Menjerat Istri Lumpuh
Angin malam berhembus menyalurkan kedamaian. Suara deru mobil bergemam halus hampir tak terdengar. Mobil dengan kilap hitam metalik itu menggeleser memasuki sebuah pelataran rumah mewah bergaya Eropa, dan berhenti tepat di depan lobi.
Seorang pria berpakaian hitam lengan pendek yang merupakan penjaga rumah tersebut berlari kecil menghampiri. Dengan gerakan sopan ia membuka pintu mobil hingga si pengemudi keluar, mengayunkan kakinya dengan elegan.
Narendra Hutabarat, pria itu mengangguk kecil pada si penjaga guna berterimakasih, lalu melenggang menaiki undakan di lobi sebelum kemudian memasuki rumah.
Ia melepas jas hitam yang dikenakannya, melipatnya lalu menyampirkannya di sebelah tangan. Dengan tenang lelaki itu memasuki area dapur, berhenti di depan sebuah meja bar, mengambil gelas dan menuang air dari poci.
Sembari meneguk, Narendra menatap beningnya air dalam poci kaca tersebut. Ia lalu menyimpan kembali gelasnya ke atas meja, terdiam sejenak sebelum tubuhnya berbalik meninggalkan dapur.
Suasana rumah yang sepi seakan sudah biasa ia temui. Kaki panjang Narendra berderap menaiki tangga. Sebelah tangannya tenggelam di saku. Ia berjalan dengan pandangan lurus hingga beberapa saat kemudian sampai di depan sebuah kamar.
Sebelum masuk, matanya sempat melirik sekilas pintu kamar di sebelahnya. Ia hanya berkedip santai karena mengetahui istrinya belum pulang, lagi. Wanita itu pasti sedang berfoya-foya di luar sana, atau menghabiskan waktu dengan pacar bajingannya.
Narendra kemudian memasuki kamar. Ia menyimpan jasnya di lengan sofa, lalu mulai membuka satu persatu kancing di pergelangan tangan. Narendra menggulung lengan kemeja itu hingga siku. Namun belum sempat ia melesakkan diri untuk beristirahat sejenak di ranjang, matanya malah terpaku pada selembar amplop di atas nakas.
Narendra tak jadi berbaring, ia lekas menghampiri nakas dan mengambil amplop dengan logo Pengadilan Negeri itu. Rautnya datar, ia tahu pasti apa isi dari amplop tersebut.
Tak terhitung jumlahnya Narendra mendapat surat gugatan cerai dari sang istri, dan lagi-lagi Narendra hanya menanggapinya tanpa ekspresi. Ada yang berbeda, kali ini Glacia menyematkan catatan yang semula tergeletak di bawah amplop. Narendra mengambil itu dan membacanya.
...Aku akan pergi bersama Gallen. Semoga kamu mengerti dan segera tanda tangan surat perceraian kita karena kami akan menikah....
...—Glacia—...
Narendra menatap datar tulisan tangan Glacia, sang istri yang terang-terangan berkata hendak melarikan diri bersama pacar gelapnya. Ia menyimpan kembali catatan berserta surat gugatan itu ke tempat semula. Lama berdiri di sana, wajah Narendra tampak tak beriak, seolah tak peduli dengan apa yang Glacia uraikan dalam pesan tertulis itu.
Namun detik berikutnya Narendra berbalik keluar kamar. Langkahnya berderap menuruni anak tangga hingga ia kembali sampai di lobi. Narendra memasuki lagi mobilnya yang masih terparkir di depan, lalu melajukannya melewati gerbang hingga melesat membelah jalanan malam.
Tak berapa lama mobil sport mewah itu berhenti di depan sebuah club elite yang terletak di pusat kota. Ia menatap sejenak bangunan lima lantai itu sebelum memutuskan keluar dan menatap langsung penampakan tempat haram tersebut.
Sebelumnya Narendra menyuruh seseorang untuk melacak keberadaan sang istri. Tanpa basa-basi ia langsung mengayunkan kakinya menghampiri pintu masuk. Ada dua penjaga laki-laki bertubuh kekar yang menghadang kedatangannya.
