NovelToon NovelToon

Menjerat Istri Lumpuh

1. Pengkhianatan dan Kecelakaan

Angin malam berhembus menyalurkan kedamaian. Suara deru mobil bergemam halus hampir tak terdengar. Mobil dengan kilap hitam metalik itu menggeleser memasuki sebuah pelataran rumah mewah bergaya Eropa, dan berhenti tepat di depan lobi.

Seorang pria berpakaian hitam lengan pendek yang merupakan penjaga rumah tersebut berlari kecil menghampiri. Dengan gerakan sopan ia membuka pintu mobil hingga si pengemudi keluar, mengayunkan kakinya dengan elegan.

Narendra Hutabarat, pria itu mengangguk kecil pada si penjaga guna berterimakasih, lalu melenggang menaiki undakan di lobi sebelum kemudian memasuki rumah.

Ia melepas jas hitam yang dikenakannya, melipatnya lalu menyampirkannya di sebelah tangan. Dengan tenang lelaki itu memasuki area dapur, berhenti di depan sebuah meja bar, mengambil gelas dan menuang air dari poci.

Sembari meneguk, Narendra menatap beningnya air dalam poci kaca tersebut. Ia lalu menyimpan kembali gelasnya ke atas meja, terdiam sejenak sebelum tubuhnya berbalik meninggalkan dapur.

Suasana rumah yang sepi seakan sudah biasa ia temui. Kaki panjang Narendra berderap menaiki tangga. Sebelah tangannya tenggelam di saku. Ia berjalan dengan pandangan lurus hingga beberapa saat kemudian sampai di depan sebuah kamar.

Sebelum masuk, matanya sempat melirik sekilas pintu kamar di sebelahnya. Ia hanya berkedip santai karena mengetahui istrinya belum pulang, lagi. Wanita itu pasti sedang berfoya-foya di luar sana, atau menghabiskan waktu dengan pacar bajingannya.

Narendra kemudian memasuki kamar. Ia menyimpan jasnya di lengan sofa, lalu mulai membuka satu persatu kancing di pergelangan tangan. Narendra menggulung lengan kemeja itu hingga siku. Namun belum sempat ia melesakkan diri untuk beristirahat sejenak di ranjang, matanya malah terpaku pada selembar amplop di atas nakas.

Narendra tak jadi berbaring, ia lekas menghampiri nakas dan mengambil amplop dengan logo Pengadilan Negeri itu. Rautnya datar, ia tahu pasti apa isi dari amplop tersebut.

Tak terhitung jumlahnya Narendra mendapat surat gugatan cerai dari sang istri, dan lagi-lagi Narendra hanya menanggapinya tanpa ekspresi. Ada yang berbeda, kali ini Glacia menyematkan catatan yang semula tergeletak di bawah amplop. Narendra mengambil itu dan membacanya.

...Aku akan pergi bersama Gallen. Semoga kamu mengerti dan segera tanda tangan surat perceraian kita karena kami akan menikah....

...—Glacia—...

Narendra menatap datar tulisan tangan Glacia, sang istri yang terang-terangan berkata hendak melarikan diri bersama pacar gelapnya. Ia menyimpan kembali catatan berserta surat gugatan itu ke tempat semula. Lama berdiri di sana, wajah Narendra tampak tak beriak, seolah tak peduli dengan apa yang Glacia uraikan dalam pesan tertulis itu.

Namun detik berikutnya Narendra berbalik keluar kamar. Langkahnya berderap menuruni anak tangga hingga ia kembali sampai di lobi. Narendra memasuki lagi mobilnya yang masih terparkir di depan, lalu melajukannya melewati gerbang hingga melesat membelah jalanan malam.

Tak berapa lama mobil sport mewah itu berhenti di depan sebuah club elite yang terletak di pusat kota. Ia menatap sejenak bangunan lima lantai itu sebelum memutuskan keluar dan menatap langsung penampakan tempat haram tersebut.

Sebelumnya Narendra menyuruh seseorang untuk melacak keberadaan sang istri. Tanpa basa-basi ia langsung mengayunkan kakinya menghampiri pintu masuk. Ada dua penjaga laki-laki bertubuh kekar yang menghadang kedatangannya.

Tanpa sepatah kata pun Narendra merogoh dompetnya dan mengeluarkan sebuah kartu nama yang entah bagaimana bisa membuat keduanya terbungkam. Dengan mudahnya Narendra dipersilakan masuk melewati prosedur pengamanan.

