamu spesialnya tanpa memedulikan keberadaanku. Nafsu makan yang sudah di titik nol semakin surut hingga bernilai nauh di minus sejuta.
Damn, aku tidak menyangka baru saja memakai istilah matematika. I must be crazy.
Maybe I am.
Namun, tetap kupaksakan melahap potongan daging domba panggang itu. Kukunyah *****-***** seraya membayangkan yang bahwa dialah yang ada di dalam mulut. Menu favorit papa ternyata cocok juga dijadikan pelampiasan emosiku.
Kuakui, menjadi pemirsa dari drama keluarga yang dibintangi oleh papa dan kedua penyusup ini sungguh menggondokkan. Gondok yang pada akhirnya meletus tatkala si wanita—aku tidak sudi menyebut namanya—mencoba mengikutsertakanku dalam percakapan, berlagak seperti kehadiran mereka diterima di rumah ini.
Not a chance, Snake.
Tak akan kubiarkan hal itu terjadi.
***
"Nik! Nikita!"
Papa menyambar dan mencengkram pergelangan tanganku. Sentuhannya yang lembut namun tegas membuat langkahku terhenti. Secepat kilat aku berbalik menghadap pria paruh baya yang seharusnya mencintaiku lebih dari apapun itu. "Apa, Pa?" tanyaku sambil menatap lurus ke manik cokelat yang balik menantang.
Bahu papa yang besar naik-turun seiring dengan helaan napasnya yang terengah. "Kamu sudah keterlaluan, Nikita!" bentaknya. "Kamu seharusnya bisa bersikap lebih sopan lagi di depan Sarah dan Leon."
Kusentakkan pegangan tangan papa. Mendengar kedua nama itu membuat ubun-ubun semakin menggelegak.
"Leon itu baru sepuluh tahun. Dia sedang dalam masa memperhatikan dan meniru orang-orang dewasa di sekitarnya. Kamu harus bisa menjadi contoh yang baik buat dia," lanjut Papa, entah buta atau hanya tidak mau melihat reaksi kalimat-kalimat yang keluar dari mulutnya sebabkan terhadapku.
Aku mendengkus dengan kedua tangan bersilangan di depan dada. "Kenapa aku harus peduli sama dia, Pa?" sahutku tak habis pikir. Jangan bercanda, aku tidak ingin berurusan dengan salah satu dari mereka, apalagi keduanya.
Komentar acuh dariku berhasil menyulut emosi papa. Amarah yang tadinya masih sampai dada kini naik ke kepala. Napasnya semakin memburu. Cuping hidungnya kembang kempis beberapa kali sebelum dia menjawab. "Kenapa? Kamu tanya kenapa? Kamu sudah tahu jawabannya. Karena Papa dan Sarah berkencan, Nikita!"
Mendadak makan malam yang barusan kusantap naik lagi ke kerongkongan. Rasanya ingin muntah setelah Papa mengucapkan kalimat yang tidak pantas keluar dari mulut pria manapun yang sudah berusia empat puluh tahun lebih. Terlebih lagi papa. "Terus kenapa kalau Papa berhubungan dengan wanita itu? Hubungan kalian jelas gak ada hubungannya sama Niki!"
Mata papa menajam, bolanya berkilat penuh kemurkaan. "Jangan bercanda kamu, Nikita," geramnya.
Aku tidak menyukai kilat itu. Aku tidak menyukai pertengkaran ini. Di rumah keluarga Levine bahkan tidak pernah terjadi kegaduhan sebelumnya. Dan sekarang, saat ada orang asing masuk, hal itu berubah seratus delapan puluh derajat. Aku lebih tidak suka. Semua ini salah perempuan itu.
"Siapa yang sedang bercanda, Pa? Siapa? Kalaupun ada, yang jelas orang itu bukan aku, melainkan orang yang menjalin hubungan dengan sekretarisnya sendiri! Bukannya ada peraturan perusahaan yang melarang hal seperti itu terjadi?
"Lagian, wanita seperti apa yang menggoda atasannya saat jelas-jelas Papa sedang berkabung sepeninggal Mama. Dia cuma mau kekayaan Papa! Dia cuma mau memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan ini, Pa!"
