Keesokan harinya, aku dikejutkan oleh ketukan di pintu kamarku.
"Nikita, kamu udah bangun?"
Awalnya aku sempat ragu dengan pendengaran, akan tetapi ketika aku hendak mengoles kembali cat kuku Yellow Sunshine! yang baru kubeli, ketukan lagi-lagi terdengar.
"Niki? Nikita?"
Papa?
Bergegas aku membuka pintu menggunakan siku, karena cat yang belum mengering di kuku tanganku. Akhir-akhir ini papa memang jarang sekali berada di rumah. Kalaupun ada, paling juga hanya singgah sebelum berangkat ke pertemuan selanjutnya, proyek sesudahnya, atau keperluan setelah itu. Dia juga tidak sering menelepon. Kerap kali aku menerima informasi tentang keberadaan Papa dari asisten rumah tangga kami. Oleh sebab itu, mendapati Papa berada di sini akhir minggu ini sungguh membuat hatiku melambung.
Akan tetapi, bukannya disambut oleh muka berseri penuh suka, malah kebekuan yang ada di wajah papa. Kegembiraan yang kurasa tadi sekonyong-konyong meluntur.
"Papa," sapaku dengan hati yang patah.
"Kamu lagi sibuk?" tanya Papa sambil mengedarkan pandangan ke dalam kamarku sekilas. "Kalau enggak, kita bisa bicara sebentar? Papa tunggu di ruang tengah." Kemudian dia berbalik dan pergi begitu saja.
***
Segenap interaksi yang terjadi dengan Papa terasa seperti sebuah pertemuan bisnis semenjak kepergian Mama. Mendiang Rosa Lili-Anne Levine tidak diragukan lagi adalah perekat keluarga ini, dan ketiadaannya membuat dua orang yang tersisa, pecah. Kepingan-kepingan kami terbaur, ukurannya yang sangat kecil terlalu membingungkan sehingga aku dan Papa memilih untuk mengabaikan kenyataan. Dan berpegang pada rasa masing-masing.
Aku, yang kian hari kian tak merasakan kehadiran papa. Dan Papa, yang entah kini merasakan apa.
"So, Niki ...."
Aku mulai mengutuk dua kata itu berdampingan. "So" dan "Niki", dituturkan dengan nada yang sama oleh Mrs. Lekovich dan kini Papa. Oh, ya! Si Kepo Isobel juga. Sialan.
Papa duduk di sofa sementara aku memutuskan bahwa love seat adalah tempat yang tepat bagiku. Masih memakai setelan kerja, tanpa jas, lengan kemeja digulung, Papa menelekan kedua siku di atas lutut, jari jemarinya bertaut. Raut mukanya masih masam.
Aku menundukkan kepala, dan memutuskan untuk membisu.
"Papa dapat telepon dari Miss Valencia. Katanya kamu gagal dalam mata pelajaran kalkulus."
Aku sudah punya gambaran soal apa yang menjadi pokok pembicaraan. Namun, cara Papa mengucapkan gagal membuatku merasa bahwa aku adalah orang yang paling tidak becus di seantero dunia. Gagal. Wow. Sejak kapan kata itu menjadi begitu tajam?
Apakah kita tidak akan mengawali percakapan ini dengan pelukan, lalu pertanyaan 'gimana kabar kamu, Sayang? Papa kangen sama kamu. Maafin Papa yang jarang ada di rumah. Pasti kamu kesepian, ya?', dan kecupan di dahi? Atau, sedikit basa-basilah, Pa. Sebuah komentar soal cuaca. Atau situasi politik. Harga saham. Perdamaian dunia. No?
Okay, then.
"Dan dia bilang kalau kamu gak bisa memperbaiki keadaan, kamu akan dikeluarkan dari tim."
Ouch! Satu tusukan lagi, tepat di hati. Skornya sekarang 2-0. Papa dua, Nikita nol.
"Kamu sudah temukan solusi masalah ini?"
Karena pertanyaan tersebut dilontarkan dengan sangat formal, tanpa adanya rasa kedekatan yang tidak disangkal melahirkan rasa perih yang lain, dengan ini aku umumkan bahwa skor menjadi 3-0.
"Niki, kamu dengar pertanyaan Papa?"
Kuatur rasa yang berserakan sehingga aku yakin serpihannya tak kan muncul di wajah. Pelan-pelan kuangkat kepala dan berdeham, menelan kembali perasaan yang menyekat tenggorokan sebelum menjawab, "Niki dengar, Pa."
"Dan?"
4-0.