Kaki panjangnya mengayun lebar melintasi lorong pendek yang remang, kerlip lampu sudah mulai terasa dari dalam, pun musik keras menggema memekakan telinga. Hingga beberapa detik kemudian Narendra sampai di penghujung, menemukan suasana ramai diskotik yang sesaat membuatnya mengernyit.

Matanya mengedar ke sekeliling ruang penuh gemerlap itu. Beberapa orang berkumpul membentuk kelompok sendiri, beberapa lainnya menari penuh gairah di lantai dansa, bahkan yang bergumul mesra tak jarang menyapa mata.

Narendra masuk semakin dalam sambil terus mencari ke sana kemari. Dan akhirnya ia menemukan Glacia di antara lautan manusia yang menari di dance floor. Wanita itu bergerak mengikuti irama yang menghentak, tak peduli beberapa pria menghampiri dan berusaha meraba pakaiannya yang minim.

Narendra bergeming datar, ia lalu melangkah semakin mendekati Glacia yang tak menyadari keberadaannya, lalu tanpa aba-aba langsung menarik wanita itu hingga tersentak ke belakang, membentur bagian depan tubuh Narendra yang keras.

Glacia memekik terkejut, dan semakin terkejut ketika mendapati Narendra di belakangnya. Pria itu menatap tanpa ekspresi ke arah lelaki-lelaki yang mendekati Glacia tadi. Mereka balas melirik Narendra sambil mendengus sinis, lalu pergi untuk menari di lain tempat dan mendekati gadis-gadis seksi di sana.

Glacia menghentakkan tubuhnya menjauhi Narendra, ia berbalik dan menatap lelaki itu kesal. Apa-apaan ini? Kenapa Narendra malah menyusulnya ke sini? Bukankah Glacia sudah meninggalkan surat gugatan di rumah? Apa kabar surat itu kali ini? Jangan sampai Narendra menghilangkannya lagi.

Demi Tuhan ia sangat ingin bercerai dari laki-laki kaku dan bisu itu!

"Kau!" seru Glacia marah. Matanya menghunus Narendra tajam. "Untuk apa kau kemari?!" Karena musik yang keras, Glacia harus menyesuaikan suaranya supaya bisa terdengar.

Narendra tak menjawab, ia malah mencekal lengan Glacia dan menyeretnya keluar dari himpunan orang-orang yang menari. Glacia memberontak berusaha melepaskan diri. Ia juga kewalahan mengikuti langkah Narendra yang panjang.

"Hey!"

"Berhenti! Lepaskan aku!" Glacia tak henti berteriak sambil memukul-mukul cengkraman Narendra di tangannya.

Berkali-kali ia mengerem kakinya yang berujung tetap kalah dan terhuyung mengikuti Narendra dengan langkah terseok.

"Naren sialan! Lepas!!! Bajingan brengsek!!! Aaahh!!!" Glacia menggigit tangan Narendra, namun tak menghasilkan apa pun. Luka yang bahkan telah berdarah itu seakan tak ada artinya bagi Narendra.

Di tengah upaya Glacia melepaskan diri, seseorang mencekal lengan Narendra dengan keras, hingga membuat Naren maupun Glacia berhenti dan menoleh pada si pelaku, yang mana hal itu refleks membuat Glacia berseru senang karena mendapati Gallen, sang kekasih pujaan yang kini tengah memandang Narendra tajam.

"Lepas, Sialan!" desis Gallen marah.

Narendra tak menghiraukan peringatan itu, ia hanya melirik sekilas pada Gallen dan kembali fokus menatap Glacia.

"Pulang," ucapnya pendek.

Lagi, Glacia menghentakkan tangan berusaha melepas cekalan Narendra. Ia benar-benar tak habis pikir dengan pria itu.

"Kau tidak mengerti arti tulisan, ya? Atau jangan-jangan kau sama sekali tak bisa membaca? Aku bilang aku ingin bercerai dan akan segera menikah dengan Gallen!"

Narendra diam. Tak ada perubahan apa pun dalam raut wajahnya. Gallen yang emosi pun langsung mencengkram kerah kemeja lelaki itu dan meremasnya kuat, mendorong Narendra hingga cekalannya pada Glacia terlepas.

Buk!

