4. I Wonder Why

Keesokan harinya, aku dikejutkan oleh ketukan di pintu kamarku.

"Nikita, kamu udah bangun?"

Awalnya aku sempat ragu dengan pendengaran, akan tetapi ketika aku hendak mengoles kembali cat kuku Yellow Sunshine! yang baru kubeli, ketukan lagi-lagi terdengar.

"Niki? Nikita?"

Papa?

Bergegas aku membuka pintu menggunakan siku, karena cat yang belum mengering di kuku tanganku. Akhir-akhir ini papa memang jarang sekali berada di rumah. Kalaupun ada, paling juga hanya singgah sebelum berangkat ke pertemuan selanjutnya, proyek sesudahnya, atau keperluan setelah itu. Dia juga tidak sering menelepon. Kerap kali aku menerima informasi tentang keberadaan Papa dari asisten rumah tangga kami. Oleh sebab itu, mendapati Papa berada di sini akhir minggu ini sungguh membuat hatiku melambung.

Akan tetapi, bukannya disambut oleh muka berseri penuh suka, malah kebekuan yang ada di wajah papa. Kegembiraan yang kurasa tadi sekonyong-konyong meluntur.

"Papa," sapaku dengan hati yang patah.

"Kamu lagi sibuk?" tanya Papa sambil mengedarkan pandangan ke dalam kamarku sekilas. "Kalau enggak, kita bisa bicara sebentar? Papa tunggu di ruang tengah." Kemudian dia berbalik dan pergi begitu saja.

***

Segenap interaksi yang terjadi dengan Papa terasa seperti sebuah pertemuan bisnis semenjak kepergian Mama. Mendiang Rosa Lili-Anne Levine tidak diragukan lagi adalah perekat keluarga ini, dan ketiadaannya membuat dua orang yang tersisa, pecah. Kepingan-kepingan kami terbaur, ukurannya yang sangat kecil terlalu membingungkan sehingga aku dan Papa memilih untuk mengabaikan kenyataan. Dan berpegang pada rasa masing-masing.

Aku, yang kian hari kian tak merasakan kehadiran papa. Dan Papa, yang entah kini merasakan apa.

"So, Niki ...."

Aku mulai mengutuk dua kata itu berdampingan. "So" dan "Niki", dituturkan dengan nada yang sama oleh Mrs. Lekovich dan kini Papa. Oh, ya! Si Kepo Isobel juga. Sialan.

Papa duduk di sofa sementara aku memutuskan bahwa love seat adalah tempat yang tepat bagiku. Masih memakai setelan kerja, tanpa jas, lengan kemeja digulung, Papa menelekan kedua siku di atas lutut, jari jemarinya bertaut. Raut mukanya masih masam.

Aku menundukkan kepala, dan memutuskan untuk membisu.

"Papa dapat telepon dari Miss Valencia. Katanya kamu gagal dalam mata pelajaran kalkulus."

Aku sudah punya gambaran soal apa yang menjadi pokok pembicaraan. Namun, cara Papa mengucapkan gagal membuatku merasa bahwa aku adalah orang yang paling tidak becus di seantero dunia. Gagal. Wow. Sejak kapan kata itu menjadi begitu tajam?

Apakah kita tidak akan mengawali percakapan ini dengan pelukan, lalu pertanyaan 'gimana kabar kamu, Sayang? Papa kangen sama kamu. Maafin Papa yang jarang ada di rumah. Pasti kamu kesepian, ya?', dan kecupan di dahi? Atau, sedikit basa-basilah, Pa. Sebuah komentar soal cuaca. Atau situasi politik. Harga saham. Perdamaian dunia. No?

Okay, then.

"Dan dia bilang kalau kamu gak bisa memperbaiki keadaan, kamu akan dikeluarkan dari tim."

Ouch! Satu tusukan lagi, tepat di hati. Skornya sekarang 2-0. Papa dua, Nikita nol.

"Kamu sudah temukan solusi masalah ini?"

Karena pertanyaan tersebut dilontarkan dengan sangat formal, tanpa adanya rasa kedekatan yang tidak disangkal melahirkan rasa perih yang lain, dengan ini aku umumkan bahwa skor menjadi 3-0.

"Niki, kamu dengar pertanyaan Papa?"