Tanpa sepatah kata pun Narendra merogoh dompetnya dan mengeluarkan sebuah kartu nama yang entah bagaimana bisa membuat keduanya terbungkam. Dengan mudahnya Narendra dipersilakan masuk melewati prosedur pengamanan.
Kaki panjangnya mengayun lebar melintasi lorong pendek yang remang, kerlip lampu sudah mulai terasa dari dalam, pun musik keras menggema memekakan telinga. Hingga beberapa detik kemudian Narendra sampai di penghujung, menemukan suasana ramai diskotik yang sesaat membuatnya mengernyit.
Matanya mengedar ke sekeliling ruang penuh gemerlap itu. Beberapa orang berkumpul membentuk kelompok sendiri, beberapa lainnya menari penuh gairah di lantai dansa, bahkan yang bergumul mesra tak jarang menyapa mata.
Narendra masuk semakin dalam sambil terus mencari ke sana kemari. Dan akhirnya ia menemukan Glacia di antara lautan manusia yang menari di dance floor. Wanita itu bergerak mengikuti irama yang menghentak, tak peduli beberapa pria menghampiri dan berusaha meraba pakaiannya yang minim.
Narendra bergeming datar, ia lalu melangkah semakin mendekati Glacia yang tak menyadari keberadaannya, lalu tanpa aba-aba langsung menarik wanita itu hingga tersentak ke belakang, membentur bagian depan tubuh Narendra yang keras.
Glacia memekik terkejut, dan semakin terkejut ketika mendapati Narendra di belakangnya. Pria itu menatap tanpa ekspresi ke arah lelaki-lelaki yang mendekati Glacia tadi. Mereka balas melirik Narendra sambil mendengus sinis, lalu pergi untuk menari di lain tempat dan mendekati gadis-gadis seksi di sana.
Glacia menghentakkan tubuhnya menjauhi Narendra, ia berbalik dan menatap lelaki itu kesal. Apa-apaan ini? Kenapa Narendra malah menyusulnya ke sini? Bukankah Glacia sudah meninggalkan surat gugatan di rumah? Apa kabar surat itu kali ini? Jangan sampai Narendra menghilangkannya lagi.
Demi Tuhan ia sangat ingin bercerai dari laki-laki kaku dan bisu itu!
"Kau!" seru Glacia marah. Matanya menghunus Narendra tajam. "Untuk apa kau kemari?!" Karena musik yang keras, Glacia harus menyesuaikan suaranya supaya bisa terdengar.
Narendra tak menjawab, ia malah mencekal lengan Glacia dan menyeretnya keluar dari himpunan orang-orang yang menari. Glacia memberontak berusaha melepaskan diri. Ia juga kewalahan mengikuti langkah Narendra yang panjang.
"Hey!"
"Berhenti! Lepaskan aku!" Glacia tak henti berteriak sambil memukul-mukul cengkraman Narendra di tangannya.
Berkali-kali ia mengerem kakinya yang berujung tetap kalah dan terhuyung mengikuti Narendra dengan langkah terseok.
"Naren sialan! Lepas!!! Bajingan brengsek!!! Aaahh!!!" Glacia menggigit tangan Narendra, namun tak menghasilkan apa pun. Luka yang bahkan telah berdarah itu seakan tak ada artinya bagi Narendra.
Di tengah upaya Glacia melepaskan diri, seseorang mencekal lengan Narendra dengan keras, hingga membuat Naren maupun Glacia berhenti dan menoleh pada si pelaku, yang mana hal itu refleks membuat Glacia berseru senang karena mendapati Gallen, sang kekasih pujaan yang kini tengah memandang Narendra tajam.
"Lepas, Sialan!" desis Gallen marah.
Narendra tak menghiraukan peringatan itu, ia hanya melirik sekilas pada Gallen dan kembali fokus menatap Glacia.
"Pulang," ucapnya pendek.
Lagi, Glacia menghentakkan tangan berusaha melepas cekalan Narendra. Ia benar-benar tak habis pikir dengan pria itu.
"Kau tidak mengerti arti tulisan, ya? Atau jangan-jangan kau sama sekali tak bisa membaca? Aku bilang aku ingin bercerai dan akan segera menikah dengan Gallen!"