Gallen memukul Narendra di area rahang dekat pipi. Nafasnya terengah menatap suami dari kekasihnya itu. Narendra memandang datar lantai di bawah kakinya, tangannya terangkat menyentuh pelan bekas pukulan Gallen yang kini membekas kebiruan.

"Kau tidak dengar? Dia ingin bercerai dan menikah denganku," desis Gallen tajam.

Narendra setia bungkam. Berbeda dengan Gallen yang menyalak, Narendra justru tampak tenang dengan sorot tak beriak, ia hanya fokus pada Glacia yang kini menatapnya dengan ekspresi kesal.

"Apa?! Kenapa menatapku begitu?!" Glacia beringsut ke sisi Gallen, memeluk lengan sang kekasih dengan wajah merengut, melirik sinis pada suaminya.

Narendra menegakkan tubuhnya kembali tegap. Matanya tak lepas dari Glacia yang bersembunyi di balik punggung Gallen. Gallen sendiri menyeringai sinis mengejek Narendra. Ia balas merangkul Glacia hingga kini wanita itu berada di pelukannya. Bahkan dengan sengaja Gallen mengecup sudut bibirnya di hadapan Narendra.

"Tenang, Sayang. Bajingan itu tidak akan bisa merebutmu dariku."

Glacia tersenyum menguselkan wajahnya di dada Gallen, ia balas memeluk Gallen dengan erat.

Narendra menatap keduanya dengan datar. Ia kembali beralih pada Glacia yang sama sekali tak sudi melihatnya.

"Pulang," titah Narendra lagi. "Setidaknya kau harus punya malu sebagai wanita terhormat," lanjutnya tanpa ekspresi.

Glacia sedikit melonggarkan pelukannya pada Gallen dan menatap Narendra dengan wajah terperangah. "Kau bilang apa? Aku tidak punya malu, begitu?" serunya tak terima.

Narendra membalas santai. "Hanya mereka, para manusia minim rasa malu yang bisa terang-terangan bermain api dengan pria lain selagi masih terikat pernikahan."

Glacia mendengus kesal. "Kau sedang memuji dirimu sendiri yang bisa bermain tanpa ketahuan, begitu? Aku heran kenapa Papa bisa begitu menyukaimu sebagai menantu. Kau menjijikan!"

"Ingat, kau harus sadar tempatmu di mana. Kau tidak ada apa-apanya jika bukan karena papaku. Kau hanya seorang gembel yang beruntung bisa dipungut olehnya!"

Glacia beralih menatap Gallen. "Sayang, ayooo~" rengeknya menggoyang lengan pria itu. "Kita pergi. Malas kali aku sama orang gila itu."

Gallen mengulas senyum manis pada Glacia, mengusap tangan halus sang kekasih sambil melirik sinis Narendra yang bergeming. "Iya, Sayang. Ayo."

Mereka pergi meninggalkan Narendra. Kali ini Narendra diam tak mengejar, ia hanya menoleh melihat kepergian sang istri dengan kekasih gelapnya. Tatapannya rumit dan sulit diartikan.

Sementara itu, Glacia dan Gallen tengah bercanda gurau di mobilnya. Mereka bermesraan, saling kecup dan usap satu sama lain.

Senyum merekah menghiasi bibir keduanya. Gallen berkali-kali mencium rambut Glacia yang bersandar sambil memeluk lengannya. Tiba-tiba saja ponsel Glacia berdenting menandakan sebuah pesan masuk. Ia pun mau tak mau menjauh, meninggalkan kenyamanannya bersandar pada Gallen.

Glacia merogoh ponselnya dalam dompet, ia membuka pesan yang rupanya berasal dari sang papa. Lelaki itu berkata akan segera pulang dari Penang, Malaysia, dan menyuruh Glacia serta Narendra berkunjung ke rumah besar Martadinata, kediaman utama milik keluarga Glacia.

Glacia membuang nafasnya malas. Sementara di sampingnya, Gallen juga tiba-tiba mendapat pesan dari nomor asing. Entah apa isi pesan dari si pengirim, akan tetapi wajah Gallen berubah pucat setelah melihatnya.

Glacia yang menyadari keanehan itu lantas bertanya. "Kamu kenapa?"

Gallen terperanjat. "Ya? Oh, tidak, bukan apa-apa." Ia mengulas senyum berusaha meyakinkan.

Glacia tak mau ambil pusing. Ia segera mengetikkan pesan pada papanya bahwa ia tak bisa datang sesuai yang diminta lelaki itu barusan.