Kuatur rasa yang berserakan sehingga aku yakin serpihannya tak kan muncul di wajah. Pelan-pelan kuangkat kepala dan berdeham, menelan kembali perasaan yang menyekat tenggorokan sebelum menjawab, "Niki dengar, Pa."

"Dan?"

4-0.

"Niki udah punya tutor." Kay memang sudah berjanji untuk membantu, akan tetapi aku tidak tahu apakah perkataanku barusan benar adanya. Siswa yang disebutnya si Songong saja masih tak terbayang olehku seperti apa bentuknya.

Akan tetapi, Papa tidak perlu tahu soal itu.

Selagi bermonolog dalam hati, Papa menggosok kedua telapak tangannya lalu mengembuskan napas. Lega. "Good, good," komentarnya sambil lalu. "Sekarang Papa mau kasih tahu kamu sesuatu."

Ng ... what? Jadi kita duduk di sini bukan mau bahas masalah nilai aku, Pa? Itu cuma kata pengantar aja sebelum masuk ke pokok pembicaraan?

Wow. Papa hebat. Udah cetak 5-0 aja dalam sekejap.

"Papa undang seseorang untuk makan malam di sini."

Wait, what? Papa bilang apa barusan? Apa aku gak salah dengar?

Dan, apakah itu senyum yang ada di bibir papa?

"Dia adalah orang terpenting yang ada di dalam hidup Papa sekarang."

Kalimat itu tak pelak membuatku tersentak. Goncangannya mengakibatkan sesuatu dalam diriku terlepas.

Andai saja Papa bisa dengar bunyi hati aku yang baru saja jatuh ke lantai.

Aku menunggu papa menarik kata-katanya barusan. Namun, tidak. Tidak terjadi. Benar kata orang, harapan hanyalah angan-angan.

Ya Tuhan. Serius, Pa? Orang terpenting di dalam hidup Papa akan datang ke rumah ini nanti? Bukankah seharusnya orang terpenting itu yang sudah ada di dalam sini?

"Dia dan anaknya akan datang, dan Papa harap kamu bisa bersikap sopan di depan mereka."

Dia dan anaknya? Anaknya? Papa mau mengurusi anak orang lain sementara Papa menelantarkan darah daging Papa sendiri?

Dan Papa minta aku untuk bersikap sopan? Coba kasih tahu aku, Pa, gimana caranya aku bisa sopan sama orang yang belum ada di sini aja udah bikin aku hancur! Kasih tahu aku gimana cara bersikap sopan di saat hati aku perih seperih-perihnya, Pa!

"Kamu ingat Sarah?"

Saat itulah semuanya tiba-tiba berhenti. Waktu. Bumi. Jantungku.

"S-siapa?"

"Sarah, sekretaris Papa," timpal Papa enteng. Senyum itu masih bertengger di bibirnya. Wajah yang tadi dilipat kini terbuka, berbinar saat berbicara soal wanita lain.

Dan anak yang lain.

Pernah pergi ke arkade? Terbayang, kan, bagaimana tiket terus saja keluar ketika kamu bermain di sebuah mesin undian dan mendapatkan jackpot?

Aku rasa, tanpa sepengetahuanku, aku tengah mendapatkan jackpot itu. Atau untuk lebih tepat, papa memberikannya padaku. Namun, jackpot ini ada dalam bentuk rasa sakit, karena dari tadi pedih tidak henti-hentinya menghampiri. Bertambah hal yang dibicarakan papa, berimbuh pula nyerinya.

Jackpot.

Yeay! Hashtag sarkasme mode on.

"Kamu mengerti, Nikita?"

Tahu-tahu, rasa khas darah sudah meledak di dalam mulut, membangunkan lidah sekaligus menyadarkan aku dari usaha pengendalian emosi yang ternyata sudah kulakukan dari tadi. Aku yakin bagian dalam pipiku kini cabik karena kugigit kuat-kuat.

Bertambah lagi sakitku.

Kutelan ludah bercampur darah itu. Rasanya lebih mendingan daripada yang diderita batin ini.

"Nikita, kamu mengerti apa yang Papa katakan?"

Entah apa yang memberiku kekuatan untuk mengangguk.

Papa menghela napas lega. "Oke, thanks, Niki. Papa—"

Bel yang terletak di pintu depan berbunyi.

Bunyinya menggema sampai ke dalam dada yang kini kosong. Tempat hatiku sebelum pecah berderai.

