Kelopak mata itu mengerjap. Glacia perlahan membuka mata dan mengernyit ketika rasa pening menyergap kepalanya sesaat. Sejenak ia berusaha menyesuaikan cahaya dan penglihatannya. Langit-langit polos berwarna putih dan monoton adalah hal pertama yang Glacia tangkap.
Namun ketenangannya terusik ketika melihat sosok yang duduk diam di kursi samping ranjang, menatapnya dengan pandangan khas tanpa ekspresi.
Narendra bersidekap sambil bersilang kaki. Ia hanya diam tak berkata apa pun, sampai detik berikutnya lelaki itu beranjak mengambil minum di nakas dan menyodorkannya pada Glacia disertai sedotan.
Mulanya Glacia menolak, ia memalingkan wajah berusaha membuat Narendra menyerah. Namun ternyata salah, ketika Glacia menoleh lagi sedotan itu masih setia berada di ujung bibirnya.
Glacia memicing, mengabaikan rasa haus ia pun menepis gelas tersebut hingga terlempar dan pecah mengenai lantai. Suara pecahannya menimbulkan bising yang membuat seorang petugas medis masuk beberapa saat kemudian. Narendra yang melihat itu mengangkat tangan dan memberi isyarat pada perawat itu untuk segera keluar.
Meski ragu pemuda berseragam itu akhirnya menutup pintu, meninggalkan ketegangan yang kini menyelimuti sepenjuru ruang. Narendra menoleh pada Glacia yang kini membuang pandangan ke arah jendela. Wajahnya dipenuhi kemarahan dan emosi terpendam.
Melirik sebentar ke arah pecahan beling di lantai, Narendra lekas beranjak ke sudut lain ruangan. Ternyata ia mengambil gelas baru dan mengisinya dengan air di gallon yang tersedia.
Narendra kembali mendekati Glacia dan menyodorkan minum padanya. Berkali-kali Glacia menolak hingga ia dibuat tak berkutik ketika Narendra menahan tengkuknya kuat, memasukkan sedotan dengan paksa hingga membuat Glacia tersedak sesaat.
Glacia meneguk air putih itu hingga tersisa setengah. Ia mendorong Narendra menjauh ketika selesai. Terengah-engah mengusap bibirnya yang basah menggunakan punggung tangan, matanya memicing tajam pada lelaki yang kini justru nampak santai tanpa rasa bersalah sedikit pun.
Narendra menyimpan gelas di tangannya ke atas nakas. Ia lalu berbalik menghadap Glacia seraya memandangnya datar. Keduanya sama-sama bungkam hingga kemudian Glacia melontarkan kalimat yang berkali-kali mendapat pengabaian. "Surat cerai—"
"Ini bukan saat di mana kita harus membahasnya," sergah Narendra datar.
Mendengar hal itu Glacia jelas berdecih frustasi. "Alasan! Bilang saja kau mau menghindar lagi, kan? Kau pasti senang melihat keadaanku sekarang. Kau pasti puas mengutukku yang tak bisa berjalan. Kau puas, hah?!" teriaknya, sambil mencengkram selimut hingga urat-urat di tangannya terlihat.
Narendra melirik sejenak selang infus di tangan Glacia yang kembali mengeluarkan darah hingga membias bercampur dengan cairan. Ia lalu memandang Glacia tanpa ekspresi, wanita itu juga menatapnya penuh permusuhan.
"Sebenarnya apa maumu?!" serunya lagi disertai emosi. "Kenapa kau selalu menolak ketika kuajak bercerai? Kita tidak saling mencintai, untuk apa bertahan dalam pernikahan ini?!"
Lagi dan lagi Narendra hanya diam. Responnya tersebut membuat amarah Glacia semakin meluap ke permukaan. Narendra yang selalu diam, Narendra yang seakan selalu tak berkutik ketika mereka membahas perceraian, Narendra yang bergerak seperti boneka di bawah bayang-bayang ayahnya. Narendra selalu menuruti apa pun perintah Yohanes, dan Glacia benci semua itu.
Alih-alih membalas Glacia, Narendra justru melontarkan kalimat yang tidak nyambung. "Istirahatlah. Besok kau akan menjalani terapi," ucapnya sembari berbalik hendak berjalan ke arah pintu.
Namun, langkah tersebut tertahan ketika Glacia melemparkan gelas di nakas ke arahnya. Gelas itu mengenai kepala Narendra dan jatuh berserak di lantai. Belum kering tumpahan air beberapa saat lalu, kini Glacia sudah membuat kekacauan baru.
Bukan masalah Narendra yang harus mengganti dua gelas pecah itu, ia lebih tertarik pada Glacia yang kini kembali mengamuk di tempat tidurnya.