Di sisi lain Gallen masih gelisah di tempatnya. Sambil terus menyetir, ia membuka kembali ponselnya, membaca ulang pesan dari nomor asing sambil sesekali melirik Glacia di sampingnya.

Bagaimana seandainya dia tahu, kamu baru saja tidur dengan wanita lain di club?

Sebuah foto yang tersemat membuat Gallen berkali-kali menelan ludah. Dari mana orang itu tahu? Siapa dia sebenarnya? Kenapa bisa ada foto dirinya dan wanita itu di sana?

Kejadian itu terjadi ketika Gallen pergi ke toilet. Alih-alih segera kembali pada Glacia, ia justru tergoda oleh satu wanita di sana. Salahkan wanita itu yang berpakaian terlalu seksi. Gallen jadi tidak tahan melihat dada serta bokongnya yang besar.

Sial! Kenapa ia bisa tidak sadar ada yang memergoki mereka? Padahal Gallen sudah sengaja memesan satu kamar guna mendapat privasi.

Karena terus memikirkan pesan dan foto rahasia gelapnya, Gallen jadi tidak fokus dalam menyetir hingga ia tidak sadar ketika mobilnya melaju terlalu pinggir ke kiri. Gallen bahkan lupa mengurangi kecepatan sampai sesaat kemudian sebuah guncangan keras terasa membuat Glacia refleks memekik.

"Gallen!!!"

Sreeeeettt ....

"Aaakkhhh!!!"

Bagian kiri mobil Gallen bergesekan keras dengan pembatas jalan. Gallen yang panik ketika Glacia berteriak kesakitan langsung memutar setirnya ke kanan. Namun nahas, ia yang terlalu serabutan malah tanpa sengaja menyenggol mobil lain yang melintas hingga mobil Gallen kembali terpental karena mengalami tabrakan.

"Aw!"

"Gallen apa-apaan kau! Kau menyakitiku!"

"Diam!!" Tanpa sadar Gallen membentak Glacia yang semakin ketakutan dengan laju mobil mereka.

"Gallen berhenti! Rem! Remnya!" seru Glacia panik. "Berhentiii!!"

Namun Gallen lebih panik ketika kakinya menginjak rem yang tak berfungsi. Mobil itu masih kehilangan keseimbangan dan melaju kencang ke depan hingga tak lama kemudian menabrak keras truk yang melaju di satu jalur.

BRAK!!!

BRUK!!!

TIIIINNN!!!

DUARR!!!

Tabrakan beruntun pun tak terelakan. Mobil Gallen terjepit di antara kolong truk dan mobil lainnya dari belakang yang juga tak kalah kacau sejak mobil Gallen bergerak tak waras.

Suara riuh kendaraan dan seruan orang-orang seketika ramai memenuhi seisi jalan. Berita mengenai kecelakaan itu langsung tersiar di media internet dan televisi, terlebih dua korban diantaranya merupakan putra serta putri pewaris dari pengusaha besar yang cukup berpengaruh di Indonesia.

Adalah Gallen Mou dan Glacia Martadinata, sepasang kekasih yang ternyata menjalin hubungan terlarang, karena seperti yang mereka tahu bahwa Glacia adalah istri sah dari Narendra Hutabarat, direktur perusahaan pusat Martadinata Group.

2. Karma Seorang Glacia

Yohanes Martadinata baru saja tiba di bandara. Berita sesaat lalu mengenai kecelakaan di salah satu ruas tol Jakarta, juga informasi yang ia dapat dari sang menantu berhasil membuat suasana hatinya menegang.

Belum pulih rasa kesalnya terhadap Glacia yang terang-terangan menolak ajakan mereka bertemu, ia juga harus menahan emosi ketika tahu dengan siapa putrinya itu menaiki mobil sampai mengalami kecelakaan yang bisa dibilang sangat parah.

Yohanes sudah melihat bagaimana kondisi mobil Gallen yang dikendarai lelaki itu saat bersama Glacia. Sudah ia duga Gallen memang membawa pengaruh buruk untuk putrinya. Yohanes memang sudah tidak suka pada Gallen sejak awal. Glacia mengenalkan pria itu sebagai kekasihnya tepat saat Yohanes juga hendak menjodohkan Glacia dan Narendra.

