Usai memenuhi undangan polisi, Naren kembali ke lantai di mana ruang rawat Glacia berada. Langkahnya memelan ketika ia tanpa sengaja berpapasan dengan keluarga Gallen yang berjalan dari arah berlawanan. Mereka tak menyadari keberadaan Narendra karena mungkin terlalu fokus menuju ruang perawatan Gallen. Dan lagi jarak mereka cukup jauh karena Narendra masih berada di ujung lorong, satu langkah keluar dari lift.
Narendra meneruskan langkah ketika semua keluarga Gallen sudah masuk ke suatu ruangan, yang Narendra tebak sebagai tempat di mana Gallen mendapat penanganan. Ia kembali memelankan langkah ketika melewati ruangan tersebut.
Sesaat Narendra berhenti, berdiri tepat di depan pintu ruang perawatan berfasilitas VVIP itu, menatap datar celah kaca yang tampak buram namun masih bisa menampilkan bayangan dari dalam.
Ia hanya diam tanpa melakukan apa pun sebelum kemudian pergi melanjutkan kembali langkahnya menuju ruangan Glacia, yang entah kenapa Narendra bersyukur letaknya sangat berjauhan.
Sesampainya di sana, Narendra justru dihadapkan kekacauan yang terjadi secara mengejutkan. Bantal beterbangan, pecahan kaca berserak di bawah ranjang. Belum lagi nampan obat yang tercecer di lantai. Selimut pun turut teronggok mengenaskan.
Narendra mendongak setelah ia mengamati keadaan ruangan yang berantakan. Glacia tengah mengamuk dan memberontak di pelukan Yohanes yang memeluk putrinya penuh raut kesedihan.
Wanita itu menangis dan berteriak histeris seperti kesetanan, sampai-sampai suster yang hendak menyuntikkan obat menjadi urung karena ketakutan. Narendra bisa melihat penampilan mereka yang bisa dibilang buruk dengan luka cakar dan baju berantakan.
Tak lama seorang dokter bergegas masuk, berjalan cepat melewati Narendra yang masih betah bergeming beberapa langkah dari pintu.
"PERGIII!!! PERGI KALIAN SEMUAAA!!! PERGIII!!!"
Prang!!
Terakhir Glacia membanting tiang infus hingga jarum di tangannya terlepas dan mengeluarkan darah. Ventilator oksigen juga sudah menghilang entah ke mana. Alhasil wanita itu terengah hebat karena kelelahan, wajahnya pucat bagai pesakitan.
"Glacy, Papa mohon tenang, Nak!" Yohanes terus menahan pergerakan putrinya yang menggila.
"PERGIII!!"
Dokter menghampiri Glacia cepat dengan sebuah suntikan yang siap di tangan. Siapa pun bisa menebak bahwa itu obat penenang. Namun tentu tak mudah untuk menaklukkan Glacia yang sedang mengamuk seperti itu. Ia terus memberontak ketika para suster memegangi lengannya dari sisi kanan dan kiri, sementara dokter bersiap menyuntik.
Hal itu membuat Yohanes perlahan menjauh untuk memberi ruang pada tim medis. Ia berdiri di samping Narendra yang sedang bergeming di tengah ruangan, matanya menyorot prihatin pada sang anak.
"Nona, mohon tenang. Tarik nafas dalam-dalam ... lalu hembuskan."
"LEPAS! PERGI! BRENGSEK KALIAN SEMUAAA!!" Glacia tak menghiraukan anjuran dokter. Ia justru semakin menggila memukuli para suster yang memaksa menidurkannya.
Pada akhirnya ia kalah saat dokter berhasil menyuntikkan obat penenang itu padanya. Gerakan Glacia perlahan mulai mengendur hingga tubuhnya lemas sempurna. Ia berkedip pelan dengan nafas yang mulai teratur, lalu kemudian terpejam dan kesadarannya pun direnggut oleh kegelapan.
Dokter pun menjauh sembari membuang nafas. Ia membiarkan suster merapikan kembali tempat tidur Glacia. Tak disangka tubuh sekurus itu mampu mengeluarkan tenaga yang besar, terlebih Glacia habis kecelakaan, sudah semestinya otot-otot wanita itu lemas.
Dokter berjalan mendekat ke arah Narendra dan mertuanya. Ia turut memperhatikan Glacia yang kini tengah dipasangi lagi perintilan alat penunjang oleh suster, dalam hal ini selang infus dan juga oksigen.
"Kita belum bisa melakukan penanganan selanjutnya jika psikologisnya masih rentan. Mungkin nanti setelah Nona lebih tenang, prosedur lainnya bisa dilakukan."
Yohanes hanya mampu terdiam mendengar itu. Ia mengerti, Glacia pasti sangat syok dengan kondisi kakinya. Ia mengamuk setelah tahu kakinya tak bisa digerakkan.