Narendra diam. Tak ada perubahan apa pun dalam raut wajahnya. Gallen yang emosi pun langsung mencengkram kerah kemeja lelaki itu dan meremasnya kuat, mendorong Narendra hingga cekalannya pada Glacia terlepas.
Buk!
Gallen memukul Narendra di area rahang dekat pipi. Nafasnya terengah menatap suami dari kekasihnya itu. Narendra memandang datar lantai di bawah kakinya, tangannya terangkat menyentuh pelan bekas pukulan Gallen yang kini membekas kebiruan.
"Kau tidak dengar? Dia ingin bercerai dan menikah denganku," desis Gallen tajam.
Narendra setia bungkam. Berbeda dengan Gallen yang menyalak, Narendra justru tampak tenang dengan sorot tak beriak, ia hanya fokus pada Glacia yang kini menatapnya dengan ekspresi kesal.
"Apa?! Kenapa menatapku begitu?!" Glacia beringsut ke sisi Gallen, memeluk lengan sang kekasih dengan wajah merengut, melirik sinis pada suaminya.
Narendra menegakkan tubuhnya kembali tegap. Matanya tak lepas dari Glacia yang bersembunyi di balik punggung Gallen. Gallen sendiri menyeringai sinis mengejek Narendra. Ia balas merangkul Glacia hingga kini wanita itu berada di pelukannya. Bahkan dengan sengaja Gallen mengecup sudut bibirnya di hadapan Narendra.
"Tenang, Sayang. Bajingan itu tidak akan bisa merebutmu dariku."
Glacia tersenyum menguselkan wajahnya di dada Gallen, ia balas memeluk Gallen dengan erat.
Narendra menatap keduanya dengan datar. Ia kembali beralih pada Glacia yang sama sekali tak sudi melihatnya.
"Pulang," titah Narendra lagi. "Setidaknya kau harus punya malu sebagai wanita terhormat," lanjutnya tanpa ekspresi.
Glacia sedikit melonggarkan pelukannya pada Gallen dan menatap Narendra dengan wajah terperangah. "Kau bilang apa? Aku tidak punya malu, begitu?" serunya tak terima.
Narendra membalas santai. "Hanya mereka, para manusia minim rasa malu yang bisa terang-terangan bermain api dengan pria lain selagi masih terikat pernikahan."
Glacia mendengus kesal. "Kau sedang memuji dirimu sendiri yang bisa bermain tanpa ketahuan, begitu? Aku heran kenapa Papa bisa begitu menyukaimu sebagai menantu. Kau menjijikan!"
"Ingat, kau harus sadar tempatmu di mana. Kau tidak ada apa-apanya jika bukan karena papaku. Kau hanya seorang gembel yang beruntung bisa dipungut olehnya!"
Glacia beralih menatap Gallen. "Sayang, ayooo~" rengeknya menggoyang lengan pria itu. "Kita pergi. Malas kali aku sama orang gila itu."
Gallen mengulas senyum manis pada Glacia, mengusap tangan halus sang kekasih sambil melirik sinis Narendra yang bergeming. "Iya, Sayang. Ayo."
Mereka pergi meninggalkan Narendra. Kali ini Narendra diam tak mengejar, ia hanya menoleh melihat kepergian sang istri dengan kekasih gelapnya. Tatapannya rumit dan sulit diartikan.
Sementara itu, Glacia dan Gallen tengah bercanda gurau di mobilnya. Mereka bermesraan, saling kecup dan usap satu sama lain.
Senyum merekah menghiasi bibir keduanya. Gallen berkali-kali mencium rambut Glacia yang bersandar sambil memeluk lengannya. Tiba-tiba saja ponsel Glacia berdenting menandakan sebuah pesan masuk. Ia pun mau tak mau menjauh, meninggalkan kenyamanannya bersandar pada Gallen.
Glacia merogoh ponselnya dalam dompet, ia membuka pesan yang rupanya berasal dari sang papa. Lelaki itu berkata akan segera pulang dari Penang, Malaysia, dan menyuruh Glacia serta Narendra berkunjung ke rumah besar Martadinata, kediaman utama milik keluarga Glacia.
Glacia membuang nafasnya malas. Sementara di sampingnya, Gallen juga tiba-tiba mendapat pesan dari nomor asing. Entah apa isi pesan dari si pengirim, akan tetapi wajah Gallen berubah pucat setelah melihatnya.