Meski tahu putrinya tidak menyukai Narendra, Yohanes tetap bersikeras menikahkan mereka berdua. Terlebih Narendra juga setuju, dan Yohanes ingin Glacia terlepas dari pria semacam Gallen.

Meski terlahir kaya, Yohanes tahu Gallen bukanlah pria baik. Jangan remehkan firasat orang tua mengenai pasangan, selain itu Yohanes juga sempat menyelidiki Gallen dan menemukan beberapa fakta tentang kebrengsekannya.

Sayang sekali Glacia seakan buta dengan semua itu. Dia keras kepala ingin mempertahankan Gallen atas nama cinta, bahkan setelah menikah dengan Narendra sekalipun. Statusnya memang istri Narendra Hutabarat, namun hatinya tetap untuk Gallen Mou.

Yohanes tiba di rumah sakit setelah menempuh perjalanan selama hampir satu jam. Ia langsung menuju IGD yang sebelumnya sudah dikonfirmasi Narendra. Sampai di sana Yohanes mendapati menantunya itu tengah duduk, menunduk dengan kepala menumpu di atas tangan yang tertaut.

Yohanes segera menghampiri Narendra dengan langkah cepat. Derap sepatunya berhasil menarik atensi pria itu hingga kini mendongak dan refleks berdiri untuk kemudian membungkuk hormat. "Papa," sapanya penuh segan.

Yohanes menepuk pundak lelaki yang jauh lebih muda darinya itu. Meski sudah jadi menantu, Narendra masih saja bersikap kaku dan memperlakukannya seperti atasan. Padahal Yohanes sudah meminta Naren untuk bersikap santai saja selayaknya ayah dan anak.

"Bagaimana dengan Glacy?" Glacy adalah panggilan kecil dari Glacia. Yohanes kerap memanggilnya begitu.

"Glacy dan Gallen masih ditangani beberapa dokter di dalam. Kita tunggu saja." Narendra menjawab.

Mendengar nama Gallen, Yohanes sontak mendengus. Ia tak melihat ada keluarga Gallen di sana. Syukurlah, ia tak perlu repot-repot bersitegang dengan marga Mou itu.

Tak lama setelah itu salah satu dokter IGD yang menangani Glacia keluar, ia membuka masker seraya mulai berkata. "Kondisi kedua pasien sudah mulai stabil, tapi mereka masih belum sadarkan diri. Kita akan membawanya untuk pemeriksaan lebih lanjut supaya bisa mengetahui luka dalam yang kemungkinan terjadi pasca kecelakaan."

Narendra dan Yohanes setia mendengarkan. Setelah dokter mendeskripsikan keadaan Glacia dan Gallen, para tim medis membawa brankar keduanya keluar untuk dipindah ke ruangan berikutnya, guna menjalani pemeriksaan.

Hati Yohanes seakan disentak sesuatu ketika melihat bekas kemerahan yang membias di sekitar kening putrinya. Ia tahu pasti itu bekas darah. Kecelakaan sebegitu parah, mustahil Glacia tak berdarah sama sekali. Tapi tetap saja Yohanes merasa pilu melihatnya.

Detik seakan menyiksa bagi Yohanes, menunggu kabar selanjutnya dari kondisi Glacia yang saat ini menjalani CT scan, setelah sebelumnya sang putri melewati tahapan rontgen. Kabarnya dokter juga akan menggunakan MRI untuk memeriksa jaringan lunak seperti saraf. Semoga tidak ada hal yang buruk terjadi pada Glacia.

Namun, harapan Yohanes pupus begitu dokter keluar usai pemeriksaan, dan memaparkan kembali kondisi Glacia dengan lebih jelas.

"Putri anda mengalami cedera saraf tulang belakang traumatis yang disebabkan oleh terkilirnya tulang punggung akibat kecelakaan. Hal ini membuat beberapa saraf yang terletak di saluran tulang belakang mengalami kerusakan. Saraf tulang belakang adalah terusan dari otak yang membentang dari leher ke tulang ekor. Saraf ini berperan penting pada proses pengiriman sinyal dari otak ke seluruh tubuh dan sebaliknya. Jika saraf ini rusak, akan terjadi gangguan pada beberapa fungsi tubuh, seperti hilangnya kemampuan untuk bergerak atau merasakan sesuatu."