Lengkingan suaraku diimbangi oleh tingginya suara papa. "Jaga omongan kamu, ya! Dan ini bukan hubungan main-main. Suatu saat, cepat atau lambat, Leon akan jadi adik kamu!"
What. In. The. Actual. Hell?
Seketika semuanya berhenti. Seketika semuanya menjadi hening. Seketika saja. Sampai kata-kata tersebut berhasil diserap oleh otak. Dan seketika itu juga aku meledak. "Papa harus sadar, Pa! Sarah itu gak lebih dari seorang janda penggoda! Cewek murahan yang cuma pengin uang papa aja!"
Kepalaku spontan bergerak mengikuti dorongan yang tiba-tiba saja terasa. Tahu-tahu wajahku sudah menoleh ke kanan. Seperti kilat, telapak tangan papa melayang dan menghantam tulang pipiku yang mulai terasa panas.
Jari jemari meraba permukaan kulit yang nyeri. Perihnya terasa sampai ke dalam hati.
Pelan-pelan kukembalikan tatapan pada matanya yang kini membesar. Mulutnya menganga, terbuka lalu tertutup penuh rasa tidak percaya.
Ya, Pa. Aku juga tidak percaya kalau Papa baru saja menamparku.
Papa, laki-laki yang sedari kecil selalu menjadi idolaku, cinta pertamaku, raja bagi seorang puteri sepertiku, pria paling tampan di mataku, kini terlihat sangat tidak menawan.
Aku tidak ingin melihat wajah itu.
"Niki!"
Suara berat Papa mengiring langkah terburuku menaiki tangga.
"Nikita!"
Tak kuhiraukan emosi yang menggetarkan suaranya, yang merambat dalam udara di antara kami. Aku bisa merasakan campuran emosi menguasai papa begitu besar, tapi entah kenapa sesuatu di dalam diriku tak gentar.
Sesuatu yang terjaga karena tamparan tadi.
"Nikita Bliss Levine ! Kamu gak dengar Papa?"
Bantingan pintu kamarku menjadi jawaban pertanyaan itu.
Seketika suara gedoran menggantikan. "Nikita! Keluar dari kamar!"
No way!
"Nikita, keluar sekarang juga!"
No! Papa jahat! I hate you!
Perempuan sialan!
Kukepal kedua tangan erat-erat, kukatup rahang dengan kuat. Amarah yang membuncah di dalam dada membuat sekujur tubuhku bergetar, memaksa hendak keluar. Tapi, aku masih berusaha untuk menahan.
Pintu masih saja digedor.
Papa masih saja berteriak.
Pipi berdenyut-denyut.
Rasa panasnya menjalar dan membakar mata, hingga melelehkan satu, dua, tiga rasa keras hati yang sudah mendarah daging.
Get a grip, Nik! hardikku dalam hati pada diri sendiri.
"Nikita! Buka pintu ini atau ...." Papa tiba-tiba menghentikan ucapannya.
Atau apa, Pa? Atau apa? Mau tampar aku lagi? Kenapa berhenti? Kenapa diam?
Lalu, dari balik pintu, sayup-sayup terdengar suara lembut khas wanita.
Perempuan sialan itu! Bukannya mereka sudah pergi?
Aku tidak tahu kalau kepalan tangan ini bisa lebih erat lagi.
Mereka berbisik, Papa dan dia bergantian berbicara, sebelum akhirnya hening yang diikuti dengan langkah-langkah menjauh dari depan kamarku.
Kenyataan bahwa Papa bisa meredam emosinya demi wanita itu tidak lepas dari perhatian. Kenyataan bahwa papa marah padaku karena keberadaan wanita itu juga tak luput dari sorotan.
Kenyataan bahwa aku adalah anak kandungnya, dan akulah yang diacuhkan menjadi minyak bagi hati yang sudah membara ini.
Kuhamburkan tubuh ke atas tempat tidur. Dengan bantal menutupi wajah, kulepaskan segala sesak di dada. Kutumpahkan semua kecewa. Kuteriakkan rindu yang sudah di puncak kepala.
Hingga tiada yang ada selain aku dan rasa sakit ini.
To be continued ....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 55 Episodes
Comments
Yuyu
sedih banget woi
bapaknya bikin emosi. demi urusan perempuan aja rela nyakitin anak sendiri
2023-06-02
0