Kebekuan merajai udara, terik dan kilau cahaya matahari musim panas tak dapat menandingi hawa dingin yang dibawa oleh malaikat pencabut nyawa. Kental sekali rasa kematian, sehingga, jika mau, setiap orang bisa menjulurkan lidah dan mengecapnya.
"Kita tidak punya banyak waktu lagi. Silakan ucapkan selamat tinggal ...."
Entah apa hak yang orang-orang itu punya karena dengan beraninya mereka menyuruhku melakukan hal yang sama sekali tidak akan pernah kulakukan. Tidak akan pernah. Mereka pikir siapa mereka sehingga bisa mengatur apa yang harus kulakukan seenaknya?
Walaupun dalam hati tidak inggin terima, walau dalam hati aku mendongkol, akan tetapi tetap kutangkup telapak kanan sosok ringkih yang terbaring di depanku itu. Bukan untuk berpamitan, damn it. Aku hanya ingin memegang tangannya lebih lama lagi.
Dia adalah Mama, akan tetapi bukan Mama dalam waktu yang sama. Mamaku tidak begini. Mamaku adalah orang yang sehat, energik, ceria. Kulitnya merona, wajahnya sempurna. Dia seorang balerina, sangat suka menari sambil melakukan pekerjaan rumah. Dia menyiapkan sarapan sambil menari, menghidangkan makan malam sembari menari. Dia dan Papa akan membereskan meja bersama setelah makan, lalu kemudian mereka akan menari.
Sampai suatu hari kala dia merasakan nyeri yang hebat di dada. Papa membawanya ke rumah sakit yang tak lama menjadi kediamannya. Sejak saat itu, tidak ada lagi Mama yang biasa. Tidak ada lagi tariannya. Masakannya. Nyaring gelak tawanya.
Dokter mengaku sudah mengupayakan semua yang mereka bisa. Mama dalam waktu dekat akan menggenapkan usia.
Kanker payudara sudah memaksa Mama menyerah di angka yang terbilang muda, empat puluh empat, meninggalkan suami dan anaknya yang belia.
Mama pergi begitu saja. Satu detik, dadanya masih bergerak tipis naik untuk menghirup udara, lalu turun sececah bersama karbondioksida yang dilepaskan. Sesudahnya, tiada. Tanda kehidupan terakhir yang ada akhirnya ... mereda.
"No, Mama, please, jangan tinggalin Niki, Ma. Please. No. No, no, no, no no no no no. Mama, please, noooooooo!"
Namun, percuma saja meraung, melolong hingga ke langit. Malaikat baru saja menunaikan tugasnya. Roh mama sudah berpisah dengan raga. Mama kini sudah berada di dunia yang berbeda.
Membawa separuh nyawaku.
Membawa segenap kepedulian Papa.
***
Proses pemakaman berlalu dengan ... I don't know. I didn't remember much of that day.
Tidak banyak detail yang kuingat. Karena jelas saja aku tidak ingin mengingat. Hanya, otak ini kukuh menyimpan potret mama/bukan mama dalam balutan gaun berwarna mint favoritnya, muka pucat itu dipoles dengan riasan yang tetap tak bisa menyembunyikan tulang pipi yang mencuat, muka tirus, dan mata yang cekung; tubuh yang hanya tinggal kulit pembalut tulang, rambut yang belum sempat tumbuh setelah treatment terakhir yang mama lalui. Suara isak tak henti papa yang berdiri di sebelah kanan, dan lengan kekar yang setia menopang tubuh sempoyonganku sepanjang hari di sisi kiri.
Tatkala peti mati turun ke liang lahat, lengan itu jualah yang menahan diri ini dari hasrat untuk ikut terbenam bersama mama.
"Shh, Sayang, it's okay. It's gonna be okay. Aku ada di sini. Everything will be okay," bisiknya berulang kali.
***
Terus saja dia membisikkan kalimat-kalimat palsu itu di telingaku. Tidakkah dia sadar bahwa tidak akan ada yang baik setelah ini? Bahwa Mama telah membawa semua kebaikan pergi? Tidakkah dia berpikir aku pun tak ingin hancur begini? Bahwa aku juga merindu damai di dalam diri?
"Aku tahu, Sayang, aku tahu. Tapi, kamu harus yakin kalau suatu saat kamu akan baik-baik saja. Ya? Dan aku akan selalu ada di samping kamu untuk memastikan itu." Didekapnya aku erat-erat.