"Dalam kasus putri anda, ia mengalami paraplegia atau bisa disebut sebagai kelumpuhan pada kedua tungkai. Putri anda harus segera ditangani. Jika tidak, kemungkinan untuk bisa pulih akan lebih lama. Selain itu, perburukan kondisi atau kemunculan komplikasi lain juga akan semakin besar. Beberapa komplikasi tujuh puluh persen beresiko kematian."

Yohanes seolah merasakan tanah di bawah kakinya runtuh. Ia menggeleng enggan percaya. "Ini pasti salah. Anda yakin sudah melakukan pemeriksaan dengan benar? Pasti anda salah mendiagnosa. Bukan putri saya, putri saya tidak mungkin lumpuh. Dokter salah, kan? Saya tidak mau tahu, pastikan lagi hasilnya atau saya akan melaporkan ini ke pihak hukum karena anda melakukan pemeriksaan yang tidak benar!"

Narendra berusaha menenangkan mertuanya yang berseru marah. Ia merangkul Yohanes yang terlihat mulai panik dan gelisah. Pria itu berkali-kali mengusap wajah serta rambut dengan cemas. "Pa—"

"Ini tidak benar." Yohanes menggeleng. "Dia salah, Ren. Dokter itu salah. Iya, kan?"

Narendra terdiam, begitu pula sang dokter yang mengerti betul bagaimana perasaan Yohanes sebagai seorang ayah.

"Ini tidak benar. Glacia tidak mungkin lumpuh." Yohanes kembali melirih, kali ini diiringi isakan kecil yang mulai keluar, tubuhnya juga terasa berat Narendra rasakan, hingga ia harus mengeratkan pegangan pada kedua bahu lelaki itu.

"Itu tidak benar! Glacia tidak mungkin lumpuh! Harusnya bajingan itu yang lumpuh! Anda pasti salah!!"

"Papa!" Narendra berusaha mendudukkan Yohanes di kursi tunggu dan memegangi pria itu yang hendak bertindak impulsif.

"Harusnya si brengsek itu yang lumpuh!"

Melihat Yohanes yang seolah tidak sadar, akhirnya Narendra sendiri yang menghadap dokter untuk bicara. "Kelumpuhan istri saya, bersifat sementara atau permanen?"

Dokter itu melipat bibir sebelum menjawab. "Bisa sementara bisa permanen, tergantung bagaimana tingkat penyebaran kerusakan saraf itu sendiri. Maka dari itu kita harus sesegera mungkin melakukan pencegahan."

Narendra terdiam. Ia melirik sang mertua yang masih larut dalam rasa syok. Tiba-tiba bayangan ia dan Glacia yang sempat bersitegang sebelum ini kembali terngiang. Wanita itu kecelakaan tepat setelah bertengkar dengannya.

"Bagaimana keadaannya sekarang?"

"Saat ini istri anda tengah tak sadarkan diri. Mungkin beberapa jam lagi ia akan bangun."

Mendengar itu Narendra mengangguk. Setidaknya Glacia masih diberi kesempatan untuk bangun. Meski Narendra tidak yakin wanita itu akan menerima keadaan setelah tahu kondisi kakinya tak sesehat dulu.

"Lakukan yang terbaik untuknya," putus Narendra. Bagaimana pun ia tidak mungkin membiarkan putri seorang Yohanes Martadinata begitu saja.

Dokter itu mengangguk. "Baik, Tuan. Mungkin kami akan melanjutkan prosedur penanganan besok setelah istri anda bangun. Untuk saat ini cukup biarkan Nyonya istirahat dulu."

Narendra mengangguk. "Oke, terima kasih."

Narendra masih setia terdiam kendati dokter itu sudah pergi. Ia menatap lagi mertuanya yang saat ini merunduk dalam dengan bahu bergetar.

Narendra mendekat dan menyentuh bahunya. "Pa, saya keluar sebentar. Tadi polisi sempat datang meminta keterangan, mereka sedang menunggu di bawah."

Yohanes hanya mengangguk. Namun Narendra bisa lega karena sepertinya pria itu sudah tenang. Ia pun pergi memenuhi panggilan polisi untuk menjawab beberapa pertanyaan mengenai Glacia, istrinya.

Rupanya mereka tahu sebelumnya Narendra sempat bermasalah dengan istri dan juga pacar gelapnya di club malam.