Seperti aku tadi, Papa bangkit dan bergegas menyongsong kedua tamu pentingnya. Meninggalkan aku.

What's new, anyway? Aku sudah biasa ditinggalkan.

Dan itu membuatku membenci rasa yang melekat saat menjadi yang tertinggal.

Oh! Ingatkah kelegaan yang Papa rasakan saat percakapan kami berakhir? I wonder why.

Setidak penting itukah aku, Pa?

To be continued ....

Terpopuler

Comments

Yuyu

Yuyu

dasae bapak kurang ajar

2023-06-02

0

lihat semua
Episodes
1 1. Prolog
2 2. Everything's Gonna Be Okay
3 3. Cewek Gak Jelas
4 4. I Wonder Why
5 5. Sakit
6 6. What the Fudge?
7 7. Spoke Too Soon
8 8. The Magic of Kayden
9 9. Sonofabxtch
10 10. Hard Truth
11 11. Last Chance
12 12. Your Personal Cheerleaders
13 13. Loch Ness Monster in the Library
14 14. Alibi
15 15. What Do You Want?
16 16. What is Wrong with Me?
17 17. Have A Good Day
18 18. Bersamanya
19 19. Gak Usah Ragu
20 20. Camkan Itu
21 21. Eyes Wide Open
22 22. Here We Go Again
23 23. It Hurts
24 24. Daaaang
25 25. Miracle does Happened in Rockefeller
26 26. Becky
27 27. Me Too
28 28. Awas Aja
29 29.l Ah, Marinal
30 30. That's Not Why
31 31. It Takes Two to Tango
32 32. Look at Me
33 33. Jangan Ngadi-Ngadi
34 34. Judge A Book by Its Cover
35 35. Pengakuan yang Bikin Nyelekit
36 36. Starbxcks is the New War Zone
37 37. Please, Stop
38 38. Wish You Were Here
39 39. I Love You, I'm Sorry
40 40. Perfect
41 41. Bahasa Laki-Laki
42 42. Theory, Theory on the Wall
43 43. Seuprit Demi Seuprit
44 44. Kayden, the Jayus-Man
45 45. Not-So Lounging at Lounge
46 46. You are My Life
47 47. I Don't Want A Dream
48 48. Let's Face It
49 49. Ah, No
50 50. Princess Treatment
51 51. Salah Orang
52 52. Ada Apa dengan Kita?
53 53. Beckham's Layers
54 54. Okay
55 55. It Ends with This
Episodes

Updated 55 Episodes

1
1. Prolog
2
2. Everything's Gonna Be Okay
3
3. Cewek Gak Jelas
4
4. I Wonder Why
5
5. Sakit
6
6. What the Fudge?
7
7. Spoke Too Soon
8
8. The Magic of Kayden
9
9. Sonofabxtch
10
10. Hard Truth
11
11. Last Chance
12
12. Your Personal Cheerleaders
13
13. Loch Ness Monster in the Library
14
14. Alibi
15
15. What Do You Want?
16
16. What is Wrong with Me?
17
17. Have A Good Day
18
18. Bersamanya
19
19. Gak Usah Ragu
20
20. Camkan Itu
21
21. Eyes Wide Open
22
22. Here We Go Again
23
23. It Hurts
24
24. Daaaang
25
25. Miracle does Happened in Rockefeller
26
26. Becky
27
27. Me Too
28
28. Awas Aja
29
29.l Ah, Marinal
30
30. That's Not Why
31
31. It Takes Two to Tango
32
32. Look at Me
33
33. Jangan Ngadi-Ngadi
34
34. Judge A Book by Its Cover
35
35. Pengakuan yang Bikin Nyelekit
36
36. Starbxcks is the New War Zone
37
37. Please, Stop
38
38. Wish You Were Here
39
39. I Love You, I'm Sorry
40
40. Perfect
41
41. Bahasa Laki-Laki
42
42. Theory, Theory on the Wall
43
43. Seuprit Demi Seuprit
44
44. Kayden, the Jayus-Man
45
45. Not-So Lounging at Lounge
46
46. You are My Life
47
47. I Don't Want A Dream
48
48. Let's Face It
49
49. Ah, No
50
50. Princess Treatment
51
51. Salah Orang
52
52. Ada Apa dengan Kita?
53
53. Beckham's Layers
54
54. Okay
55
55. It Ends with This

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!