Angin malam berhembus menimpa jendela, Gallen mengerjap membuka matanya perlahan saat merasakan suasana yang berbeda di sekitarnya. Dan betapa Gallen terkejut ketika melihat Narendra berdiri di ambang pintu ruang rawatnya yang terbuka.
Mendadak tubuh Gallen terasa menegang hingga tanpa sadar ia bangun dan memundurkan duduknya sampai mentok di kepala ranjang.
Aura Narendra terasa berbeda hingga seluruh ruangan terasa membeku, bulu kuduk Gallen seolah berdiri ketika lelaki itu mendekat.
Gallen semakin bergetar dan dilanda ketakutan oleh siluet Narendra yang berdiri dalam kegelapan. Entah kenapa sosok Narendra sekarang seperti berubah menjadi malaikat maut di hadapannya.
Hening mencekam seakan mencekik leher Gallen yang mendadak bisu. Ia menelan ludah sembari mendongak guna melihat wajah Narendra yang tanpa ekspresi dibalut keremangan. Lampu ruangan memang sengaja dipadamkan karena Gallen tak bisa tidur jika dalam keadaan terang.
Tapi sepertinya kali ini ia melakukan kesalahan, lampu yang mati malah menambah suasana menjadi seram di sekitar Narendra yang terlihat kejam.
Benarkah dia Narendra si pendiam?
"Ap- apa yang kau lakukan di sini?" tanya Gallen sedikit tergagap.
Narendra hanya diam dengan bibir terbungkam. Namun matanya menyorot Gallen dengan ekspresi tak beriak. Kosong, tapi juga penuh misteri.
Sedetik kemudian ...
Sriiiinngg ...
Sebuah adegan slow motion tercipta ketika tiba-tiba saja Narendra mengangkat kedua tangannya, menggenggam sesuatu yang membuat Gallen seketika dilanda panik serta ketakutan.
Pedang itu tampak mengkilap dan tajam.
"Ap- Ap—" Belum sempat Gallen bicara, matanya melotot ketika Narendra mengayunkan benda tersebut tinggi-tinggi.
Sontak Gallen pun berteriak karena pria itu berniat menebas kedua kakinya. "ARRGGGHH!!"
Hhhh ... Hhhhh ... Hhhh ...
Seseorang bangkit dari sofa. "Ada apa? Apa yang terjadi padamu?"
Gallen terbangun dengan nafas ngos-ngosan, matanya mengedar menatap sekeliling yang sepi, hanya ada Jason sahabatnya yang menemani. Lampu ruangan juga menyala terang.
Gallen menggeleng menanggapi pertanyaan Jason, tangannya memijat pelipis yang mendadak kembali terasa pening. "Bukan apa-apa, aku hanya bermimpi buruk," bisiknya bergumam.
Jason beralih duduk di samping ranjang pasien Gallen. Terlihat sekali wajahnya kusut seakan dipaksa sadar dari rasa kantuk. Ia memang terbangun karena mendengar teriakan Gallen tadi.
Gallen meraih minum di nakas dan meneguknya hingga tandas. Nafasnya terdengar berat dan berkejaran, seolah ia baru saja dihantui sesuatu yang mengerikan. Setidaknya itu yang Jason pikirkan.
"Apa yang kau mimpikan sampai pucat dan berkeringat seperti itu?" tanya Jason di tengah upayanya menahan keinginan tidur. Bagaimana pun, selain sahabat, Gallen juga merangkap sebagai atasannya. Dalam kata lain Jason ini asisten Gallen yang selalu melakukan apa pun atas perintah lelaki itu.
Gallen tak menjawab, ia justru bertanya pada Jason. "Apa kau melihat ada orang lain masuk tadi?"
Jason mengernyit sambil berpikir. "Kurasa tidak ada. Entahlah, kau tahu sendiri aku baru saja bangun karena teriakanmu."
"Kenapa? Apa ini ada hubungannya kenapa kamu berteriak barusan?" lanjutnya penasaran.
Gallen kembali menggeleng. "Tidak. Aku hanya bertanya." Tatapannya kosong dan menerawang. Ia masih saja merasa janggal kendati yang dialaminya hanya mimpi.
Di tengah lamunan Gallen, Jason pun kembali bertanya. "Kau tidak mau menjenguk Glacia? Kau belum melihat keadaannya secara langsung, kan?"
Gallen mendelik malas. "Bisa-bisa aku mati di tangan ayahnya. Kau tahu sendiri Pak Tua itu sangat sentimen."
Jason cukup memaklumi sifat pengecut Gallen kali ini. Yohanes Martadinata memang cukup menyeramkan jika menyangkut soal putrinya. Apalagi ... "Keadaannya lumayan buruk, itu yang kudengar."