3. Titipan atau Kewajiban

Usai memenuhi undangan polisi, Naren kembali ke lantai di mana ruang rawat Glacia berada. Langkahnya memelan ketika ia tanpa sengaja berpapasan dengan keluarga Gallen yang berjalan dari arah berlawanan. Mereka tak menyadari keberadaan Narendra karena mungkin terlalu fokus menuju ruang perawatan Gallen. Dan lagi jarak mereka cukup jauh karena Narendra masih berada di ujung lorong, satu langkah keluar dari lift.

Narendra meneruskan langkah ketika semua keluarga Gallen sudah masuk ke suatu ruangan, yang Narendra tebak sebagai tempat di mana Gallen mendapat penanganan. Ia kembali memelankan langkah ketika melewati ruangan tersebut.

Sesaat Narendra berhenti, berdiri tepat di depan pintu ruang perawatan berfasilitas VVIP itu, menatap datar celah kaca yang tampak buram namun masih bisa menampilkan bayangan dari dalam.

Ia hanya diam tanpa melakukan apa pun sebelum kemudian pergi melanjutkan kembali langkahnya menuju ruangan Glacia, yang entah kenapa Narendra bersyukur letaknya sangat berjauhan.

Sesampainya di sana, Narendra justru dihadapkan kekacauan yang terjadi secara mengejutkan. Bantal beterbangan, pecahan kaca berserak di bawah ranjang. Belum lagi nampan obat yang tercecer di lantai. Selimut pun turut teronggok mengenaskan.

Narendra mendongak setelah ia mengamati keadaan ruangan yang berantakan. Glacia tengah mengamuk dan memberontak di pelukan Yohanes yang memeluk putrinya penuh raut kesedihan.

Wanita itu menangis dan berteriak histeris seperti kesetanan, sampai-sampai suster yang hendak menyuntikkan obat menjadi urung karena ketakutan. Narendra bisa melihat penampilan mereka yang bisa dibilang buruk dengan luka cakar dan baju berantakan.

Tak lama seorang dokter bergegas masuk, berjalan cepat melewati Narendra yang masih betah bergeming beberapa langkah dari pintu.

"PERGIII!!! PERGI KALIAN SEMUAAA!!! PERGIII!!!"

Prang!!

Terakhir Glacia membanting tiang infus hingga jarum di tangannya terlepas dan mengeluarkan darah. Ventilator oksigen juga sudah menghilang entah ke mana. Alhasil wanita itu terengah hebat karena kelelahan, wajahnya pucat bagai pesakitan.

"Glacy, Papa mohon tenang, Nak!" Yohanes terus menahan pergerakan putrinya yang menggila.

"PERGIII!!"

Dokter menghampiri Glacia cepat dengan sebuah suntikan yang siap di tangan. Siapa pun bisa menebak bahwa itu obat penenang. Namun tentu tak mudah untuk menaklukkan Glacia yang sedang mengamuk seperti itu. Ia terus memberontak ketika para suster memegangi lengannya dari sisi kanan dan kiri, sementara dokter bersiap menyuntik.

Hal itu membuat Yohanes perlahan menjauh untuk memberi ruang pada tim medis. Ia berdiri di samping Narendra yang sedang bergeming di tengah ruangan, matanya menyorot prihatin pada sang anak.

"Nona, mohon tenang. Tarik nafas dalam-dalam ... lalu hembuskan."

"LEPAS! PERGI! BRENGSEK KALIAN SEMUAAA!!" Glacia tak menghiraukan anjuran dokter. Ia justru semakin menggila memukuli para suster yang memaksa menidurkannya.

Pada akhirnya ia kalah saat dokter berhasil menyuntikkan obat penenang itu padanya. Gerakan Glacia perlahan mulai mengendur hingga tubuhnya lemas sempurna. Ia berkedip pelan dengan nafas yang mulai teratur, lalu kemudian terpejam dan kesadarannya pun direnggut oleh kegelapan.

Dokter pun menjauh sembari membuang nafas. Ia membiarkan suster merapikan kembali tempat tidur Glacia. Tak disangka tubuh sekurus itu mampu mengeluarkan tenaga yang besar, terlebih Glacia habis kecelakaan, sudah semestinya otot-otot wanita itu lemas.

Dokter berjalan mendekat ke arah Narendra dan mertuanya. Ia turut memperhatikan Glacia yang kini tengah dipasangi lagi perintilan alat penunjang oleh suster, dalam hal ini selang infus dan juga oksigen.

"Kita belum bisa melakukan penanganan selanjutnya jika psikologisnya masih rentan. Mungkin nanti setelah Nona lebih tenang, prosedur lainnya bisa dilakukan."