Glacia yang menyadari keanehan itu lantas bertanya. "Kamu kenapa?"
Gallen terperanjat. "Ya? Oh, tidak, bukan apa-apa." Ia mengulas senyum berusaha meyakinkan.
Glacia tak mau ambil pusing. Ia segera mengetikkan pesan pada papanya bahwa ia tak bisa datang sesuai yang diminta lelaki itu barusan.
Di sisi lain Gallen masih gelisah di tempatnya. Sambil terus menyetir, ia membuka kembali ponselnya, membaca ulang pesan dari nomor asing sambil sesekali melirik Glacia di sampingnya.
Bagaimana seandainya dia tahu, kamu baru saja tidur dengan wanita lain di club?
Sebuah foto yang tersemat membuat Gallen berkali-kali menelan ludah. Dari mana orang itu tahu? Siapa dia sebenarnya? Kenapa bisa ada foto dirinya dan wanita itu di sana?
Kejadian itu terjadi ketika Gallen pergi ke toilet. Alih-alih segera kembali pada Glacia, ia justru tergoda oleh satu wanita di sana. Salahkan wanita itu yang berpakaian terlalu seksi. Gallen jadi tidak tahan melihat dada serta bokongnya yang besar.
Sial! Kenapa ia bisa tidak sadar ada yang memergoki mereka? Padahal Gallen sudah sengaja memesan satu kamar guna mendapat privasi.
Karena terus memikirkan pesan dan foto rahasia gelapnya, Gallen jadi tidak fokus dalam menyetir hingga ia tidak sadar ketika mobilnya melaju terlalu pinggir ke kiri. Gallen bahkan lupa mengurangi kecepatan sampai sesaat kemudian sebuah guncangan keras terasa membuat Glacia refleks memekik.
"Gallen!!!"
Sreeeeettt ....
"Aaakkhhh!!!"
Bagian kiri mobil Gallen bergesekan keras dengan pembatas jalan. Gallen yang panik ketika Glacia berteriak kesakitan langsung memutar setirnya ke kanan. Namun nahas, ia yang terlalu serabutan malah tanpa sengaja menyenggol mobil lain yang melintas hingga mobil Gallen kembali terpental karena mengalami tabrakan.
"Aw!"
"Gallen apa-apaan kau! Kau menyakitiku!"
"Diam!!" Tanpa sadar Gallen membentak Glacia yang semakin ketakutan dengan laju mobil mereka.
"Gallen berhenti! Rem! Remnya!" seru Glacia panik. "Berhentiii!!"
Namun Gallen lebih panik ketika kakinya menginjak rem yang tak berfungsi. Mobil itu masih kehilangan keseimbangan dan melaju kencang ke depan hingga tak lama kemudian menabrak keras truk yang melaju di satu jalur.
BRAK!!!
BRUK!!!
TIIIINNN!!!
DUARR!!!
Tabrakan beruntun pun tak terelakan. Mobil Gallen terjepit di antara kolong truk dan mobil lainnya dari belakang yang juga tak kalah kacau sejak mobil Gallen bergerak tak waras.
Suara riuh kendaraan dan seruan orang-orang seketika ramai memenuhi seisi jalan. Berita mengenai kecelakaan itu langsung tersiar di media internet dan televisi, terlebih dua korban diantaranya merupakan putra serta putri pewaris dari pengusaha besar yang cukup berpengaruh di Indonesia.
Adalah Gallen Mou dan Glacia Martadinata, sepasang kekasih yang ternyata menjalin hubungan terlarang, karena seperti yang mereka tahu bahwa Glacia adalah istri sah dari Narendra Hutabarat, direktur perusahaan pusat Martadinata Group.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 131 Episodes
Comments
Ifabila 2
neh narendra yg d His Purpose y?! yg srg bantu Gibran buat selidikin sesuatu kalo gibran ada mslh
2023-10-02
0
Zikri Alpalah
bismillah semoga baca y g bosenin ya Thor,
2023-09-29
0
𝕃α²¹ℓ 𝐒єησяιтα 🇵🇸🇮🇩
sisttt mampir diriku di Narendra yak
2023-09-18
1