Jason mendongak mengamati reaksi Gallen. Pria itu nampak terlalu santai untuk seukuran mendengar berita menyedihkan tentang kekasihnya. "Kau tidak penasaran?"
Gallen mendecak, ia kembali menyamankan posisi berbaringnya untuk kembali tidur. "Ayolah, Jason. Bukan hanya dia yang kecelakaan, aku juga masih dalam masa pemulihan."
"Ngomong-ngomong, kau benar tidak melihat seseorang masuk ke sini?" Gallen ingin kembali memastikan, sekaligus mengalihkan pembicaraan.
Sekali lagi Jason menggeleng malas. "Harus kubilang berapa kali? Kalau kau tetap penasaran cek saja CCTV."
Sedetik kemudian Gallen pun membuang nafasnya lega, karena baru menyadari bahwa semuanya hanya mimpi belaka. Ia yakin semua itu hanya bentuk kekhawatiran yang timbul karena suasana pikirannya yang kacau pasca kecelakaan. Ia pun bisa terlelap dengan nyaman dan melupakan mimpi aneh yang berusaha ia tanggapi dengan tawa seakan meremehkan.
Mana mungkin Narendra si pecundang itu berani menakutinya.
Namun tanpa Gallen sadari, Narendra justru baru saja menyambangi ruangannya. Ia berbalik dan segera berjalan meninggalkan lorong dengan raut datar seperti biasa.
Gallen baik-baik saja. Ia tidak ada apa-apanya jika dibandingkan kondisi Glacia.
***
Sementara di ruangannya, Glacia juga mengerjap terbangun dari tidur. Ia bergumam ketika mendapati Yohanes sudah duduk menungguinya. Kursi tempat Narendra bersidekap siang tadi, Glacia bersyukur kali ini ia tak mendapati lelaki itu ketika membuka mata.
"Papa ..." lirih Glacia.
Yohanes yang sedari tadi fokus pada ponselnya langsung tersentak ketika mendengar suara putrinya. Ia berdiri, mengatur ketinggian punggung ranjang Glacia lalu mengambilkannya minum dan menyodorkannya dengan lembut.
"Minum dulu, Sayang. Pelan-pelan."
Glacia meneguk air putih itu hingga hampir tandas, ia mengambil nafas dalam-dalam sambil menatap langit-langit kamar usai Yohanes mengembalikan gelas itu ke tempat semula.
"Papa dengar kamu mengamuk lagi."
Pernyataan Yohanes membuat Glacia tanpa sadar mendengus lemah. Ia berpikir pasti Narendra yang mengadu. Seolah tahu apa yang Glacia pikirkan, Yohanes pun melanjutkan. "Dokter yang mengabari Papa. Naren Papa suruh pulang, lagipula ada pekerjaan yang memerlukan dirinya di kantor besok."
Baguslah, setidaknya Yohanes sadar kehadiran pria itu hanya memperburuk kondisi Glacia. Glacia bergeming datar, mulutnya bungkam dengan wajah yang nampak lelah.
Yohanes tak henti mengamati putrinya. Dua kali Glacia mengamuk, dan dua kali pula ia mendapat suntikan entah itu obat penenang atau obat tidur. Hal tersebut tentu membuat hati Yohanes seakan teriris. Sakit, rasanya begitu menyedihkan ketika mendapati putri satu-satunya yang ia sayang, harus mengalami nasib demikian.
Ini semua gara-gara bajingan itu. Kalau saja Yohanes bisa lebih kejam, ia ingin membunuh pria itu sekarang juga. Gallen selalu membawa pengaruh buruk bagi Glacia. Sejak mengenal pria itu, Glacia berubah semakin membangkang padanya.
Yohanes meraih tangan Glacia dan mengusapnya perlahan. "Meski keadaanmu begini, kamu masih bisa sembuh, Sayang. Masih ada kesempatan untuk kaki kamu bisa normal lagi. Jadi, jangan patah semangat."
Glacia terdiam. Ia berusaha meneguk ludah yang entah mengapa mendadak sulit untuk ditelan. Respon Narendra tadi siang masih saja melekat, meninggalkan kekesalan mendalam. Ia tidak tahu harus melakukan apa lagi untuk bisa terlepas dari ikatan menyebalkan yang menjerat mereka.
"Aku ingin cerai ..." bisik Glacia tiba-tiba.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 131 Episodes
Comments
Triani
bodoh di piara...
2023-09-16
0
Dewy Thu Sary
Glacia.... penyesalan itu selalu datang diakhir.... hati2 e😀
2023-06-01
0
Surati
Glacia.... Glacia .....lihat tuh ppa kamu betapa sedihnya beliau melihat segala tingkah polahmu. Hei buka matamu baik2 , betapa baiknya papamu dan Naren suamimu. ntar nyesala kamu😡😡😡
2023-06-01
0