Dokter itu keluar setelah mengangguk segan pada dua pria yang dikenalnya sebagai keluarga Glacia. Diikuti suster yang juga mulai meninggalkan ruangan, menyisakan Yohanes dan Naren yang masih setia terbungkam di tempatnya.
Yohanes membuang nafas sebelum mulai bicara. "Glacia itu dulunya anak yang periang. Tapi ... setelah mamanya meninggal, dia jadi lebih sering murung dan membuat masalah. Sudah tak terhitung berapa kali Papa mendapat panggilan dari sekolah, sampai kuliah pun dia masih saja sering nakal."
Pria itu menoleh pada Narendra dengan senyum tersungging tipis. "Papa sangat berharap dia bisa berubah setelah menikah, tapi nyatanya sama saja. Malah ... mungkin kamu merasa kerepotan dengan semua tingkahnya. Papa minta maaf, Naren."
Narendra menggeleng pelan. "Saya minta maaf karena belum bisa memenuhi impian Papa," ucapnya, sedikit menundukkan kepala. "Glacy tidak begitu merepotkan, saya akan lebih berusaha lagi mengontrolnya."
Yohanes kembali tersenyum menepuk bahu Narendra. Perhatiannya lalu dialihkan oleh ponsel di saku yang berdering. Mau tak mau Yohanes mengangkat panggilan tersebut.
Ternyata dari kantor, dan ia harus segera datang untuk rapat. Usai menelpon Yohanes menatap Narendra.
"Naren, di kantor ada meeting para petinggi, tapi kamu tidak perlu datang, biar Papa saja yang sekalian wakilkan kamu. Papa titip Glacy, ya?"
Narendra mengangguk pelan. "Baik, Pa."
Yohanes pun pergi setelah mengecup kening Glacia. Sementara Naren masih setia mematung di tengah ruangan, menatap istrinya yang terbaring dengan pandangan rumit.
Ia mengeluarkan sesuatu dari saku jasnya. Sebuah cincin pernikahan milik Glacia yang ditemukan polisi di tempat kejadian. Naren memandang lama cincin berlian itu. Mau semahal apa pun barangnya, Glacia tetap enggan memakai jika itu pemberian Narendra.
Narendra mendekat ke arah ranjang pasien, menatap Glacia yang kini terbaring lelap karena suntikan obat. Wajah pucatnya nampak tenang, berbanding jauh ketika ia terbangun dan mata itu terbuka. Kali ini tak ada wajah sinis serta arogan khas Glacia, yang ada raut seputih kertas yang terlihat memprihatinkan.
Narendra duduk di kursi satu-satunya yang tersedia di samping ranjang. Ia bersilang kaki sambil bersidekap mengamati sang istri dalam diam. Ingatannya kembali memutar ulasan demi ulasan saat Glacia melayangkan surat gugatan cerai.
Sebegitu gigihnya wanita itu berusaha melepas ikatan mereka. Padahal Narendra sudah menjadi suami yang baik versinya, ia tidak mengganggu privasi Glacia, ia tidak membatasi pergaulan wanita itu, ia juga diam dan tidak ikut campur apa pun mengenai urusannya, bahkan tentang hubungan gelap yang terang-terangan Glacia ungkap di depannya.
Narendra mengeluarkan ponsel, layarnya menampilkan sebuah laman pesan dengan sederet kalimat serta foto yang beberapa jam lalu ia kirim pada seseorang.
Narendra sama sekali tak menduga hal tersebut akan memicu kecelakaan besar yang turut melibatkan Glacia hingga lumpuh.
Matanya kembali memandang Glacia yang tertidur, sorotnya nampak rumit dan sulit diartikan. Rautnya datar, tak ada riak sedikit pun seolah ia memang tak memiliki emosi.
Entah berapa lama Narendra terdiam dalam posisi tersebut, Glacia tampak seperti putri tidur yang tetap mempesona kendati wajahnya tak berona. Narendra akui, istrinya memang memiliki fisik seindah dewi. Tak heran bajingan seperti Gallen betah mempertahankannya meski Glacia sudah memiliki suami.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 131 Episodes
Comments
COOL_I4N
author ini kl buat cerita selalu luar biasa bagus. karakter cowoknya selalu charming tp sayang karakter cewek selalu bad attitude hmm..
2023-10-22
0
ʝ⃟⃝5ℓ 𝐋α 𝐒єησяιтα 🇵🇸🇮🇩
secara tak langsung Narendra juga spt ikut membuat glacia gallen kecelakaan yak, gallen panik waktu dpt pesen dri nomer yg ternyata nomer Narendra.
2023-09-19
0
anak orang
naren = gibran
2023-08-13
0