"Niki udah punya tutor." Kay memang sudah berjanji untuk membantu, akan tetapi aku tidak tahu apakah perkataanku barusan benar adanya. Siswa yang disebutnya si Songong saja masih tak terbayang olehku seperti apa bentuknya.
Akan tetapi, Papa tidak perlu tahu soal itu.
Selagi bermonolog dalam hati, Papa menggosok kedua telapak tangannya lalu mengembuskan napas. Lega. "Good, good," komentarnya sambil lalu. "Sekarang Papa mau kasih tahu kamu sesuatu."
Ng ... what? Jadi kita duduk di sini bukan mau bahas masalah nilai aku, Pa? Itu cuma kata pengantar aja sebelum masuk ke pokok pembicaraan?
Wow. Papa hebat. Udah cetak 5-0 aja dalam sekejap.
"Papa undang seseorang untuk makan malam di sini."
Wait, what? Papa bilang apa barusan? Apa aku gak salah dengar?
Dan, apakah itu senyum yang ada di bibir papa?
"Dia adalah orang terpenting yang ada di dalam hidup Papa sekarang."
Kalimat itu tak pelak membuatku tersentak. Goncangannya mengakibatkan sesuatu dalam diriku terlepas.
Andai saja Papa bisa dengar bunyi hati aku yang baru saja jatuh ke lantai.
Aku menunggu papa menarik kata-katanya barusan. Namun, tidak. Tidak terjadi. Benar kata orang, harapan hanyalah angan-angan.
Ya Tuhan. Serius, Pa? Orang terpenting di dalam hidup Papa akan datang ke rumah ini nanti? Bukankah seharusnya orang terpenting itu yang sudah ada di dalam sini?
"Dia dan anaknya akan datang, dan Papa harap kamu bisa bersikap sopan di depan mereka."
Dia dan anaknya? Anaknya? Papa mau mengurusi anak orang lain sementara Papa menelantarkan darah daging Papa sendiri?
Dan Papa minta aku untuk bersikap sopan? Coba kasih tahu aku, Pa, gimana caranya aku bisa sopan sama orang yang belum ada di sini aja udah bikin aku hancur! Kasih tahu aku gimana cara bersikap sopan di saat hati aku perih seperih-perihnya, Pa!
"Kamu ingat Sarah?"
Saat itulah semuanya tiba-tiba berhenti. Waktu. Bumi. Jantungku.
"S-siapa?"
"Sarah, sekretaris Papa," timpal Papa enteng. Senyum itu masih bertengger di bibirnya. Wajah yang tadi dilipat kini terbuka, berbinar saat berbicara soal wanita lain.
Dan anak yang lain.
Pernah pergi ke arkade? Terbayang, kan, bagaimana tiket terus saja keluar ketika kamu bermain di sebuah mesin undian dan mendapatkan jackpot?
Aku rasa, tanpa sepengetahuanku, aku tengah mendapatkan jackpot itu. Atau untuk lebih tepat, papa memberikannya padaku. Namun, jackpot ini ada dalam bentuk rasa sakit, karena dari tadi pedih tidak henti-hentinya menghampiri. Bertambah hal yang dibicarakan papa, berimbuh pula nyerinya.
Jackpot.
Yeay! Hashtag sarkasme mode on.
"Kamu mengerti, Nikita?"
Tahu-tahu, rasa khas darah sudah meledak di dalam mulut, membangunkan lidah sekaligus menyadarkan aku dari usaha pengendalian emosi yang ternyata sudah kulakukan dari tadi. Aku yakin bagian dalam pipiku kini cabik karena kugigit kuat-kuat.
Bertambah lagi sakitku.
Kutelan ludah bercampur darah itu. Rasanya lebih mendingan daripada yang diderita batin ini.
"Nikita, kamu mengerti apa yang Papa katakan?"
Entah apa yang memberiku kekuatan untuk mengangguk.
Papa menghela napas lega. "Oke, thanks, Niki. Papa—"
Bel yang terletak di pintu depan berbunyi.
Bunyinya menggema sampai ke dalam dada yang kini kosong. Tempat hatiku sebelum pecah berderai.
Seperti aku tadi, Papa bangkit dan bergegas menyongsong kedua tamu pentingnya. Meninggalkan aku.
What's new, anyway? Aku sudah biasa ditinggalkan.
Dan itu membuatku membenci rasa yang melekat saat menjadi yang tertinggal.
Oh! Ingatkah kelegaan yang Papa rasakan saat percakapan kami berakhir? I wonder why.
Setidak penting itukah aku, Pa?
To be continued ....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 55 Episodes
Comments
Yuyu
dasae bapak kurang ajar
2023-06-02
0