Rugi 2 Darah Pengantin Pendekar

Rugi 2 Darah Pengantin Pendekar

DPP 1: Kelompok Ular Pembunuh

*Darah Pengantin Pendekar (DPP)*

 

Empat ekor kuda berlari kencang di jalan utama kota Buntitan yang merupakan ibu kota dari Kadipaten Bantar Gepeng. Keempat kuda itu masing-masing ditunggangi oleh seorang pendekar berpedang.

Pendekar pedang pertama seorang lelaki berusia kisaran separuh abad minus sepuluh tahun. Dia tampan dengan hidung mancung dan alis yang tebal. Kepalanya yang berambut gondrong sebahu diikat oleh pita kuning yang pada bagian dahinya ada logam emas berbentuk kepala ular. Lelaki berpakaian hitam putih itu berperawakan gagah dengan tubuh dan otot yang kekar. Dia bernama Gurat Satria.

Pendekar pedang kedua seorang lelaki berbadan lebih besar dan lebih berotot. Usianya pun lebih tua, yakni separuh abad lebih lima tahun. Rambutnya pendek model cepak, membuatnya terlihat lebih muda, meski garis wajah sudah tidak bisa berdusta. Dia mengenakan baju hitam dengan jubah hijau gelap. Meski tubuhnya besar, tetapi senjatanya adalah pedang kecil yang mungil, bahkan seperti pisau besar. Dia bernama Toreh.

Pendekar pedang ketiga seorang lelaki bertubuh kurus dengan usia masih kepala dua. Satu tahun lagi dia akan punya tiga kepala. Jika kurus, tidak perlu dijelaskan tentang ototnya. Ada dua pedang yang menyilang di punggungnya. Rambut gondrong keritingnya diikat rapi di sisi kanan di kiri. Terlihat lucu seperti model rambut perempuan Indian. Dia mengenakan baju merah dan celana kuning. Dia bernama Gamak Pera.

Pendekar pedang keempat seorang wanita berusia matang, yakni separuh abad minus dua belas tahun. Ia sangat mudah diingat karena memiliki dua tahi lalat di pipi kirinya. Karena ada dua titik hitam, itu menandakan bahwa area wajah itu dilarang untuk dikecup. Justru dibibirlah yang memiliki tanda titik cium, yaitu satu tahi lalat. Wanita berpakaian kuning itu memiliki tubuh yang bagus sebagai seorang perempuan. Sepertinya dia tidak suka makan, karena terlihat jelas dia memiliki perut yang rata, mungkin sixpack. Dia bernama Kin Anti.

Keempat orang itu adalah bagian utama dari Kelompok Ular Pembunuh yang diketuai oleh Gurat Satria. Jadi, Gurat Satria adalah Ketua Ular Pembunuh.

Kelompok Ular Pembunuh adalah kelompok pembunuh bayaran ternama di kalangan dunia persilatan, bukan hanya di wilayah Kadipaten Bantar Gepeng, tapi sudah ternama ke berbagai wilayah kekuasaan Kerajaan Kutan.

Jika para petinggi Kelompok Ular Pembunuh sedang berkuda kencang, tentu ada perkara penting yang sedang ingin mereka selesaikan. Bisa jadi untuk membunuh calon korban pesanan, bisa jadi pula untuk mengambil pesanan, atau pergi seusai melaksanakan misi pesanan, atau kompor gas lupa dimatikan saat mereka pergi.

Selayaknya pendekar hebat yang tidak takut berurusan dengan siapa pun, keempat pembunuh bayaran itu terus memacu kencang kudanya meski di jalanan itu ramai oleh warga Buntitan.

Warga Buntitan yang sedang berjalan di pinggir jalan harus buru-buru lebih ke pinggir agar tidak terserempet kuda. Maklum, di masa itu belum ada asuransi dan BPJS, atau kamera CCTV yang bisa menjadi bukti senggol lari.

Set! Teb!

Tiba-tiba sebatang tombak melesat dari jauh dan menancap di tanah tengah jalan yang akan dilalui oleh keempat kuda pendekar itu.

Melihat ada yang berani mengusik perjalanan mereka, Gurat Satria memutuskan menghentikan kudanya dengan kaki depan terangkat tinggi. Hal yang sama dilakukan oleh ketiga rekannya.

Keempat pendekar pedang itu tidak perlu menunggu waktu lama, karena dari arah samping telah muncul berlari tiga ekor kuda yang kemudian berhenti di tengah jalan, menghadang keempat tokoh Kelompok Ular Pembunuh.

Sing! Set set!

Belum lagi ada kata-kata yang dikeluarkan oleh ketiga prajurit berkuda yang menghadang itu, tiba-tiba Gamak Pera melempar kedua pedangnya yang dia cabut dari punggungnya. Kedua pedang itu melesat berputar-putar menyerang ketiga prajurit itu.

Set set!

“Aak! Akk!” jerit dua orang prajurit yang lengannya pendapat sambaran pedang Gamak Pera.

Sambaran pedang itu memberi luka yang cukup besar pada lengan kedua prajurit tersebut. Darah dengan deras langsung mengucur dan menetes dari luka.

Hebatnya, kedua pedang Gamak Pera bisa berputar balik seperti bumerang dan kembali ditangkap oleh kedua genggaman pemiliknya.

“Kami tidak peduli kalian prajurit Adipati atau bukan. Jika tidak mau mati, minggirlah dari jalan!” seru Gurat Satria kepada punggawa prajurit yang tidak mendapat serangan pedang.

Punggawa prajurit yang berpakaian hanya celana dengan badan berotot tanpa baju, kecuali perhiasan dari statusnya sebagai seorang Kepala Keamanan, sempat terkejut melihat kedua anak buahnya sudah terluka parah pada bagian lengannya. Prajurit berpangkat Panglima Muda itu bernama Arit Batik.