Wanita itu meraung melemparkan selimut serta bantal meski tak satupun mengenai Narendra. Selang infusnya lagi-lagi terlepas dan menimbulkan luka. Narendra bergeming di tempat mengamati Glacia yang berteriak kesetanan mengumpatinya.
"Brengsek! Kau benar-benar brengsek!!! Sebenarnya apa maumu dari pernikahan sialan ini?! Kau sudah mendapatkan kekuasaan di perusahaan Papa! Lalu apa lagi sekarang?! Hiks ... hiks ... Kau bajingaaann!!! Gelandangan tak tahu diri!! Enyah saja kau, sialaaann!! Aku membencimuuu!!"
Brak!
Prang!
Semua barang terdekat tak lepas dari jangkauan Glacia. Bahkan meja nakas kini turut terbalik setelah digulingkan olehnya. Benar apa kata orang, seseorang yang sedang ketakutan atau marah selalu memiliki refleks tenaga yang kuat.
Tak lama pintu terbuka, dokter dan beberapa perawat masuk. Mereka berhamburan mendekati Glacia yang mengamuk di ranjang, melewati Narendra yang masih betah bergeming memandangi istrinya yang kembali menggila.
Hanya perlu beberapa menit untuk tim medis menenangkan Glacia dan membuatnya kembali tidur. Narendra masih mematung di tempatnya ketika dokter mendekat dengan nafas terhela berat.
Ia berucap pada Narendra. "Saya tidak tahu sebelumnya kalian terlibat masalah apa, tapi sebisa mungkin tolong jaga psikisnya agar tidak terguncang. Dia sudah cukup terpuruk mengenai keadaan kakinya. Kami tidak bisa melanjutkan prosedur pemulihan kalau mentalnya tidak stabil. Semoga Tuan mengerti maksud saya."
Narendra diam, namun rautnya tak menunjukkan bantahan. Dokter itu menepuk pundak Narendra sebelum keluar bersama para perawatnya, meninggalkan Narendra yang lagi-lagi ditelan keheningan karena Glacia kembali tak sadarkan diri.
"Kau sebegitu inginnya bercerai, meski tak terhitung berkali-kali Gallen berselingkuh di belakangmu," gumam Narendra memecah kesunyian. Matanya tak lepas dari Glacia yang sudah jauh lebih baik meski belum begitu rapi.
Pecahan gelas dan tumpahan air sudah dibersihkan oleh salah satu perawat tadi. Narendra berjalan mendekat membereskan seprai serta selimut Glacia sebelum suara seseorang menyela dari belakang. Rupanya salah satu perawat tadi kembali.
"Dokter menyuruh saya mengobati luka anda, Tuan."
Sontak Narendra mengulurkan tangan menyentuh belakang kepalanya sendiri. Basah, dan ketika ia menarik tangannya kembali, seberkas noda merah terlihat di sana.
Narendra bahkan tidak sadar kepalanya terluka, karena ia tidak merasa sakit sama sekali. Dengan malas ia membiarkan perawat itu membersihkan lukanya, beruntung hanya luka gores ringan yang tak memerlukan jahitan.
Usai diobati, perawat itu pergi begitu pula Narendra yang keluar setelah memastikan Glacia aman untuk ditinggal. Ia menerima telepon dari Yohanes yang kemudian disambungkan pada panggilan video hingga Narendra bisa melihat suasana ruang rapat di kantor.
Entah sudah berapa jam rapat itu berlangsung, yang jelas Narendra dituntut turut serta bergabung meski sebelumnya sang mertua berkata tidak perlu. Jelas karena posisi Narendra saat ini seorang direktur yang tak bisa diabaikan kehadirannya.
Untunglah, Glacia sudah tenang dan suasana ricuh tadi dapat teratasi. Sekarang giliran Narendra mengesampingkan dulu masalahnya dan fokus pada pekerjaan.
Ia pun meninggalkan ruang rawat Glacia dan beringsut mencari tempat nyaman untuknya melakukan meeting daring.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 131 Episodes
Comments
Surati
dasar keras kepala, cerai terus yang diomongin. tuh su Gallen buaya buntung, celup sana sini ihhhj menjijikkan 😡😡
2023-06-01
0
Hani Ekawati
Biasanya tokoh laki laki nya yg arogan, ini t okoh perempuannya yg arogan 😁🤭
Si Glacia ga tau aja si Gallen buaya darat 😂
2023-06-01
0
Hani Ekawati
Bagus, paksa aja, tuman punya istri arogannya minta ampun.🤭
2023-06-01
0