Kubalas rangkulannya tak kalah ketat. Sangat putus asa mencari ketenangan, kenyamanan, dalam bentuk apa pun yang bisa kudapat. "Kamu janji?" lirihku di antara isak. "Kamu janji, apa pun yang terjadi, kamu akan selalu ada di sini? Kamu gak akan pergi?"
Tanpa ragu, dia menyegel takdirnya dengan kisahku yang kelabu. "Aku janji."
***
Pemuda itu menepati janjinya. Keberadaan hangatnya yang konstan, kuatnya yang setiap saat bisa aku gunakan, kepribadiannya yang ringan selalu dapat mengubah suasana menjadi menyenangkan.
Bahkan saat-saat di mana aku merasa bahwa hari itu aku tidak hanya mengubur Mama, akan tetapi juga Papa. Satu-satunya sosok orang tua yang kupunya malah menenggelamkan dirinya ke lembah kesibukan perusahaan. Meninggalkan aku yang akan masih terhuyung, jika tidak ada si pemuda.
"Hey, Kay?" panggilku suatu waktu, ketika dia sedang asyik memainkan PlayStation 4, dan aku sedang setengah berbaring di antara kedua kakinya.
"Hm." Dia bergumam, matanya masih terpaku ke layar di depan.
"Sejak kapan aku dan kamu menjadi kita?" tanyaku pada dadanya.
Seketika suara yang keluar dari speaker televisi berhenti, ruang kamar sekonyong-konyongnya diselimuti keheningan. Lamun, bukan keheningan yang mencekam seperti saat Mama akan pergi. Keheningan ini ... terasa agak berbeda dikarenakan percikan-percikan antisipasi di udara.
Kayden menegakkan tubuh, membawaku sekalian bergerak bersamanya. Dia kemudian memutar badanku dengan mudah, sehingga posisi kami kini saling berhadapan, aku kini duduk di atas pahanya. Ditatap mataku dalam-dalam. "Nikita Bliss Levine, kalau boleh jujur, aku udah suka sama kamu semenjak kamu pindah ke rumah sebelah.
"Aku ingat banget waktu itu kamu pakai baju monyet, rambut dikuncir dua sama pita warna kuning. Aku lagi main bola di halaman, lalu tiba-tiba aja muncul monster bergigi ompong ini ngotot mau main sama aku. Aku tolak, kamu jorokin aku sampai lutut aku gores dan berdarah. Eh, malah kamu yang nangis duluan. Pas aku tanya, kamu masih ingat kamu jawab apa?"
Dia tidak membiarkanku menjawab.
"Kamu bilang, kamu gak bermaksud bikin aku jatuh dan sakit. Kamu cuma mau maksa aku buat izinin kamu ikut main. Karena kamu gak akan pernah menyakiti orang lain dengan sengaja.
"Kalimat itu nempel banget di kepala aku sampai sekarang, Niki. Dan, semakin lama, semakin kenal kamu, aku semakin yakin sama perasaan aku. Tambah lagi kamu gak pernah nolak pas Bokap dan Nyokap sering bercanda soal perjodohan kita waktu makan malam bareng. Yaaa Aku anggap kamu juga mau dijodohin sama aku." Dia lalu mengedikkan bahunya.
Aku masih ingat hari-hari membahagiakan itu.
"Jadi, ya, gitu deh," simpulnya sambil mengangkat bahu.
Kupandangi setiap lekuk wajahnya; bekas luka yang ada di keningnya, tepat di garis rambut, sepanjang kira-kira lima sentimeter yang dia dapat ketika jatuh dari pohon di belakang rumahku; sudut bibir, pipinya; semuanya. Penjelajahan berakhir di titik mata biru itu. Mata yang tak pernah gagal menampilkan emosi yang dirasakannya. "Dan kamu serius soal janji kamu?"
Dia mengangguk mantap. Tentu saja kedua manik jernih itu memancarkan kesungguhan yang sama.
"Okay," ungkapku di kesudahannya.
"Okay?" tanyanya memastikan, akan tetapi tak berusaha sedikit pun menyembunyikan kebahagiaan yang menarik bibirnya membentuk sebuah senyuman.
"Okay," yakinku sambil melingkarkan lengan di sekeliling lehernya.
Kayden membalas pelukan dengan melilitkan lengannya erat di pinggangku.
Okay. Everything's gonna be okay seperti yang dia janjikan.
Andai saja ada yang mengingatkan aku bahwa terkadang janji hanya sebatas kata-kata.
To be continued ....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 55 Episodes
Comments
Yuyu
pertanyaannya woooi
sejak kapan kamu dan aku menjadi kita? nyesss
2023-06-02
0