“Aku adalah Panglima Muda Arit Batik, Kepala Keamanan Ibu Kota!” seru Arit Batik memperkenalkan diri tanpa gentar.

“Kami adalah tamu Adipati Bawel Semara. Seorang Panglima Muda pun akan kami habisi jika jadi penghalang kami!” ancam Gurat Satria.

“Aku sarankan, sayangi nyawa kalian,” kata Toreh pula, orang tertua di antara keempat pendekar itu.

“Ayo menyingkir!” perintah Arit Batik kepada kedua prajurit anak buahnya yang menahan sakit pada lengannya.

Kedua prajurit itu lebih suka untuk segera pergi agar luka mereka bisa diobati segera.

Arit Batik segera keluar dari jalan utama setelah mencabut tombaknya dari jalan.

Dengan menyingkirnya ketiga prajurit Ibu Kota itu, Gurat Satria dan ketiga temannya kembali melanjutkan perjalanan. Tempat yang mereka tuju adalah kediaman Adipati Bawel Semara.

Singkat waktu, sampai dan berhentilah keempat kuda itu di depan gerbang yang memiliki tiang besar dan tinggi, juga gerbang yang tinggi. Mirip gerbang rumah orang kaya pakai banget.

Gerbang besarnya tidak sebanding dengan pagar yang hanya setinggi dada. Gerbang itu dijaga oleh sepuluh prajurit berseragam warna jingga, putih, jingga. Baju dan celananya berwarna jingga. Sedangkan kain pada sabuknya berwarna putih.

Pagar yang memanjang berputar itu mengurung sebuah lingkungan luas dengan sebuah rumah besar, luas dan megah untuk ukuran di masa itu. Itulah kediaman Adipati Bawel Semara yang jumlah kekayaannya tidak pernah dilaporkan ke PKK.

Singkat cerita.

Bertemulah keempat pendekar itu dengan Adipati Bawel Semara.

Sosok Adipati adalah lelaki berpakaian warna perak tapi berhias emas sebagai asesoris. Lelaki separuh abad lebih sepuluh tahun berperut agak gendut itu mengenakan blangkon putih. Wajahnya memelihara kumis tebal dengan jenggot yang klimis karena rajin dikerok.

Saat menyambut kedatangan keempat tamunya, Adipati Bawel Semara didampingi oleh dua orang istrinya yang cantik-cantik.

Bonus pengetahuan, Adipati Bawel Semara memiliki tiga orang istri. Namun, dia hanya punya keturunan dari istri tua yang usianya pun tidak jauh dari Adipati.

“Dengan kematiannya, aku punya alasan untuk mengusai semua usaha yang dia jalankan. Dan aku pun bisa dengan mudah memperistri putri cantiknya,” ujar Adipati Bawel Semara.

“Baiklah. Kapan Adipati menginginkan kematiannya?” tanya Gurat Satria.

“Secepatnya. Aku tinggal menunggu kabar baiknya saja. Sebagai tanda kesepakatan kita, separuh pembayaran aku berikan sekarang,” kata Adipati.

Seorang prajurit yang sejak tadi berdiri mengangkat sebuah kotak kayu lalu meletakkan barang bawaannya di meja.

Gurat Satria membuka penutup kotak kayu yang besarnya satu pelukan orang dewasa. Ketika dibuka, terlihatlah bahwa kotak kayu itu penuh oleh kepeng perunggu campur kepeng perak.

Sementara itu, istri Adipati yang bernama Lilis Angir berbisik kepada suaminya.

“Aku izin ke kamar mandi, Kakang,” bisik Lilis Angir, istri kedua Adipati.

Sang adipati hanya mengangguk.

Lilis Angir lalu bergegas pergi dan masuk ke dalam.

Di dalam rumah besar itu, ternyata Lilis Angir tidak langsung ke kamar mandi, tetapi dia berhenti di depan pintu kamar yang tertutup.

Tok tok tok!

Sambil memastikan tidak ada orang yang melihat atau berada di sekitar, Lilis Angir mengetuk halus pintu kamar.

Tidak berapa lama, ada suara lelaki yang bertanya pelan dari balik pintu.

“Kaukah itu, Lilis?” tanya suara lelaki di balik pintu.

“Iya. Ayahmu sedang kedatangan tamu pendekar dari Kelompok Ular Pembunuh,” bisik Lilis Angir.

“Ayah mau membunuh siapa?” tanya suara lelaki yang adalah putra Adipati Bawel Semara sendiri, tapi bukan putra Lilis Angir.

“Calon mertuamu,” jawab Lilis Angir.

“Apa?!” kejut lelaki di balik pintu. “Hmm, tapi tidak mengapa. Justru itu akan mempermudah aku.”

“Tapi, nanti malam kau tidur di sini?” tanya Lilis Angir.

“Iya,” jawab lelaki di balik pintu.

“Nanti malam aku ingin dimasuki,” kata Lilis Angir sambil tersenyum malu sendiri, padahal tidak ada yang melihatnya.

“Masuk saja, aku tidak akan mengunci pintu kamar nanti malam,” kata lelaki di balik pintu.

“Aku pergi,” kata Lilis Angir lalu kembali pergi menuju ke luar, bukan ke belakang, tempat adanya kamar mandi. (RH)

Terpopuler

Comments

AI

AI

RH Rumah Hanyta?

2024-09-23

0

AI

AI

kayak berlayar di tv🤣

2024-09-23

0

AI

AI

cctv nya udah direkam 🤔

2024-09-23

0

lihat semua
Episodes
Episodes

Updated 44 Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!