Yohanes hanya mampu terdiam mendengar itu. Ia mengerti, Glacia pasti sangat syok dengan kondisi kakinya. Ia mengamuk setelah tahu kakinya tak bisa digerakkan.

Dokter itu keluar setelah mengangguk segan pada dua pria yang dikenalnya sebagai keluarga Glacia. Diikuti suster yang juga mulai meninggalkan ruangan, menyisakan Yohanes dan Naren yang masih setia terbungkam di tempatnya.

Yohanes membuang nafas sebelum mulai bicara. "Glacia itu dulunya anak yang periang. Tapi ... setelah mamanya meninggal, dia jadi lebih sering murung dan membuat masalah. Sudah tak terhitung berapa kali Papa mendapat panggilan dari sekolah, sampai kuliah pun dia masih saja sering nakal."

Pria itu menoleh pada Narendra dengan senyum tersungging tipis. "Papa sangat berharap dia bisa berubah setelah menikah, tapi nyatanya sama saja. Malah ... mungkin kamu merasa kerepotan dengan semua tingkahnya. Papa minta maaf, Naren."

Narendra menggeleng pelan. "Saya minta maaf karena belum bisa memenuhi impian Papa," ucapnya, sedikit menundukkan kepala. "Glacy tidak begitu merepotkan, saya akan lebih berusaha lagi mengontrolnya."

Yohanes kembali tersenyum menepuk bahu Narendra. Perhatiannya lalu dialihkan oleh ponsel di saku yang berdering. Mau tak mau Yohanes mengangkat panggilan tersebut.

Ternyata dari kantor, dan ia harus segera datang untuk rapat. Usai menelpon Yohanes menatap Narendra.

"Naren, di kantor ada meeting para petinggi, tapi kamu tidak perlu datang, biar Papa saja yang sekalian wakilkan kamu. Papa titip Glacy, ya?"

Narendra mengangguk pelan. "Baik, Pa."

Yohanes pun pergi setelah mengecup kening Glacia. Sementara Naren masih setia mematung di tengah ruangan, menatap istrinya yang terbaring dengan pandangan rumit.

Ia mengeluarkan sesuatu dari saku jasnya. Sebuah cincin pernikahan milik Glacia yang ditemukan polisi di tempat kejadian. Naren memandang lama cincin berlian itu. Mau semahal apa pun barangnya, Glacia tetap enggan memakai jika itu pemberian Narendra.

Narendra mendekat ke arah ranjang pasien, menatap Glacia yang kini terbaring lelap karena suntikan obat. Wajah pucatnya nampak tenang, berbanding jauh ketika ia terbangun dan mata itu terbuka. Kali ini tak ada wajah sinis serta arogan khas Glacia, yang ada raut seputih kertas yang terlihat memprihatinkan.

Narendra duduk di kursi satu-satunya yang tersedia di samping ranjang. Ia bersilang kaki sambil bersidekap mengamati sang istri dalam diam. Ingatannya kembali memutar ulasan demi ulasan saat Glacia melayangkan surat gugatan cerai.

Sebegitu gigihnya wanita itu berusaha melepas ikatan mereka. Padahal Narendra sudah menjadi suami yang baik versinya, ia tidak mengganggu privasi Glacia, ia tidak membatasi pergaulan wanita itu, ia juga diam dan tidak ikut campur apa pun mengenai urusannya, bahkan tentang hubungan gelap yang terang-terangan Glacia ungkap di depannya.

Narendra mengeluarkan ponsel, layarnya menampilkan sebuah laman pesan dengan sederet kalimat serta foto yang beberapa jam lalu ia kirim pada seseorang.

Narendra sama sekali tak menduga hal tersebut akan memicu kecelakaan besar yang turut melibatkan Glacia hingga lumpuh.

Matanya kembali memandang Glacia yang tertidur, sorotnya nampak rumit dan sulit diartikan. Rautnya datar, tak ada riak sedikit pun seolah ia memang tak memiliki emosi.

Entah berapa lama Narendra terdiam dalam posisi tersebut, Glacia tampak seperti putri tidur yang tetap mempesona kendati wajahnya tak berona. Narendra akui, istrinya memang memiliki fisik seindah dewi. Tak heran bajingan seperti Gallen betah mempertahankannya meski Glacia sudah memiliki suami.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!